Oleh: Hendri Saparini
Kinerja satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tengah marak didiskusikan. Semestinya, evaluasi akan lebih tepat bila disebut sebagai evaluasi kinerja enam tahun pemerintahan SBY. Meskipun ada perubahan kabinet, penentu politik pembangunan ekonomi selama enam tahun terakhir tetap berada di tangan Presiden SBY.
Selain itu, tentu terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara periode satu dan enam tahun karena pemahaman terhadap permasalahan seorang pemimpin niscaya akan sangat berbeda saat baru menyelesaikan satu tahun kepemimpinan dengan setelah enam tahun memegang kekuasaan. Oleh karena itu, sangat wajar jika tuntutan masyarakat terhadap kecepatan Presiden SBY dalam menyelesaikan persoalan akan jauh lebih besar pada tahun keenam ini.
Jika evaluasi dilakukan dalam konteks enam tahun kepemimpinan Presiden SBY, laporan survei Kompas (18/10) menjadi sangat menarik. Dilaporkan bahwa tren tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden SBY di bidang ekonomi ternyata cenderung turun secara persisten sejak paruh kedua tahun keenam dibandingkan dengan tahun pertama.
Semakin mengejutkan lagi karena saat ini indikator-indikator makroekonomi justru menunjukkan pencapaian target yang baik. Pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2010 ditargetkan tumbuh 5,5 persen, pada semester I-2010 telah tumbuh 6,2 persen. Indeks harga saham gabungan melejit dari 2.502 pada 20 Oktober 2009 menjadi 3.578 pada tanggal yang sama tahun 2010. Stabilitas makroekonomi bahkan dinilai telah melompat 17 level sehingga dalam satu tahun terakhir indeks daya saing Indonesia naik kelas 10 tingkat.
Namun, mengapa masyarakat tidak menilai pencapaian tersebut sebagai sebuah keberhasilan pemerintah? Pertama karena besaran makroekonomi memang bukan ukuran satu-satunya dalam keberhasilan ekonomi. Kedua karena sebagian besar masyarakat tidak merasakan adanya perbaikan kesejahteraan ekonomi. Selain itu, juga tidak ada indikasi bahwa pemerintah akan melakukan koreksi kebijakan ekonomi sehingga lebih memprioritaskan kepentingan nasional. Lalu, mengada-adakah penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY?
Tak memiliki roh
Mari kita kaji beberapa kebijakan era Presiden SBY. Jumlah belanja APBN terus menggelembung hingga lebih dari seribu triliun rupiah, tetapi dibarengi dengan inefisiensi, maraknya percaloan, banyaknya kebocoran, penyimpangan, dan lain-lain. Sementara anggaran yang telah meningkat hampir tiga kali lipat itu tidak memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sebanding.
Jika APBN 2010 adalah anggaran tahun keenam, semestinya Presiden SBY telah mengetahui kelemahan-kelemahan Kabinet Indonesia Bersatu I, kemudian memperbaikinya. Realisasi anggaran yang lambat dan tertumpuk di belakang, misalnya, bukan masalah baru, melainkan telah terjadi sejak APBN 2005. Namun, masalah itu terus berlanjut dan bahkan kinerja APBN 2010 lebih buruk dibanding tahun sebelumnya. Tentu wajar jika masyarakat kecewa, apalagi ramai diberitakan bahwa kementerian dan lembaga berlomba-lomba mengejar ”kinerja anggaran” dengan hanya fokus pada upaya menghabiskan jatah anggaran.
Padahal, harapan masyarakat terhadap perbaikan kinerja APBN lebih substansial, yakni dilakukannya koreksi terhadap politik anggaran nasional yang saat ini semakin tidak memiliki roh. APBN bahkan dinilai sebatas kumpulan angka penerimaan dan angka pengeluaran. Tidak heran apabila pembahasan anggaran antara legislatif dan eksekutif menjadi sangat dangkal dan sering kali perdebatan hanya sebatas besaran angka, bukan pada konsekuensi kebijakan dan dampaknya terhadap ekonomi.
Pemerintahan SBY dinilai tidak mampu menjaga stabilitas harga berbagai kebutuhan dasar. Padahal, kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar menjadi kunci dalam menilai keberhasilan pemerintah. Saat ini, harga berbagai kebutuhan dasar justru cenderung meningkat sehingga daya beli masyarakat bawah terus merosot. Selama enam tahun, Presiden SBY belum melakukan koreksi terhadap kebijakan liberal yang telah mengakibatkan harga pangan serta biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Tentu bukan waktu pendek sehingga wajar jika masyarakat tidak lagi sabar menunggu perubahan.
Keberpihakan
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY juga terkait dengan arah kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada kepentingan nasional. Salah satu contohnya adalah kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Rumah tangga dan para pengusaha menolak kenaikan dan rencana kenaikan tahun 2011 karena akan menekan daya saing dan daya beli. Padahal, telah menjadi pemahaman umum bahwa masalah utama TDL adalah pasokan energi sehingga tidak salah apabila masyarakat berharap Presiden SBY segera memprioritaskan pemanfaatan energi alam untuk kepentingan nasional, termasuk produksi listrik. Sayangnya, Presiden SBY yang juga Ketua Dewan Energi Nasional tidak kunjung membuat keputusan yang diinginkan masyarakat.
Baru-baru ini ketidakpercayaan masyarakat pada keberpihakan kebijakan ekonomi pemerintahan SBY untuk kepentingan nasional makin bertambah. Masyarakat mempertanyakan izin kebijakan impor barang jadi oleh produsen yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 39/M-DAG/PER/10/2010. Kebijakan ini tentu akan mendorong impor produk jadi dan mempersempit ruang bagi pembangunan industri nasional yang kompetitif. Alasan pemerintah bahwa produsen tidak akan serta-merta beralih menjadi pedagang terlalu gegabah mengingat insentif lain, seperti dukungan supporting industry, infrastruktur, kebijakan tarif bea masuk, sangat minimal untuk membuat produsen tetap bertahan.
Kebijakan lain yang tidak pro terhadap pembangunan industri nasional terindikasi dari usulan Menteri Kesehatan agar kepemilikan asing pada industri farmasi diizinkan hingga 100 persen. Rencana Menkes ini tidak sejalan dengan Permenkes No 1010/ 2008, yang dibuat untuk mendorong agar obat-obatan yang dijual di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri. Indonesia adalah pasar terbesar keempat bagi industri obat dunia. Tentu investor asing sangat ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar utama produk obat mereka tanpa harus membangun industri di Indonesia. Rencana tersebut tidak mendukung pembangunan industri farmasi nasional yang semestinya menjadi prioritas pemerintah.
Presiden SBY adalah pemilik amanah yang menentukan politik pembangunan ekonomi selama lima tahun ke depan. Keberhasilan Presiden SBY dalam menjalankan amanah tentu sangat menentukan penilaian masyarakat. Setelah enam tahun, sangat wajar jika masyarakat melakukan penilaian kritis, baik terhadap kualitas kepemimpinan Presiden SBY maupun arah kebijakan ekonominya.
Seandainya di tahun keenam Presiden SBY mengubah arah ekonomi agar sejalan dengan harapan masyarakat serta mengubah haluan ekonomi sehingga menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas, dukungan masyarakat akan membanjir tanpa harus melakukan berbagai rekayasa pencitraan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03075511/kinerja.ekonomi.di.tahun.k
Hendri Saparini Ekonom ECONIT
Kinerja satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tengah marak didiskusikan. Semestinya, evaluasi akan lebih tepat bila disebut sebagai evaluasi kinerja enam tahun pemerintahan SBY. Meskipun ada perubahan kabinet, penentu politik pembangunan ekonomi selama enam tahun terakhir tetap berada di tangan Presiden SBY.
Selain itu, tentu terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara periode satu dan enam tahun karena pemahaman terhadap permasalahan seorang pemimpin niscaya akan sangat berbeda saat baru menyelesaikan satu tahun kepemimpinan dengan setelah enam tahun memegang kekuasaan. Oleh karena itu, sangat wajar jika tuntutan masyarakat terhadap kecepatan Presiden SBY dalam menyelesaikan persoalan akan jauh lebih besar pada tahun keenam ini.
Jika evaluasi dilakukan dalam konteks enam tahun kepemimpinan Presiden SBY, laporan survei Kompas (18/10) menjadi sangat menarik. Dilaporkan bahwa tren tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden SBY di bidang ekonomi ternyata cenderung turun secara persisten sejak paruh kedua tahun keenam dibandingkan dengan tahun pertama.
Semakin mengejutkan lagi karena saat ini indikator-indikator makroekonomi justru menunjukkan pencapaian target yang baik. Pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2010 ditargetkan tumbuh 5,5 persen, pada semester I-2010 telah tumbuh 6,2 persen. Indeks harga saham gabungan melejit dari 2.502 pada 20 Oktober 2009 menjadi 3.578 pada tanggal yang sama tahun 2010. Stabilitas makroekonomi bahkan dinilai telah melompat 17 level sehingga dalam satu tahun terakhir indeks daya saing Indonesia naik kelas 10 tingkat.
Namun, mengapa masyarakat tidak menilai pencapaian tersebut sebagai sebuah keberhasilan pemerintah? Pertama karena besaran makroekonomi memang bukan ukuran satu-satunya dalam keberhasilan ekonomi. Kedua karena sebagian besar masyarakat tidak merasakan adanya perbaikan kesejahteraan ekonomi. Selain itu, juga tidak ada indikasi bahwa pemerintah akan melakukan koreksi kebijakan ekonomi sehingga lebih memprioritaskan kepentingan nasional. Lalu, mengada-adakah penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY?
Tak memiliki roh
Mari kita kaji beberapa kebijakan era Presiden SBY. Jumlah belanja APBN terus menggelembung hingga lebih dari seribu triliun rupiah, tetapi dibarengi dengan inefisiensi, maraknya percaloan, banyaknya kebocoran, penyimpangan, dan lain-lain. Sementara anggaran yang telah meningkat hampir tiga kali lipat itu tidak memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sebanding.
Jika APBN 2010 adalah anggaran tahun keenam, semestinya Presiden SBY telah mengetahui kelemahan-kelemahan Kabinet Indonesia Bersatu I, kemudian memperbaikinya. Realisasi anggaran yang lambat dan tertumpuk di belakang, misalnya, bukan masalah baru, melainkan telah terjadi sejak APBN 2005. Namun, masalah itu terus berlanjut dan bahkan kinerja APBN 2010 lebih buruk dibanding tahun sebelumnya. Tentu wajar jika masyarakat kecewa, apalagi ramai diberitakan bahwa kementerian dan lembaga berlomba-lomba mengejar ”kinerja anggaran” dengan hanya fokus pada upaya menghabiskan jatah anggaran.
Padahal, harapan masyarakat terhadap perbaikan kinerja APBN lebih substansial, yakni dilakukannya koreksi terhadap politik anggaran nasional yang saat ini semakin tidak memiliki roh. APBN bahkan dinilai sebatas kumpulan angka penerimaan dan angka pengeluaran. Tidak heran apabila pembahasan anggaran antara legislatif dan eksekutif menjadi sangat dangkal dan sering kali perdebatan hanya sebatas besaran angka, bukan pada konsekuensi kebijakan dan dampaknya terhadap ekonomi.
Pemerintahan SBY dinilai tidak mampu menjaga stabilitas harga berbagai kebutuhan dasar. Padahal, kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar menjadi kunci dalam menilai keberhasilan pemerintah. Saat ini, harga berbagai kebutuhan dasar justru cenderung meningkat sehingga daya beli masyarakat bawah terus merosot. Selama enam tahun, Presiden SBY belum melakukan koreksi terhadap kebijakan liberal yang telah mengakibatkan harga pangan serta biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Tentu bukan waktu pendek sehingga wajar jika masyarakat tidak lagi sabar menunggu perubahan.
Keberpihakan
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY juga terkait dengan arah kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada kepentingan nasional. Salah satu contohnya adalah kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Rumah tangga dan para pengusaha menolak kenaikan dan rencana kenaikan tahun 2011 karena akan menekan daya saing dan daya beli. Padahal, telah menjadi pemahaman umum bahwa masalah utama TDL adalah pasokan energi sehingga tidak salah apabila masyarakat berharap Presiden SBY segera memprioritaskan pemanfaatan energi alam untuk kepentingan nasional, termasuk produksi listrik. Sayangnya, Presiden SBY yang juga Ketua Dewan Energi Nasional tidak kunjung membuat keputusan yang diinginkan masyarakat.
Baru-baru ini ketidakpercayaan masyarakat pada keberpihakan kebijakan ekonomi pemerintahan SBY untuk kepentingan nasional makin bertambah. Masyarakat mempertanyakan izin kebijakan impor barang jadi oleh produsen yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 39/M-DAG/PER/10/2010. Kebijakan ini tentu akan mendorong impor produk jadi dan mempersempit ruang bagi pembangunan industri nasional yang kompetitif. Alasan pemerintah bahwa produsen tidak akan serta-merta beralih menjadi pedagang terlalu gegabah mengingat insentif lain, seperti dukungan supporting industry, infrastruktur, kebijakan tarif bea masuk, sangat minimal untuk membuat produsen tetap bertahan.
Kebijakan lain yang tidak pro terhadap pembangunan industri nasional terindikasi dari usulan Menteri Kesehatan agar kepemilikan asing pada industri farmasi diizinkan hingga 100 persen. Rencana Menkes ini tidak sejalan dengan Permenkes No 1010/ 2008, yang dibuat untuk mendorong agar obat-obatan yang dijual di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri. Indonesia adalah pasar terbesar keempat bagi industri obat dunia. Tentu investor asing sangat ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar utama produk obat mereka tanpa harus membangun industri di Indonesia. Rencana tersebut tidak mendukung pembangunan industri farmasi nasional yang semestinya menjadi prioritas pemerintah.
Presiden SBY adalah pemilik amanah yang menentukan politik pembangunan ekonomi selama lima tahun ke depan. Keberhasilan Presiden SBY dalam menjalankan amanah tentu sangat menentukan penilaian masyarakat. Setelah enam tahun, sangat wajar jika masyarakat melakukan penilaian kritis, baik terhadap kualitas kepemimpinan Presiden SBY maupun arah kebijakan ekonominya.
Seandainya di tahun keenam Presiden SBY mengubah arah ekonomi agar sejalan dengan harapan masyarakat serta mengubah haluan ekonomi sehingga menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas, dukungan masyarakat akan membanjir tanpa harus melakukan berbagai rekayasa pencitraan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03075511/kinerja.ekonomi.di.tahun.k
Hendri Saparini Ekonom ECONIT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya