Selasa, 29 Desember 2009

Lowongan ASISTEN KEBUN

DIBUTUHKAN
Perusahaan kami yang tergabung dalam Indofood - Group, bergerak dalam bidang Agribisnis berupa perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang berlokasi di Sumatera & Kalimantan, membutuhkan tenaga-tenaga yang ulet, dinamis dan menyukai tantangan, untuk bergabung bersama kami dengan posisi

Penempatan : Sumatera / Kalimantan

Persyaratan :

  • Pria, usia max. 28 tahun
  • Lulus Ujian Negara / PTS dengan IPK min. 2,75
  • Pendidikan : D-3/S-1 Pertanian (Agronomi/Budidaya Perkebunan, Ilmu Tanah, Ilmu Hama & Penyakit Tanaman, Sosek. Pertanian)
  • Memiliki kemampuan memimpin
  • Memiliki daya juang yang tinggi dan good interpersonal skills

Bagi yang berminat, lamaran lengkap (CV, copy ijazah, transkrip nilai, copy KTP dan pasfoto terbaru 3 lembar ukuran 4 x 6 cm), DIKIRIM LANGSUNG ke alamat :

Divisi Plantations
PT Salim Ivomas Pratama
Sudirman Plaza-Indofood Tower lt. 11
Jl. Jend. Sudirman Kav. 76-78
Jakarta Selatan 12910

Email : hrd_plantations@simp.co.id

(Seleksi akan diadakan di beberapa kota di Jawa & Sumatera)

Senin, 28 Desember 2009

Penegakan Hukum dan Keadilan

Oleh: Janedjri M Gaffar


Sepanjang 2009 banyak muncul peristiwa hukum yang menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah menguatnya perhatian dan penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang dinilai kurang adil.

Bersamaan dengan itu, terdapat pula keputusan lembaga peradilan yang menerobos hukum positif demi menegakkan keadilan substantif. Berbagai peristiwa tersebut telah memberikan gambaran baru bahwa antara hukum dan keadilan dapat menjadi dua hal yang berbeda. Di suatu waktu hukum dapat kehilangan napas keadilan dan untuk menegakan keadilan perlu dilakukan terobosan terhadap aturan hukum.

*** Hukum adalah institusi atau instrumen yang dibutuhkan dan keberadaannya melekat pada setiap kehidupan sosial atau masyarakat. Hukum diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Tanpa adanya aturan hukum, kehidupan masyarakat akan tercerai- berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan sosial. Oleh karena itu, terdapat adagium, di mana ada masyarakat di situlah ada hukum.

Kehidupan sosial yang harmonis dapat tercapai manakala keadilan terpelihara dan dapat ditegakkan. Keadilan dalam hal ini meliputi perlindungan terhadap hak individu anggota masyarakat dan hak kolektif masyarakat,memberikan sesuatu kepada yang berhak, serta memperlakukan sama terhadap sesuatu yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang berbeda. Terdapat berbagai pemikiran dan konsep tentang keadilan.

Namun pemahaman terhadap keadilan tentu harus didasarkan pada pemahaman dan perasaan keadilan di mana masyarakat itu bermukim. Dalam konteks Indonesia, keadilan yang dianut adalah keadilan sosial, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat serta sesuai dengan konteks kesosialan masyarakat Indonesia. Keadilan merupakan tujuan hukum yang utama karena hanya dengan keadilan tatanan kehidupan masyarakat dapat terpelihara.

Norma hukum berupa perintah ataupun larangan bertujuan agar setiap individu anggota masyarakat melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, keseimbangan harmoni masyarakat akan terganggu karena tercederainya keadilan.

Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat,keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri. Sanksi terdiri atas berbagai macam bentuk yang bertujuan memberikan keadilan, tidak saja kepada korban, tetapi juga sebagai tata nilai yang merekatkan tatanan kehidupan bermasyarakat. Selain keadilan, memang diketahui adanya tujuan lain dari hukum,yaitu kepastian hukum dan kemanfaatan.

Namun keadilan adalah tujuan tertinggi.Kepastian hukum adalah bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan. Dengan kepastian hukum setiap perbuatan yang terjadi dalam kondisi yang sama akan mendapatkan sanksi. Ini adalah keadilan dalam bentuk persamaan di hadapan hukum. Adapun kemanfaatan dilekatkan pada hukum sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat, yang tentu saja tidak boleh melanggar keadilan.

*** Dengan demikian, hukum sesungguhnya dibuat dan ditegakkan untuk mewujudkan keadilan. Namun hukum dan keadilan memang tidak selalu sejalan. Hal itu terjadi karena keadilan sebagai nilai tidak mudah diwujudkan dalam norma hukum. Nilai keadilan yang abstrak dan tidak selalu bersifat rasional tidak dapat seluruhnya diwadahi dalam norma hukum yang preskriptif. Hukum dirumuskan secara umum untuk mewadahi variasi peristiwa hukum serta kemungkinan berkembang di masa yang akan datang.

Keadilan yang coba dirumuskan dalam norma hukum tentu juga terbatas pada keadilan yang dipahami dan dirasakan oleh pembentuk hukum dan juga terbatas saat norma hukum itu dibentuk. Di sisi lain,rasa keadilan masyarakat senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan kondisi masyarakat itu sendiri. Hal itulah yang dapat menimbulkan praktik hukum yang kering dari keadilan atau bahkan penerapan hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.

Oleh karena itu, sangat tepat rumusan Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan memang dapat menjadi dua substansi yang berbeda, tetapi harus dipahami dan ditegakkan sebagai satu kesatuan. Keadilan dalam hal ini bukan hanya keadilan hukum positif, tetapi juga meliputi nilai keadilan yang diyakini dan berkembang dalam masyarakat atau yang disebut sebagai keadilan substantif.

Hakim dalam memutus perkara tidak hanya menjalankan preskripsi yang terdapat dalam undangundang, melainkan mewujudkan keadilan yang hendak dicapai oleh aturan hukum itu dengan mempertimbangkan rasa keadilan yang sangat mungkin akan berbeda-beda untuk setiap kasus,waktu,dan masyarakat tertentu. Bahkan, kalaupun aturan hukum yang ada ternyata tidak sesuai dengan keadilan yang hendak diraih, hakim tentu harus lebih mengedepankan keadilan itu dan membentuk hukum baru yang lebih memenuhi rasa keadilan.

Oleh karena itu, hakim bukan corong undang-undang,sebaliknya hakim merupakan pembuat hukum (judge made law). Inilah mengapa putusan hakim diawali dengan sesanti “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip penerapan dan penegakan hukum yang dijiwai oleh spirit keadilan tersebut tentu bukan hanya menjadi domain dari hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Para penegak hukum lain tentu juga harus menerapkan hukum tanpa kehilangan ruh keadilan. Hanya dengan demikian hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai instrumen yang diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan tatanan kehidupan bermasyarakat,bukan sebaliknya mengorbankan manusia dan masyarakat yang menjadi tempat keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh keadilan yang menjadi tujuan keberadaan dan penegakan hukum itu sendiri.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/293259/



Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi

Lingkungan Hidup: Pesta Kekayaan Alam Pasti Berakhir

Oleh: Amaryoto dan M Syaifullah


Ketika pemerintah daerah berfoya-foya dengan sumber daya alam yang ada, pada saat yang sama mereka telah bunuh diri. Pemanfaatan yang seharusnya bijaksana telah dirusak kepentingan sesaat.

Perluasan kebun sawit di beberapa daerah, termasuk di Sumatera dan Kalimantan, pada satu sisi menguntungkan karena bisa meningkatkan ekspor. Namun, perluasan yang tidak terkendali telah merusak lingkungan.

Persoalan pertama yang muncul adalah adanya masalah dalam hal keanekaragaman hayati. Hingga kita belum mengetahui berbagai kekayaan dan manfaatnya, hutan telah raib berganti dengan kebun sawit yang mahaluas.

Masalah lain yang muncul dengan kelapa sawit adalah makin minimnya hutan yang berguna dalam siklus hidrologi. Air yang seharusnya tertahan di tanah karena keberadaan hutan dengan mudah mengalir ke sungai dan ke laut hingga memunculkan bencana banjir yang sangat merusak.

Perusakan hutan di Kalimantan dan Sumatera yang masih marak juga memunculkan krisis energi. Terjadi penurunan kemampuan pembangkit listrik tenaga air di sejumlah daerah akibat perusakan hutan tersebut. Aliran air yang minim pada musim kemarau sudah tak mampu lagi menggerakkan sejumlah pembangkit sehingga pasokan listrik berkurang.

Di Kalimantan, setelah hutan habis dibabat, sejumlah pejabat daerah memiliki andil besar ikut menguras habis-habisan sumber daya alam lainnya, yaitu batu bara. Sebagai contoh, Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, tanahnya habis dikaplingkapling untuk pertambangan batu bara. Dari luas Samarinda 71.823 hektar, lebih dari separuhnya, 38.814 hektar, kini berupa areal pertambangan milik 34 perusahaan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, izin-izin pertambangan di Kaltim dikeluarkan seperti barang dagangan yang diobral. Dalam pernyataan Jatam, Samarinda hanyalah salah satu contoh di mana kepala daerah seperti raja-raja kecil yang tanpa kendali memberikan izin kuasa pertambangan.

Selama enam tahun terakhir, 1.180 izin kuasa pertambangan terbit di Kaltim dengan konsesi tambang 3,1 juta hektar. Izin kuasa pertambangan itu kebanyakan tidak dilaporkan ke provinsi, tetapi dibisniskan oleh kalangan tertentu.

Masalah ini juga terjadi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Di Kalsel, dalam dua tahun terakhir ada 90 perusahaan yang minta izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan. Setelah diseleksi tim verifikasi, yang serius cuma 31 kuasa pertambangan dan yang disetujui Menteri cuma beberapa kuasa pertambangan.

Khusus untuk Kaltim, perusahaan-perusahaan tambang bermasalah semestinya segera ditertibkan. Sebab, banyak yang tidak melaporkan rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan ke Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kaltim.

Pengendalian lingkungan

Reformasi pengelolaan sumber daya alam yang sepatutnya dilakukan adalah pemerintah daerah mengutamakan pengendalian lingkungan. Pemikiran sesaat yang mengeksploitasi sumber daya alam hanya akan bermanfaat dalam jangka pendek. Pemerintah daerah memang dihadapkan pada situasi sulit karena pada saat bersamaan harus mendapatkan pemasukan.

Langkah yang relatif baik, misalnya, diambil Balikpapan, Bontang, dan Tarakan (Kaltim). Pemerintah setempat menolak penambangan batu bara di daerah mereka. Alasannya, mereka lebih mengedepankan lingkungan ketimbang mendapatkan uang dari perusakan alam itu. Kebijakan seperti ini tentunya patut diberi apresiasi.

Pengerukan batu bara di Kalimantan yang mencapai 200 juta ton per tahun sebenarnya sudah berlebihan. Namun, sebagian masyarakat Kalimantan kenyataannya masih miskin dan mengalami krisis listrik. Sebuah ironi!

Di Sumatera, meski pulau itu memiliki jutaan lahan sawit, kenyataannya kantong-kantong masyarakat miskin juga terdapat di perkebunan. Ini ironi yang lain di tengah harga minyak sawit mentah mengalami kenaikan di pasar dunia.

Menghidupkan kekayaan daerah lain berupa kebudayaan dan pariwisata bisa menyelamatkan dua kepentingan: kepentingan pemasukan pendapatan dan juga penyelamatan lingkungan. Kota Bandung bisa menjadi contoh kota yang digerakkan secara ekonomi oleh kreativitas warganya. Kota Jember yang ada di pedalaman Jawa Timur juga berhasil membangkitkan ekonomi melalui kreativitas warganya. Mereka tidak bergantung pada kekayaan alam.

Jika tak ada reformasi pengelolaan sumber daya alam, sebenarnya kita mewariskan masalah besar pada anak cucu kita. Tidak hanya krisis listrik, tetapi juga krisis air, krisis pangan, dan krisis sumber daya alam lainnya. Para pemimpin harus menyadari bahwa ”pesta pora” itu pasti akan berakhir. Mereka harus memikirkan anak cucu, bukan malah mewariskan hutan gundul, gurun pasir, konflik, kelaparan, dan berbagai krisis kepada anak cucu kita.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/28/04292621/pesta.kekayaan.alam.pa

Amaryoto dan M Syaifullah
Kompas

Analisis Ekonomi: Catatan 2009 dan Harapan 2010

Oleh: Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo


Saat ini kita sudah berada di pengujung 2009.Tahun yang semula dikhawatirkan akan sangat berat bagi perekonomian Indonesia karena imbas krisis global akan kita akhiri dengan suatu optimisme yang lebih besar.

Saat menyiapkan catatan ini, saya menengok lagi kalimat terakhir catatan akhir tahun 2008 yang saya buat tahun lalu.Kalimat itu berbunyi: “Pada akhirnya memang diperlukan suatu kepercayaan yang besar bahwa apa yang terjadi di Indonesia mungkin bisa dikatakan terlepas dari sumber krisis di Amerika Serikat. Bagi yang optimistis, siapa tahu tahuntahun krisis ini justru menjadi turning pointIndonesia untuk menjadi lebih patut diperhitungkan dalam perekonomian global.”

Apakah tahun 2009 yang akan berakhir ini sungguh membawa Indonesia sebagai negara yang patut diperhitungkan dalam perekonomian global? Indonesia sungguh beruntung karena pada tahun 2009 menjadi salah satu negara besar yang masih mengalami pertumbuhan positif bersama China dan India. Di tengah-tengah resesi global, perkembangan tersebut sertamerta menempatkan Indonesia dalam spotlightinvestor global.

Mereka berbondong-bondong melakukan investasi di Indonesia, baik dalam bentuk penanaman modal langsung maupun investasi portofolio. Pasar modal Indonesia tibatiba naik sangat tinggi sehingga banyak reksa dana ekuitas yang akhirnya boomingpada 2009 ini. Tahun 2009 juga banyak diwarnai berbagai analisis yang menempatkan Indonesia pada kedudukan sangat terhormat.Morgan Stanley, salah satu bank investasi terkemuka, menyatakan bahwa seyogianya BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) harus disisipi satu “I” lagi, yaitu Indonesia, sehingga menjadi BRIIC.

Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA) juga meluncurkan sebuah studi yang berjudul “Chindonesia” yang merupakan singkatan dari China,India,dan Indonesia. Secara resmi, keanggotaan Indonesia dalam kelompok G-20 juga menempatkan Indonesia pada kedudukan sangat terhormat. Terlebih lagi setelah statistik yang ada sungguh menunjukkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2008 ternyata berada pada posisi ke-19 dari seluruh negara di dunia, suatu kenaikan yang signifikan dari nomor 26 pada 2004 lalu.

Tahun 2009 juga diwarnai dengan pemilu yang berjalan sangat lancar dan menghasilkan pemerintahan yang menjanjikan banyak perbaikan mendasar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangi pemilu dengan suara sangat meyakinkan sehingga semestinya menghasilkan legitimasi besar dalam pemerintahan yang baru. Munculnya Boediono sebagai wakil presiden sesungguhnya diharapkan membawa warna baru dalam pimpinan kenegaraan Indonesia.

Boediono yang dikenal memiliki integritas sangat tinggi diharapkan dapat membawa banyak perbaikan dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. Sebagai kesimpulan, tahun 2009 sungguh membawa Indonesia pada kedudukan yang sangat terhormat dan patut diperhitungkan dalam perekonomian global. Lalu apa harapan kita untuk tahun 2010? Tampaknya sudah menjadi suatu konsensus bahwa tahun 2010 memiliki prospek yang lebih baik dibandingkan tahun yang akan berakhir ini.

Tanda-tanda tersebut rasanya semakin kuat pada kuartalkuartal terakhir tahun 2009 ini. Industri automotif menunjukkan gelagat kenaikan yang lebih tinggi pada 2010.Penjualan mobil dan sepeda motor di paruh kedua 2009 menunjukkan optimisme sangat tinggi. Perkembangan tersebut mengakibatkan pada 2009 yang sebelumnya diperkirakan terjadi penurunan penjualan sepeda motor sekitar 20–30% akhirnya hanya akan mengalami penurunan di bawah 10%.

Demikian juga penurunan penjualan mobil tidak separah yang diperkirakan. Pada November 2009, penjualan sepeda motor dan mobil bahkan sudah melampaui penjualan pada bulan yang sama tahun 2008 (meskipun pada bulan November 2008 memang sudah terpengaruh krisis perekonomian global). Perkembangan ini memancing para prinsipal untuk menambah kapasitas. Perusahaan Hino menambah kapasitas dari 10.000 unit menjadi 35.000 unit per tahun.

Sepeda motor Honda menambah kapasitas dari 3,1 juta unit menjadi 3,6 juta unit.Volkswagen juga berencana membangun pabrik mobil baru di Indonesia. Selain untuk pasar domestik, produk automotif Indonesia sudah banyak merambah pasar global. Indonesia akhirnya menjadi bagian dari regional production network industri automotif tersebut. Sektor properti juga tampak menunjukkan gairah baru.Bahkan, di tengah situasi yang relatif “lesu” pada 2009 yang akan berakhir ini, industri properti Indonesia masih mampu bertahan dan bahkan tetap menunjukkan perkembangan.

Pada 2010 memang sungguh diharapkan akan terjadi kebangkitan baru pasar properti tersebut. Di industri pertanian, swasembada beras yang telah terjadi pada 2008 lalu terulang pada 2009 ini. Bahkan, berdasarkan Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras Indonesia mampu menghasilkan surplus cukup besar pada 2009. Diharapkan pergeseran masa tanam pada akhir 2009 ini tidak membuat prestasi tersebut terhapus pada 2010 mendatang.

Pupuk NPK yang diyakini juga berkontribusi pada peningkatan produktivitas pertanian semakin banyak diproduksi berbagai pabrik pupuk di Indonesia, terutama PT Petrokimia Gresik.Peningkatan produktivitas tersebut juga menular pada jagung dan kedelai. Pada 2010 dan sesudahnya, produksi gula merupakan hal yang sangat kritis untuk didorong kenaikannya. Baru-baru ini Chairul Tanjung, pengusaha televisi dan bankir,mengatakan bahwa 10 tahun mendatang akan merupakan tahun keemasan bagi Indonesia.

Prediksi ini mirip dengan prediksi yang berkembang di sebuah perusahaan multinasional besar, yang mengatakan bahwa lima tahun ke depan akan merupakan explosion (boom) perekonomian Indonesia.Semoga optimisme ini tidak terganggu oleh perkembangan politik yang kadang kala memang membuat buram pada gambar besar perekonomian Indonesia.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/293262/



Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Pengamat Ekonomi

RESENSI BUKU : Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century

Bulan Desember 2009, dunia politik Indonesia kembali tersentak. Adalah George Junus Aditjondro sebagai pemicunya. Akibat buku “Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century” yang ditulisnya, George Junus Aditjondro menggegerkan konstelasi politik nasional. Pasalnya, buku yang diterbitkan Galang Press Jogjakarta dan diluncurkan pada 23 Desember 2009 ini, sengaja mengungkap borok ‘Kerajaan’ Ciekas, tempat Presiden SBY.

Buku Membongkar Gurita Cikeas setebal 183 halaman ini didahuli dengan kata pengantar yang menyatakan bahwa penulis tidak bermaksud menyerang lingkaran keluarga Cikeas. Meski demikian, ini sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap kinerja pemerintah SBY agar memberantas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) tanpa tebang pilih.

Kutipan percakapan Ong Yuliana dan Anggodo yang dikutip dalam pengantar antara lain berbunyi, "Pokoke saiki (pokoknya sekarang) SBY mendukung. SBY itu mendukung Ritonga lho". Percakapan yang merupakan sadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sebenarnya sudah diperdengarkan di dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Sementara di bagian daftar isi di antaranya berisi, "Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century, Bantuan Grup Sampoerna untuk Harian Jurnas, Pemanfaatn PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center, Yayasan-Yayasan yang Berafiliasi dengn SBY, Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas, Yayasan-Yayasan yang berafiliasi dengan Ny Ani Yudhoyono, Pelanggaran-Pelanggaran UU Pemilu oleh Caleg-Caleg Partai Demokrat. Di bagian akhir buku berupa kesimpulan dan sejumlah bahan referensi dan lampiran-lampiran.

Menurut Aditjondro, buku ini merupakan hasil riset bersama sejumlah anggota tim peneliti. Buku ini juga dilengkapi dengan berbagai data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Buku tersebut sama dengan buku-buku karangan Aditjondro sebelumnya yang membahas masalah korupsi di lingkaran kepresidenan mulai Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Presiden SBY sekarang ini.

Aditjondro dalam buku ini menuliskan bahwa setelah SBY menjadi presiden pada tahun 2004 dan terpilih kembali pada Pilpres 2009, ada banyak yayasan membonceng di Cikeas. Dua yayasan itu di antaranya Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan Kesetiakawanan Dan Kepedulian (YKDK) yang diketuai Jero Wacik. Dari dari penelusuran yayasan-yayasan itu bukan di tangan orang-orang yang punya latar belakang khusus bidang kemanusiaan, tapi terdiri sejumlah menteri, mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan seangkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha dan anggota keluarga besar SBY-Ani Yudhoyono yang terjun ke bisnis.

"Kali ini, mungkin yang tidak mengenakkan bagi ‘geng Cikeas’ dalam merespon isi buku 'Membongkar Gurita Cikeas' adalah pembeberan empat yayasan yang dikelola keluarga Presiden SBY selama ini menjadi pemobilisasi dana dan suara pada Pemilu dan Pilpres 2009. Saat jumpa pers prapeluncuran bukunya di Yogyakarta, Aditjondro menyerukan dilakukan audit keuangan atas yayasan-yayasan yang terkait keluarga Presiden SBY. Menurutnya, yayasan-yayasan itu tidak pernah diaudit dan dilaporkan kepada DPR dan media. Hal ini berpotensi melakukan memobilisasi dana dan memobilisasi suara pada Pemilu dan Pilpres 2009.

Penarikan (pelarangan) buku "Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century" dari peredaran, diprotes oleh penulisnya. Ia mengaku heran atas larangan peredaran ini. Karena dua buku karangannya mengenai korupsi di kepresidenan tidak ada larangan. Buku Membongkar Gurita Cikeas di Balik Skandal Bank Century sendiri merupakan kelanjutan dari dua buku tersebut. Ia mengaku, tanpa menulis dua buku sebelumnya, maka penulisan buku ini tidak dapat dilakukan.

Kamis, 24 Desember 2009

Birokrasi dalam Kekuasaan yang Terbelah

Oleh: Bambang Setiawan


Tahun 2009 menjadi penanda paling nyata perubahan paradigma kekuasaan dalam tata hubungan kenegaraan Indonesia. Pergeseran dominasi kekuasaan dari ”negara” ke ”warga negara” membuat kepatuhan birokrasi tak lagi bersandar pada kekuasaan vertikal, tetapi lebih horizontal. Pejabat birokrasi dan pejabat politik semakin setia dan takut kepada sorotan publik karena di sanalah kini bandul kekuasaan berada.

Memahami arah perubahan birokrasi di Indonesia saat ini, tidak bisa lain, adalah membaca ulang proses demokratisasi yang terjadi dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini. Dalam rentang ini, tahun 2009 bisa dikatakan merupakan titik kulminasi dari proses demokrasi di Indonesia. Pemilu 2009 melengkapi hampir semua prosedur demokrasi liberal ketika presiden dan DPR dipilih secara langsung. Tahun 2009 bahkan bisa dikatakan sebagai puncak dari demokrasi (ultra)liberal setelah sebelumnya semua pejabat kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Demokratisasi yang terjadi dalam kurun 1998-2009 memiliki karakter yang tampak berbeda dengan masa-masa sebelumnya, berupa terjadinya ”atomisasi” kekuasaan yang melahirkan kekuatan warga. Pembelahan kekuasaan dari sebuah rezim otoriter menjadi kekuasaan-kekuasaan kecil yang otonom sampai ke level individu warga negara.

Proses ini dimulai dengan ditumbangkannya rezim Orde Baru, yang lalu diikuti oleh perubahan kekuasaan yang cepat. Setelah Pemilu 1999, kekuasaan presiden tidak lagi dominan. Parlemen menjadi kekuatan baru yang superpower sampai bisa mencabut mandat presiden. Kekuasaan presiden yang nyaris tanpa batas waktu juga dikendalikan setelah Amandemen Pertama UUD 1945 pada 1999 menghasilkan pembatasan jabatan presiden maksimal hanya dua periode.

Pembelahan kekuasaan tidak berhenti di level atas. Pada 2001 diberlakukan otonomi daerah. Dengan ini, kekuasaan pemerintahan, yang selama ini tersentralisasi, terdistribusi ke daerah. Kepala-kepala daerah menjadi kekuatan-kekuatan politik baru, tidak lagi menjadi bagian birokrasi semata dari kepentingan pusat. Birokrasi tak lagi sepenuhnya vertikal, tetapi menjadi lebih horizontal.

Pembelahan kekuasaan dan kewenangan terus mengalami eskalasi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Di level pusat, kekuasaan parlemen untuk memilih presiden ditanggalkan dengan diadopsinya pemilihan presiden secara langsung pada Pemilu 2004. Kekuasaan kini terdistribusi langsung ke warga negara yang mempunyai hak pilih. Rakyat menjadi penentu, otonom.

Di level daerah, pemekaran terus berlangsung, penguasa-penguasa baru bermunculan, terkadang mengerat bagian wilayah yang sudah kecil menjadi serpihan-serpihan.

Kekuasaan daerah menjadi semakin kuat ketika pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dilakukan pilkada serentak di sebagian wilayah Indonesia. Demokrasi menyentuh lebih dekat, sekaligus membuat kedudukan warga negara kian penting. Paling tidak, kini suara yang dimiliki seorang warga bisa menjadi penentu bagi terpilihnya anggota DPR, anggota DPD, presiden dan wakilnya, gubernur, dan bupati/wali kota.

Euforia pembelahan kekuasaan tidak berhenti sampai di sana. Diperbolehkannya calon independen untuk bertarung dalam laga pilkada menjadi tonggak lain yang menyeruakkan kekuasaan pribadi warga negara nyaris sejajar dengan kekuatan partai. Runtuhnya kekuasaan partai oleh calon independen di Aceh menjadi pertanda kian besarnya bandul kekuasaan ke tangan publik.

Proses atomisasi kekuasaan terus berlanjut ke Pemilu 2009. Selain presiden dipilih langsung, pemilihan anggota DPR pun dilakukan dengan menggunakan sistem pemilu daftar terbuka. Partai tidak lagi sepenuhnya menentukan terpilihnya seorang kandidat karena pemenang bisa berasal dari suara terbanyak. Rakyat pun menjadi panglima, demokrasi mendekati makna demos+kratos, kekuasaan oleh rakyat dalam arti yang sangat harfiah. Rakyat, kini, adalah himpunan kekuasaan.

Paradigma kekuasaan rakyat menempatkan pejabat publik sebagai bawahan rakyat. Implikasinya yang tampak adalah pejabat publik kini lebih suka melaporkan langsung kepada publik. Rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo disiarkan langsung lewat media televisi oleh Mahkamah Konstitusi. Rapat dengar pendapat kasus Bibit-Chandra di DPR sampai pemanggilan orang-orang yang diduga terkait dengan kasus Bank Century pun tidak lagi menjadi urusan hukum semata.

Media massa menjadi sarana bagi pejabat publik untuk menjaga citra dan melaporkan kinerjanya. Transparansi, atas nama citra dan kehendak untuk menyenangkan publik, membuat kultur politik semakin identik dengan kultur popular, selera berpolitik dan kerja birokrasi digiring oleh selera massa.

Pendapat publiklah yang menentukan karena ia berkuasa. Prosedur dan birokrasi hukum berhadapan dengan kekuasaan yang berkerumun di jalan ataupun di alam maya lewat Facebook. Pemerintahan yang dijalankan oleh kerumunan atau massa (ochlocracy) tampaknya menjadi sisi lain dari demokratisasi di Indonesia saat ini.

Involusi kekuasaan?

Di balik demokratisasi yang telah dilalui, selalu ada pertanyaan yang mengganjal: apakah tahap-tahap demokratisasi di Indonesia merupakan sebuah proses wajar yang harus dilalui untuk menjadi sebuah negara dengan kekuatan politik yang besar di kemudian hari, ataukah hanya akan melahirkan sebuah demokratisasi semu, yang justru melingkar dan merumit ke dalam dirinya sendiri? Jika yang terjadi adalah yang terakhir, demokrasi tak ubahnya sebuah ”involusi kekuasaan”, pembelahan kekuasaan yang semakin merumit.

Dengan memakai model Clifford Geertz, kecenderungan ini tampaknya kini bisa dibaca pada ranah kekuasaan negara. Proses demokratisasi melahirkan kekuasaan yang lebih atomistik dan involutif hingga kepada individu warga negara.

Dalam ranah kekuasaan yang demikian atomistik, bagaimana kebijakan negara mampu diterjemahkan lewat birokrasinya? Tampaknya memang diperlukan pemimpin birokrasi yang mampu mengelola partisipasi publik secara efektif.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03032857/birokrasi.dalam.kekuas

Bambang Setiawan
Kompas

Rabu, 23 Desember 2009

Merauke, Surga Kecil yang Jatuh di Bumi

Tanah Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Itu adalah petikan syair lagu berjudul ”Aku Papua”.

Merauke adalah bagian dari surga itu. Sebuah kabupaten di bagian selatan Papua seluas 4,5 juta hektar dan berpenduduk sekitar 300.000 orang.
Pertengahan Agustus 2009 lalu, rombongan yang dipimpin pimpinan perusahaan Medco, Arifin Panigoro, datang ke tanah ini atas undangan Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze.

Di antara rombongan ada Duta Besar Amerika Serikat Cameron R. Hume, pejabat politik (political officer) Kedutaan Besar AS di Indonesia Matthew A Cencer, Direktur Bank Rakyat Indonesia Bambang Soepeno, serta wartawan senior Fikri Jufri dan Aristides Katopo.

Di kawasan Nilam Wasur, sebuah tempat jauh dari kota Merauke, Arifin Panigoro diangkat sebagai salah seorang warga marga Gebze dengan sebuah upacara sakral suku besar di tanah Merauke, Marind Anim.
Dalam pidatonya, Johanes Gebze mengatakan, kini roh Marind Anim telah merasuk dalam diri Arifin Panigoro. Pengusaha besar dari Jakarta itu diberi nama Namek Arifin Warfuk Gebze.

Anggrek wangi

Dalam pidatonya, Arifin mengatakan, upacara ini sudah pasti dengan restu alam dan Yang Maha Transenden. ”Buktinya, di tepi jalan sepanjang jalan menuju tempat itu bunga-bunga anggrek yang beraneka ragam jenisnya mekar. Mengherankan sekali, anggrek ini menebarkan aroma wangi bagaikan melati. Hanya di Merauke ada bunga anggrek wangi,” ujarnya.

Arifin juga mengatakan, upacara kekeluargaan ini tidak boleh berhenti di sini saja, tapi harus berlanjut dengan menolong membangun Merauke.

Johanes Gebze mengatakan, pembangunan di Merauke harus memerhatikan lingkungan alam keragaman hayati yang ada. Arifin juga mengakui, Papua termasuk Merauke adalah tanah yang sakral dan magis. Untuk membangun kawasan ini tidak bisa sembarangan.
Dari Johanes Gebze selaku pengusaha pemerintahan tanah Merauke, Medco yang dipimpin Arifin Panigoro mendapat konsesi mengelola tanah dan hutan seluas 350.000 hektar. Tanah yang sudah digarap sampai kini antara lain sekitar 160.000 hektar berupa penanaman padi dan berbagai macam tanaman seperti pohon minyak kayu putih (tanaman asli setempat). Proyek Medco berada di tepi Sungai Bian, sekitar 20 menit dengan pesawat dari Merauke. Di kawasan itu telah dibangun sebuah base camp yang telah ditempati oleh sekitar 500 karyawan, termasuk 100 orang dari berbagai suku asli Papua.

Setelah upacara adat, rombongan berkumpul di Bandar Udara Mopah, Merauke. Sebelum makan malam, menyanyi, dan menari, rombongan berdiskusi tentang strategi membangun Merauke.

Dubes AS Cameron R. Hume berbicara soal menjaga kelestarian alam dalam menghadapi perubahan iklim, sementara Arifin bicara soal keistimewaan tanah Merauke yang bisa dinikmati banyak orang dari luar Merauke. Di tanah ini bisa dibangun pusat wisata.

Merauke adalah sebuah wilayah tanah datar.
Di Merauke ada kanguru, ribuan rumah semut seperti pondok-pondok rumah manusia, ribuan buaya, rusa, dan pantai yang amat luas. Selain itu, juga terdapat puluhan sungai besar yang bisa dilayari dengan perahu-perahu besar.
Dalam diskusi itu, dua pejabat Conservation International (lembaga penjaga kelestarian alam internasional) untuk Indonesia, Jatna Supriatna dan Neville Kemp (orang Inggris yang pernah hidup 15 tahun di pedalaman Papua), mengingatkan, Merauke punya keunikan yang tiada tara. Menurut Kemp, pendekatan sosial dan menghormati adat setempat juga bagian dari pembangunan Merauke. ”Kesalahan pendekatan dan penghinaan terhadap adat bisa menimbulkan kerugian dahsyat,” ujarnya.

Kehadiran Dubes AS tanpa pengawalan petugas keamanan menunjukkan Merauke adalah tanah yang aman dan damai. Namun, keamanan dan kedamaian itu bisa terusik bila tidak memerhatikan peringatan Neville Kemp.

Mindiptana, sebuah kecamatan di Kabupaten Boven Digoel, tetangga Merauke yang berbatasan dengan Papua Niugini, hingga kini masih bergolak.
Berkaitan dengan kelekatan dengan NKRI ini, Mindiptana masih rentan karena keunikan setempat yang tidak dihormati sejak masa Orde Baru dulu. (J Osdar)

Senin, 21 Desember 2009

KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Kopenhagen, Denmark: Indonesia Perlu Lebih Serius

Oleh: James Luhulima


KTT Perubahan Iklim PBB 2009 di Kopenhagen, Denmark, berakhir hari Sabtu (19/12), dengan menghasilkan Kesepakatan Kopenhagen (”Copenhagen Accord”). Namun, kesepakatan yang dihasilkan lewat mediasi Presiden Amerika Serikat Barack Obama dengan China dan beberapa negara besar lainnya dicela negara-negara berkembang karena kesepakatan itu tak mengikat dan tak menetapkan batas waktu tertentu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kanselir Jerman Angela Merkel menanggapi Kesepakatan Kopenhagen dengan dingin. Ia mengatakan, ia menyambut hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB 2009 dengan ”perasaan mendua”, serta menyebut bahwa hasil itu hanyalah merupakan langkah awal menuju ke arah suatu kesepakatan baru yang masih sangat jauh.

Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mengatakan, kesepakatan itu jelas berada di bawah target Uni Eropa.

Namun, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan, ”Mari kita ingat, satu tahun yang lalu tidak ada orang yang berpikir bahwa kesepakatan seperti itu mungkin dicapai.”

Diplomasi bolak-balik Obama menghasilkan dokumen tiga halaman, yang antara lain menjanjikan bantuan darurat 30 miliar dollar AS dalam waktu tiga tahun ke depan dan menyalurkan 100 miliar dollar AS setiap tahun pada tahun 2020 kepada negara berkembang tanpa jaminan.

Kesepakatan, yang juga mencakup India, Afrika Selatan, dan Brasil, meminta negara-negara industri untuk mendaftarkan targetnya sendiri-sendiri serta negara-negara berkembang untuk mendaftarkan langkah yang akan ditempuhnya untuk menghentikan polusi pemanasan global dalam jumlah yang spesifik.

Terobosan

Obama menyebut hal itu sebagai ”terobosan yang belum pernah terjadi sebelumnya”.

”Kita telah berjalan jauh, tetapi kita masih harus berjalan lebih jauh lagi,” kata Obama. Ia menambahkan, jika negara-negara menunggu lebih dulu hingga tercapainya suatu kesepakatan yang menyeluruh dan mengikat, kita tidak akan membuat kemajuan apa pun. Dalam keadaan seperti itu, lanjutnya, yang ada hanyalah frustrasi dan sinisme, bukannya mengambil satu langkah maju, tetapi kita berakhir dengan mengambil dua langkah mundur.

Namun, para peserta KTT Perubahan Iklim PBB 2009 ternyata berpendapat lain. Dalam sebuah sidang pleno, Sabtu pagi, yang dimaksudkan untuk mencapai semacam konsensus yang dapat dinyatakan oleh Ketua KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Perdana Menteri Denmark Lars Loekke Rasmussen, sebagai kesepakatan KTT, hasilnya malahan bertolak belakang. Sekelompok negara berkembang memprotes dokumen yang mereka sebut sebagai tidak memadai dan tidak mengikat.

Padahal, kesepakatan itu juga menyebutkan, emisi karbon harus dikurangi hingga kenaikan suhu bumi tidak melampaui 2 derajat celsius. Ini lebih maju daripada semua deklarasi sebelumnya yang diterima oleh negara maju.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di hadapan delegasi dari 193 negara peserta KTT Perubahan Iklim PBB 2009, Kamis lalu, menyerukan kepada semua pihak untuk melepaskan ego masing-masing sehingga ada celah untuk mencapai kesepakatan dan kerja sama yang maksimal.

Ia menambahkan, Indonesia ingin menjadi bagian dari solusi global, khususnya dalam isu perubahan iklim, di antaranya dengan sukarela menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020, atau menjadi 41 persen jika mendapatkan bantuan asing.

Organisasi nonpemerintah, Germanwatch, dalam laporan ”Climate Change Performance Index 2009” di Kopenhagen, 14 Desember lalu, menyebutkan, Indonesia tidak termasuk dalam daftar 10 besar negara yang mengemisi gas rumah kaca terbanyak di dunia. China menempati urutan yang pertama, diikuti Amerika Serikat, Rusia, India, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris, Korea Selatan, dan Iran.

Namun, data itu belum menghitung emisi dari sektor kehutanan dan kerusakan lahan.

Indeks tersebut didasarkan pada pengukuran 12 indikator yang terbagi dalam tiga kategori besar, yakni tren emisi per sektor (energi, transportasi, rumah tangga, dan industri), level emisi (dari industri saja), dan kebijakan iklim setiap negara.

Untuk penurunan emisi sukarela sebesar 26 persen itu, Indonesia akan menurunkan 0,7 miliar ton CO dengan kebutuhan dana Rp 83,3 triliun untuk lima tahun.

Dan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, Indonesia terbuka pada kemungkinan audit pihak asing sesuai asas terukur, terlaporkan, dan terverifikasi (MRV). Pernyataan Marty itu meluruskan sikap Indonesia sebelumnya, yang menolak permintaan audit pihak asing program 26 persen itu karena sifatnya sukarela.

Deputi III Menteri Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Perlindungan Lingkungan Masnellyarti Hilman dalam jumpa pers delegasi Indonesia di Kopenhagen, Kamis lalu, mengemukakan, terdapat tujuh sektor yang masuk dalam target penurunan emisi 26 persen, yakni energi, transportasi, proses industri, pertanian, kehutanan, limbah/persampahan, dan lahan gambut. Sebelumnya, transportasi dan pertanian tidak dimasukkan dalam target penurunan emisi.

Perlu lebih serius

Jika ingin menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020, Indonesia perlu lebih serius dalam melakukan langkah konkret menuju terwujudnya hal tersebut.

Waktu 10 tahun bukanlah waktu yang lama. Sektor pertama yang perlu disorot adalah sektor energi. Pada saat ini 60 persen pembangkit listrik menggunakan bahan bakar minyak (BBM), sisanya menggunakan gas bumi dan batu bara. Ketiga bahan bakar itu melepaskan emisi gas rumah kaca. Bahkan, pemerintah akan menambah daya listrik sebesar 10.000 megawatt (MW) dengan membangun pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batu bara.

Walaupun pada tahun 2025 ditargetkan jumlah BBM akan dikurangi menjadi 20 persen, sementara gas bumi dan batu bara akan ditingkatkan masing-masing menjadi 30 persen dan 33 persen, tetapi se-mua bahan bakar tersebut memiliki emisi gas rumah kaca yang tinggi.

Itu baru sektor energi. Sektor transportasi pun sama buruknya. Pada saat ini, BBM yang digunakan masih di bawah persyaratan Euro 2, khususnya solar (diesel). Euro 2 mempersyaratkan solar dengan kandungan sulfur 500 PPM (parts per million), tetapi solar yang tersedia di pasar memiliki kandungan sulfur 3.500 PPM dan 5.000 PPM. Khusus solar yang memiliki kandungan sulfur 3.500 PPM digunakan untuk transportasi dan yang 5.000 PPM untuk industri.

Pertamina sesungguhnya menyediakan solar dengan kandungan sulfur 385 PPM, yang diberi nama Pertamina Dex, tetapi harganya jauh di atas harga solar biasa.

Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin mendorong penurunan emisi di sektor transportasi, selain menyediakan bahan bakar ramah lingkungan, pemerintah pun harus memberi insentif pada mobil ramah lingkungan.

Saat ini, pemerintah terkesan kurang serius mendukung pengembangan biofuel. Ajakan untuk menanam singkong sebagai salah satu bahan baku etanol dan menanam jarak pagar sebagai salah satu bahan baku bio- solar tidak diimbangi dengan pembangunan pabrik untuk memprosesnya. Akibatnya, singkong dan jarak pagar terbengkalai begitu saja.

Pemberian insentif, berupa pengurangan pajak, pada mobil ramah lingkungan, seperti antara lain mobil hibrida, akan membuat harga mobil ramah lingkungan semakin murah. Dan, dengan semakin murah harga jualnya, populasinya pun tentunya semakin banyak.

Dalam sektor kehutanan dan lahan gambut, pemerintah sudah menegaskan kesiapannya, antara lain dengan penanaman pohon dan pencegahan penggundulan hutan. Dari sektor lahan gambut, selain penegakan hukum bagi pembakar lahan, pemerintah akan mendekati warga sekitar lahan gambut—ada di 250 kampung—untuk diberikan pelatihan dan peralatan untuk meninggalkan praktik pembakaran lahan. Perlu ditunggu apakah kesiapan pemerintah itu akan terlaksana di lapangan seperti yang diharapkan…

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/21/04095080/indonesia.perlu.lebih.

James Luhulima
Kompas

LOWONGAN ASISTEN KEPALA (KODE : ASK)

PT. Fajar Baizury & Brothers

PT. Fajar Baizury & Brothers, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, mencari professional yang ahli dan berpengalaman di bidangnya, memiliki integritas yang kuat serta mempunyai motivasi yang tinggi dalam berprestasi untuk menempati beberapa posisi:
ASISTEN KEPALA (KODE : ASK)
(PENEMPATAN : NAGAN RAYA, ACEH)
TANGGUNG JAWAB UTAMA:

Membantu Administratur Kebun dalam mengawasi kegiatan tanaman baik dalam pemakaian material hingga pencapaian target produksi.
Persyaratan:
  • Pria
  • Usia maksimal 35 tahun
  • Minimal D3/S1 Agronomi
  • Pengalaman minimal 4 tahun di posisi yang sama
  • Telah dan atau sedang melakukan pekerjaan pembukaan lahan serta penanaman kelapa sawit dengan luas kebun > 750 Ha per tahun atau secara komulatif mencapai 1.500 Ha
  • Memahami manajemen operasional perkebunan dan sumber daya manusia
  • Dapat bekerja dalam tim dan merupakan personel yang berkarakter lapangan
  • Pernah mengelola area bibitan dapat dijadikan sebagai nilai tambah

KETENTUAN MENGAJUKAN LAMARAN:

Bagi Anda yang memenuhi persyaratan di atas silahkan isi form lamaran kerja yang dapat diunduh di:

http: //www.fbg.co.id

Kirimkan form yang telah terisi lengkap disertai dengan pas foto terbaru ke alamat e-mail berikut ini:

recruitment@fbg.co.id

Email diterima paling lambat 5 Januari 2010.
Cantumkan Kode Posisi yang dituju pada Subject e-mail.

Hanya peserta yang memenuhi persyaratan yang akan kami proses.

LOWONGAN SUPERVISOR AGRONOMI (KODE: SAG)

PT. Fajar Baizury & Brothers

PT. Fajar Baizury & Brothers, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, mencari professional yang ahli dan berpengalaman di bidangnya, memiliki integritas yang kuat serta mempunyai motivasi yang tinggi dalam berprestasi untuk menempati beberapa posisi:


SUPERVISOR AGRONOMI (KODE: SAG)
(PENEMPATAN : JAKARTA)
TANGGUNG JAWAB UTAMA:

Membantu Manajer Tanaman dalam mengawasi kegiatan tanaman baik dalam pemakaian material hingga pencapaian target produksi.
Persyaratan:
  • Pria
  • Usia maksimal 35 tahun
  • Minimal D3/S1 Agronomi
  • Memiliki pengalaman minimal 3 tahun di posisi yang sama
  • Memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai agronomi, audit agronomi, maupun aspek kontrol lainnya
  • Mandiri dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
  • Bersedia melakukan perjalanan dinas ke Aceh apabila diperlukan

KETENTUAN MENGAJUKAN LAMARAN:

Bagi Anda yang memenuhi persyaratan di atas silahkan isi form lamaran kerja yang dapat diunduh di:

http: //www.fbg.co.id

Kirimkan form yang telah terisi lengkap disertai dengan pas foto terbaru ke alamat e-mail berikut ini:

recruitment@fbg.co.id
Email diterima paling lambat 5 Januari 2010.
Cantumkan Kode Posisi yang dituju pada Subject e-mail.

Hanya peserta yang memenuhi persyaratan yang akan kami proses

Tiga Pintu Kasus Bank Century

Oleh: Indra J. Piliang



Panitia Khusus Hak Angket (Panket) Bank Century (BC) sudah bekerja. Terdapat perdebatan semantik menyangkut nama Panket. Supaya tidak menjadi polemik, penyebutan Panket BC saja lebih ideal dan netral. Panket BC sedang melakukan penyelidikan berkaitan dengan indikasi pelanggaran sejumlah peraturan perundang-undangan yang dilakukan pihak yang berwenang dalam mengucurkan dana talangan kepada BC. Perbedaan-perbedaan pendapat tentu terjadi dalam penyelidikan ini. Di tengah belantara perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi proses bailout BC, terdapat juga banyak tafsiran mengenai sejauh mana pihak-pihak yang terlibat akan mendapatkan sanksi hukum.

Untuk makin memperjelas masalah ini, terdapat tiga pintu penyelesaian kasus BC ini. Pertama, penyelesaian secara politik lewat Panket BC. Sebagaimana panket kasus-kasus lain, rekomendasi-rekomendasi yang diberikan lebih berkaitan dengan upaya memperjelas persoalan ketimbang menyatakan pihak yang satu bersalah, sementara pihak yang lain tidak bersalah. Penyelidikan secara politik tidak sama dengan penyelidikan secara hukum. Jadi agak membingungkan sikap sebagian orang yang menjadikan Panket BC sebagai pihak yang menentukan jatuh-bangunnya seseorang. Panket BC bukanlah medium yang bisa mengarahkan pihak-pihak yang dipanggil sebagai tersangka atau terdakwa atau narapidana dalam kasus pidana atau perdata. Dalam konteks trias politika, wilayah itu berada di dalam lembaga eksekutif (polisi dan jaksa) dan yudikatif (hakim). Sebagai lembaga legislatif, Panket BC hanya mengawasi dugaan pelanggaran sejumlah undang-undang menyangkut kasus BC.

Kedua, berkaitan dengan indikasi terjadinya korupsi atau tindak pidana pencucian uang yang dilakukan, pihak yang lebih berwenang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Negara RI, dan Kejaksaan Agung RI. Ketiga institusi ini sudah melakukan koordinasi dan gelar perkara. Merekalah yang nanti bisa menggelandang seseorang ke muka pengadilan. Pihak DPR RI sama sekali tidak terkait dengan proses hukum ini. Kalaupun terlibat, DPR RI--khususnya Komisi III--menjalankan fungsi pengawasan. Setiap kali melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, maka KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung pasti ditanyai, apalagi kalau sampai Panket BC mengeluarkan rekomendasi untuk diadakan pengusutan lebih lanjut menyangkut pelanggaran tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lain-lain. Pintu ini tidak bisa dimasuki oleh DPR RI, mengingat DPR RI bukanlah penyidik resmi.

Ketiga, pintu penyelesaian yuridis menyangkut tuduhan yang bermuara pada presiden dan/atau wakil presiden adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK-lah yang nanti memutuskan apakah seorang presiden dan atau wakil presiden telah melanggar ketentuan dalam UUD 1945, yang bisa berujung pada pemberhentian. Proses inilah yang disebut sebagai impeachment atau pemakzulan. Permintaan datang dari DPR RI dengan syarat-syarat yang ketat. Sudah saatnya MK melakukan sejenis simulasi persidangan menyangkut proses impeachment ini, sebagai bagian dari proses pendidikan kewarganegaraan, sehingga setiap individu masyarakat Indonesia bisa mengetahui secara jernih dan jelas. Spekulasi akan tetap terjadi apabila MK tidak melakukan simulasi seperti ini. Spekulasi itu justru berdampak pada sinisme dan polemik tajam di masyarakat.

Tapi tunggu dulu, pintu ketiga hanya bisa diketuk apabila memang masalah BC melibatkan presiden dan/atau wakil presiden terpilih. Persoalannya, sampai sejauh mana keterlibatan itu dan apakah keterlibatan itu memicu pemberlakuan pasal-pasal yang terkait dengan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden? Masalah inilah yang akan diperiksa oleh MK lewat persidangan maraton. Selama proses persidangan, Presiden dan/atau wakil presiden tetap bisa menjalankan tugas-tugasnya. Sekalipun tidak ada dasar hukum penonaktifan presiden dan/atau wakil presiden, sebaiknya memang dipikirkan lagi di masa-masa datang untuk membuka peluang ini di dalam UUD 1945.

Zona aman
Dengan perspektif itu, Panket BC masih masuk zona aman dalam kaitannya dengan jatuhnya seseorang dari jabatannya. Kecuali orang tersebut mengundurkan diri dari jabatannya, Panket BC tidak sampai bisa memberikan vonis. Kepanikan yang melanda pihak-pihak yang terkait dengan masalah BC ini terlihat berlebihan, termasuk dalam membangun opini seolah-olah masalah pribadi menjadi dasar dari pembentukan Panket BC. Serangan yang dilakukan terhadap Panket BC hanya akan memunculkan reaksi balik yang kurang proporsional.

Publik adalah pihak yang paling berhak mengetahui masalah yang terkait dengan BC ini. Bukan hanya dana publik yang digunakan, melainkan juga pihak-pihak yang terlibat juga menjadi pejabat publik, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Perdebatan yang muncul belakangan ini membawa aspek pembelajaran bidang politik, ekonomi, dan hukum yang luar biasa. Publik bahkan harus membuka banyak sekali kamus untuk bisa memahami istilah-istilah teknis yang digunakan. Taruhlah kesimpulan akhir dari Panket BC berujung kepada kalimat: "Kasus ini ditutup tanpa kesimpulan", tetap saja selama proses perjalanan Panket ini publik mendapatkan informasi yang berlimpah. Aspek preventif tentu akan terpenuhi, yakni tidak akan ada lagi kasus-kasus seperti ini di masa yang akan datang.

Sejumlah pihak mencoba membangun opini seolah-olah ada yang menjadi pahlawan dan pecundang dalam kasus BC ini. Opini itu tidak mendidik apabila berbentuk dukungan atau penolakan tanpa bangunan argumentasi yang cukup. Warga negara Indonesia masih memerlukan banyak perdebatan untuk memperkuat sendi-sendi demokrasi ketimbang terjebak pada soal like or dislike yang berdasarkan ikatan primordial, seperti profesi, almamater, atau partai politik. Sudah bukan zamannya lagi menjadikan seseorang sebagai idola, ketika orang tersebut sedang menyandang jabatan publik. Bisa-bisa idolaisasi semacam itu menjerumuskan, sehingga mengurangi kehati-hatian dalam mengambil kebijakan.

Rakyat tentu menjadi pintu terakhir tempat segala kebaikan dan keburukan mendapatkan hukuman. Dalam alur demokrasi prosedural, penilaian rakyat diberikan dalam pemilihan umum. Dalam kaitannya dengan BC, suara-suara rakyat itu dilakukan oleh kelompok-kelompok kritis. Rakyat secara keseluruhan tetap saja menghadapi persoalan-persoalan hariannya. Ketika bertandang ke daerah-daerah bencana, seperti Sumatera Barat atau Aceh, masalah yang terkait dengan BC hanyalah bagian dari pembicaraan sambil minum kopi. Jadi agak ironis apabila rakyat ditakut-takuti betapa Indonesia akan tenggelam ke kubangan krisis apabila seseorang dinyatakan bersalah menurut hukum. Hukum tetaplah hukum, dewi keadilan tidak pernah bisa membuka selubung penutup matanya....

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/12/21/Opini/krn.20091221.18

Indra J. Piliang
DEWAN PENASIHAT THE INDONESIAN INSTITUTE

Pansus Century :'Kudeta Merangkak' dari Senayan?

Oleh: Asvi Warman Adam



Setelah melewati proses lobi yang alot, Panitia khusus (Pansus) Angket Kasus Bank Century mengimbau Wakil Presiden dan Menteri Keuangan berstatus nonaktif. Ada tiga alasan Pansus mengeluarkan imbauan agar mereka yang menjadi saksi atau terperiksa dalam kasus tersebut diberhentikan sementara.

"Pertama, optimalisasi tugas-tugas Panitia Angket dalam melaksanakan penyelidikan dan pengumpulan data," ujar anggota Pansus dari Partai Persatuan Pembangunan, M. Romahurmuziy, secara tertulis kepada Vivanews, Kamis malam, 17 Desember 2009. Kedua, menjunjung tinggi moralitas, keteladanan, dan akuntabilitas penyelenggara negara. Ketiga, menyikapi suasana batin rasa keadilan masyarakat.

Ketiga alasan itu dapat diperdebatkan. Pansus dapat melakukan tugasnya secara optimal karena para pejabat terkait sudah menyatakan akan memenuhi undangan mereka. Tentunya Wakil Presiden dan Menteri Keuangan tidak akan dipanggil setiap hari selama dua bulan menemui Pansus Angket. Alasan kedua, tentu akan diterima siapa saja, namun tidak ada hubungannya dengan penonaktifan seorang pejabat. Alasan ketiga, suasana batin rasa keadilan masyarakat jelas berbeda dengan kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Dalam kasus Bibit-Chandra, masyarakat menilai ada indikasi perkara mereka hanya untuk memberhentikan keduanya sebagai Wakil Ketua KPK, meskipun di pengadilan nanti apa yang dituduhkan tidak terbukti. Untunglah, Mahkamah Konstitusi kemudian menganulir pasal tersebut dalam Undang-Undang KPK. Dalam kasus Century, reaksi masyarakat itu tidaklah seperti kasus Bibit-Chandra, yang mengundang simpati mencapai sejuta facebooker.

Yang menarik adalah pernyataan pengamat ekonomi yang juga mantan anggota DPR dari Golkar, Ichsanuddin Noorsy, yang dalam wawancara di TVOne pada Jumat malam, 18 Desember 2009, beberapa kali menyebut Pasal 8 Ayat 2 UUD 1945 yang sudah diamendemen. Pasal itu berbunyi "Dalam hal terjadi kekosongan wakil presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh presiden". Pansus ini bertugas selama 60 hari. Jika Wakil Presiden dinyatakan atau menyatakan diri nonaktif selama masa kerja Pansus (misalnya setiap hari dipanggil oleh Pansus), dapat ditafsirkan selama itu telah terjadi "kekosongan" jabatan wakil presiden.

Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono terpilih dengan mendapat dukungan suara lebih dari 60 persen pemilih. Pilihan itu terdiri atas satu paket pasangan. Bila seorang dari pasangan itu diberhentikan atau diganti, ini tentu akan mengacaukan program yang sudah mereka janjikan semenjak kampanye.

Pansus juga akan menyelidiki aliran dana Bank Century, apakah ada yang mengalir ke Partai Demokrat atau tim sukses SBY-Boediono. Bila terbukti ada korupsi atau penyuapan dalam rangka pemilihan presiden dan wakil presiden, pasangan ini terkena Pasal 7-A UUD 1945 yang sudah diamandemen, yang berbunyi "Presiden dan wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden".

Seandainya Presiden dan Wakil Presiden diberhentikan bersama-sama, siapa penggantinya? Pasal 8 UUD 1945 yang diamendemen menyebutkan "Pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya". Dalam pemilihan presiden 2009, pasangan SBY-Boediono meraih suara terbanyak pertama dan pasangan Megawati-Prabowo meraih suara terbanyak kedua.

"Kudeta merangkak" (creeping coup d'etat) sesungguhnya merupakan uraian yang bersifat post-factum, maksudnya baru bisa dianalisis setelah peristiwa terjadi. Dengan melihat proses pengambilalihan kekuasaan sejak 1 Oktober 1965, 11 Maret 1966, sampai Soeharto menjadi presiden penuh pada 1968, ada pengamat yang menilai telah terjadi kudeta secara bertahap. Jadi suatu (rangkaian) peristiwa dapat disebut kudeta merangkak bila telah terjadi penggulingan kekuasaan tanpa pemilu.

Apa yang dilakukan oleh Pansus Century hingga saat ini jelas belum bisa disebut kudeta merangkak, karena pengambilalihan kekuasaan tidak atau belum terlaksana. Apa pun bisa terjadi pada hari-hari mendatang, namun kita tentu berharap, pergantian kekuasaan yang tidak normal seperti pada masa Soekarno dan Soeharto tidak terulang kembali. Kita berharap pergantian presiden dan wakil presiden senantiasa melalui suatu pemilihan umum yang damai dalam tempo sekali dalam lima tahun.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/12/21/Opini/krn.20091221.18

Asvi Warman Adam
SEJARAWAN LIPI

2009, Tahun Buruk bagi Buruh Migran

Oleh: Maria Hartiningsih



Munti binti Bani (45) akhirnya mengisi lembar kelam sejarah buruh migran Indonesia. Ibu lima anak asal Desa Pondok Jeruk Barat, Ringin Agung, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember, Jawa Timur, itu dihajar dan disekap di kamar mandi oleh majikannya di Malaysia, sampai menjemput ajal, pada akhir September 2009.

Data Migrant Care sepanjang tahun 2009, seperti dipaparkan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, memperlihatkan, 1.018 buruh migran Indonesia tewas di negara tujuan kerja.

Dari jumlah itu, 67 persen atau 683 kasus—dengan tabel nama, tempat kejadian, dan sebab kematian—terjadi di Malaysia. Sebagian besar korban (lebih dari 70 persen) adalah perempuan. Selain itu, terdapat 908 buruh migran yang bermasalah dengan majikan dan berlindung di penampungan Kedutaan Besar Republik Indonesia.



Mereka adalah korban pelanggaran hak asasi manusia, yang oleh para pembela hak-hak buruh migran dimasukkan dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kategori itu merupakan satu dari tiga masalah pelanggaran hak asasi manusia paling serius—dua lainnya yaitu kejahatan perang dan genosida—meskipun kriterianya masih diperdebatkan.

”Kalau kriterianya mencakup sistematis, berulang dengan modus sama sejak tahun 1980-an, dan tidak ada perubahan kebijakan untuk mengantisipasi persoalan, maka apa yang terjadi sudah mendekati definisi kejahatan terhadap kemanusiaan,” ungkap Tati Krisnawaty, Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan 1998-2006.

Melaju

Apa pun kriterianya, yang jelas, korban terus berjatuhan dan pelanggaran melaju. Laporan Human Rights Watch tahun 2009, A Bad Year for Migrants, mengungkap berbagai pelanggaran yang terus terjadi terhadap buruh migran.

Tema ”Migration” dalam Laporan Pembangunan Manusia Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan (HDR) tahun 2009 mengungkap pergerakan barang dan jasa dalam globalisasi ekonomi tidak berjalan seiring dengan perlindungan hak-hak kaum migran.

”Situasinya memang memprihatinkan,” ujar Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, Sabtu (19/12).

Di Indonesia, menurut Muhaimin, pelanggaran yang terus terjadi merupakan sisa persoalan lama yang disebabkan tiga hal, yakni belum tercapainya komitmen dua negara (dalam hal ini, Indonesia dan Malaysia) dan lemahnya pengawasan.

”Satu lagi yang sangat serius adalah proses pemberangkatan, mencakup sistem rekrutmen, pelatihan, dan penempatan di dalam negeri yang kacau-balau, termasuk proses ilegal,” lanjut Muhaimin, seperti memberi konfirmasi pernyataan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Da’i Bachtiar, dalam pertemuan di Jakarta dengan para pemangku kepentingan masalah buruh migran beberapa waktu lalu.

Muhaimin menambahkan, perbaikan Nota Kesepahaman (MoU) soal TKI pada tahun 2006 antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan segera ditandatangani. Ada kemajuan signifikan menyangkut hak TKI, antara lain paspor boleh dipegang TKI dan libur kerja sehari dalam seminggu.

Ratifikasi

Komitmen serius juga terus dilakukan dengan negara tujuan kerja lainnya. ”Kalau mekanisme persiapan keberangkatan dan penempatannya belum baik, pengiriman TKI kita hentikan dulu,” tegas Muhaimin. ”Misalnya, sekarang dengan Kuwait. Kalau yang ke Arab Saudi belum ada perbaikan, juga akan kami hentikan sementara.”

Amandemen UU No 39/2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri yang melihat buruh lebih sebagai komoditas dan Rancangan Undang-Undang mengenai Pekerja Rumah Tangga akhirnya masuk pembahasan tahun 2010 Program Legislasi Nasional 2009-2014. Namun, Ratifikasi Konvensi Perlindungan Migran dan Keluarganya tidak termasuk di dalamnya.

”Padahal, ketiganya tak bisa dipisah-pisahkan dalam upaya perlindungan TKI,” tegas Anis.

Menurut Muhaimin, ratifikasi sebenarnya sedang dalam tahap persiapan dan koordinasi untuk mendapat kesamaan pandangan. Ada dua pendapat yang berkembang. Yang satu menyatakan, ratifikasi konvensi merupakan pintu masuk untuk mendapat posisi tawar lebih baik.

Pendapat lain menyatakan, ratifikasi tidak serta-merta memberi manfaat kalau negara penerima, seperti Malaysia dan Arab Saudi, belum meratifikasi. ”Yang paling penting sekarang adalah penguatan perjanjian bilateral dengan negara penerima,” ujar Muhaimin.

Menurut pengamat masalah buruh migran, Wahyu Susilo, sebenarnya semua terpulang pada kemauan politik pemerintah. ”Pemerintah India, Filipina, dan Sri Lanka, misalnya, menetapkan standar upah minimum sejak proses awal pembuatan MoU dengan negara penerima,” ujar Wahyu. ”Sedangkan Pemerintah Indonesia lebih mengedepankan negosiasi dalam proses itu. Ini memperlihatkan lemahnya posisi tawar kita.”

Sejak tahun 2005, menurut Wahyu Susilo, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono banyak ditopang remiten buruh migran, tanpa mengurus dengan baik perlindungan hak-hak mereka. Data Bank Dunia memperlihatkan, tahun 2005, remiten dari buruh migran melonjak menjadi 5,3 miliar dollar AS dari 1,8 miliar dollar AS pada akhir pemerintahan Megawati.

Saat ini jumlah buruh migran mencapai 6 juta, termasuk yang tak berdokumen. ”Akhir tahun 2008, devisa dari buruh migran mencapai 8,6 miliar dollar AS, hampir dua kali sumbangan Bantuan Pembangunan Asing (FDA),” sambung Wahyu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/21/04080356/.2009.tahun.buruk.bagi

Maria Hartiningsih
Kompas

Kamis, 17 Desember 2009

Century Gate: Antara gagal sistemik & rampok sistematis

Oleh: Abraham Runga Mali



Publik diminta untuk memahami kebenaran kata-kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi yang sering diulang pada sejumlah kesempatan, 'karena sistemik, bank setan pun harus diselamatkan.'
Benar, saat itu, 31 Oktober 2008, kondisi Bank Century sangat buruk yang ditandai rasio kewajiban modal minimum negatif 3,53%. Karena itu, dibutuhkan suntikan modal Rp632 miliar. Kondisi kemudian terus memburuk, kucuran dana pun bertambah, bahkan akhirnya membengkak hingga Rp6.7 triliun.

"Beberapa perhitungan yang kami lakukan menunjukkan sampai 3 bulan mendatang diperkirakan membutuhkan dana mencapai Rp 4,3 triliun. Oleh karena itu, dengan berbagai data serta pertimbangan ke depan BI menetapkan Bank Century sebagai bank gagal," jelas Halim Alamsyah,

Halim adalah Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan BI yang pada rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) 20-21 November 2008 mewakili BI mendeskripsikan status Bank Century paling mutakhir.

Dia lebih lanjut mengatakan bahwa dampak terbesar dari penutupan Bank Century adalah ketidakpastian akibat masih rentannya psikologi pasar atau masyarakat-yang saat itu sedang dilanda krisis-yang selanjut bisa memacu ketidakpastian serta gangguan yang cukup serius di pasar keuangan serta sistem pembayaran.

Apalagi, berdasarkan analisis BI, terdapat 18 bank yang borpotensi mengalami kesulitan likuiditas, serta terdapat lima bank yang memiliki karakteristik mirip Bank Century. "Sebagai kesimpulan kami melihat penutupan Bank Century berpotensi untuk menimbulkan dampak sistemik," dalam notulen rapat yang salinan lengkapnya diperoleh Bisnis.

Dikhawatirkan, demikian Halim, penutupan Bank Century akan terjadi rush atau penarikan dana besar-besaran pada bank-bank yang serupa (peer bank) dan bank-bank yang lebih kecil sehingga mengganggu kelancaran pembayaran.

Perdebatan

Tidak semua pihak dengan mudah menerima penjelasan bank sentral tersebut. Rizal Ramli, Hendri Saparini, Kwik Kian Gie, Drajad Wibowo dan Ichasanudin Noorsy adalah beberapa dari ekonom yang tidak sepakat dengan penjelasan bank sentral itu.

Pasalnya, demikian Noorsy, keuangan Bank Century dibandingkan dengan industri perbankan sangat kecil. Secara berturut-turut, kredit 0,42%, dana pihak ketiga 0,68% aset 0,72%. Ini membuat kita tidak cukup kuat meyakini bahwa penutupan ini berpotensi membawa risiko sistemik.

Dana talangan negara-negara 2008 (US$ miliar)
Amerika Serikat 700
Inggris 691
Jerman 679
Irlandia 549
Perancis 494
Norwegia 57,4
Italia, Spanyol, Portugal 27,45
Indonesia 0,71
Jepang 0
Sumber: Data diolah

Bahkan, Hendri Saparini mengatakan bahwa kasus Bank Century adalah murni karena salah urus, dan karena itu harus diamputasi, bukan malah diberikan talangan pendanaan.

Bukan hanya ekonom, melainkan juga lembaga sekelas BPK dalam auditnya mengatakan keputusan sistemik tidak memiliki kalkulasi yang jelas. Dengan kata lain, lebih berdasarkan kecemasan yang berlebihan bahwa potensi berdampak sistemik menjadi kenyataan.

Namun, di pihak lain tidak sedikit ekonom dan pelaku pasar yang membela bailout Century. "Bila perlu Bu Menkeu harus diberi gelar pahlawan," ujar Budi Ruseno, analis pasar modal suatu ketika. Ketua IBI (Ikatan Bankir Indonesia) Agus Martowardojo juga membenarkannya.

Ekonom yang membela bailout Century sebagai bank gagal sistemik pun tidak sedikit. Orang-orang seperti Faisal Basri, Fausil Ichsan, Ekonom BNI A Tony Prasentyano, Christianto Wibisono adalah beberapa contoh.

Bagi mereka, bailout Century adalah keputusan yang tepat dan telah membebaskan sistem keuangan negara dari bahaya kepanikan dan kebangkrutan.

Seperti diungkapkan ekonom BNI A Tony Prasentyano dalam sebuah seminar, kalau saja Bank Century ditutup, biaya langsung yang harus ditanggung mencapai sekitar` Rp6 triliun. Namun, tidak berhenti di situ, katanya.

Karena tidak ada blanket guarantee, berarti deposito di atas Rp2 miliar tidak mendapatkan jaminan, penutupan Century, demikian Tony, membuat nasabah-nasabah di bank yang setara (peer banks) amat mungkin menarik dana karena panik.

Artinya 23 bank lain yang selevel berpotensi kolaps dan atas alasan itu keputusan menyelamatkan Century tidak bisa tidak harus dilakukan.

Tony lalu sampai pada kesimpulan: dengan Rp6,7 triliun, dana masyarakat di seluruh bank di Indonesia sebesar Rp1.800 triliun dicegah dari kepanikan dan kebangkrutan.

Berdebat tentang kemungkinan pada masa lalu tak pernah ada habisnya. Karena kapanikan dan kebangkrutan yang diakibatkan oleh penutupan Bank Century-sedahsyat apa pun-hanyalah kemungkinan pada masa lalu.

Pihak lawan bisa balik bertanya, bagaimana kalau saat itu Bank Century ditutup, tetapi dikomunikasikan dengan benar kepada publik bahwa bank tersebut bobrok, dirampok pemiliknya, bukan dampak krisis. Selain itu deposito di atas Rp2 miliar yang tidak dijamin juga dicari solusinya.

Apakah dengan penjelasan dan aksi seperti itu, masyarakat akan tetap panik dan 23 bank lain juga akan ambruk? Kalau jawabannya ambruk pun, itu pun juga adalah kemungkinan pada masa lalu.

Lalu, apakah dana sebesar Rp1800 triliun yang tercegah dari kepanikan dan kebangkrutan hanya karena penyelamatan Century sehingga seolah-olah menjadikannya sebab tunggal dan pembenaran bagi tindakan penyelamatan atas Bank Century?

Sekali lagi, tentang kemungkinan pada masa lalu, kita hanya berandai-andai. Bisa salah dan bisa benar. Bernafsu untuk memastikan benar atau salah hanyalah sebuah kenaifan.

Keraguan sejak awal

Sebagai catatan, Sri Mulyani dan kawan-kawan yang hadir dalam rapat KSSK tanggal 20 dan 21 pun masuk dalam ruang keraguan dan ketidakpastian yang sama. Terutama ketika para peserta rapat dipasok informasi yang tidak lengkap untuk sebuah keputusan yang sangat penting.

Perhatikan, bahwa orang-orang sekelas Darmin Nasution, Fuad Rahmany, Anggito Abimanyu tidak serta-merta menerima penjelasan bank sentral bahwa Bank Century adalah bank gagal yang sistemik. Petikan notulen rapat KSSK baik 20-21 November maupun 24 November yang salinan lengkapnya diperoleh Bisnis berikut ini bisa menjelaskan.

"Kalau kita mendengarkan argumentasi yang disampaikan jauh lebih banyak aspek psikologis, yang sayang sekali tidak bisa diukur sebelum terjadi.........Jadi, kalau saya Pak Gubernur, belum teryakinkan bahwa bank ini sistemik, " demikian Darmin.

Coba camkan juga pendapat dari Anggito berikut. "Namun, yang kedua mengenai apakah dampak sistemiknya bisa diukur tersebut saya sepakat dengan dengan Pak Darmin bahwa analisis mengenai dampak sistemiknya itu lebih dilandasi oleh kondisi psikologis dan itu tidak bisa diukur. Jadi memang belum cukup keyakinan kita untuk mengambil kesimpulan kita bahwa ini adalah kondisi sistemik."

Tak kurang tajamnya adalah Fuad Rahmany. Dia meragukan kegagalan Bank Century karena dari sisi angka-angkanya tidak terlalu besar. Begitu pun dari sisi pasar modal, bank ini tidak sistemik karena tidak aktif diperdagangkan.

"Sehingga ada sisi positifnya juga kalau tidak diselamatkan karena kita justru bisa yakin dengan menyatakan ini kepada publik bahwa bank ini kecil dan tidak sistemik......daripada bank kecil kita katakan sistemik, mereka akan katakan bagaimana dengan bank lain yang sedikit lebih besar, berbahaya juga mungkin ini nanti. Mungkin begini saja jadi saya melihat ini dari sisi lain bukan berarti saya menentang mau diselamatkan atau tidak."

Apa pun perdebatannya, KSSK sudah memutuskan bahwa bank itu harus diselamatkan. Dengan kata lain, KSSK menerima bahwa Bank Century itu adalah bank gagal yang sistemik. Walaupun kemudian dalam rapat tanggal 24 November 2008, Sri Mulyani naik pitam melihat perubahan data-data yang begitu cepat dibandingkan dengan posisi 21 November.

Misalnya, kebutuhan dananya melonjak dari Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun, dan posisi CAR yang pada Jumat (21 November 2008) masih negatif 3,53% lalu berubah dengan cepat menjadi negatif 35% pada Senin (24 November).

"Tadi juga teman-teman BI juga mengatakan judgment pada saat hari Jumat lalu ya masih minus 3, judgement 48 jam kemudian bisa menjadi -35. Persoalan ini bukan masalah ada informasi baru, tetapi ternyata adalah posisi judgment yang diberikan pada Jumat dan senin berbeda," demikian Sri Mulyani pada rapat KSSK 24 November.

Kalau dalam tubuh KSSK sendiri, setelah ada keputusan 'sistemik' saja masih terlihat ricuh dan ragu atas kebijakan yang diambil, apalagi para pengkritik yang berada setahun kemudian.

Namun, persoalan bailout Century lebih dari sekadar sistemik atau tidak sistemik. Sangkaan-sangkaan BPK dalam auditnya seperti soal pengawasan, dasar hukum serta dugaan-dugaan rekayasa persyaratan Bank Century adalah juga persoalan serius yang harus dibuktikan kebenarannya.

Belum lagi terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana dari Bank Century untuk mendanai partai politik tertentu dan kampanye presidennya. Kalau ini terjadi dan keputusan bailout adalah langkah kecil dari skenario itu-disadari atau tidak oleh KSSK-, ini benar-benar sebuah rekayasa yang sangat sistematis.

Spekulasi ini mengingatkan kita pada 'perampokan' atas Bank Bali untuk mendanai pemilu tahun 1999, tetapi dengan korban yang berjatuhan, yaitu bui antara lain bua Rudi Ramli (pemilik Bank Bali), Syahril Aabirin (Gubernur BI) dan Joko Tjandra, Dirut PT Era Giat Prima yang menagih cessie bank itu.

Di suatu kesempatan, Wapres Jusuf Kalla (waktu itu) pada suatu kesempatan juga menyebut kasus Century sebagai 'sebuah perampokan.'

Jadi atas Bank Century, pertanyaannya, benarkah penyelamatan Century hanya untuk menghindari kekacauan sistem keuangan semata? Apakah keputusan KSSK bersih dari pelanggaran aturan dan tidak dipengaruhi oleh tujuan politik lain? Itu pertanyaan publik yang wajar karena Boediono yang berperan dalam keputusan Century, dalam beberapa bulan kemudian mengambil bagian dalam kekuasaan sebagai wakil presiden.

Semuanya harus diuji, baik secara politik lewat Pansus maupun secara legal melalui pengadilan. Untuk itu, aliran dana harus dibongkar, simpang siur komunikasi antarpihak terkait dengan Century harus disadap dan diurai tuntas.

Selama belum terbukti, tidak pantas Sri Mulyani dan Boediono atau siapa pun dituduh bersalah secara serampangan. Namun, juga mengada-ada kalau pekerjaan BPK dan Pansus disangkakan hanya sebagai dendam personal semata. Untuk sementara, lebih elok kalau kita hanya bertanya dalam hati, Century, gagal sistemik atau rampok sistematis? (abraham.runga@bisnis.co.id)

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Abraham Runga Mali
Wartawan Bisnis Indonesia

Mendengar Kembali Suara Papua

Oleh: B Josie Susilo Hardianto


Ketika Pater Yohanes Jonga menerima anugerah Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan kepada pejuang hak asasi manusia, rasa bangga menyeruak. Pater Yohanes Jonga, yang telah bekerja di Papua sejak tahun 1986, dikenal tidak hanya dalam karyanya sebagai imam pada gereja Katolik, tapi juga dalam karyanya mendampingi dan mengadvokasi masyarakat Papua yang dilanggar hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

Ia tidak pernah surut memperjuangkan pemenuhan hak- hak masyarakat Papua, terutama mereka yang tinggal di perbatasan, meski untuk itu ia kerap dicap sebagai pastor OPM. Penghargaan yang diterimanya seolah menjadi peneguh bahwa perjuangan penegakan hak asasi manusia (HAM) di Papua terus diperhatikan oleh banyak pihak.

Namun, di sisi lain, hal itu juga menyisipkan rasa prihatin karena persoalan (baca: pelanggaran) HAM di Papua masih kerap terjadi. Tidak hanya dalam ranah sipil politik, tetapi juga dalam ranah ekonomi, sosial, dan budaya. Masih lekat dalam ingatan, pada tahun 1999 penghargaan yang sama juga dianugerahkan kepada Mama Yosepha Alomang, seorang tokoh perempuan Papua yang berjuang bagi eksistensi warga Papua yang tinggal di sekitar pusat eksplorasi PT Freeport Indonesia.

Ternyata, dalam waktu 10 tahun, persoalan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Papua masih menjadi persoalan pelik. Stigma separatisme dan terbelakang yang dilekatkan kepada masyarakat Papua semakin mengentalkannya. Ketua Penyelenggara Yap Thiam Hien Award Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa stigma separatisme yang dilekatkan kepada masyarakat Papua ternyata terus melahirkan pelanggaran-pelanggaran baru, terutama dalam ruang hak-hak asasi manusia.

Dalam laporan akhir tahun yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia disebutkan, pelanggaran hak-hak sipil dan politik makin mengental di Papua. Memanasnya situasi politik di Papua direspons pemerintah dengan pendekatan represif.

Selain penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap masyarakat Papua, Komnas HAM juga mencatat adanya kekerasan di penjara-penjara Papua. Terakhir adalah kasus pemukulan terhadap tahanan politik, Buchtar Tabuni, di penjara Abepura.

Nilai otsus

Lepas dari suasana politik yang melingkupi lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua, yaitu proses konsolidasi demokrasi, kehadiran kebijakan itu sempat memunculkan harapan.

Pada unsur menimbang dalam UU itu, pemerintah mengakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan. Tidak hanya itu, apa yang telah dilakukan pemerintah ternyata belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap HAM di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Pemerintah juga mengakui bahwa pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Setidaknya itulah yang membuat harapan masyarakat Papua bertumbuh. Hadirnya kebijakan itu sesungguhnya tidak saja dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi-provinsi lain di Indonesia dan taraf hidup masyarakat Papua. Lebih dari itu, kebijakan tersebut antara lain ditujukan dan dilandasi nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak dasar masyarakat Papua, HAM, hukum, demokrasi, serta persamaan kedudukan sebagai warga negara.

Pendek kata, kebijakan itu sesungguhnya disahkan untuk melindungi, memberdayakan, dan membangun keberpihakan terhadap masyarakat Papua. Tidak mengherankan jika pada isinya dicantumkan berbagai kebijakan afirmatif bagi masyarakat Papua.

Cedera

Namun, setelah hampir 10 tahun diundangkan, ternyata nilai-nilai dasar itu belum optimal terwujud. Bahkan, belum lagi isi kebijakan itu diimplementasikan, beberapa kebijakan baru dari Jakarta justru mencederainya. Ambil contoh kebijakan tentang pemekaran provinsi yang melahirkan Irian Jaya Barat tahun 2003 dan peraturan tentang lambang-lambang daerah tahun 2007.

Akibatnya, ada suasana psikologis yang—menurut Neles Tebay, dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Abepura, Papua—menguatkan rasa tidak percaya masyarakat Papua terhadap pemerintah. Kekecewaan itu berimbas pula pada sikap masyarakat Papua terhadap UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

”Biarkan pemerintah lakukan apa yang mereka mau,” demikian ungkapan seorang warga Papua.

Dalam keterangan tertulisnya, Agustus lalu, Gubernur Papua Barnabas Suebu mengatakan, kebijakan itu tidak gagal. Namun, ia mengakui bahwa implementasi otsus belum berjalan dengan semestinya.

Hal itu antara lain disebabkan oleh pemahaman yang simpang siur antara sejumlah kalangan, baik di pusat maupun daerah, dan masyarakat. Selain itu, aturan-aturan pelaksanaan seperti peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) lambat dibuat.

Ia menyebutkan, dalam kurun waktu tahun 2004-2005, atau tiga tahun setelah otsus diundangkan, dihasilkan 12 perdasi dan selama tiga tahun masa terakhir telah dihasilkan 35 perdasi dan delapan perdasus.

Tentu saja, kelambatan itu berpengaruh pada optimalisasi implementasi otsus, apalagi persoalan itu diperkeruh dengan masih adanya persoalan kepercayaan sehingga muncul tarik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah. Pada satu sisi, pemerintah pusat menganggap Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua tidak mampu, di sisi lain Pemprov Papua menganggap pemerintah pusat tidak berniat.

Tidak hanya itu, optimalisasi otsus juga terkendala dengan tata kelola pemerintahan yang belum siap. Akibatnya, terbuka ruang bagi penyalahgunaan dana otsus.

Upaya perbaikan

Melihat itu, Barnabas Suebu mengatakan, pihaknya saat ini tengah berupaya keras untuk memperbaikinya. Salah satunya melalui program Rencana Strategis Pembangunan Kampung. Diharapkan dengan program tersebut, dana otsus menyentuh rakyat di kampung-kampung.

Namun, diharapkan upaya itu tidak sekadar menjadi langkah-langkah formal dan birokratis. Sebab, hingga saat ini masyarakat Papua masih dihadapkan pada persoalan-persoalan dasar dan ancaman serius terkait eksistensi mereka di tanah mereka sendiri.

Kebijakan afirmatif bagi Papua, menurut Poengky Indarti—peneliti Imparsial—memang diperlukan. Namun, persoalan-persoalan seperti stigma dan diskriminasi memerlukan ruang penyelesaian yang lebih substantif. Akan menjadi lebih baik jika suara-suara masyarakat Papua kembali didengar dan diperhatikan, terutama terkait dengan hak-hak dasar dan perlakuan setara sebagai warga negara.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03105573/mendengar.kembali.suar

B Josie Susilo Hardianto
Kompas

Ihwal Reformasi Birokrasi

Oleh: Miftah Thoha


Biasanya sebelum dokter melakukan dan memberikan resep pengobatan, dia pasti mendiagnosis jenis penyakit yang diderita pasiennya. Setelah diketahui jenis penyakitnya, dokter tersebut baru melakukan intervensi pengobatan. Reformasi birokrasi juga demikian, pemerintah ini harus bisa menemukan masalah yang diderita oleh birokrasi pemerintah.

Upaya reformasi merupakan jenis pengobatan terhadap sakit yang diderita birokrasi pemerintah ini. Pemerintah sering kali melakukan intervensi reformasi birokrasi tanpa terlebih dahulu melakukan upaya diagnosis menemukan masalah yang diderita oleh birokrasi pemerintah. Akibatnya, upaya reformasi yang selama ini dilakukan belum bisa mengobati sakitnya birokrasi.

Dua indikator

Selama 12 tahun terakhir ini atau lima tahun yang lalu selama Kabinet Indonesia Bersatu I, ekonomi kita menunjukkan pertumbuhan. Angka pertumbuhan mencapai 4-5 persen dan diharapkan dalam kabinet jilid kedua bisa mencapai angka pertumbuhan 8 persen lebih. Jika angka pertumbuhan ini diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan, pengangguran, dan inflasi, kesejahteraan masyarakat yang menjadi dambaan kabinet ini akan bisa dicapai.

Pertumbuhan ekonomi ini disertai dengan pertumbuhan demokrasi politik. Kebebasan berpendapat dijamin dan kita tidak ada rasa takut lagi kalau kita berbeda pendapat dengan pemerintah. Tidak ada rasa takut untuk ditangkap pemerintah hanya karena kita beda pendapat dengan SBY, Jaksa Agung, dan Kepala Polri. Mestinya juga tidak ada pemanggilan penanggung jawab koran jika ada pemberitaan yang berbeda dengan polisi. Demikian pula tidak ada rasa takut kalau aliran politik yang kita ikuti berbeda. Hal ini merupakan tingkat perkembangan demokrasi politik yang menakjubkan jika dibandingkan dengan ketika kita hidup pada zaman pemerintahan Orde Baru.

Pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik selama era reformasi ini sayangnya tidak diikuti oleh pertumbuhan dan perubahan atau reformasi birokrasi pemerintah. Ada dua indikator memburuknya penyakit birokrasi selama 12 tahun terakhir ini. Pertama, indikasi pelayanan usaha publik dan bisnis. Menurut catatan International Financial Corporation tahun 2008, negara kita menduduki tingkat 123 yang paling rendah di atas Kamboja (145) dan Filipina (133). Pada saat yang sama, Malaysia berada pada tingkat 24, Thailand pada tingkat 13, Vietnam 15, dan Singapura teratas. Hal ini berarti tingkat pelayanan usaha di negara yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah kita tergolong rendah belum bisa memuaskan penerima dan pemangku kepentingan pelayanan publik.

Selain indikasi pelayanan usaha yang masih menyesakkan itu, indikasi persepsi korupsi masih rendah sekali. Dari catatan Transparansi Internasional tahun 2009, negara kita tergolong pada tingkat yang paling rendah. Dari tahun 1998 hingga 2008 Indeks Persepsi Korupsi masih dalam tataran yang paling bawah dari 2,0 kemudian pernah lima tahun pada 1999-2003 berada pada tingkat 1,7-1,9. Pada tahun 2008 kita berada di tingkat 2,6; dan dari 180 negara yang terlanda korupsi, kita berada pada tingkat 143. Hal ini menunjukkan masalah korupsi masih menjadi persoalan yang pelik dalam birokrasi kita. Birokrasi pemerintah menjadi ladang korupsi yang paling makmur di negara kita.

Dari data seperti itu perlu dipertanyakan bagaimana birokrasi bisa mengimbangi pertumbuhan ekonomi dan demokrasi politik. Oleh karena itulah betapa penting reformasi segera dilakukan secara serentak dan komprehensif.

Selain dua indikasi masalah yang dihadapi birokrasi pemerintah, masalah lain yang perlu dipahami ialah lembaga birokrasi pemerintah ini sudah terlalu besar dan terlalu banyak. Pemerintah tampaknya belum pernah mengevaluasi efektivitasnya, tiba-tiba menambah dan membentuk jenis kelembagaan baru yang bisa menimbulkan duplikasi dengan lembaga formal yang telah ada. Unit kerja pembantu presiden untuk pengawasan pembangunan yang baru dibentuk dalam susunan kabinet SBY kedua, banyak orang belum bisa melupakan bahwa jenis lembaga pemerintah ini merupakan penjelmaan unit pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dahulu.

Dalam peraturan pemerintah yang masih ada (PP No 60/2008) ada unit pengendalian internal BPKP, lalu bagaimana orang tidak bisa berpikir ada duplikasi kalau unit pengawasan internal belum diefektifkan tiba-tiba dibentuk unit baru. Sumber pemborosan anggaran negara ini sangat terindikasi pada besar dan banyaknya lembaga birokrasi sehingga uang anggaran itu tidak sampai menyejahterakan hidup rakyat karena habis dimakan anggaran lembaga.

Ini baru sebagian masalah yang diperoleh dalam diagnosis birokrasi pemerintah, dan masih bisa dikembangkan untuk menemukan masalah-masalah birokrasi yang lain sehingga reformasi dilakukan terarah dan strategis.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/05163964/ihwal..reformasi.birok


Miftah Thoha Guru Besar Magister Administrasi Publik UGM

Lowongan Estate Manager (EM)

Medco Agro (PT Api Metra Palma)

..... DIBUTUHKAN SEGERA .....

MEDCO AGRO, Unit Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit dari MEDCO Group, sedang melakukan ekspansi di Kalimantan , Lampung dan Papua membutuhkan profesional yang self starter, result oriented, untuk posisi sebagai :

Estate Manager (EM)
(Kalimantan Tengah, Papua, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara)


Responsibilities:


Bertanggungjawab untuk memimpin kegiatan operasional & adm. Kebun dalam melaksanakan Good Agricultural Practice, mengendalikan standar biaya, mengelola buruh & kontraktor, dan memastikan terjaganya hubungan baik dengan pemerintahan dan masyarakat sekitar

Requirements:

  • Pria/wanita
  • Usia maksimal 40 tahun
  • Pendidikan S1
  • Berpengalaman menjadi Estate Manager min. 1 (satu) tahun atau Field Assistant/Head
  • Assistant min. 4 (empat) tahun.
  • Penempatan di job site seluruh daerah operasi perusahaan (Papua/Kalimantan/Sumatra).

Kirimkan lamaran & CV paling lambat tanggal 25 Januari 2010 dengan mencantumkan posisi yang dilamar sebagai subject (Kode Di Pojok Amplop / email) ke:


Employment Specialist
Human Resources & General Services
The Energy Building, Fl.20. SCBD Lot 11A
Jl. Jend. Sudirman Kav 52-53 JKT 12190
E-mail : agro.hrd@gmail.com


Kotak Hitam Bank Century

Oleh: Iman Sugema



Membuka lembar demi lembar hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terhadap berbagai lembaga yang terlibat dalam kasus Bank Century ibarat membaca hasil analisis terhadap kotak hitam sebuah pesawat yang mengalami kecelakaan. Berdasarkan ”kotak hitam” tersebut, saya berkeyakinan bahwa mungkin Bank Indonesia salah baca situasi. Berikut uraiannya.

Cerita mengenai penjarahan oleh pemilik bank dan pihak-pihak terkait selama lima tahun terakhir bisa pembaca simak dalam laporan BPK. Singkatnya, melalui berbagai modus operandi, jumlah uang yang dijarah oleh pemilik bank, yakni komplotan HAW dan RAR, mencapai Rp 3,115 triliun serta oleh gerombolan RT mencapai Rp 2,753 triliun. Cerdasnya mereka, justru pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) menciptakan kesempatan untuk menggondol uang lebih banyak.

Saya juga memiliki keyakinan, masalah likuiditas yang dihadapi Bank Century pada akhir Oktober 2008 bukan karena rush oleh nasabah. Jumlah dana nasabah pada bulan itu mencapai Rp 10,76 triliun yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Januari yang mencapai Rp 10,64 triliun. Kesulitan likuiditas lebih disebabkan memburuknya kualitas aset. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan macetnya aset surat berharga valas sebesar 11 juta dollar AS.

Tidak ada ”rush”

Pada 29 Oktober 2008, BI mengeluarkan PBI Nomor 10/26/PBI/2008 yang memberikan peluang penarikan FPJP bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Cerdasnya, sehari kemudian Bank Century mengajukan penarikan FPJP sebesar Rp 1 triliun kepada BI. Kebetulan posisi rasio kecukupan modal (CAR) berada di bawah 8 persen sehingga Bank Century tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan FPJP.

Sejak saat itu, mestinya BI sudah mencurigai bahwa dana talangan kemungkinan akan digerogoti oleh para pemilik bank, seperti yang terjadi dalam kasus BLBI sebelas tahun yang lalu. Menurut Akerlof (1998), yang juga merupakan pemenang Nobel Ekonomi, penyaluran dana talangan akan memicu upaya penjarahan oleh pengurus bank dalam skala yang lebih besar. Sayangnya, kemudian pada 14 November melalui PBI Nomor 10/30/PBI/ 2008 BI melonggarkan syarat CAR menjadi positif sehingga Bank Century memenuhi syarat untuk mengunduh likuiditas dari bank sentral. Antara tanggal 14 sampai 18 November total uang yang disuntikkan BI sebesar Rp 689,4 miliar. Ini sama saja dengan menyerahkan kunci brankas penuh uang kepada maling.

Catatan BPK tidak menunjukkan adanya rush oleh nasabah sampai pertengahan November 2008 sehingga kesulitan likuiditas yang dialami Bank Century pada waktu itu patut diduga telah direkayasa oleh pemiliknya. Tujuannya adalah supaya FPJP segera keluar. Pada 3 November, surat berharga valas yang dikuasai HAW ternyata macet sebesar 45 juta dollar AS sehingga arus kas Bank Century tambah parah dan ini kemudian menyebabkan BI menetapkan bank itu dalam status pengawasan khusus sejak 6 November.

Anehnya, antara tanggal 6 sampai 13 November terjadi pencairan dana oleh pihak terkait sebanyak Rp 344 miliar. Karena penarikan itu, likuiditas bank tersebut makin buruk dan pada hari berikutnya BI memberikan FPJP tahap pertama. Penarikan oleh pihak terkait terus berlangsung sampai 21 November dan kali ini jumlah uang yang digondol sebesar Rp 273,8 miliar. Mestinya, dalam status pengawasan khusus penarikan seperti itu tidak dimungkinkan karena sama saja dengan memberi peluang terjadinya penjarahan.

Bukan sistemik

Kalau uraian di atas benar adanya, bisa dipastikan bahwa bank itu kekurangan likuiditas dan kemudian insolvent tidak ada kaitannya dengan krisis keuangan global ataupun karena hilangnya kepercayaan nasabah terhadap bank tersebut. Ini menjadi penting untuk dipahami karena BI dalam analisis mengenai risiko sistemik menyebutkan bahwa ada 18 peer bank yang berpotensi untuk mengalami rush kalau Bank Century ditutup. Yang dimaksud dengan peer bank adalah bank yang mengalami penurunan dana pihak ketiga (DPK) dan dana mereka beralih ke bank-bank yang dianggap aman (flight to safety).

Saya tak bisa memahami apa dasar dari analisis itu. Di antara 18 bank itu, pada bulan Oktober malahan ada 10 bank yang DPK-nya justru bertambah, bukan menurun seperti yang diperkirakan BI. Lagi pula, pengalaman pada tahun 1997 dan 1998, rush terjadi tanpa pilih-pilih bank. Bank kecil atau besar, bank yang kondisi keuangannya baik ataupun buruk, waktu itu sama-sama kena rush. Pengalaman di negara lain pun menunjukkan bahwa rush selalu tanpa pandang bulu. Systemic run biasanya tidak timbul akibat hilangnya kepercayaan terhadap salah satu bank, tetapi karena hilangnya kepercayaan terhadap ketahanan sistem perbankan.

Keanehan berikutnya dalam analisis sistemik yang dibuat BI adalah mengelompokkan lima BPD yang asetnya mirip dengan Bank Century sebagai kelompok bank yang juga berpotensi bermasalah kalau Bak Century ditutup. Di mata deposan pasti BPD jelas berbeda dengan Bank Century dan tidak ada alasan logis untuk mengelompokkan potensi masalah hanya berdasarkan ukuran aset saja.

Semakin saya menghayati dokumen presentasi BI di rapat KSSK yang berjudul ”Analisis Risiko Sistemik Sistem Perbankan Indonesia”, semakin saya tidak meyakini keabsahan landasan argumen yang dibangun. Ada banyak kontra-argumen yang bisa saya kemukakan, tetapi untuk kali ini cukup dua hal di atas saja. Sekadar untuk menggelitik bahwa mungkin waktu itu BI salah baca situasi.

Nyatanya ”kotak hitam” Bank Century telah menjadi sebuah kotak pandora....

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03560838/.kotak.hitam.bank.cent


Iman Sugema Ekonom; Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Hak Asasi Manusia : Papua, HAM, dan Negara yang Merasa Terancam

Oleh: Amiruddin al Rahab


Merefleksikan untaian pelanggaran hak asasi manusia di Papua dapat diambil satu pelajaran penting, yaitu kita berhadapan dengan negara yang selalu merasa terancam oleh bayangan masa lalunya yang buruk. Untuk mengatasi perasaan terancam itu, aparat negara—pusat dan daerah—kerap bertindak di luar akal sehat dan selalu penuh curiga kepada rakyat Papua. Kecurigaan yang tak pernah pupus kemudian menjadi tempat berbiaknya tindakan kekerasan, intimidasi, dan marjinalisasi.

Gejala ini kentara ketika Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal George Toisuta, tanpa angin tanpai badai, melontarkan perlunya perluasan komando teritorial dan penambahan kekuatan di Papua melalui pembentukan komando daerah militer (kodam) baru. Seakan-akan di Papua saat ini negara sedang menghadapi ancaman bersenjata dan nonbersenjata nan mahadahsyat, yang mampu mengubah batas-batas teritorial dan meruntuhkan kedaulatan. Padahal, saat ini situasi di Papua berada dalam tertib sipil.

Rencana KSAD itu hanya bisa dipahami jika terminologi Anthony Giddens mengenai negara dipakai. Giddens dalam The Nation-State and Violence mengemukakan, negara adalah entitas yang selalu memonopoli means of violence and instrument of surveillance dalam batas-batas yang pasti. Maka dari itu, negara bangsa oleh Giddens dilihat sebagai sebuah kontainer kekuasaan dengan batas-batas yang pasti.

Oleh karena itu, penambahan kekuatan militer di sebuah wilayah selalu bermakna untuk menumbuhkan kegentaran terhadap pihak-pihak yang dicurigai sebagai musuh. Tentu tujuannya adalah untuk mempertahankan batas kedaulatan (borders of sovereignity).

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua selalu berimpitan dengan tujuan untuk mempertahankan batas-batas kedaulatan itu. Pada gilirannya, negara yang selalu merasa batas kedaulatannya terancam mudah terjerumus ke dalam siklus kekerasan dan pelanggaran HAM.

Siklus itu kian tahun kian membesar akibat selalu ada perasaan batas kedaulatan Indonesia di Papua berada dalam ancaman. Dari dalam siklus kekerasan itu negara akhirnya menciptakan musuh-musuh di dalam dirinya sendiri. Buahnya adalah awetnya stigmatisasi ”separatis” terhadap rakyat di Papua.

Sayangnya, setelah reformasi politik berjalan 10 tahun dan otonomi khusus diundangkan selama delapan tahun, stigmatisasi ”separatis” itu tidak berkurang, malah kian menguat. Gejala menguatnya stigma separatis itu adalah kerapnya terjadi penangkapan atau tuduhan-tuduhan oleh polisi atau TNI terhadap orang-orang yang mempertanyakan terjadinya berbagai bentuk ketidakadilan di Papua.

Dapat dikatakan, satu-satunya provinsi yang pengadilan-pengadilan (negeri)-nya masih memakai tuduhan pasal-pasal makar kepada setiap orang yang melakukan demonstrasi terbuka adalah Papua. Pasal makar itu dipakai karena para demonstran di Papua kerap meneriakkan yel-yel ”merdeka” atau membawa spanduk dengan gambar bintang kejora.

Ditilik dari perkembangan siklus kekerasan dan penggunaan tuduhan-tuduhan pasal makar serta penghasutan di depan umum, untuk membungkam demonstrasi yang mempertanyakan agenda-agenda keadilan, dapat dikatakan bahwa tidak ada yang baru dari kondisi HAM di Papua. Karena tidak ada yang baru itulah, kondisi HAM di Papua kerap menarik komunitas pemerhati HAM nasional dan internasional.

Sepanjang tahun 2008-2009, di forum internasional, seperti Dewan HAM PBB, komite-komite HAM di PBB, dan Parlemen Eropa, telah menerima hampir 20 laporan tentang kondisi HAM di Papua dari Human Rights Watch, Amnesty International, serta pelapor khusus PBB.

Proposal LIPI

Untuk memutus siklus kekerasan dan pelanggaran HAM serta meruntuhkan tembok stigmatisasi ”separatis” di Papua, Tim Papua LIPI, melalui buku Papua Roadmap (2009), mengusulkan empat agenda besar. Pertama, menghilangkan sikap diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua. Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.

Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan. Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.

Melihat perkembangan situasi hak asasi manusia, baik dalam konteks pemenuhan hak sipil dan politik maupun hak sosial, ekonomi, dan budaya, proposal LIPI ini pantas untuk dipertimbangkan oleh pemerintah pusat maupun oleh tokoh-tokoh Papua. Meski formulasi proposal LIPI tersebut bukan sesuatu yang mudah, hal ini merupakan satu tawaran yang rasional untuk sekarang ini.

Ada dua alasan jalan itu perlu ditempuh. Pertama, segala bentuk agenda pembangunan di Papua tidak akan bisa berhasil baik selama sikap saling tidak percaya (konflik) masih berkecamuk dalam melihat masa lalu dan masa depan Papua.

Artinya, setiap langkah pembangunan pasti akan ditunda oleh pemerintah karena khawatir hasil pembangunan itu akan memberikan keuntungan kepada kelompok separatis. Sementara dari pihak-pihak di Papua, setiap langkah pembangunan dari pemerintah pusat akan dilihat sebagai upaya untuk memarjinalisasi orang Papua. Tidak berhasilnya otonomi khusus dalam menjawab masalah HAM di Papua dalam delapan tahun ini adalah akibat terperangkap dalam situasi politik seperti ini.

Kedua, segala upaya membangun politik yang demokratis di Papua tidak akan berhasil baik tanpa memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat di Papua untuk berpartisipasi. Artinya, selama partisipasi politik, ekonomi, dan budaya masih dilihat sebagai ancaman oleh negara, selama itu pula ketidaknyamanan terhadap jalannya pemerintahan terjadi. Maka, dialog dan rekonsiliasi adalah sarana untuk memperluas ruang partisipasi.

Beri ruang berekspresi

Berangkat dari empat agenda dengan dua alasan di atas, jika dijalankan, negara tidak perlu lagi merasa terancam di Papua. Sebab, negara itu akan menjelma menjadi organisme yang hidup dan menghidupi di Papua.

Dengan kata lain, kepapuaan tidak lagi terasing dalam Indonesia, sebaliknya Indonesia juga tidak lagi mengasingkan kepapuaan. Keindonesiaan akan mewujud dengan segala mimpi Papua tentang masa depan. Dengan begitu, keindonesiaan di Papua tidak lagi kaku sebagaimana selama ini diwakili oleh pos tentara/polisi.

Dalam perspektif hak sosial, ekonomi, dan budaya, keindonesiaan menjelma menjadi infrastruktur dan pelayanan publik yang berkualitas, fasilitas pendidikan yang baik dan terjangkau, serta instalasi kesehatan dan obat yang menjangkau serta terjangkau oleh rakyat Papua.

Sementara dari sisi hak sipil dan politik, keindonesiaan menjelma menjadi ruang bebas berekspresi bagi rakyat Papua. Ruang itu menghilangkan diskriminasi, intimidasi, penyiksaan, dan aksi kekerasan dalam segala bentuknya.

Tantangan terbesar dalam memajukan HAM di Papua sekarang ini adalah menghilangkan pola pikir yang membenarkan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM untuk menjaga keutuhan batas-batas kedaulatan Indonesia. Padahal, sejarah dunia banyak yang menunjukkan, negara yang terlalu menggunakan kekerasan dalam menjaga keutuhan wilayahnya lebih banyak kehilangan wilayahnya.

Agar pemerintah tidak terus berkubang dalam lumpur pelanggaran HAM di Papua, langkah-langkah dialog mendesak untuk disusun. Jika langkah disiapkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kabinet barunya ini akan mengukir sejarah baru karena berhasil mengurai kebuntuan jalan politik di Papua. Semoga!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/17/03165267/papua.ham.dan.negara.y


Amiruddin al Rahab Ketua Pokja Papua dan Senior di ELSAM Jakarta

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...