Oleh: Novri Susan
Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H sudah terlewati yang ditandai oleh fenomena arus mudik (dan balik) mereka yang bekerja di kota-kota besar ke daerah asal.
Arus mudik dari Jakarta ke berbagai daerah tercatat sekitar 2,2 juta orang dan jika ditotal pemudik dari kota-kota besar Indonesia ke seluruh pelosok Tanah Air mencapai 15,5 juta orang. Isu menarik dari gejala mudik ini bukan hanya masalah kemacetan lalu lintas saja.Tingginya jumlah pemudik menggambarkan ada masalah mendasar: yaitu urban primacy (terpusatnya populasi di kota) yang menandakan tingkat disparitas pembangunan kota dan desa. Banyaknya sumber daya manusia daerah yang mencari pekerjaan “layak” dan melakukan aktivitas ekonomi di kota besar memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi daerah perdesaan masih tidak optimal. Hal ini berarti pula bahwa otonomi daerah belum mampu mendinamisasi pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan sosial ekonomi perdesaan.
Ketimpangan Desa-Kota
Di atas kertas, sentralisme kekuasaan dan pembangunan yang berlangsung selama sekitar tiga puluh dua tahun mungkin sudah terhapus dan digantikan oleh otonomi daerah.Namun penyakit sentralisme ternyata masih bersemayam kuat di dalam proses pembangunan nasional, yaitu ketimpangan wilayah (spatial ineqiality) yang cukup akut.
Menurut Kanbur dan Venables dalam Spatial Inequality and Development (2005), gejala-gejala dari penyakit ketimpangan wilayah di antaranya adalah masih rendahnya kualitas pendidikan perdesaan, jeleknya fasilitas infrastruktur, aktivitas perbankan yang rendah, kebijakan pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam semata, sampai tidak tersedianya lapangan kerja berbasis karakter sosial ekonomi lokal yang mencukupi. Jika dilihat dalam perspektif ekonomis, gejala-gejala penyakit ketimpangan wilayah tersebut berdampak pada rendahnya angka pendapatan. Sebaliknya wilayah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan kota-kota besar lainnya aktivitas pembangunan mengalami percepatan luar biasa.
Gejala-gejala penyakit ketimpangan wilayah antara kota dan daerah (desa) dalam pembangunan tersebut memiliki sebab-sebab utama. Kalangan ilmuwan sosial menyepakati bahwa penyakit ketimpangan wilayah berpangkal pada rendahnya kualitas kepemimpinan daerah dalam mendorong pembangunan. Bahkan otonomi daerah ditandai oleh terciptanya raja-raja kecil yang giat membangun kekuasaan dinasti lokal dan mengabaikan substansi kekuasaan demokratis. Selain itu, kepemimpinan daerah juga ditandai oleh praktek korupsi yang masih tinggi. Berdasarkan laporan KPK pada tahun 2009 saja ada 19 bupati/ wali kota dan lima gubernur yang menjadi terdakwa praktek tersebut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyebutkan bahwa 60,6% praktek korupsi terjadi di tingkat daerah. Lemahnya kepemimpinan daerah secara sosiologis menyebabkan tata pemerintahan dan kebijakan yang buruk. Kebijakan-kebijakan pem-bangunan daerah pada umumnya masih bersifat pragmatis seperti kebijakan eksploitasi alam besarbesaran demi memacu pendapatan daerah secara instan tanpa diimbangi oleh aktivitas produktif lainnya berbasis pada kreativitas ekonomi daerah.Pembangunan sektor pertanian,yang menjadi ciri aktivitas ekonomi di perdesaan, masih belum didorong oleh kebijakan-kebijakan daerah yang kreatif.
Sebaliknya, fenomena umum yang sering muncul di media massa adalah terpinggirkannya para petani. Pandangan sinis publik selama ini melihat bahwa aktivitas pertanian mungkin dianggap bukan sebagai “ladang basah”bagi pemimpin dan birokrasi lokal untuk dikorupsi. Selain masalah kepemimpinan daerah dan kepemerintahan yang buruk, ketimpangan wilayah juga disebabkan oleh makna publik di daerah terhadap kesempatan berusaha di kota. Kota merupakan area dinamis oleh peredaran uang yang cepat,pusat industri dan jasa, serta gaya hidup modernisme yang dipandang selalu lebih baik dari tradisionalisme desa.
Sebut saja peristiwa sosial ini sebagai makna “kota utopia”masyarakat desa,yaitu tempat segala mimpi tentang kebahagiaan bisa diraih. Begitu kuatnya makna kota sebagai pusat mimpi terhadap perbaikan nasib ekonomi dan gaya hidup bisa jadi adalah warisan Orde Baru.Sentralisme pembangunan kota menyebabkan geliat megah perkotaan, terutama Jakarta, adalah wilayah yang dianggap mampu memberi harapan dan menyelamatkan kemiskinan di desa sehingga sumber daya manusia daerah mengalir ke perkotaan dan kembali ke desa ketika berhari raya saja.
Upaya-Upaya Penanganan
Secara normatif,upaya menanggulangi penyebab dari masalah disparitas pembangunan adalah dengan pemantapan good governance melalui reformasi birokrasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pembangunan. Secara kultural, makna “kota utopia” perlu ditanggulangi melalui konsep-konsep “desa utopia”, artinya menjadikan desa sebagai tempat terealisasinya mimpi atas hidup sejahtera. Pendidikan adalah kelembagaan yang paling esensial dalam mengubah konstruksi budaya ini, baik dari tingkat dasar sampai menengah atas.
Peran media massa pun menjadi penting berkaitan dengan konstruksi makna gaya hidup melalui tayangan-tayangan yang mengonstruksi budaya adiluhung desa. Untuk menangani sebab-sebab politik dan kultural atas disparitas pembangunan tersebut, sangat diperlukan langkah strategis tingkat daerah dengan menciptakan penyeimbangan pembangunan desakota. Salah satu kunci dari penyeimbangan pembangunan desa adalah penguatan pembangunan pertanian, termasuk di dalamnya peternakan, yang berbasis di perdesaan.
Kebijakan pembangunan pertanian daerah sampai saat ini masih dinilai tidak serius,sebagaimana disebutkan di atas bahwa ada kecenderungan daerah-daerah memilih eksploitasi sumber daya alam daripada memperkuat sektor produktif lainnya seperti pertanian. Ciri lain lemahnya kebijakan penguatan pembangunan pertanian adalah kesulitan akses kredit usaha di kalangan kelompokkelompok usaha pertanian di desa. Walaupun selama ini sudah ada berbagai himbauan agar perbankan memberi kemudahan akses kredit, berdasar pada pengalaman penelitian penulis di lapangan kelompok pertanian masih menemui kesulitan.
Pemerintah daerah belum banyak melakukan intervensi dan improvisasi dalam masalah ini, kecuali ikut melaksanakan program- program pembangunan desa yang diinisiasi dari pusat seperti program PNPM mandiri. Kota dan desa sering kali digambarkan ke dalam dua aktivitas ekonomi berbeda.Kota memiliki aktivitas industri di bidang industri dan jasa.Sedangkan desa memiliki aktivitas ekonomi di bidang pertanian dan tradisionalisme sosial. Tidak ada yang perlu diubah secara substansial dari ciri aktivitas pembangunan di kota dan perdesaan.
Yang penting adalah menangani sebab-sebab dari masalah disparitas pembangunan dan upaya menciptakan penyeimbangan pembangunan desa-kota sehingga fenomena pada tahun-tahun selanjutnya adalah jumlah pemudik tidak terlalu besar karena telah terjadi pemerataan pembangunan sosial ekonomi antara desa dan kota.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/354230/
Novri Susan
Sosiolog Universitas Airlangga, Kandidat PhD di Doshisha University Japan
Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431 H sudah terlewati yang ditandai oleh fenomena arus mudik (dan balik) mereka yang bekerja di kota-kota besar ke daerah asal.
Arus mudik dari Jakarta ke berbagai daerah tercatat sekitar 2,2 juta orang dan jika ditotal pemudik dari kota-kota besar Indonesia ke seluruh pelosok Tanah Air mencapai 15,5 juta orang. Isu menarik dari gejala mudik ini bukan hanya masalah kemacetan lalu lintas saja.Tingginya jumlah pemudik menggambarkan ada masalah mendasar: yaitu urban primacy (terpusatnya populasi di kota) yang menandakan tingkat disparitas pembangunan kota dan desa. Banyaknya sumber daya manusia daerah yang mencari pekerjaan “layak” dan melakukan aktivitas ekonomi di kota besar memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi daerah perdesaan masih tidak optimal. Hal ini berarti pula bahwa otonomi daerah belum mampu mendinamisasi pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan sosial ekonomi perdesaan.
Ketimpangan Desa-Kota
Di atas kertas, sentralisme kekuasaan dan pembangunan yang berlangsung selama sekitar tiga puluh dua tahun mungkin sudah terhapus dan digantikan oleh otonomi daerah.Namun penyakit sentralisme ternyata masih bersemayam kuat di dalam proses pembangunan nasional, yaitu ketimpangan wilayah (spatial ineqiality) yang cukup akut.
Menurut Kanbur dan Venables dalam Spatial Inequality and Development (2005), gejala-gejala dari penyakit ketimpangan wilayah di antaranya adalah masih rendahnya kualitas pendidikan perdesaan, jeleknya fasilitas infrastruktur, aktivitas perbankan yang rendah, kebijakan pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam semata, sampai tidak tersedianya lapangan kerja berbasis karakter sosial ekonomi lokal yang mencukupi. Jika dilihat dalam perspektif ekonomis, gejala-gejala penyakit ketimpangan wilayah tersebut berdampak pada rendahnya angka pendapatan. Sebaliknya wilayah kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan kota-kota besar lainnya aktivitas pembangunan mengalami percepatan luar biasa.
Gejala-gejala penyakit ketimpangan wilayah antara kota dan daerah (desa) dalam pembangunan tersebut memiliki sebab-sebab utama. Kalangan ilmuwan sosial menyepakati bahwa penyakit ketimpangan wilayah berpangkal pada rendahnya kualitas kepemimpinan daerah dalam mendorong pembangunan. Bahkan otonomi daerah ditandai oleh terciptanya raja-raja kecil yang giat membangun kekuasaan dinasti lokal dan mengabaikan substansi kekuasaan demokratis. Selain itu, kepemimpinan daerah juga ditandai oleh praktek korupsi yang masih tinggi. Berdasarkan laporan KPK pada tahun 2009 saja ada 19 bupati/ wali kota dan lima gubernur yang menjadi terdakwa praktek tersebut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menyebutkan bahwa 60,6% praktek korupsi terjadi di tingkat daerah. Lemahnya kepemimpinan daerah secara sosiologis menyebabkan tata pemerintahan dan kebijakan yang buruk. Kebijakan-kebijakan pem-bangunan daerah pada umumnya masih bersifat pragmatis seperti kebijakan eksploitasi alam besarbesaran demi memacu pendapatan daerah secara instan tanpa diimbangi oleh aktivitas produktif lainnya berbasis pada kreativitas ekonomi daerah.Pembangunan sektor pertanian,yang menjadi ciri aktivitas ekonomi di perdesaan, masih belum didorong oleh kebijakan-kebijakan daerah yang kreatif.
Sebaliknya, fenomena umum yang sering muncul di media massa adalah terpinggirkannya para petani. Pandangan sinis publik selama ini melihat bahwa aktivitas pertanian mungkin dianggap bukan sebagai “ladang basah”bagi pemimpin dan birokrasi lokal untuk dikorupsi. Selain masalah kepemimpinan daerah dan kepemerintahan yang buruk, ketimpangan wilayah juga disebabkan oleh makna publik di daerah terhadap kesempatan berusaha di kota. Kota merupakan area dinamis oleh peredaran uang yang cepat,pusat industri dan jasa, serta gaya hidup modernisme yang dipandang selalu lebih baik dari tradisionalisme desa.
Sebut saja peristiwa sosial ini sebagai makna “kota utopia”masyarakat desa,yaitu tempat segala mimpi tentang kebahagiaan bisa diraih. Begitu kuatnya makna kota sebagai pusat mimpi terhadap perbaikan nasib ekonomi dan gaya hidup bisa jadi adalah warisan Orde Baru.Sentralisme pembangunan kota menyebabkan geliat megah perkotaan, terutama Jakarta, adalah wilayah yang dianggap mampu memberi harapan dan menyelamatkan kemiskinan di desa sehingga sumber daya manusia daerah mengalir ke perkotaan dan kembali ke desa ketika berhari raya saja.
Upaya-Upaya Penanganan
Secara normatif,upaya menanggulangi penyebab dari masalah disparitas pembangunan adalah dengan pemantapan good governance melalui reformasi birokrasi dan meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pembangunan. Secara kultural, makna “kota utopia” perlu ditanggulangi melalui konsep-konsep “desa utopia”, artinya menjadikan desa sebagai tempat terealisasinya mimpi atas hidup sejahtera. Pendidikan adalah kelembagaan yang paling esensial dalam mengubah konstruksi budaya ini, baik dari tingkat dasar sampai menengah atas.
Peran media massa pun menjadi penting berkaitan dengan konstruksi makna gaya hidup melalui tayangan-tayangan yang mengonstruksi budaya adiluhung desa. Untuk menangani sebab-sebab politik dan kultural atas disparitas pembangunan tersebut, sangat diperlukan langkah strategis tingkat daerah dengan menciptakan penyeimbangan pembangunan desakota. Salah satu kunci dari penyeimbangan pembangunan desa adalah penguatan pembangunan pertanian, termasuk di dalamnya peternakan, yang berbasis di perdesaan.
Kebijakan pembangunan pertanian daerah sampai saat ini masih dinilai tidak serius,sebagaimana disebutkan di atas bahwa ada kecenderungan daerah-daerah memilih eksploitasi sumber daya alam daripada memperkuat sektor produktif lainnya seperti pertanian. Ciri lain lemahnya kebijakan penguatan pembangunan pertanian adalah kesulitan akses kredit usaha di kalangan kelompokkelompok usaha pertanian di desa. Walaupun selama ini sudah ada berbagai himbauan agar perbankan memberi kemudahan akses kredit, berdasar pada pengalaman penelitian penulis di lapangan kelompok pertanian masih menemui kesulitan.
Pemerintah daerah belum banyak melakukan intervensi dan improvisasi dalam masalah ini, kecuali ikut melaksanakan program- program pembangunan desa yang diinisiasi dari pusat seperti program PNPM mandiri. Kota dan desa sering kali digambarkan ke dalam dua aktivitas ekonomi berbeda.Kota memiliki aktivitas industri di bidang industri dan jasa.Sedangkan desa memiliki aktivitas ekonomi di bidang pertanian dan tradisionalisme sosial. Tidak ada yang perlu diubah secara substansial dari ciri aktivitas pembangunan di kota dan perdesaan.
Yang penting adalah menangani sebab-sebab dari masalah disparitas pembangunan dan upaya menciptakan penyeimbangan pembangunan desa-kota sehingga fenomena pada tahun-tahun selanjutnya adalah jumlah pemudik tidak terlalu besar karena telah terjadi pemerataan pembangunan sosial ekonomi antara desa dan kota.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/354230/
Novri Susan
Sosiolog Universitas Airlangga, Kandidat PhD di Doshisha University Japan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya