Senin, 18 Oktober 2010

TKI dan Sawit Malaysia

Oleh: Transtoto Handahari


Dalam pernyataan yang dikeluarkan, di tengah ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia beberapa waktu lalu, tersirat kekhawatiran pemerintah bahwa ketegangan hubungan RI-Malaysia akan berimbas ke tenaga kerja Indonesia di sana.

Menurut data resmi, dari lebih 2 juta TKI yang bekerja di Malaysia, 78 persen bekerja di perkebunan. Terbesar bekerja di ladang sawit, sisanya di kebun karet, cokelat, dan kehutanan. Jumlah TKI di atas belum termasuk TKI ilegal yang bisa mencapai separuhnya.

Malaysia, sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua dunia setelah Indonesia mengandalkan pula hasil karet dan cokelat, jelas-jelas sangat menggantungkan diri pada peran TKI. Lapangan pekerjaan kasar di perkebunan sangat tidak diminati oleh masyarakat lapis bawah Malaysia sekalipun. Artinya, TKI kebun bisa saja menjadi ”mesiu” efektif Indonesia menghadapi arogansi Malaysia.

Kemilau sawit

Sawit (Elaeis sp) memang sedang menjadi primadona. Negeri tropis Indonesia dan Malaysia dengan jenis tanah podsol pada umumnya dan curah hujan 1.000-2.500 milimeter per tahun menjadikan negeri ini ladang yang amat produktif untuk sawit. Devisa yang diraup Indonesia saat ini sekitar 14 miliar dollar AS per tahun, padahal luas kebun sawit baru 7,2 juta hektar. Hasil produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia yang mencapai lebih dari 19 juta ton per tahun menempatkan Indonesia sebagai penghasil minyak CPO terbesar di dunia (44,5 persen).

Malaysia dengan keterbatasan lahan dan tenaga kerja ternyata mampu mendudukkan dirinya sebagai penghasil CPO nomor dua dunia setelah Indonesia. Namun, penghasil 17,35 juta ton CPO (41,3 persen) tersebut hanya mampu berproduksi lantaran dukungan sepenuhnya dari TKI.

Tahun 2050, permintaan global untuk minyak goreng diperkirakan mencapai 240 juta ton, hampir dua kali konsumsi tahun 2008. Produksi dan konsumsi minyak nabati dunia periode 2008-2012 saja diperkirakan 132 juta ton, sedangkan produksinya hanya 108 juta ton sehingga perlu pasokan baru sebesar 24 juta ton. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dunia diperlukan penambahan areal perkebunan kelapa sawit sebesar 12 juta hektar. Indonesia berpeluang besar memenuhi kebutuhan dunia tersebut. Namun, bagi Malaysia akan sangat terkendala untuk bersaing dengan Indonesia.

Malangnya, saat ini kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama akibat serangan ”green gun” dari sebagian lembaga swadaya masyarakat yang seakan memiliki misi menghambat pengembangan sawit Indonesia. Akibatnya, muncul keputusan sepihak dari perusahaan-perusahaan multinasional yang merugikan Indonesia. Gangguan ini tidak dialami kebun-kebun sawit Malaysia.

Hambatan lainnya, karena Indonesia dianggap ”tidak mampu” dibandingkan Malaysia dalam mempraktikkan produksi minyak sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil production’) oleh dunia internasional sehingga para pengusaha Indonesia seperti dipaksa ”harus” bekerja sama dengan Malaysia dalam mengelola kebun sawit. Malaysia berpeluang menguasai perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

TKI di Malaysia

TKI menduduki jumlah pekerja terbesar di Malaysia. Sebagian bekerja di rumah tangga dan bangunan (20 persen) dan sisanya (80 persen) di perkebunan dan kehutanan. Sektor perkebunan merupakan andalan perekonomian Malaysia yang hampir sepenuhnya ditopang oleh tenaga kerja asal Indonesia. Tanpa pekerja Indonesia, sektor perkebunan akan ambruk.

Sebagai gambaran, Sabah, Malaysia Timur, dengan luas 76.115 kilometer persegi merupakan kantong TKI yang sangat diminati calon pekerja Indonesia karena faktor geografis (jarak), agama, dan bahasa yang memudahkan mereka berkomunikasi.

Jumlah TKI resmi di Sabah mencapai 538.180 orang, TKI ilegal menurut catatan Imigresen Sabah 329.388 orang, belum termasuk WNI ilegal yang keluar masuk Sabah dari Nunukan melalui ”jalan-jalan tikus” di Kalabakan, Tawau. Mereka diperkirakan berjumlah 182.746 orang tahun 2008. Dari kebun sawit di Sabah yang hanya sekitar 1,3 juta hektar, disumbangkan

97 persen PDB dan ekspor CPO merupakan 35 persen ekspor Sabah secara keseluruhan.

Yang berjasa dari proses produksi sawit tersebut adalah para TKI dengan jumlah 90 persen dari total pekerja perkebunan di Sabah. Selain TKI, terdapat pekerja dari Filipina, sementara pekerja dari negara lain seperti India, Banglades, Vietnam, dan Timor Leste, sebagaimana sering digembar-gemborkan Pemerintah Malaysia, belum tampak.

Upah rendah

Malaysia, di samping memiliki keterbatasan luas lahan sawit untuk bersaing dengan Indonesia, sebenarnya juga cemas terkait kebutuhan tenaga kerja kasar di lapangan. Seperti yang disebut di atas, nyaris hanya dipenuhi oleh tenaga kerja asal Indonesia.

Ironisnya, meskipun tingkat upah kotor pekerja perkebunan relatif rendah, rata-rata hanya 500 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp 1,25 juta dan tertinggi 700 RM, TKI tetap saja berebut bekerja di sana. Pekerja lapangan terbesar berasal dari Bugis dan Toraja, disusul NTB dan NTT, serta sisanya dari Banyumas yang dikenal ahli petik buah sawit.

Menjadi PRT pun gajinya juga hanya berkisar 350-500 RM atau sekitar Rp 1 juta per bulan, masih ditambah dengan bonus penghinaan (Rudhito Widagdo, KJRI Sabah, 2010).

Memang, kemudian menjadi mengherankan, mengapa hanya untuk meraih upah sedemikian rendah para TKI rela hidup sulit di kebun-kebun di negeri orang, dengan risiko tersia-sia dan bahkan hilang tak tentu jejaknya. Pemerintah selayaknya melihat keadaan nyata ini sebagai salah satu faktor yang dapat menekan kesemena-menaan Malaysia terhadap bangsa kita.

Kesempatan membuka kebun sawit yang lebih luas harus segera dirancang di atas lahan-lahan telantar ataupun menanami lahan hutan yang rusak. Kebijakan pengembangan kebun dan hutan tanaman yang ramah lingkungan di dalam negeri akan membuka lapangan kerja yang amat luas dan sekaligus mengembalikan para TKI untuk bekerja di negeri sendiri.

Di samping meningkatkan devisa, kebijakan tersebut akan meningkatkan martabat bangsa ini sekaligus memberikan pelajaran yang telak bagi keangkuhan negeri tetangga itu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/04134820/tki..dan.sawit..malaysia


TRANSTOTO HANDADHARI Ketua Umum Yayasan GreenNET Indonesia

1 komentar:

  1. Penulisan yang bagus dan tepat. Saya mantan TKI di Malaysia timur selama 11 th, Kuli harian stgh th, 7 stgh th jadi mandor ladang sawit,3 th kuli di kilang sawit merasa heran dgn Pemerintah kita mengapa gak jeli dgn prkbgn sawit ini. SDM kita justeru dipakai negara jiran, padahal jika RI punya kebun cara Msia,merekrut tenaga TKI sy yakin arogansi Msia tak sehebat kini. Disana bnyk TKI yg umur diatas 65 th pun masih dipakai.

    BalasHapus

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...