Oleh: Khudori
Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal. Kita punya laut amat luas, tetapi isi laut yang melimpah tidak membuat nelayan kaya. Nelayan tetap dalam wajahnya yang lama: miskin dan tak berdaya. Beras adalah ironi lain. Pemerintah mengklaim produksi beras melimpah ruah, bahkan ada surplus 5,6 juta ton pada akhir tahun. Meskipun akhirnya surplus produksi direvisi hanya 2,04 juta ton, intinya produksi beras berlebih. Anehnya, pemerintah berencana mengimpor beras 300.000 ton dari Vietnam atau Thailand. Kalau memang kita kembali swasembada beras, mengapa harus impor? Kalau memang kita surplus beras, mengapa pula harus impor?
Pemerintah beralasan bahwa impor beras untuk memperkuat cadangan pemerintah. Saat ini, cadangan pemerintah di Bulog 1,195 juta ton beras jauh dari posisi aman sebesar 1,5 juta ton. Di luar itu, di Bulog juga ada iron stock sebesar 500 ribu ton. Sebetulnya, impor beras tidak diperlukan apabila penyerapan gabah/beras oleh Bulog mencapai target. Sampai awal Oktober ini, Bulog baru menyerap 1,8 juta ton dari target 3,2 juta ton (56 persen) beras. Kinerja Bulog kali ini memang mengecewakan. Sebab, tahun 2008 dan 2009 penyerapan Bulog masing-masing mencapai 3,21 juta ton dan 3,63 juta ton beras.
Memang masih terbuka peluang bagi Bulog untuk menyerap gabah/beras di musim paceklik (Oktober-Desember). Namun, bisa dipastikan Bulog kesulitan menyerap gabah/beras pada saat itu. Karena pada saat paceklik, kualitas beras akan lebih baik dan harganya tinggi, lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 4.500/kg.
Padahal, menurut Inpres No 7/2009 tentang Perberasan, Bulog harus membeli gabah/beras sesuai HPP. Memang terbuka peluang bagi Bulog untuk membeli melalui jalur komersial. Namun, pembelian jalur komersial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, cadangan beras pemerintah akan aman. Tapi di sisi lain, jika Bulog terlalu agresif membeli lewat jalur komersial, harga beras akan terdongkrak naik. Jika itu terjadi, peluang Bulog merugi cukup besar. Bagi Bulog, ini buah simalakama yang tidak mungkin untuk ditelan.
Jika keputusan impor itu lebih menguntungkan petani luar negeri, tentu publik tidak bisa serta-merta menuding Bulog tidak peduli petani domestik. Sejak Mei 2003, Bulog telah berubah menjadi 'makhluk' bisnis baru setelah mengalami "setengah privatisasi", yakni berubah status dari LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) menjadi Perum. Dengan status barunya itu, prestasi Perum Bulog pertama-tama tidak lagi diukur dari keberhasilannya dalam menstabilkan harga beras, menyerap beras/gabah petani, dan menjaga stok pangan nasional, tetapi dari kemampuannya memupuk laba.
Memang Perum Bulog masih diberi tugas pelayanan publik mengelola stok beras pemerintah dan menstabilkan harga gabah/beras. Tapi, bagi Perum Bulog, keputusan impor adalah peluang dan sebuah rasionalitas bisnis. Saat ini, harga beras Vietnam dan Thailand dengan pecahan 25 persen sekitar US$380 per metrik ton atau setara Rp 4.000/kg saat tiba di Indonesia. Harga ini jauh lebih murah daripada harga beras domestik: Rp 6.000-Rp 7.000/kg. Jadi, untungnya menggiurkan. Jika pun ada gugatan mengapa tugas pelayanan publik dikorbankan, ini bukan hal aneh dari kacamata "dwifungsi" Perum Bulog. Sudah nature, menggabungkan dua fungsi dalam satu lembaga, antara tujuan berbisnis dan fungsi sosial, akan menimbulkan komplikasi dan konflik kepentingan. Keduanya tidak mungkin dipersatukan karena dalam implementasinya fungsi sosial sering kali lebih bersifat sekunder. Karena sifatnya sekunder, misi sosial sering kali menjadi kambing hitam kegagalan, terutama jika lembaga yang bersangkutan tidak mampu memupuk keuntungan memadai. Inilah awal kemalangan dan penderitaan petani.
Impor beras, apalagi di tengah produksi berlebih, memiliki mata rantai dampak negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumber daya domestik, dan yang lain. Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi, karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis. Sepanjang 'wajah banci' Perum Bulog belum berubah, pertarungan bisnis versus tugas sosial ini akan selalu berulang. Jika kita tidak ingin itu terjadi dan terus berulang, 'kelamin' Perum Bulog harus didesain ulang.
Dalam jangka pendek, satu-satunya opsi yang tersisa untuk membatalkan impor beras adalah menugasi Bulog menyerap gabah/beras semaksimal mungkin pada musim paceklik hingga akhir tahun. Ini tugas negara yang diserahkan kepada Bulog. Karena harga gabah/beras pasti di atas HPP, jika di kemudian hari Bulog merugi karena tugas ini, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab negara. Jika penyerapan Bulog hingga akhir tahun bisa mencapai 2 juta-2,2 juta ton setara beras, impor tidak lagi diperlukan. Agar tidak terjadi moral hazard, terutama dalam anggaran, Bulog harus diawasi ketat di lapangan. Pemerintah dan DPR bisa membuat terobosan untuk melempengkan jalan ini.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/121186/Haruskah_Impor_Beras
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal. Kita punya laut amat luas, tetapi isi laut yang melimpah tidak membuat nelayan kaya. Nelayan tetap dalam wajahnya yang lama: miskin dan tak berdaya. Beras adalah ironi lain. Pemerintah mengklaim produksi beras melimpah ruah, bahkan ada surplus 5,6 juta ton pada akhir tahun. Meskipun akhirnya surplus produksi direvisi hanya 2,04 juta ton, intinya produksi beras berlebih. Anehnya, pemerintah berencana mengimpor beras 300.000 ton dari Vietnam atau Thailand. Kalau memang kita kembali swasembada beras, mengapa harus impor? Kalau memang kita surplus beras, mengapa pula harus impor?
Pemerintah beralasan bahwa impor beras untuk memperkuat cadangan pemerintah. Saat ini, cadangan pemerintah di Bulog 1,195 juta ton beras jauh dari posisi aman sebesar 1,5 juta ton. Di luar itu, di Bulog juga ada iron stock sebesar 500 ribu ton. Sebetulnya, impor beras tidak diperlukan apabila penyerapan gabah/beras oleh Bulog mencapai target. Sampai awal Oktober ini, Bulog baru menyerap 1,8 juta ton dari target 3,2 juta ton (56 persen) beras. Kinerja Bulog kali ini memang mengecewakan. Sebab, tahun 2008 dan 2009 penyerapan Bulog masing-masing mencapai 3,21 juta ton dan 3,63 juta ton beras.
Memang masih terbuka peluang bagi Bulog untuk menyerap gabah/beras di musim paceklik (Oktober-Desember). Namun, bisa dipastikan Bulog kesulitan menyerap gabah/beras pada saat itu. Karena pada saat paceklik, kualitas beras akan lebih baik dan harganya tinggi, lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 4.500/kg.
Padahal, menurut Inpres No 7/2009 tentang Perberasan, Bulog harus membeli gabah/beras sesuai HPP. Memang terbuka peluang bagi Bulog untuk membeli melalui jalur komersial. Namun, pembelian jalur komersial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, cadangan beras pemerintah akan aman. Tapi di sisi lain, jika Bulog terlalu agresif membeli lewat jalur komersial, harga beras akan terdongkrak naik. Jika itu terjadi, peluang Bulog merugi cukup besar. Bagi Bulog, ini buah simalakama yang tidak mungkin untuk ditelan.
Jika keputusan impor itu lebih menguntungkan petani luar negeri, tentu publik tidak bisa serta-merta menuding Bulog tidak peduli petani domestik. Sejak Mei 2003, Bulog telah berubah menjadi 'makhluk' bisnis baru setelah mengalami "setengah privatisasi", yakni berubah status dari LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) menjadi Perum. Dengan status barunya itu, prestasi Perum Bulog pertama-tama tidak lagi diukur dari keberhasilannya dalam menstabilkan harga beras, menyerap beras/gabah petani, dan menjaga stok pangan nasional, tetapi dari kemampuannya memupuk laba.
Memang Perum Bulog masih diberi tugas pelayanan publik mengelola stok beras pemerintah dan menstabilkan harga gabah/beras. Tapi, bagi Perum Bulog, keputusan impor adalah peluang dan sebuah rasionalitas bisnis. Saat ini, harga beras Vietnam dan Thailand dengan pecahan 25 persen sekitar US$380 per metrik ton atau setara Rp 4.000/kg saat tiba di Indonesia. Harga ini jauh lebih murah daripada harga beras domestik: Rp 6.000-Rp 7.000/kg. Jadi, untungnya menggiurkan. Jika pun ada gugatan mengapa tugas pelayanan publik dikorbankan, ini bukan hal aneh dari kacamata "dwifungsi" Perum Bulog. Sudah nature, menggabungkan dua fungsi dalam satu lembaga, antara tujuan berbisnis dan fungsi sosial, akan menimbulkan komplikasi dan konflik kepentingan. Keduanya tidak mungkin dipersatukan karena dalam implementasinya fungsi sosial sering kali lebih bersifat sekunder. Karena sifatnya sekunder, misi sosial sering kali menjadi kambing hitam kegagalan, terutama jika lembaga yang bersangkutan tidak mampu memupuk keuntungan memadai. Inilah awal kemalangan dan penderitaan petani.
Impor beras, apalagi di tengah produksi berlebih, memiliki mata rantai dampak negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumber daya domestik, dan yang lain. Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi, karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis. Sepanjang 'wajah banci' Perum Bulog belum berubah, pertarungan bisnis versus tugas sosial ini akan selalu berulang. Jika kita tidak ingin itu terjadi dan terus berulang, 'kelamin' Perum Bulog harus didesain ulang.
Dalam jangka pendek, satu-satunya opsi yang tersisa untuk membatalkan impor beras adalah menugasi Bulog menyerap gabah/beras semaksimal mungkin pada musim paceklik hingga akhir tahun. Ini tugas negara yang diserahkan kepada Bulog. Karena harga gabah/beras pasti di atas HPP, jika di kemudian hari Bulog merugi karena tugas ini, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab negara. Jika penyerapan Bulog hingga akhir tahun bisa mencapai 2 juta-2,2 juta ton setara beras, impor tidak lagi diperlukan. Agar tidak terjadi moral hazard, terutama dalam anggaran, Bulog harus diawasi ketat di lapangan. Pemerintah dan DPR bisa membuat terobosan untuk melempengkan jalan ini.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/121186/Haruskah_Impor_Beras
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya