Jumat, 31 Oktober 2008

Krisis Ekonomi Amerika: Neoliberalisme Kena Batunya

Oleh: Martin Manurung

Kali ini neoliberalisme terpojok. Pemerintah Amerika Serikat menghadapi dilema dalam mengatasi krisis keuangan terberat setelah depresi besar pada tahun 1930-an.

Pilihannya adalah antara membiarkan mekanisme ”pasar bebas” mengoreksi segala kebobrokan finansial yang kian membubung selama 10 tahun atau melakukan intervensi pemerintah untuk mengerem laju percepatan krisis dan mengembalikan kepercayaan terhadap perekonomian negara adidaya itu.

Presiden AS George W Bush mengambil pilihan kedua. ”Kita harus bertindak,” katanya dalam konferensi pers yang disiarkan berbagai televisi internasional. Dengan persetujuan Kongres, Pemerintah AS mengintervensi pasar dengan menggelontorkan dana talangan raksasa, total lebih dari satu triliun dollar AS bila dihitung sejak awal krisis, guna menyelamatkan berbagai perusahaan raksasa di Wall Street.

Pilihan itu merupakan konfirmasi bahwa ideologi neoliberalisme yang selama ini diusung dan dikampanyekan negeri itu kepada dunia ternyata omong kosong. ”Tangan-tangan ajaib” yang katanya menggerakkan ”pasar bebas” harus diikat agar tidak kian menyeret perekonomian negeri itu ke jurang kehancuran.

Neoliberalisme mengampanyekan ”pasar bebas” berdasarkan model pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan mazhab teori ekonomi neoklasik. Pada model ini, sejatinya berlaku persyaratan free entry dan free exit’ (bebas masuk dan keluar). Hanya keuntungan, bukan pemerintah, yang dapat menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus, lalu keluar saat defisit. Proses itu berlangsung begitu rupa sehingga seluruh surplus di pasar terserap dan mencapai keseimbangan pada posisi ”keuntungan normal (normal profit)”. Seharusnya mekanisme pasar bebas bekerja seperti itu, sebagaimana ”pakem” yang diyakini kalangan neoliberal.

Mekanisme pasar
Kekisruhan di Wall Street saat ini dapat dipandang sebagai bagian proses mekanisme pasar. Awalnya, berbagai korporasi diberi insentif untuk membesar dengan membebaskan dari aturan-aturan yang merintangi akumulasi kekayaan. Mereka ”difasilitasi” regulasi yang sengaja dibiarkan longgar sehingga memberi ruang untuk moral hazard melalui penciptaan berbagai produk keuangan yang ”ajaib” dan berisiko tinggi.

Lalu, posisi yang dominan dan ukuran besar membuat mereka mendapat predikat too big to be allowed to fail (terlalu besar untuk dibiarkan gagal). Predikat itu seolah menjadi sabuk pengaman untuk lebih menyerempet bahaya sehingga memperburuk terjadinya moral hazard. Yang lebih parah, selama proses menyerempet bahaya, otoritas pasar finansial, otoritas moneter dan Pemerintah AS menutup mata demi keuntungan politis penguasa.

Dengan demikian, krisis yang kini terjadi adalah konsekuensi alami dari praktik penyerempetan bahaya di Wall Street dan pembiaran Pemerintah AS. Dalam investasi berlaku hukum high risk, high returns atau risiko tinggi membawa tingkat pengembalian –dan kerugian—yang tinggi pula.

Para investor yang menanamkan modal pada instrumen keuangan yang berisiko tinggi, sepatutnya sadar, mereka siap menanggung akibatnya. Mengutip Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001 di Financial Times (25/7/2008), ”They got what they asked for” (mereka mendapatkan apa yang mereka minta). Kerakusan para pemburu rente berbuah bencana.

Negara pelindung modal
Alih-alih mengikuti mekanisme pasar, Pemerintah AS justru memberi ”napas buatan” melalui dana talangan tanpa banyak persyaratan. Tak ada tenggat pengembalian dan batas maksimum dana yang digelontorkan. Pun tak diatur apa yang harus dilakukan dan bagaimana perusahaan harus mereformasi organisasi dan kebijakannya guna memastikan dana talangan itu dapat dikembalikan ke negara. Hal itu amat kontras bila dibandingkan aneka kondisional yang dianjurkan AS melalui IMF dalam structural adjustment programmes (SAP) kepada negara-negara berkembang.

Konsistensi pada paham ”pasar bebas” menghendaki Pemerintah AS membiarkan swakoreksi (self correcting) pada mekanisme pasar di Wall Street. Tak seharusnya dana publik yang dikelola pemerintah digunakan untuk menyelamatkan korporasi yang mengalami kesulitan akibat perbuatannya sendiri.

Hal itu menegaskan, kembalinya peran pemerintah di AS cenderung sebagai upaya untuk melindungi pemilik modal ketimbang publik. Tesis negara sebagai pelindung modal, sebagaimana pernah dikatakan Karl Marx, menjadi sungguh-sungguh hadir dan nyata dalam krisis AS.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/08/01015541/neoliberalisme.kena.ba


Martin Manurung Penulis Analis Ekonomi-Politik dan Pembangunan; Alumnus School of Development Studies, University of East Anglia, Inggris

Lawan Pemiskinan

Oleh: Ivan A Hadar


Dampak buruk krisis global diprediksi semakin terasa pada tahun 2009. Semua ini gara-gara kesalahan kebijakan dan ulah spekulan.


Saya teringat buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002) yang bercerita tentang dampak pemiskinan. Konon,setiap 5 detik,ada satu balita yang mati kelaparan. Pemiskinan terkait masalah struktural dan perilaku. Ziegler bercerita tentang para pejabat tinggi di beberapa negara Skandinavia yang berjalan kaki,naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor.

Rumah para pemimpin terkenal Eropa seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria) pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas jauh berbeda dengan ”istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia.

Parkiran gedung parlemen negeri ini pun, misalnya, sering disindir bagai show room mobil mewah.Ziegler menarik kesimpulan, semakin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan ”perilaku aneh” segelintir elite penguasanya.

Pemerataan
Tampaknya, ketika 'kebebasan' politik merebak secara global,padanannya ”kesetaraan” dan ”persaudaraan” nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warganya yang miskin dianggap ”jalan sesat” sosial demokrasi. Bagi pendukung (ekonomi- politik) neoliberal,pemerataan bukan alat ampuh melawan kemiskinan.

Bahkan sebaliknya, dianggap memperparah keadaan. Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible. Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya secara produktif,sebaliknya hanya akan ”dikonsumsi” kaum papa.

Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi. Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia,pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah ”elite”(World Bank Report,Attacking Poverty,2000).

Namun,bagi Erhard Berner (2005), semua itu secara teoretis rapuh, secara empirik salah,dan bila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis. Karena, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poor,mungkin saja realistis.

Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignoransi.Para pekerja kaki lima (PKL), yang rata-rata miskin, di kebanyakan negara berkembang adalah ”pahlawan” yang menyediakan lapangan kerja terbesar.

Juga tanpa kampung-kampung seperti di Jakarta, kota besar tidak akan mampu menyediakan kebutuhan papan warganya. Kontribusi fantastis sektor informal bagi perkembangan ekonomi, umumnya, luput dari statistik resmi; sementara mereka digusur-gusur para birokrat korup.

Kesehatan dan Pendidikan
Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada ”investasi produktif” adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anakanak. Dulu, banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil. Malaysia dan Korea Selatan, misalnya. Tanpa itu,berlaku ”lingkaran setan”.

Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan (anak-anak) mereka sehat dan pintar. Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, ”Kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan.

” Kemiskinan massal, menurutnya, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, tetapi penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications,2000). Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas pro-growth poverty reduction.

Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, tetapi investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi.Cerita sukses di Brasil,Vietnam,dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton. Pada tataran makroekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan.

Anehnya, meski penelitiannya dibiayai Bank Dunia,namun dalam seluruh laporan Bank Dunia temuan ini tidak dimunculkan. Yang juga jelas,untuk mampu memenuhi kewajiban, negara miskin membutuhkan bantuan negara kaya, termasuk pemotongan utang.

Tentu saja lewat persyaratan demi pengurangan kemiskinan, termasuk upaya memerangi korupsi.Yang pasti, saat kesetaraan dan persaudaraan yang berarti pemerataan belum menjadi paradigma, petaka pemiskinan masih terus berlanjut.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/182018/



Ivan A Hadar
Koordinator Nasional
Target MDGs (Bappenas/UNDP)

Krisis Finansial dan Korporasi Ulat

Oleh :Khudori

Tumbangnya raksasa keuangan Lehman Brothers Holdings Inc membawa dampak ikutan (contagion effect) luar biasa. Ini terjadi karena Lehman Brothers tidak sendiri. Pelaku besar lain juga sempoyongan. Sejumlah perusahaan, mulai asuransi terbesar di dunia--American International Group Inc--hingga perusahaan sekuritas besar, seperti Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs, limbung. Mereka adalah lokomotif dan episentrum pembawa gerbong panjang. Bisa dibayangkan massifnya dampak negatif yang ditimbulkan. Kepanikan tidak hanya melanda bursa, dari Wall Street hingga Jakarta, tapi juga indeks harga saham merosot, dan kini kerisauan menghantui pelaku sektor riil.

Untuk mengatasi krisis keuangan, sejumlah negara melakukan berbagai langkah, terutama menyuntikkan dana talangan (bailout). Krisis keuangan menelan biaya yang begitu mahal. Amerika Serikat menginjeksi modal sembilan bank besar US$ 250 miliar dan mengikuti langkah Eropa menasionalisasi perbankan. Belum lagi paket dana talangan US$ 700 miliar untuk menyelamatkan pasar. Langka serupa diikuti Inggris, yang memompa dana US$ 691 miliar untuk menggenjot likuiditas. Jerman mengikuti (US$ 679 miliar), Irlandia (US$ 549 miliar), Prancis (US$ 494 miliar), dan Norwegia (US$ 57,4 miliar). Langkah serupa ditempuh negara-negara di Asia untuk menyelamatkan diri.

Sejauh ini ada banyak analisis yang menjelaskan kehancuran pasar finansial AS, mulai kebijakan defisit besar Presiden Bush, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, sampai tindakan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers. Namun, inti masalahnya ada dua (Prasetyantoko, 2008). Pertama, gejolak ini semata-mata kesalahan prosedur tata kelola yang mengakibatkan kegagalan pasar (market failure). Solusinya sederhana: usaha penyelamatan oleh negara.

Kedua, akar masalah ada pada sifat alamiah perekonomian itu sendiri. Sumber instabilitas ekonomi (finansial) ada pada dirinya sendiri (endogen), bukan faktor luar (eksogen). Krisis terjadi jika pelaku ekonomi terlalu ekspansif dan spekulatif dalam kebijakan keuangan, sehingga tak mampu membayar kewajibannya. Karena instabilitas bersifat endogen, campur tangan pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan jika telah terjadi masalah (ex-post), tapi sebelum terjadi (ex-ante). Sayang, intervensi, selain mengundang moral hazard, dianggap restriktif terhadap inovasi dan perkembangan.

Apa yang terjadi pada Lehman dan perusahaan finansial lainnya adalah absennya kehati-hatian (hedge). Sistem finansial modern memungkinkan semua pelaku keuangan bersikap spekulatif. Masalahnya, sistem keuangan semacam itu tidak adil bagi publik. Jika mereka (baca: korporasi) untung, hasilnya diprivatisasi (dimiliki privat), tapi jika rugi, bebannya dibagi kepada pihak lain. Karena ukurannya terlalu besar, pemerintah harus turun tangan menyelamatkan mereka. Untuk Indonesia, contohnya kasus BLBI 1998.

Inilah saatnya memikirkan ulang format kebijakan ekonomi, baik di level mikro (perusahaan), nasional, maupun global. Pertanyaan krusialnya, mungkinkah sistem yang mengandalkan fundamentalisme pasar seperti saat ini tidak akan bertahan? Kasus ini, untuk kesekian kalinya, menunjukkan intervensi negara amat diperlukan untuk mencegah terjadinya krisis. Apa yang harus dilakukan? Selain membuat aturan tata kelola (good governance) yang canggih dan ketat, di level mikro amat mendesak mengatur korporasi.

Sejarah mengajarkan, aneka krisis sebagian besar dipicu oleh perilaku korporasi yang tidak taat tata kelola. Ironisnya, dari tahun ke tahun, pengaturan korporasi--terutama korporasi transnasional (TNCs)--kian buruk. Padahal korporasi paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global, dan pengurasan sumber daya di seluruh dunia serta memiliki andil besar pada munculnya pola-pola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif (Khor, 2003). Dan kini korporasi terbukti jadi biang keladi segala krisis. Kesalahan terbesar berbagai kesepakatan penyelamatan lingkungan atas pembangunan ekonomi adalah kealpaan memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan, dan TNCs.

Upaya menyelesaikan kode etik bagi TNCs (Code of Conduct on TNCs) secara formal terhenti pada 1993. Sedangkan badan yang bertanggung jawab tentang hal itu, The UN Center on TNCs, dibubarkan. Dengan demikian, institusi, inisiatif internasional dalam penyusunan pedoman perilaku TNCs, dan yang menetapkan aturan mengenai hak serta kewajiban TNCs tak ada lagi. Global Compact Initiative yang diinisiasi PBB--yang meminta korporasi bertanggung jawab dan berperilaku bisnis sehat--tidak efektif karena sifatnya tidak mengikat, tapi sukarela. Kini arus balik justru kian kuat, yakni kecenderungan mengurangi dan menghilangkan peraturan demi peraturan yang dibuat pemerintah guna mengatur perusahaan. Di saat yang sama, lantaran kekuatan, lobi, dan kedekatannya dengan organisasi multilateral, ada kecenderungan TNCs diberi hak-hak dan kekuasaan yang kian besar. Kontrol negara atas perilaku korporasi dihilangkan.

Caranya? Di satu sisi, lewat deregulasi, bisnis melepaskan dari aturan, di sisi lain, privatisasi memungkinkan korporasi mengelola berbagai area dalam hidup bersama yang tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Gejala ini oleh Noreena Hertz (1999) disebut "pengambilalihan diam-diam" (silent take-over). Bisnis dalam rupa korporasi menjelma menjadi institusi yang sangat dominan, yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas sipil. David Korten menyebut, korporasi kini jadi pengatur dunia.

Sejarah korporasi sebenarnya masih baru. Namun, korporasi terus eksis, bahkan kian merajalela: dari 7.000 TNCs (1970-an) menjadi 37 ribu (1990-an). Selama 150 tahun, seperti diuraikan Joel Bakan dalam The Corporation (2004), korporasi telah berkembang dari entitas yang tak dikenal menjadi institusi yang mendominasi perekonomian dunia, mempengaruhi dan mengatur masyarakat, menggantikan negara. Masalahnya, menurut ahli pembangunan John Elkington (2001), dari empat metafora korporasi--ulat (caterpillar), belalang (locust), kupu-kupu (butterfly), dan lebah madu (honeybee)--dunia disesaki korporasi ulat.

Korporasi kupu-kupu dan lebah madu menumbuhkan (regeneratif), model bisnisnya sustainable, terus berinovasi, memiliki kemampuan terus tumbuh, taat etika bisnis, dan ramah sosial. Ini berbeda dari korporasi ulat (dan belalang) yang bersifat merusak (degeneratif), memiliki model bisnis tak sustainable, cenderung melampaui daya dukung ekologi, sosial, dan ekonomi, serta secara kolektif menghasilkan dampak regional dan bahkan global. Seperti ulat, sistem ekonomi (yang didominasi korporasi ulat) akan melahap kapital alam dan sosial. Itulah yang terjadi saat ini. Krisis ini, sekali lagi, mengajarkan perlunya mengatur perilaku korporasi.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/10/30/Opini/krn.20081030.14

Khudori
Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...