Oleh: Janedjri M Gaffar
Lahirnya berbagai komisikomisi negara merupakan salah satu fenomena yang dapat dijumpai di era reformasi ini. Berbagai komisi negara tersebut dibentuk, baik atas perintah konstitusi, undang-undang, maupun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah.
Komisi yang lahir atas perintah konstitusi adalah Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Karena pembentukannya diperintahkan oleh konstitusi, tiga lembaga terebut tentu memiliki kedudukan ketatanegaraan yang lebih kokoh dan penting jika dibandingkan dengan komisikomisi negara yang lain.
Saat ini setidaknya terdapat 53 lembaga yang dapat disebut sebagai komisi-komisi negara atau lembaga negara nonkementerian. Mereka merupakan lembaga yang dibentuk oleh produk hukum tertentu untuk menjalankan suatu wewenang tertentu yang tidak termasuk dalam kementerian pemerintahan tertentu.Komisi yang dibentuk oleh undang-undang misalnya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Komisi yang dibentuk dengan peraturan pemerintah misalnya Badan Standardisasi Nasional (BSN). Komisi yang dibentuk dengan peraturan presiden misalnya Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Terdapat pula komisi yang dibentuk dengan keputusan presiden misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN). Kedudukan komisi-komisi negara tersebut ada yang bersifat independen, dalam arti terlepas dari kekuasaan pemerintah, ataupun berada di bawah Presiden.
Dari sisi nomenklatur juga terdapat variasi nama komisi-komisi negara, ada yang menggunakan nama komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Ada yang menggunakan nama dewan seperti Dewan Pers.Ada yang menggunakan istilah badan seperti Badan Intelijen Negara (BIN).
Di sisi lain, ada pula yang menggunakan istilah lembaga seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Lembaga Sensor Film (LSF).Hingga saat ini belum ada kriteria pembedaan kapan suatu lembaga dinamakan sebagai komisi, badan, dewan,ataupun lembaga.
Faktor Pembentuk
Pembentukan komisi-komisi negara antara lain dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, semakin luas dan kompleksnya urusan pemerintahan sehingga lembaga yang telah ada tidak mampu lagi menjalankan urusan tertentu dengan baik. Kedua, adanya ketidakpercayaan masyarakat, bahkan para pembuat kebijakan sendiri.
Kelembagaan yang sudah ada dipandang sebagai warisan masa lalu yang sarat dengan kelemahan dan tidak sesuai cita-cita dan paradigma reformasi.Ketiga, pembentukan komisi negara justru dimaksudkan sebagai pendorong atau pemicu untuk mengubah kelembagaan yang sudah ada. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh pengalaman betapa sulitnya mengubah sistem dan kultur dalam sebuah lembaga.
Faktor-faktor yang mendorong pembentukan komisi negara tersebut memengaruhi format dan posisi komisi yang dibentuk yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, adalah komisi yang dibentuk untuk menjalankan suatu kewenangan baru yang dipandang tidak dapat diberikan kepada lembaga atau institusi sejenis yang sudah ada misalnya pembentukan KPPU dan LPSK.
Kedua, komisi negara yang dibentuk untuk mengambil alih atau bersama- sama dengan kelembagaan lain secara bersama-sama menjalankan kewenangan tertentu yang sama misalnya pembentukan KPK yang memiliki kewenangan seperti yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan.Ketiga,komisi yang dibentuk untuk mengubah kelembagaan tertentu. Komisi-komisi ini biasanya menjalankan fungsi pengawasan atau supervisi misalnya Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan serta tentu saja KPK.
Evaluasi
Awalnya, keberadaan begitu banyak komisi-komisi negara tentu saja diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan dan terwujudnya agenda reformasi, terutama reformasi birokrasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum. Setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi, tentu sudah saatnya melakukan evaluasi terhadap keberadaan komisi-komisi negara.
Secara umum jumlah komisi negara yang terlalu banyak telah menimbulkan tiga persoalan besar. Pertama, persoalan koordinasi.Setiap komisi negara,walaupun bersifat independen, selalu memiliki hubungan kerja dan kewenangan dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan tertentu.
Dalam banyak kasus muncul persoalan koordinasi antar komisi negara misalnya hubungan antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu serta hubungan antara Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Apalagi hubungan antara komisi negara dan lembagalembaga yang memiliki kesamaan seperti antara KPK dan kepolisian dan kejaksaan yang pasti bersentuhan.
Koordinasi seringkali dipandang sebagai persoalan ringan, namun dalam praktiknya sering menimbulkan ketegangan hubungan yang mengakibatkan terbengkalainya urusan yang seharusnya dikerjakan bersamasama. Kedua, tidak semua komisi negara dapat menjalankan wewenang dengan baik dan memenuhi harapan publik. Hal ini dapat terjadi, baik karena kelemahan wewenang yang diberikan oleh produk hukum yang mendasarinya maupun karena kekurangan kapasitas organisasi yang dimiliki.
Di antara berbagai komisi negara yang ada bahkan sangat mungkin ada beberapa yang tidak dikenal publik, apalagi memenuhi harapan masyarakat. Ketiga, banyaknya komisikomisi negara tentu saja membawa konsekuensi terhadap anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk menopang organisasi dan pelaksanaan wewenang setiap komisi negara.
Untuk dapat menjalankan roda organisasi dan melaksanakan wewenang yang dimiliki, setiap komisi negara tentu tidak hanya diisi oleh para anggota atau komisionernya, tapi juga membutuhkan perangkat organisasi, baik terkait penyelenggaraan administrasi umum maupun pelaksanaan wewenang.
Rasionalisasi
Melihat persoalan di atas, rasionalisasi komisi-komisi negara patut dipertimbangkan. Rasionalisasi tentu dapat berupa penggabungan, tetapi juga dapat berupa penguatan. Rasionalisasi tentu juga tidak boleh menutup kemungkinan ada pembentukan komisi negara yang baru. Dalam proses rasionalisasi ini yang harus dijadikan acuan adalah tujuan untuk mempercepat agenda reformasi, terutama peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik, percepatan reformasi birokrasi, serta pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Agar tidak menambah problem kelembagaan, orientasi utama harus diletakkan pada penguatan wewenang dan kapasitas organisasi dari lembaga atau institusi yang sudah ada melalui program reformasi birokrasi. Untuk dapat melakukan rasionalisasi komisi negara,diperlukan peta kelembagaan negara dan pemerintahan seiring dengan program reformasi birokrasi.
Peta kelembagaan negara dan pemerintahan disusun berdasarkan luas dan jangkauan serta sifat urusan negara dan pemerintahan yang harus dikelola. Berdasarkan peta kelembagaan inilah dapat ditentukan komisi-komisi yang harus dipertahankan, diperkuat, ataupun yang dapat digabung.Peta kelembagaan ini pula yang dapat menjadi dasar penyusunan ketentuan yang mengatur pada saat mana suatu komisi negara dapat dibentuk sesuai dengan luas dan jangkauan wewenang yang akan dimiliki.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355121/
Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi
Lahirnya berbagai komisikomisi negara merupakan salah satu fenomena yang dapat dijumpai di era reformasi ini. Berbagai komisi negara tersebut dibentuk, baik atas perintah konstitusi, undang-undang, maupun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah.
Komisi yang lahir atas perintah konstitusi adalah Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Karena pembentukannya diperintahkan oleh konstitusi, tiga lembaga terebut tentu memiliki kedudukan ketatanegaraan yang lebih kokoh dan penting jika dibandingkan dengan komisikomisi negara yang lain.
Saat ini setidaknya terdapat 53 lembaga yang dapat disebut sebagai komisi-komisi negara atau lembaga negara nonkementerian. Mereka merupakan lembaga yang dibentuk oleh produk hukum tertentu untuk menjalankan suatu wewenang tertentu yang tidak termasuk dalam kementerian pemerintahan tertentu.Komisi yang dibentuk oleh undang-undang misalnya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Komisi yang dibentuk dengan peraturan pemerintah misalnya Badan Standardisasi Nasional (BSN). Komisi yang dibentuk dengan peraturan presiden misalnya Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Terdapat pula komisi yang dibentuk dengan keputusan presiden misalnya Komisi Hukum Nasional (KHN). Kedudukan komisi-komisi negara tersebut ada yang bersifat independen, dalam arti terlepas dari kekuasaan pemerintah, ataupun berada di bawah Presiden.
Dari sisi nomenklatur juga terdapat variasi nama komisi-komisi negara, ada yang menggunakan nama komisi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Ada yang menggunakan nama dewan seperti Dewan Pers.Ada yang menggunakan istilah badan seperti Badan Intelijen Negara (BIN).
Di sisi lain, ada pula yang menggunakan istilah lembaga seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Lembaga Sensor Film (LSF).Hingga saat ini belum ada kriteria pembedaan kapan suatu lembaga dinamakan sebagai komisi, badan, dewan,ataupun lembaga.
Faktor Pembentuk
Pembentukan komisi-komisi negara antara lain dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, semakin luas dan kompleksnya urusan pemerintahan sehingga lembaga yang telah ada tidak mampu lagi menjalankan urusan tertentu dengan baik. Kedua, adanya ketidakpercayaan masyarakat, bahkan para pembuat kebijakan sendiri.
Kelembagaan yang sudah ada dipandang sebagai warisan masa lalu yang sarat dengan kelemahan dan tidak sesuai cita-cita dan paradigma reformasi.Ketiga, pembentukan komisi negara justru dimaksudkan sebagai pendorong atau pemicu untuk mengubah kelembagaan yang sudah ada. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh pengalaman betapa sulitnya mengubah sistem dan kultur dalam sebuah lembaga.
Faktor-faktor yang mendorong pembentukan komisi negara tersebut memengaruhi format dan posisi komisi yang dibentuk yang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, adalah komisi yang dibentuk untuk menjalankan suatu kewenangan baru yang dipandang tidak dapat diberikan kepada lembaga atau institusi sejenis yang sudah ada misalnya pembentukan KPPU dan LPSK.
Kedua, komisi negara yang dibentuk untuk mengambil alih atau bersama- sama dengan kelembagaan lain secara bersama-sama menjalankan kewenangan tertentu yang sama misalnya pembentukan KPK yang memiliki kewenangan seperti yang dimiliki kepolisian dan kejaksaan.Ketiga,komisi yang dibentuk untuk mengubah kelembagaan tertentu. Komisi-komisi ini biasanya menjalankan fungsi pengawasan atau supervisi misalnya Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan serta tentu saja KPK.
Evaluasi
Awalnya, keberadaan begitu banyak komisi-komisi negara tentu saja diharapkan dapat mempercepat pelaksanaan dan terwujudnya agenda reformasi, terutama reformasi birokrasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, pemberantasan korupsi, dan penegakan hukum. Setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi, tentu sudah saatnya melakukan evaluasi terhadap keberadaan komisi-komisi negara.
Secara umum jumlah komisi negara yang terlalu banyak telah menimbulkan tiga persoalan besar. Pertama, persoalan koordinasi.Setiap komisi negara,walaupun bersifat independen, selalu memiliki hubungan kerja dan kewenangan dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan tertentu.
Dalam banyak kasus muncul persoalan koordinasi antar komisi negara misalnya hubungan antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu serta hubungan antara Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Apalagi hubungan antara komisi negara dan lembagalembaga yang memiliki kesamaan seperti antara KPK dan kepolisian dan kejaksaan yang pasti bersentuhan.
Koordinasi seringkali dipandang sebagai persoalan ringan, namun dalam praktiknya sering menimbulkan ketegangan hubungan yang mengakibatkan terbengkalainya urusan yang seharusnya dikerjakan bersamasama. Kedua, tidak semua komisi negara dapat menjalankan wewenang dengan baik dan memenuhi harapan publik. Hal ini dapat terjadi, baik karena kelemahan wewenang yang diberikan oleh produk hukum yang mendasarinya maupun karena kekurangan kapasitas organisasi yang dimiliki.
Di antara berbagai komisi negara yang ada bahkan sangat mungkin ada beberapa yang tidak dikenal publik, apalagi memenuhi harapan masyarakat. Ketiga, banyaknya komisikomisi negara tentu saja membawa konsekuensi terhadap anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk menopang organisasi dan pelaksanaan wewenang setiap komisi negara.
Untuk dapat menjalankan roda organisasi dan melaksanakan wewenang yang dimiliki, setiap komisi negara tentu tidak hanya diisi oleh para anggota atau komisionernya, tapi juga membutuhkan perangkat organisasi, baik terkait penyelenggaraan administrasi umum maupun pelaksanaan wewenang.
Rasionalisasi
Melihat persoalan di atas, rasionalisasi komisi-komisi negara patut dipertimbangkan. Rasionalisasi tentu dapat berupa penggabungan, tetapi juga dapat berupa penguatan. Rasionalisasi tentu juga tidak boleh menutup kemungkinan ada pembentukan komisi negara yang baru. Dalam proses rasionalisasi ini yang harus dijadikan acuan adalah tujuan untuk mempercepat agenda reformasi, terutama peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik, percepatan reformasi birokrasi, serta pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Agar tidak menambah problem kelembagaan, orientasi utama harus diletakkan pada penguatan wewenang dan kapasitas organisasi dari lembaga atau institusi yang sudah ada melalui program reformasi birokrasi. Untuk dapat melakukan rasionalisasi komisi negara,diperlukan peta kelembagaan negara dan pemerintahan seiring dengan program reformasi birokrasi.
Peta kelembagaan negara dan pemerintahan disusun berdasarkan luas dan jangkauan serta sifat urusan negara dan pemerintahan yang harus dikelola. Berdasarkan peta kelembagaan inilah dapat ditentukan komisi-komisi yang harus dipertahankan, diperkuat, ataupun yang dapat digabung.Peta kelembagaan ini pula yang dapat menjadi dasar penyusunan ketentuan yang mengatur pada saat mana suatu komisi negara dapat dibentuk sesuai dengan luas dan jangkauan wewenang yang akan dimiliki.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355121/
Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal
Mahkamah Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya