Jumat, 08 Januari 2010

Bank Century dan Akrobat Dalih

Oleh: Iman Sugema


Saya mungkin termasuk salah seorang yang paling menikmati penjelasan-penjelasan yang dikemukakan mantan ketua dan anggota KSSK dalam beberapa minggu terakhir ini, terutama mengenai betapa gentingnya situasi ekonomi makro pada bulan Oktober dan November 2008 menjelang keputusan KSSK untuk menyelamatkan Bank Century.

Pada saat itu, kata mereka, kondisi perekonomian berada di bawah tekanan berat akibat terkena imbas krisis keuangan global. Hal ini ditandai dengan depresiasi nilai tukar yang sangat tajam, merosotnya cadangan devisa secara besar-besaran dalam jangka waktu yang sangat singkat, rontoknya indeks harga saham gabungan (IHSG), perbankan mengalami kesulitan likuiditas, premi risiko yang melonjak, hengkangnya modal asing dari SBI dan SUN, dan sejumlah indikator keterpurukan lainnya.

Saya menikmati pernyataan mereka bukan karena hampir mirip dengan pernyataan saya setahun sebelumnya, tetapi lebih karena bertentangan dengan pernyataan mereka di penghujung tahun 2008. Waktu itu, mereka justru bilang bahwa kondisi perekonomian relatif baik dan tidak perlu ada kekhawatiran secara berlebihan. Akrobat pernyataan yang saling bertentangan ini secara menakjubkan dilakukan dengan penuh percaya diri.

Gelembung finansial

Untuk memahami akrobat tersebut secara jernih, kita mungkin bisa memakai teori mengenai perilaku pejabat publik. Sebagai pemangku amanah rakyat, seorang pejabat publik tidak hanya berperan sebagai orang yang ”melayani” kepentingan rakyat, tetapi lebih sering didorong oleh motivasi yang sangat manusiawi, yakni kepentingan mereka sendiri. Adalah kepentingan mereka untuk selalu kelihatan berprestasi, populer, atau sekadar untuk mempertahankan diri ketika orang lain melihat kebijakannya salah.

Akibatnya, data mengenai situasi perekonomian tidak lagi dianalisis secara obyektif untuk menghasilkan respons kebijakan yang tepat, tetapi ditafsirkan secara subyektif untuk memenuhi kepentingan pejabat publik yang bersangkutan. Harap diingat bahwa ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di seluruh dunia. Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini.

Hyman Minsky (1982), ekonom Amerika Serikat (AS) yang merupakan ”bapak” krisis keuangan, misalkan telah memperingatkan bahwa kerentanan ekonomi dan keuangan dipupuk melalui berbagai kebijakan yang seolah-olah memberikan kejayaan bagi masyarakat. Kemudian, terciptalah gelembung di sektor finansial dan properti, dan gelembung ini terus dipelihara karena memberikan kesan bahwa situasi perekonomian terus membaik. Padahal, gelembung selalu disertai dengan kerentanan finansial yang bila terlambat dilakukan koreksi bisa pecah menjadi krisis keuangan.

Gelembung sektor properti di AS diakselerasi oleh kebijakan suku bunga ekstra rendah di masa Greenspan. Karena itu, Paul Krugman, ekonom AS, menyebutnya sebagai the Greenspan bubble. Kebijakan suku bunga ini dipandang perlu untuk memompa perekonomian dari sisi permintaan agregat setelah Amerika dilanda resesi mini pada tahun 2001. Akan tetapi, kebijakan ini dipelihara terlalu lama sehingga kemudian menyebabkan krisis subprime mortgage.

Di Indonesia, gelembung di sektor finansial selalu ditafsirkan sebagai berkah. Menteri Keuangan pernah menafsirkan kenaikan harga saham yang terus meroket sebagai bentuk menguatnya fundamental ekonomi. Gubernur BI menafsirkan derasnya aliran hot money ke SBI dan pasar saham sebagai meningkatnya kepercayaan asing terhadap Indonesia. Padahal, Minsky memperingatkan agar pejabat publik selalu berhati-hati untuk tidak menambah kerentanan dengan menciptakan optimisme secara berlebihan yang kemudian bisa memompa gelembung yang lebih besar.

Tentunya, ketika likuiditas global mengering, dana asing yang ada di Indonesia ditarik secara besar-besaran. Akibatnya, IHSG terpuruk, SUN dijual murah, rupiah terdepresiasi secara tajam, dan cadangan devisa terkuras. Ditambah lagi, BI melakukan blunder dengan menaikkan suku bunga pada bulan Oktober 2008 sehingga kesulitan likuiditas semakin menjadi-jadi. Hal tersebut mengakibatkan kegentingan situasi makro.

Kesalahan ditutupi kesalahan

Kalau saja kita cukup berhati-hati dalam mengelola ekonomi makro sebelum krisis global, kegentingan tersebut niscaya bisa dihindari. Dalam kondisi genting selalu berlaku prinsip kesalahan ditutupi dengan kesalahan. Karena tidak ingin menciptakan kesan bahwa situasi semakin genting, maka apa pun harus dilakukan untuk menyelamatkan Bank Century. Padahal, kontribusi Century dalam industri perbankan kurang dari satu persen, baik dalam hal aset, kredit, maupun pengumpulan dana. Terlebih lagi, bank tersebut terjerembab bukan karena terimbas krisis global, tetapi karena dijarah habis oleh para pengelolanya.

Belajar dari krisis keuangan yang terjadi berulang-ulang, para ekonom dunia kini sedang sibuk merumuskan macro-prudential regulation atau peraturan mengenai kehati-hatian pengelolaan ekonomi makro. Tujuannya adalah untuk membuat pagar bagi para pembuat kebijakan yang cenderung lebih memerhatikan kepentingan jangka pendek. Ketidakhati-hatian kebijakan makro terlalu sering menciptakan risiko sistemik yang sangat sulit untuk dikendalikan ketika situasi sudah telanjur terlalu buruk untuk bisa dikoreksi.

Konsep kerangka kerja macro-prudential jauh berbeda dibanding stabilisasi makro. Dalam stabilisasi makro, misalnya, inflasi yang rendah sering dijadikan tujuan, seperti yang sekarang ini dilakukan oleh BI. Akan tetapi, dalam konsep macro-prudential, kerentanan finansial justru sering kali merupakan akibat dari rendahnya inflasi. Membaiknya daya beli akibat inflasi yang rendah dapat menyebabkan peningkatan permintaan terhadap aset yang kemudian memicu gelembung di sektor finansial dan properti. Paradigma yang digunakan jelas sangat berbeda.

Intinya, belajar dari kesalahan yang lalu tampaknya kita memerlukan perubahan dalam paradigma kebijakan makro. Dari hanya stabilisasi menjadi macro-prudential. Apakah pengelola makro di negeri kita sudah siap untuk mengubah cara berpikir mereka sendiri?

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/02552260/bank.century.dan.akrob


Iman Sugema Doktor Ekonomi di Bidang Moneter dan Perbankan

Keadilan: Pudarnya Sebuah Harapan

Oleh: Mochtar Buchori



Saya pernah punya harapan yang sangat kuat—hampir berupa sebuah keyakinan—bahwa sebelum akhirnya dipanggil Tuhan, saya masih akan sempat menikmati hidup di alam Indonesia yang bernapaskan keadilan dan kemanusiaan. Harapan ini bekerja sebagai toksin dalam hidup saya.

Pecahnya kontroversi dalam masyarakat tentang kriminalisasi Bibit dan Chandra, dan debat publik yang bertele-tele mengenai hal ini, membuat harapan itu luluh lantak. Yang paling menyakitkan hati saya ialah pernyataan beberapa pejabat penegak hukum bahwa rasa keadilan masyarakat yang terusik bukanlah hal yang penting. Yang paling penting ialah ada-tidaknya fakta hukum dalam suatu kasus.

Pernyataan ini bagi saya berarti bahwa kita hidup dalam suatu sistem hukum yang tidak berpihak kepada rakyat. Kita hidup dalam sistem hukum yang tak memberikan ruang gerak kepada rasa keadilan yang hidup dalam hati rakyat.

Hati saya betul-betul hancur mendengar pernyataan ini. Saya berumur 84 tahun. Rasanya tidak sanggup lagi saya hidup dalam masyarakat di mana rasa keadilan masyarakat terus diinjak-injak. Untuk apa hidup lebih lama kalau setiap hari harus mengalami penderitaan batin? Hidup panjang tidak akan terasa lagi sebagai karunia Tuhan yang harus disyukuri. Hidup lalu akan lebih terasa sebagai kutukan Tuhan. Saya lalu ingat ungkapan Inggris klasik: ”Long life can either be a blessing or a curse.”

Harus terus diperjuangkan

Untunglah periode yang menyakitkan hati ini tidak berlangsung terlalu lama. Munculnya ”kelompok cicak” yang berani melawan ”kelompok buaya”, simpati masyarakat yang muncul secara spontan mendukung ”kelompok cicak”, pembentukan ”Tim 8” dan kegiatan pencarian fakta mereka hingga keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merehabilitasi Bibit-Chandra; perkembangan-perkembangan ini membangkitkan kembali keyakinan saya bahwa bangsa Indonesia akhirnya akan mampu mengembangkan masyarakat yang bernapaskan keadilan dan peri kemanusiaan. Hanya saja pandangan ini sekarang tidak lagi saya rasakan sebagai suatu keniscayaan, melainkan sebagai suatu idealisme yang harus diperjuangkan terus-menerus.

Mengapa terjadi kesenjangan yang begitu besar antara masyarakat dan lembaga-lembaga penegak hukum mengenai hakikat ”keadilan” dan ”peri kemanusiaan”? Dalam pandangan saya, ada dua sebab utama.

Pertama, perbedaan konseptual dan, kedua, perbedaan posisional. Secara konseptual, masyarakat merasakan adanya keadilan atau tidak berdasarkan common sense, yaitu pemahaman yang hidup dalam masyarakat tentang hal yang abstrak ini. Petugas-petugas penegak hukum pada lain pihak mendasarkan pemahaman mereka tentang makna ”keadilan”, ”kebenaran”, dan ”kepentingan umum” atas rumusan-rumusan legalistik yang terdapat dalam berbagai undang-undang.

Secara posisional, masyarakat dan petugas penegak hukum sering berdiri pada pihak yang berlawanan. Apabila terjadi sengketa hukum. masyarakat merupakan pihak yang menjadi sasaran penegakan hukum, sedangkan petugas penegak hukum merasa menjadi pihak yang harus melaksanakan hukum. Apabila sebuah kampung harus dibongkar untuk mendirikan pusat pertokoan, misalnya, maka penduduk kampung menjadi sasaran, sedangkan penegak hukum menjadi eksekutor mewakili pemegang kekuasaan. Konflik pun tidak terelakkan.

Reformasi kultural

Mendambakan birokrasi yang mampu dan bersedia menerima norma-norma masyarakat tentang keadilan, peri kemanusiaan, dan sebagainya berarti menghendaki terjadinya reformasi kultural (cultural reform) dalam masyarakat dan bukan sekadar menantikan terjadinya reformasi birokrasi. Ini menghendaki usaha yang lebih sungguh-sungguh dan waktu yang lebih lama.

Sebagai contoh dapat disebutkan: reformasi birokrasi Jepang melalui Restorasi Meiji butuh waktu 46 tahun (1868-1912). Ini kemudian disambung dengan Reformasi untuk membentuk Birokrasi Demokratis. Ini berlangsung dari 1945-1947. Namun, hasilnya ialah demokrasi yang ”jatuh-bangun”, yang ditandai pergantian pemerintahan yang terlampau sering.

Reformasi birokrasi Turki dimulai oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1923, yaitu setelah ia diangkat menjadi presiden pertama Republik Turki I. Attaturk meninggal tahun 1938, meninggalkan reformasi yang belum selesai. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya. Namun, sampai sekarang dapat dikatakan bahwa reformasi birokrasi Turki belum seluruhnya selesai. Yang berhasil dimodernisasikan baru birokrasi militernya. Itu pun terjadi dengan kelemahan-kelemahan yang bersifat fundamental. Dua kali militer Turki bertindak anti-modern, yaitu melakukan perebutan kekuasaan. Ini terjadi pada tahun 1961 dan 1983.

Yang tidak banyak diketahui orang ialah modernisasi birokrasi di Swedia. Konon reformasi ini berlangsung selama 150 tahun. Dugaan saya ini terjadi dalam Abad XIX (mulai 1814) ketika Swedia mengalami ekspansi industri yang pesat serta liberalisasi pemerintahan.

Reformasi birokrasi yang berlandaskan reformasi kultural tidak akan terjadi apabila tidak ada dialog yang berkesinambungan antara elite kultural (termasuk elite intelektual) dan birokrasi. Sampai saat ini hal ini masih belum terjadi di negeri kita. Masing-masing pihak masih terkendala oleh prasangka serta harga diri. Pihak birokrasi terhambat arogansi kekuasaannya, sedangkan pihak kultural-intelektual dihambat oleh harga diri berlebihan, yang bersumber pada kemahiran menganalisis keruwetan-keruwetan.

Semoga generasi muda tidak meneruskan penyakit ini.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/0236470/pudarnya.sebuah.harapan


Mochtar Buchori Pendidik

Gus Dur sebagai "Orang Asing"

Oleh: Wildan Pramudya


Gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional, Guru Bangsa dan Bapak Pluralisme, sungguh layak diberikan kepada mendiang Gus Dur. Namun, penulis ingin menghormati Gus Dur bukan dengan gelar-gelar kehormatan semacam itu, melainkan hanya dengan mengenangnya sebagai orang asing.

Mengenang Gus Dur sebagai orang asing akan bisa lebih dipahami kalau diletakkan dalam kerangka pemikiran sosiolog Jerman, Georg Simmel. Dalam salah satu tulisannya, The Stranger, Simmel memberikan pengertian yang kompleks, khas, dan unik atas konsep orang asing.

Bagi Simmel, orang asing bukan sebuah tifikasi identitas (orang yang tidak dikenali asal-usulnya), melainkan suatu tifikasi relasi tertentu seseorang dalam suatu komunitas. Tipe relasi yang dimaksud adalah relasi interseksi yang dibangun atas dasar kedekatan (nearness), tetapi sekaligus berjarak (remoteness).

Dalam relasi interseksi, orang asing menjadi bagian dari komunitas, tetapi tidak sepenuhnya menjadi bagian dari komunitas tersebut karena ia tetap mampu mengambil jarak dengannya. Orang asing adalah orang yang berada di dalam sekaligus di luar komunitas.

Gus Dur tepat disebut sebagai orang asing karena selama ini Gus Dur mengembangkan relasi interseksi tersebut tidak saja di dalam komunitas NU, tetapi juga dengan kekuasaan dan berbagai komunitas lain yang lebih luas.

Kritik pedas

Terlahir sebagai cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari; dididik secara kultural di dalam tradisi NU, memulai dan memantapkan karier politik di NU merupakan bukti bahwa Gus Dur adalah elemen penting dan tak terpisahkan dari komunitas NU. Namun, pada saat yang sama, tidak jarang sikap Gus Dur berseberangan dengan tokoh-tokoh penting lainnya di NU dan secara terbuka kerap melancarkan kritik pedas terhadap beberapa kiai nahdliyin, seolah-olah ia tidak sedang menjadi bagian dari NU.

Begitu pula relasi Gus Dur dengan kekuasaan. Pada era Orde Baru, Gus Dur kerap mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto, tetapi—pada saat yang sama—”mengambil” dan menerima Pancasila, yang menjadi kebijakan politik resmi Orde Baru itu, sebagai asas NU.

Hal ini berlanjut saat Gus Dur sendiri berada dalam pusat kekuasaan, yaitu sebagai presiden ke-4 RI. Saat itu Gus Dur secara sinikal menyebut para anggota DPR ibarat murid taman kanak-kanak. Padahal, DPR saat itu diisi oleh banyak anggota yang berasal dari partai koalisi yang justru mendukung dan memilihnya sebagai presiden. Dengan sikapnya itu, Gus Dur dianggap tidak konsisten, mencla-mencle, dan berkhianat pada ikatan koalisi besar partai politik yang mendukungnya. Klimaksnya, Gus Dur pun dilengserkan dari kekuasaan oleh orang-orang yang dulu pernah mendukungnya.

Kendati begitu, dari situ kita bisa memetik pelajaran. Pertama, dengan relasi interseksi sejatinya Gus Dur berupaya untuk tetap (ber)independen terhadap segala bentuk ikatan, sekalipun itu ikatan dengan komunitas paling primordial baginya: NU, ataupun kekuasaan yang sesungguhnya bisa sangat menguntungkan dirinya. Kedua, Gus Dur berusaha mene- rapkan suatu perspektif sosial yang lebih obyektif dalam memandang individu, kelompok, atau institusi.

Obyektivitas

Persis dijelaskan Simmel bahwa orang asing adalah orang dengan pandangan yang obyektif. Obyektivitas orang asing adalah suatu pandangan yang hanya mungkin diperoleh dalam suatu relasi interseksi, yaitu kedekatan dan keberjarakan. Ini berbeda dengan obyektivitas kaum ilmiah positivistik yang hanya memandang sesuatu dengan mengambil jarak dari obyek.

Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok minoritas, seperti umat Konghucu dan Ahmadiyah, misalnya, bisa dipahami dalam kerangka obyektivitas orang asing ini. Gus Dur membela keberadaan mereka atas dasar pandangan obyektif dengan meneropong keberadaan mereka tidak hanya dari kejauhan, tetapi juga dari dekat. Dengan cara ini, Gus Dur mampu memahami cara hidup dan berkeyakinan mereka secara adil dan apa adanya. Maka, dengan cara pandang ini, tidak heran jika kemudian Gus Dur bisa diterima dan dikagumi oleh banyak orang dari berbagai kelompok dan golongan.

Terhadap lawan-lawan politiknya sekalipun, Gus Dur taat menerapkan pandangan obyektif semacam ini dan sangat piawai menjalin relasi interseksi dengan mereka. Dengan demikian, di mata Gus Dur, secara obyektif keberadaan lawan politik adalah sekaligus kawan politik. Sungguh ini sebuah estetika politik yang mungkin tidak mudah dilakukan tokoh politik lainnya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/08/02574579/gus.dur.sebagai.orang.


Wildan Pramudya Aktif di LP3ES

Membangun Masyarakat Entrepreneur

Oleh: Rhenald Kasali


BEBERAPA waktu lalu saya pernah menulis bahwa tahun ini tahun entrepreneur.Beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berbicara pentingnya mencetak usahawan-usahawan baru.

Para menteri, baik Menteri Pendidikan Nasional maupun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kemudian memasukkan hal ini dalam program 100 hari. Yang terakhir, majalah Entrepreneur yang terbit di Amerika Serikat dan menjadi acuan para entrepreneur global, pada edisi penutup 2009,ternyata juga menyebut 2010 sebagai The Year of Entrepreneur.

Entrepreneur Modern

Apa yang saya maksud tentu saja bukan sekadar entrepreneur jadi-jadian.Anda boleh saja punya usaha besar dan terkenal, tapi bagaimana profesionalisme dan keberlangsungannya? Harap dicatat, di negeri ini sudah ada 52,7 juta usaha kecil dan menengah yang menampung lebih dari 90 juta tenaga kerja. Tetapi kalau kita tengok ke dalam, sebagian besar usaha mereka adalah usaha yang dikelola secara asal-asalan, sekadar bisa menghidupi, dan sangat informal.

Itulah sebabnya mereka sulit tumbuh menjadi usaha kelas menengah dan akses terhadap permodalan terbatas. Mereka tidak bisa mendapatkan kredit, selain kredit mikro karena pencatatannya tidak ada dan akibatnya tidak bankable. Selain usaha-usaha itu harus modern, para pembuat kebijakan juga harus memikirkan cara menjadikan usaha-usaha itu unggul dan berdaya saing.Seperti yang kita lihat saat ini, saat negeri ini harus menjalankan kesepakatan perdagangan bebas (FTA) dengan negara-negara ASEAN dan China. Saat produk-produk buatan China menjadi “darling”bagi para UKM, maka satu per satu industri kita jatuh berguguran.

Membangun masyarakat entrepreneur atau entrepreneurial economy jelas bukan sekadar menambah daftar jumlah pelaku ekonomi. Kita tidak cukup melakukannya dengan membuka akses permodalan saja,melainkan juga perlu memodernkan dan menciptakan kekuatan-kekuatan baru yang berdaya saing tinggi. Di negara-negara industri, daya saing dibangun dengan policy economy yang memungkinkan pelaku usaha mampu bersaing secara sehat.Namun, di Indonesia ini pekerjaan rumahnya masih sangat banyak. Kita perlu iklim usaha yang benar-benar sehat, tapi kita juga perlu strategi.

Strategi keunggulan daya saing itu tidak bisa dibangun dengan infrastruktur dan investasi saja.Peran lokasi,industriindustri penopang, badan-badan riset dan dunia pendidikan akan sangat menentukan.Dalam strategi, peran-peran itu kita kelompokkan dalam apa yang disebut institute for collaborations. Itulah yang dilakukan oleh Malaysia, Thailand,Vietnam,dan kini dijalankan oleh Singapura, India, dan China.Namun itulah yang belum dijalankan di sini, di Filipina dan di Myanmar.

Entrepreneurial Economy

Di Amerika Serikat sendiri,gema entrepreneurial economymulai berbunyi keras. Setelah dilanda krisis, banyak orang kehilangan kepercayaan pada perusahaanperusahaan besar.Apalagi setelah banyak industrinya pindah ke China,kini ada banyak profesional muda beralih menjadi owner,menjalankan usahanya sendiri.

Henrik Fisker, 46, adalah contohnya. Mantan desainer kepala perusahaan automotif BMW dan Aston Martin ini sekarang mendirikan perusahaan automotif Fisker. Modalnya USD529 juta, didapat dari pinjaman yang diberikan Departemen Energi Amerika Serikat. Berbeda dengan Detroit yang mempekerjakan ribuan orang,Fisker hanya menampung 50 orang karyawan.Namun, di balik itu Fisker berhubungan dengan lebih dari 80 pemasok dari segala penjuru dunia. Diperkirakan tiga tahun lagi merek baru ini akan segera menyaingi mobil-mobil buatan General Motor. Selain Fisker, ada William Wang yang memperkenalkan televisi layar datar merek Vizio dan dalam tempo sekejap meraih penjualan sebesar USD1,9 miliar.

Wang cukup bekerja dengan 162 orang di California. Mike Michaud, yang usianya baru kepala dua namun baru saja dipecat oleh jaringan ritel elektronik Circuit City, dengan modal hanya USD5.000 kini berhasil dalam bisnis website TV Network.Dalam waktu singkat, mereka berhasil meraih penjualan di atas USD150.000 sebulan. Masih banyak lagi kisah menarik lainnya, sama seperti kita mendengarkan Hengky Eko, lulusan ITS dan UI yang berhasil memasarkan bakso malang melalui lebih dari 150 outlet di seluruh Indonesia, atau Syammahfuz Chazali yang berhasil mendapatkan order membuat batu bata dari kotoran sapi ke luar negeri,sampai Firmansyah Budi Prasetyo yang berhasil membangun sekitar 500 outletTelaKrezz.

Semua fakta-fakta ini menunjukkan entrepreneur hanya bisa eksis kalau pemerintahannya juga dibangun di atas konsep ekonomi entrepreneur. Entrepreneurial Economyadalah suatu konsep yang didasarkan oleh sistem yang memungkinkan para entrepreneur bergerak cepat, dengan biaya-biaya overhead yang rendah,berbasiskan struktur usaha kecil-menengah yang adaptif dan didukung industri-industri penopang yang lengkap serta pasokan SDM dari universitas-universitas atau SMK yang berkualitas. Itulah yang kita butuhkan untuk membangun daya saing ekonomi Indonesia dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Kita perlu negara yang sehat,yang para politisinya berpikir sehat. Negara tak boleh menjadi sumber ketidakpastian karena politisinya haus kekuasaan, senang berkelahi, berbeda pendapat asal-asalan, dan mudah menyimpan dendam.Kita perlu birokrasi yang profesional dan bekerja cepat. Tapi kita juga perlu strategi yang bisa dieksekusi. Itulah sumber kemenangan masa depan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/295770/38/



RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Unisosdem Archives: THE UNITED ARCHIPELAGO

Oleh: bambang warih koesoema



Republik kita di abad 21 ini berbeda dengan Republik Sukarno - Hatta (17 Agustus 1945) yang diwarisi dari administrasi Hindia Belanda seluas 1.9 juta km2 itu.

Dengan menyambungkan batas 12 mile laut dari garis territorial pulau-pulau di lingkaran paling luar kepulauan Indonesia. Republik Indonesia yang terdiri dari ± 18.108 pulau-pulau (tidak termasuk Sipadan dan Ligitan) meliputi tanah dan air seluas ± 8,1 juta km2 dan dengan ZEE (Zona Economy Eksklusive) sepanjang 200 mil laut (± 325 km) rentang kendali pengelolaan Indonesia, air terhadap daratan mencapai perbandingan hampir 88 % air terhadap daratan 12 %.

Negara Indonesia (sekarang) melalui pengakuan hukum laut Internasional (U.N.C.L.O.S. 1982), seluas Amerika Serikat atau Eropa (35 negara djadikan satu), dengan penduduk nomor empat di dunia.

Penyelesaian Indonesia sekarang ini mungkin dapat mengambil referensi Brasil, China, Rusia, India dan juga Amerika serikat, yang juga memiliki permasalahan dan situasi yang mirip Indonesia.

Kita memerlukan ± 700.000 personil Angkatan Darat dan sedikitnya dua kali jumlah personil tersebut dalam bentuk cadangan, ± 300-400 kapal perang, dan ± 900-1000 pesawat tempur dalam berbagai ukuran (F16, Mirage, Tornado, Sukhoi, Sea Harier dan ratusan helikopter agar bisa menempatkan pasukan dimana saja di kepulauan Indonesia) secara cepat, serta ± 80.000-100.000 personil marinir sebagai angkatan tersendiri untuk mengimbangi ± 80.000 km panjang garis pantai Indonesia yang terpanjang di dunia. Untuk itu perlu dibangun industri pertahanan yang memadai.

Kita juga memerlukan pengawal laut & pantai (sea & coast guard) untuk menangkal penyelundupan dan memperkuat ketahanan ekonomi.

Kita juga memerlukan Garda Nasional sebagai gabungan kekuatan Ketahanan Nasional yang dimiliki oleh keempat angkatan dan Polri bilamana Negara berada dalam situasi genting darurat sipil dan dimana polisi tidak mampu mengatasinya, serta administrasi Garda nasional tetap dibawah Menteri Pertahanan Keamanan.

Hanya di dalam keadaan darurat militer dan situasi perang, keempat angkatan berada dibawah Presiden sebagai Panglima Tertinggi. Diluar keadaan itu sehari-hari keempat angkatan dibawah koordinasi kepala staf gabungan dan kebijakan strategisnya berada di tangan Menteri Pertahanan dan Keamanan sebagai supremasi kekuasaan sipil

Besaran angkatan perang dan polri serta komponen pertahanan nasional bisa dibiayai bilamana kita tahu persis kekuatan-kekuatan ekonomi Negara kita yang selama ini terjadi pendarahan terus dan juga peluang yang bisa dimungkinkan dengan membangun daerah-daerah pertumbuhan ekonomi baru dan mengeffektifkan pengelolaan tata ruang yang dapat memancing investasi besar-besaran serta melakukan positioning secara tepat da1am proses liberalisasi perdagangan pada tataran global.

Biaya personil TNI beserta pembelian perlengkapan sekarang ini terlalu kecil, untuk menjaga keamanan maupun produktivitas perekonomian nasional, dinaikkan puluhan kali lipatpun biaya tersebut masih terpikulkan dalam paradigma Indonesia Baru.

"The Big Think is Think Big!". Begitulah kalau kita mengelola Negara "besar" bukan dengan sikap kerdil dan jiwa pengemis.


bambang warih koesoema, 2003

Gus Dur, NU, dan Indonesia

Oleh: Kacung Marijan



Di sela-sela proses pemakaman Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, beberapa orang berbisik sambil bertanya, ”Bagaimana masa depan Nahdlatul Ulama sepeninggal Gus Dur?” Bahkan, ada juga yang mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana masa depan Indonesia?”

Bisa jadi, yang bertanya seperti itu bukan hanya warga nahdliyin yang sangat mengagumi Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa yang merasa kehilangan atas ”kepulangan” Gus Dur juga beragam. Pemikiran dan aksi Gus Dur yang lintas etnis, kesukuan, agama, dan bahkan negara telah memungkinkan hal ini terjadi.

Basis pemikiran

Banyak orang NU dan Indonesia yang cerdas dan memiliki kepemimpinan yang bagus. Namun, Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang- orang semacam itu. Bahkan, dalam taraf tertentu, Gus Dur berbeda dengan almarhum kakeknya, Kiai Hasyim Asy’ari dan almarhum ayahnya, Kiai Wahid Hasyim.

Gus Dur lahir di lingkungan tradisi pesantren yang kuat di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, Gus Dur juga tumbuh dan berkembang di alam modern yang kuat pula, di ”kawasan Menteng”. Dua lingkungan ini telah menyatu di dalam diri Gus Dur, yang kemudian terefleksi pada pikiran-pikirannya.

Dunia pesantren telah memungkinkan Gus Dur memahami dan mendalami pemikiran-pemikiran klasik Islam, khususnya yang berakar pada tradisi Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja). Sementara itu, penguasaan bahasa asing (non-Arab), kemampuan belajar otodidak yang luar biasa, dan bergaul dengan komunitas nonpesantren telah memungkinkan Gus Dur berkenalan dengan pemikiran-pemikiran mondial.

Ladang dan benih-benih pemikiran Gus Dur berkembang dan teraktualisasi berseiring dengan kemampuannya di bidang tulis menulis, suatu bidang yang jarang digeluti oleh anggota komunitas pesantren. Maka, sejak 1970-an, nuansa pemikiran yang dihadirkan oleh Gus Dur memiliki kekhasan, yaitu ulasan mengenai isu-isu kontemporer yang berakar pada tradisi pemikiran Islam klasik.

Di antara pemikiran Gus Dur yang mengemuka adalah berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan. Keduanya bisa menjadi satu kesatuan yang berkait.

Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan alim ulama NU pada tahun 1983 bahwa negara Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah, organisasi NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu.

Dalam pandangan NU—dan Gus Dur— negara Pancasila merupakan negara ideal yang mampu menaungi dan menghargai kebinekaan masyarakat Indonesia. Negara demikian memungkinkan Islam dan agama-agama lain tumbuh dan berkembang dalam sebuah wadah kebersamaan.

Pandangan semacam itu pula yang mendorong lahirnya pemikiran dan praksis Gus Dur yang bercorak multikultural. Realitas bahwa negara-bangsa Indonesia itu beragam dari segi etnik, agama, dan pembeda-pembeda lainnya tidak bisa dikonstruksi melalui pemikiran atau kelompok tertentu. Karena itu, sejak awal, Gus Dur merupakan pembela kelompok-kelompok minoritas yang merasa termarjinalkan oleh kelompok mayoritas.

Dalam pandangan Gus Dur, betapapun kuatnya mayoritas tidak boleh melakukan penyingkiran terhadap kelompok-kelompok minoritas karena mereka memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan berdampingan dengan kelompok mayoritas.

Kepemimpinan

Pemikiran kebangsaan semacam itu bisa jadi bukan hanya khas Gur Dur. Pemi- kir-pemikir lain juga pernah mengemukakan hal serupa. Yang membedakan Gus Dur dengan yang lain adalah berkaitan de- ngan pengaruh pemikian-pemikiran itu.

Sejak 1980-an Gus Dur telah menjadi salah satu sosok yang sangat berpengaruh. Kapasitas pribadi yang berbeda dengan yang lain dan trah darah pemimpin besar Islam—Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Sansuri—telah menjadi sumber legitimasi kepemimpinan yang cukup besar bagi dirinya. Bagi orang luar, kepemimpinan itu lebih terlihat pada kemampuannya memformulasikan gagasan-gagasan secara orisinal, jernih, dan mudah terkomunikasikan, serta kemampuannya mengendalikan organisasi besar NU. Bagi warga NU, kepemimpinan itu bersumber pada kepenguasaannya pada tradisi pemikiran Aswaja, trah kiai besar, dan kemampuannya melakukan olah spiritual.

Tidak seperti kebanyakan pemimpin modern yang semata-mata mengedepankan pemikiran kasatmata semata. Gus Dur sangat dekat dengan olah spiritual. Gus Dur sangat rajin mengunjungi makam- makam, khususnya makam-makam leluhur dan tokoh-tokoh spiritual. Bahkan, konon, Gus Dur biasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh yang telah ”berpulang” itu. Kemampuan semacam itu membuat Gus Dur bukan pemimpin biasa. Implikasinya, apa yang digagas dan dikerjakan juga bukan hal yang biasa saja. Pemikiran tentang multikulturalisme, misalnya, tidak hanya telah menjadi salah satu pegangan penting bagi warga NU di dalam berbangsa dan bernegara. Komunitas di luar NU juga telah menjadikannya sebagai rujukan.

”Quo vadis”?

Orang yang memiliki pemikiran seperti Gus Dur saat ini sebenarnya cukup banyak. Namun, orang yang memiliki pengaruh besar, memiliki akar tradisional dan modern sekaligus seperti halnya Gus Dur jelas tidak mudah muncul lagi.

Dalam situasi semacam itu, tidaklah mengherankan kalau muncul pertanyaan tentang masa depan NU dan ke-Indonesiaan. Sosok Gus Dur telah memungkin- kan NU menjalin komunikasi yang lebih luas dan intens dengan komunitas-komu- nitas non-NU. Sosok Gus Dur pula telah memungkinkan nilai-nilai multikulturalisme terpahami dan terpraktikkan, khususnya di kalangan komunitas Muslim.

Gus Dur memang telah tiada. Namun, pemikiran-pemikirannya tidak akan mudah sirna mengikutinya terutama di lingkungan NU karena di antara sumber pemikiran Gus Dur itu berasal dari tradisi pesantren. Selain itu, saat ini telah muncul pemikir-pemikir muda NU yang cukup pa- ham apa yang telah dilakukan Gus Dur.

Saat ini, masalah kebangsaan di Indo- nesia masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antara kelompok-kelompok masyarakat, baik yang mayoritas maupun minoritas, telah muncul pemikiran- pemikiran dan aksi yang tidak saling menyapa. Dalam situasi semacam itu, tidaklah salah apabila saat ini kita kembali pada akar berdirinya negara-bangsa Indonesia, yang dibangun di atas perbedaan-perbedaan untuk kebersamaan. Pemikiran Gus Dur layak menjadi salah satu rujukan penting.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/06/02271666/gus.dur.nu.dan.indones




Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Manusia Sanguine Bernama Gus Dur

Oleh: Abdul Mu’ti


Meskipun KH Abdurrahman Wahid sudah wafat, masyarakat Indonesia dan dunia tidak akan pernah kehilangan sosok yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur itu.


Jasadnya yang ringkih dengan berbagai penyakit memang telah terkubur, tetapi amal, jasa, dan kepribadiannya akan tetap hidup. Berbagai kalangan, terutama dari lingkungan keluarga dan nahdliyin, telah mencanangkan niat untuk meneruskan perjuangan Gus Dur.Mereka bahkan telah menyusun serangkaian program yang membuat pikiran dan perjuangan Gus Dur dapat dipelajari menjadi teladan bagi generasi muda bangsa.

Manusia Sanguine

Di antara keteladanan Gus Dur adalah kecerdasan, kesederhanaan, keberanian, ketegaran, dan kepribadiannya yang terbuka. Keterbatasan fisik tidak menjadikan Gus Dur seorang yang melankolis, minder, dan inferior. Mengikuti teori kepribadian Hans Eysenck (1970), Gus Dur adalah tipe manusia sanguine. Eysenck membagi kepribadian manusia menjadi empat tipe: melancholic, phlegmatic, choleric, dan sanguine.

Dua tipe yang pertama termasuk dalam kategori introverted (tertutup), sedangkan dua tipe yang terakhir termasuk dalam kategori extraverted (terbuka). Dalam kamus psikologi, sanguine berarti bloody: sosok yang optimistis, penuh semangat,dan hangat. Menurut tipologi kepribadian Eysenck, manusia tipe sanguine memiliki delapan karakteristik: sociable (suka bergaul), outgoing (peramah), talkactive (banyak/ suka bicara), responsive (cepat tanggap), easy going (supel, tidak suka repot-repot), lively (lincah), carefree (periang, tanpa beban), dan leadership(pemimpin).

Seperti dikemukakan banyak tokoh, salah satu kelebihan Gus Dur adalah pikirannya yang terbuka dan suka bersilaturahmi. Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, secara eksplisit mengatakan betapa dirinya kalah dibandingkan dengan Gus Dur dalam hal silaturahmi. Saking gemarnya bersilaturahmi, Gus Dur merupakan Presiden Indonesia yang memecahkan rekor kunjungan ke luar negeri. Seakan tidak peduli dengan besarnya anggaran negara yang harus dibayar, Gus Dur tetap menjadwalkan kunjungan ke luar negeri.

Karena itu, semasa pemerintahan Gus Dur, beberapa kalangan membuat joke: jika Presiden Soekarno mengurangi sila Pancasila menjadi trisila atau bahkan satu sila,yaitu gotong royong, Gus Dur menambah sila dasar negara menjadi enam, yaitu silaturahmi. Gus Dur adalah sosok yang egalitarian. Sikap egalitarianisme itu tecermin dari kepribadiannya yang humoris.Gus Dur tidak hanya suka membuat jokeyang menyindir orang lain, tetapi juga dirinya sendiri. Gus Dur tidak hanya membuat orang lain tertawa, tetapi juga menertawakan dirinya.

Ketika masih menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak sepi dari tudingan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gus Dur diduga terlibat kasus Buloggate, sebuah kasus yang membuatnya lengser. Di tengah tekanan politik,Gus Dur menyikapi tuduhan KKN dengan enteng.Dalam sebuah pengajian di depan warga nahdliyin, Gus Dur membuat joke: ”Semua Presiden Indonesia KKN. Presiden Soekarno KKN: kanan kiri nyonya.Presiden Soeharto KKN: korupsi,kolusi, dan nepotisme. Presiden Habibie KKN: kecil-kecil nekat. Nah, saya juga KKN; kanan kiri nuntun.” Karena sikapnya yang suka humor itu, Gus Dur diterima oleh hampir semua kalangan. Bagi Gus Dur, joke memiliki makna lebih dari sekadar menghibur.

Sebagaimana ditulis dalam buku Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000), joke adalah salah satu media kritik.Sebagai seorang budayawan,Gus Dur sangat piawai mereka-reka cerita yang sarat kritik pedas, tetapi tetap jenaka dan santun. Salah satunya adalah joke tentang seorang priyayi kota yang terperosok jurang/kolam. Ceritanya, suatu ketika seorang priyayi kota berjalan-jalan ke kampung.Karena tidak menguasai medan, sang priyayi terperosok ke jurang. Berkali-kali sang priyayi berteriak minta tolong. Dalam posisi yang sekarat, datanglah seorang petani desa memberikan pertolongan.

Merasa dirinya sudah diselamatkan, sang priyayi menawarkan ”imbalan”kepada sang petani. ”Sebagai balas budi, Bapak boleh mengajukan permintaan apa saja kepada saya.” Dengan sangat tulus, petani menjawab,”Saya tidak minta balasan apa-apa dari Bapak.” ”Saya ini orang mampu,silakan Bapak mengajukan permintaan,” desak priyayi kota. Karena terus-menerus didesak, akhirnya petani desa menyampaikan permohonan, ”Saya cuma minta satu hal. Jangan laporkan kepada Pak Soeharto kalau saya sudah menolong Bapak.

” Joke ini disampaikan Gus Dur sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto yang represif.Pemerintahan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tidak memberikan kebebasan berpendapat. Banyak aktivis yang ditangkap karena mengkritik pemerintah. Rakyat hidup dalam ketakutan. Seseorang yang berkata benar,kalau bertentangan dengan pemerintah, bisa masuk bui. Joke petani desa itu menggambarkan betapa pada masa Presiden Soeharto, orang berbuat baik pun ketakutan. Begitulah strategi kultural Gus Dur.

Sedikit Berlebihan

Tiada hari tanpa tertawa. Begitulah kira-kira gambaran kehidupan Gus Dur.Selain jokeyang bernas dan filosofis, kadang-kadang Gus Dur membuat joke yang menjurus porno dan kasar.Sebutlah misalnya joke perihal melahirkan dari dekat dubur sebagai indikator keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.

Joke lain, yang masih meaningful, tapi menjurus kasar,adalah guyonan penyebab gempa Yogyakarta. Dalam sebuah wawancara di program Kick Andy, Gus Dur menjelaskan penyebab gempa Yogyakarta. Di depan audiens yang menunggu jawaban serius, Gus Dur menjawab mengapa terjadi gempa Yogyakarta? Jawabannya karena Nyai Roro Kidul dipaksa pakai jilbab. Sontak penonton di studio dan––mungkin––di rumah tertawa terpingkal-pingkal.Pada akhirnya, Gus Dur memang menjelaskan makna di balik joke-nya itu. Kebiasaannya melucu dan talkative membuat sebagian orang mengesampingkan pernyataan-pernyataan Gus Dur.

Mereka malah menganggapnya sambil lalu dan sebagai hiburan semata-mata. Sikapnya yang talkative dan easygoing terkadang membuatnya kurang dihormati.Kebiasaannya bercanda yang agak berlebihan terkesan meremehkan persoalan yang serius. Pernyataan khasnya, ”gitu saja kok repot”, memang telah menjadi trade mark Gus Dur yang mendunia. Banyak orang menggunakan ungkapan tersebut bukan dalam konteks positif,tetapi cenderung negatif. Di kemudian hari, Gus Dur ditinggalkan oleh orang-orang yang dibesarkannya.Tidak sedikit pun tebersit duka.

Ketika terjadi konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang melibatkan dirinya dan keponakannya, Gus Dur dengan latah menyebut PKB sebagai paman dan keponakan berantem. Tidak mengherankan jika seorang Indonesianis asal Australia yang semula sangat mengagumi Gus Dur suatu hari berkomentar: he is just playing.Meskipun dikenal sebagai seorang yang humoris, Nabi Muhammad mengingatkan umatnya agar tidak bercanda secara berlebihan.Kegembiraan yang berlebihan bisa membuat seseorang lupa diri dan sekelilingnya. Carefree (menyepelekan masalah) bisa membuat seseorang menjadi careless(ceroboh).

Bangsa Indonesia patut belajar dari sosok Gus Dur.Manusia sanguine yang cerdas,merdeka,dan percaya diri.Semoga khusnul khatimah, Gus.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/295767/



Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif CDCC, Jakarta

Gus Dur Pejuang Pluralisme Sejati

Oleh: Benyamin F Intan


Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme. Sebelum meninggal, Gus Dur berpesan, ”Saya ingin di kuburan saya ada tulisan: Di sinilah dikubur seorang pluralis” (Kompas, 3/1).

Gus Dur seorang pluralis. Gebrakannya yang terkenal: menjadikan Konghucu agama resmi negara. Gus Dur juga mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional (fakultatif).

Komitmen Gus Dur memperjuangkan pluralisme melewati ujian yang tak mudah. Tahun 1995-1997 terjadi kerusuhan etnoreligius di Jawa Timur dan Jawa Barat, daerah basis Nahdlatul Ulama (NU). Ratusan gereja dan beberapa toko milik orang Tionghoa dibakar dan dihancurkan. Tujuannya, mendiskreditkan Gus Dur bahwa visi Islam toleran yang diusungnya gagal. Merespons kekerasan itu (1997- 1998), Gus Dur menciptakan jejaring aktivis muda NU mencegah teror lebih lanjut dengan mengorganisasikan patroli keamanan di gereja dan toko Tionghoa.

Ketika para pakar seperti John Rawls melihat kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan. Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.

Dalam bidang keagamaan, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Gus Dur menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya.

Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Dalam wawancara untuk penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga nilai universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah—untuk menghadirkan pluralisme sebagai agen pemaslahatan bangsa.

Kebebasan dan keadilan

Kebebasan menjadi prasyarat hadirnya pluralisme. Gus Dur mendambakan terciptanya ”komunitas merdeka” dalam masyarakat etno-religius Indonesia yang heterogen. Dalam komunitas merdeka, hak hidup entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi dari intervensi kekuatan eksternal, tetapi juga kesempatan mengekspresikan identitasnya di ruang publik.

Dalam bidang keagamaan, Gus Dur meyakini Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama, tetapi juga mencakup peran ”etika kemasyarakatan” agama di ruang publik (Prisma Pemikiran Gus Dur, 213-4). Di sinilah letak signifikansi sila pertama Pancasila. Sekadar kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga, dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama: mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang publik.

Perjuangan Gus Dur yang tak mengenal lelah membela hak minoritas menunjukkan kepekaannya terhadap rasa keadilan. Keberpihakan kepada yang lemah dan miskin adalah kewajiban moral menegakkan keadilan dalam dunia yang tak adil. Demi mewujudkan keadilan, Gus Dur menentang dikotomi mayoritas-minoritas.

Wacana mayoritas-minoritas yang bersifat hierarkis dan oposi- sional bukan hanya mengancam keadilan, tetapi juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Itu sebabnya bagi Gus Dur, sekalipun Islam agama mayoritas, Islam sebagai etika kemasyarakatan tidak boleh menjadi sistem nilai dominan di Indonesia, apalagi menjadi ideologi alternatif bagi Pancasila. Fungsi Islam seperti juga agama lain, sebatas sistem nilai pelengkap bagi komunitas sosiokultural dan politis Indonesia.

Musyawarah

Bagi Gus Dur, musyawarah menuntut kesadaran interdependensi dan sikap partisipasi. Itu berarti hidup bersama bukan lagi semata-mata secara sosial dan praktis, tetapi harus secara ”teologis”. Artinya, penerimaan satu sama lain harus dengan sepenuh hati. Perbedaan diterima sebagai sesuatu yang baik secara intrinsik. Toleransi bukan lagi sekadar menerima keberagaman, tetapi bagaimana supaya keberagaman membawa manfaat.

Sepeninggal Gus Dur, upaya melestarikan pluralisme merupakan penghargaan terbesar baginya, jauh lebih besar daripada penganugerahan pahlawan nasional yang sedang diusulkan banyak pihak.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/07/02391229/gus.dur.pejuang.plural


Benyamin F Intan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion & Society

Rabu, 06 Januari 2010

Analisis Ekonomi :Memperkuat Sendi Mikroekonomi

Oleh: Ahmad Erani Yustika

Perekonomian Indonesia pada 2009 memiliki banyak warna. Paling pokok, krisis ekonomi global tanpa ampun juga menghajar ekonomi nasional, sehingga sebagian aktivitas ekonomi mengalami pengerutan yang tajam.


Kegiatan investasi,ekspor (impor), fluktuasi nilai tukar,dinamika tingkat bunga, dan lain-lain mengalami guncangan yang cukup berarti sehingga secara akumulatif membuat pertumbuhan ekonomi merosot menjadi sekitar 4,3%. Di luar itu,jika dikomparasikan dengan kinerja ekonomi negaranegara tetangga dan negara maju, Indonesia masih beruntung karena tidak sedikit negara-negara tersebut yang pertumbuhan ekonominya minus. Sebagian analisis ekonomi menyimpulkan bahwa Indonesia diselamatkan oleh variabel konsumsi rumah tangga dan kontribusi ekspor yang tidak terlalu besar dalam perekonomian. Sebaliknya, stimulus fiskal yang diharapkan berperan lebih besar malah tidak efektif dalam implementasinya.

Refleksi Ekonomi 2009

Indonesia pada 2009 menjadi kisah penting bahwa kegiatan ekonomi yang substantif sebetulnya lebih banyak dipikul oleh para pelaku usaha kecil dan sektor pertanian. Lebih dari itu, pada saat sebagian besar inisiatif kebijakan pemerintah gagal diimplementasikan, aktivitas ekonomi pada level mikro tetap menunjukkan geliat yang nyata. Ini tentu berbeda dengan realitas yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan besar, di mana begitu kebijakan pemerintah gagal menjangkau kepentingannya sontak kinerja ekonominya menjadi ambruk.

Secara telanjang tahun ini kita diberi deskripsi yang nyata bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3% merupakanaktivitas “genuine” yang dimiliki masyarakat,yang akan tetap bergerak dengan atau tanpa kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, jika mengasumsikan pemerintah tidak bekerja pun,modal tetap yang telah dimiliki oleh bangsa ini adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 4% tersebut. Terdapat beberapa argumentasi yang dapat disampaikan untuk menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kebijakan secara efektif.

Pertama,kebijakan stimulus fiskal yang diluncurkan pemerintah gagal mencapai sasaran, baik dalam pengertian jumlah dana yang diserap maupun program-program yang didesain. Sejak awal kritik yang mengemuka adalah desain stimulus lebih condong kepada “tax saving” yang implikasinya terhadap peningkatan konsumsi sangat diragukan. Analisis inilah yang kemudian terbukti di lapangan, ketika tax saving tersebut tidak berkontribusi terhadap pengeluaran konsumsi individu maupun badan.Sementara itu,dari sisi penyerapan, stimulus fiskal yang diharapkan bergerak sejak Triwulan I malah berjalan seperti keong sehingga baru berjalan mulai Triwulan III.

Sehingga, stimulus fiskal sebagai “papan luncur” yang akan mendorong perekonomian menjadi tidak tidak terbukti. Kedua, dari sisi moneter boleh dikatakan pemerintah dan otoritas moneter berhasil menjaga stabilitas makroekonomi, di antaranya ditunjukkan dengan nilai tukar yang berhasil diturunkan di bawah Rp10.000/USD, inflasi yang “super rendah” (sekitar 3% sampai akhir tahun), dan neraca pembayaran yang tetap positif.Namun, otoritas moneter gagal total berperan menggerakkan sektor riil karena perbankan tidak mau menurunkan tingkat bunga (deposito dan kredit) sehingga biaya investasi menjadi mahal.

Sulit dipahami,kebijakan bank sentral yang telah menurunkan BI rate hingga tinggal 6,5% tidak diikuti dengan penurunan bunga bank.Di sini,kredibilitas BI benarbenar jatuh karena tidak lagi dihormati oleh sektor perbankan.Pada situasi inilah kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat benarbenar akibat usaha sendiri dan bukan oleh fasilitas yang didesain pemerintah dan otoritas moneter.

Prospek Ekonomi 2010

Meskipun tidak ada kepastian dalam kegiatan ekonomi, tetapi dapat diprediksi kegiatan ekonomi pada 2010 lebih cerah ketimbang 2009. Krisis keuangan global ternyata “berakhir” lebih cepat dari yang diperkirakan.Pernyataan ini tentu hanya menunjukkan pada level makro saja,namun belum bertumpu kepada pemahaman pada level mikro yang lebih detail. Secara umum, makroekonomi global banyak berpihak kepada pilihan untuk berpendapat “optimis”pada 2010.

Pasar komoditas global telah bergerak karena negara-negara maju dan emerging countries sudah membaik daya belinya, sehingga ekspor berpeluang untuk meningkat. Demikian pula dari sisi investasi, dana-dana asing kemungkinan besar akan merayap mencari peluang yang paling menguntungkan. Tentu saja, seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia masih merupakan salah satu negara tujuan investasi yang prospektif bagi para investor tersebut.

Sungguh pun begitu,pekerjaan rumah Indonesia yang paling nyata bukanlah meningkatkan ekspor dan mendatangkan investasi asing. Sebab,jika itu memang tujuannya, pemerintah tidak perlu bekerja secara serius karena dua sasaran itu akan bergulir secara otomatis seiring pemulihan ekonomi global. Agenda terpenting pemerintah sebetulnya berada pada level mikroekonomi yang menjamin peluang berusaha bagi setiap masyarakat terpenuhi. Pertama, secara umum “pasar distribusi” untuk banyak komoditas masih sangat terkonsentrasi (misalnya pada barang pertanian) sehingga keseimbangan harga pasar tidak pernah terjadi.

Tentu saja ini merugikan pelaku ekonomi di sektor hulu (petani) dan konsumen. Kedua, proyek legalisasi usaha mikro dan kecil mesti diprioritaskan agar kelompok usaha tersebut memperoleh kepastian usaha dan kemudahan berhubungan dengan lembaga keuangan formal (bank maupun nonbank). Ketiga, persaingan usaha menjadi medan pertarungan yang sengit karena di balik kasus kakap yang melibatkan korporasi-korporasi asing maupun domestik (misalnya semen, telekomunikasi, dan perdagangan) tersimpan kasus serupa pada level usaha skala menengah dan kecil.

Praktek kartel wilayah maupun penutupan ruang berusaha tetap marak di lapangan akibat adanya mafia ekonomi. Ini bukan sekadar pekerjaan rumah pemerintah pusat (KPPU), tetapi juga menjadi fokus pemerintah daerah. Keempat, infrastruktur ekonomi di luar Jawa harus segera dibangun, khususnya yang memfasilitasi UMKM dan sektor pertanian/ perkebunan. Apabila langkah-langkah ini dilakukan, maka kinerja makroekonomi yang cerah pada 2010 akan diikuti dengan perbaikan kinerja pada level mikroekonomi.

Impian inilah yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama, namun selama ini selalu gagal dihadirkan pemerintah dalam dunia nyata.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/294904/



Ahmad Erani Yustika
Direktur Indef, Wakil Dekan (Akademik) FE Universitas Brawijaya

Selasa, 05 Januari 2010

Usulan Gus Dur Pahlawan Nasional

Oleh: Asvi Warman Adam


Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa melalui siaran pers mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Usulan serupa juga diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan, Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi. Semuanya dalam bentuk siaran pers.

Pahlawan nasional berasal dari orang yang gugur dalam perjuangan menentang penjajahan atau membela bangsa dan negara. Atau bisa juga tokoh yang semasa hidupnya memperlihatkan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi yang luar biasa bagi pembangunan serta kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

Pengusulan pahlawan nasional dapat diajukan oleh perorangan, kelompok masyarakat, organisasi, lembaga pemerintah atau nonpemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan yang disahkan Presiden pada tanggal 18 Juni 2009.

Pengajuannya disertai riwayat hidup calon dan perjuangannya; dengan kata lain, usulan itu harus disertai alasan-alasan yang kuat serta dilampiri fakta dan dokumen pendukung.

Dewan gelar

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 ditetapkan bahwa Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan meneliti dan memberi pertimbangan kepada Presiden mengenai calon penerima gelar pahlawan nasional. Dewan Gelar itu terdiri dari tujuh orang diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan menteri (dalam hal ini tentunya Menteri Sosial karena direktorat kepahlawanan nasional terdapat pada kementerian ini). Komposisinya terdiri dari dua orang akademisi, dua orang berlatar belakang militer, dan tiga orang tokoh masyarakat yang pernah menerima tanda jasa atau tanda kehormatan. Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan ini harus terbentuk paling lambat enam bulan setelah undang-undang ini disahkan, berarti sebelum tanggal 18 Desember 2009.

Sepanjang pengetahuan saya, Dewan Gelar ini belum terbentuk sampai sekarang. Menteri Sosial seyogianya segera mengajukan tujuh nama anggota Dewan Gelar ini kepada Presiden agar dapat diangkat. Sementara itu, para pihak pengusul agar segera mengirimkan surat resmi beserta riwayat perjuangan Gus Dur serta persyaratan teknis lainnya melalui dinas sosial (daerah tingkat II dan tingkat I), selanjutnya kepada Direktorat Kepahlawanan Nasional Kementerian Sosial. Kementerian Sosial akan mengajukan kepada Presiden setelah diteliti oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

Proses pengajuan pahlawan nasional di atas merupakan jalur resmi. Baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru terdapat tokoh-tokoh yang pengajuannya tidak dari bawah. Nyonya Tien Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Rapat Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat (Rakor Kesra). Para menteri ini menghadap Presiden Soeharto yang tentu tidak menolak ketika istrinya diusulkan.

Di dalam Pasal 15 Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen disebutkan bahwa ”Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang.” Jadi, meskipun Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat pahlawan nasional, tetapi hal ini harus dilakukan sesuai dengan undang-undang.

Peraturannya sudah dibuat DPR dan disahkan oleh Presiden pada bulan Juni tahun 2009. Presiden seyogianya pula mengambil kebijakan tidak menyalahi aturan hukum. Yang jelas, pengusulan pahlawan nasional tidak bisa melalui siaran pers atau Facebook.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/05/0302161/usulan.gus.dur..pahlawa


Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Menghargai dan Mencari Figur Pengganti Gus Dur

Oleh: Laode Ida


Dua hari menjelang akhir tahun 2009, warga bangsa ini ditinggalkan seorang tokoh besar, mantan Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Mantan Ketua Tanfidziyah PB NU selama 15 tahun (tiga periode) itu pergi untuk selamanya, hijrah ke alam baka memenuhi panggilan Sang Pencipta.

Yang merasa kehilangan atas kepergian Gus Dur tentu bukan saja kaum nahdlyin (warga Nahdlatul Ulama/NU), melainkan juga banyak pihak, utamanya bagi pencinta tegaknya nilai-nilai pluralisme di negeri ini. Bahkan, pada tingkat tertentu, ada kalangan minoritas yang sedikit gelisah lantaran membayangkan suasana psikologis yang bukan mustahil akan berbeda pada era pasca-Gus Dur.

Suasana kejiwaan sosial seperti itu memang wajar. Soalnya mereka sudah merasakan begitu signifikan dan selalu tulusnya cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, itu memberikan perlindungan terhadap kalangan minoritas sehingga bisa menjalankan hak-hak budaya dan agama yang dianut secara baik. Bahkan, lantaran pemikiran dan sikapnya yang demikian konsisten dalam melakukan pembelaan terhadap elemen bangsa yang terusik hak-hak budaya, agama, dan politiknya itu, Gus Dur memperoleh kritik tajam atau berhadapan dengan kekuatan konservatif dalam pandangan agama dan sikap politik tertentu.

Namun, bukan Gus Dur namanya kalau gentar atau kendur dalam menghadapi semua kritikan dan kecaman yang tertuju kepadanya. Sebaliknya, ia semakin gigih dengan memperoleh dukungan luas baik dari elemen-elemen masyarakat demokrasi di Indonesia maupun mancanegara. Semuanya menjadi bagian dari penguat gerakan pemikiran dan budaya dalam rangka mendarah-dagingkan nilai-nilai kemajemukan sehingga suasana kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan selalu harmonis dan penuh toleransi.

Eksistensi pluralisme

Gagasan dan tindakan Gus Dur seperti itu sebenarnya merupakan ajaran nilai-nilai kebangsaan yang hakiki berangkat dari realitas sosiologis keindonesiaan, berangkat dari penghargaan yang tinggi terhadap hakikat dan eksistensi kemanusiaan. Kita tak bisa menghindarkan diri dari kenyataan multi-etnik dan komunitas dengan budaya dan agama masing-masing; yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari fondasi filosofis bangsa ini: Bineka Tunggal Ika.

Tepatnya, ketika Gus Dur mengembangkan pemikiran dan gerakan sosial budaya untuk penghargaan terhadap eksistensi pluralisme, sebenarnya ia tengah melakukan penyadaran kepada masyarakat dan penyelenggara negara untuk terus memperkokoh bangunan keindonesiaan. Sebaliknya, bagi siapa pun yang menghalanginya, boleh jadi merupakan bagian dari segelintir warga atau elemen bangsa yang secara tak langsung berupaya merapuhkannya. Yang terakhir ini sudah pasti sangat tidak diinginkan.

Pemikiran kebangsaan dan perjuangan Gus Dur itu sudah sangat jelas dan seharusnya menjadikan rujukan bagi penyelenggara negara dan atau siapa pun yang berperan di ranah publik. Dengan demikian, tak perlu ada yang khawatir dengan menganggap ”jangan-jangan roh Gus Dur tak menjelma atau masuk dalam kalbu para penentu kebijakan di negeri ini”.

Masalahnya, memang, andai pun ”ajaran Gus Dur” diakui eksistensinya, tetapi belum tentu ada yang secara berani mengimplementasikannya. Padahal, penghargaan terhadap Presiden ke-4 RI yang itu bukan hanya sekadar menganggapnya berjasa sebagai ”pahlawan bangsa” dan atau istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Bapak Pluralisme, melainkan pada tingkat di mana ajarannya benar-benar diwujudkan dalam praktik hidup bermasyarakat dan bernegara. Tanpa itu, berarti sama halnya dengan mengabaikannya, hanya menjadikannya sebagai pelaku sejarah sosial dengan pemikirannya yang selalu menarik untuk dikaji, tetapi sulit atau luput diaplikasikan.

Kekhawatiran seperti itu pada dasarnya juga beralasan. Mengapa? Pertama, tindak lanjut perjuangan Gus Dur memerlukan figur berkarakter di mana, kalau mau jujur diakui, hingga sekarang kita masih sulit menemukannya. Kita memang memiliki banyak tokoh yang menonjol (prominent figures) dengan kapasitas individu yang kuat. Akan tetapi, (1) jarang yang memiliki keberanian untuk secara progresif tampil ”melawan arus”, berkorban untuk sebuah idealisme bernilai kerakyatan dan kebangsaan, dan (2) memiliki basis budaya dan massa yang jelas sebagai modal sosial dan back up politik.

Terlambat menyiapkan

Gus Dur merupakan sosok pemikir Islam, aktivis dan pejuang yang tanpa ragu berjuang untuk tegaknya kebenaran dan keadilan, dengan dukungan kapasitas individu dan basis sosial politik yang jelas (yaitu NU); di mana semua itu menjadikannya disegani oleh kekuatan-kekuatan konservatif yang berupaya mengganggu atau menghalanginya.

Kedua, agaknya jajaran NU sedikit terlambat dalam mempersiapkan sosok pengganti Gus Dur.

Barangkali pada saat posisi NU di bawah pengaruh Gus Dur begitu menonjol, para tokoh lain di jajaran NU lebih menikmatinya ketimbang merancang skenario regenerasi atau sirkulasi elite ”dari NU untuk bangsa” secara berkelanjutan.

Gus Dur sendiri, dengan segala kelebihannya, terkesan mencengkeram NU untuk tetap berada di bawah ”kekuasaannya” sehingga secara langsung ataupun tidak langsung menghambat peluang munculnya figur-figur alternatif dari NU. Padahal, di dalam warga NU, tanpa perlu menyebutkan namanya satu per satu, telah dan sedang bermunculan figur-figur terdidik dan potensial yang berpikiran progresif seperti halnya Gus Dur.

Kondisi sekarang ini, tak berlebihan kalau dikatakan bahwa baik NU maupun beberapa elemen bangsa ini tengah berada dalam transisi pencarian figur-figur ”Gus Dur Baru” untuk melanjutkan perjuangannya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/04/03230297/menghargai.dan.mencari


Laode Ida Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI, Artikel Ini Pandangan Pribadi

Pluralisme Pasca-Gus Dur

Oleh: Zuhairi Misrawi


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam prosesi pemakaman Gus Dur menyatakan bahwa almarhum adalah Bapak Pluralisme dan Multikulturalisme. Sultan Hamengku Buwono X juga menyebut Gus Dur sebagai pejuang pluralisme, Kamis (31/12).

Kematian Gus Dur sungguh mengejutkan seluruh pihak. Doa senantiasa menggema di jagat republik ini, termasuk dalam pesta malam Tahun Baru yang lalu. Penulis sangat terharu ketika melihat langsung ratusan ribu warga menyambut kedatangan jenazah almarhum di pesarean Pesantren Tebuireng. Mereka melambaikan tangan sembari melafadzkan pujian kepada Tuhan dan Muhammad SAW, sebagaimana lazimnya dalam tradisi NU.

Salah satu jasa besar Gus Dur adalah mengukuhkan panji-panji pluralisme. Sebab itu, pernyataan Gus Dur sebagai bapak dan pejuang pluralisme merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan lagi. Meskipun demikian, pernyataan tersebut meninggalkan dua hal: harapan dan tantangan.

Harapan, karena pluralisme masih menjadi laku sosial-politik. Mereka yang mendukung tegaknya kebinekaan merupakan kelompok mayoritas. Sebaliknya, mereka yang menolak pluralisme adalah kelompok kecil yang kadang kala suara mereka lantang di permukaan. Meskipun suara mereka lantang, tetapi kehendak publik pada pluralisme tidak akan mampu ditundukkan oleh ambisi dan tendensi mereka.

Gus Dur berada di barisan garda depan untuk memperkuat pluralisme di republik ini. Istimewanya, pluralisme yang dikembangkan Gus Dur tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur secara eksplisit menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal, partai tersebut didukung sepenuhnya oleh basis kalangan Muslim tradisional. Gus Dur telah mampu menggabungkan antara pemikiran dan tindakan pluralisme.

Gus Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka yang tertindas, sebagai warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum. Tatkala menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak politik etnis Tionghoa. Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok minoritas mempunyai hak sipil-politik ataupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sama dengan hak-hak kelompok ”pribumi”. Eksistensi mereka dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini, pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkukuh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.

Tantangan

Meskipun demikian, harus diakui bahwa pluralisme masih menghadapi tantangan yang serius, terutama pasca-fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme. Beberapa hari lalu, dalam sebuah khotbah Jumat di salah satu masjid di Ciputat, penulis masih mendengarkan seorang khatib yang mengutip fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.

Fatwa semacam ini merupakan tantangan serius dalam membangun harmoni dan kebersamaan. Karena seolah-olah ketika berhubungan dengan kelompok lain yang berbeda, maka dianggap akan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Padahal, dialog dan perjumpaan justru dapat menjadi kekuatan dan potensi, terutama dalam konteks kebangsaan.

Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.

Pluralisme makin mendapat tantangan karena tindakan intoleransi sepanjang tahun 2009 masih menjadi momok yang menakutkan. Setidaknya, menurut pemantauan Moderate Muslim Society, ada sekitar 59 tindakan intoleransi. Puncaknya adalah aksi terorisme yang membuktikan bahwa ekstremisme dengan mengatasnamakan paham keagamaan tertentu masih mengemuka. Pelaku dan jaringannya berhasil ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi paham dan habitatnya masih terus berkembang.

Fatwa keagamaan berupa penyesatan dan pengharaman terhadap kelompok minoritas dalam intra-agama sepanjang tahun 2009 juga menjadi tantangan serius. Fatwa tersebut dapat digunakan untuk melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Fatwa tersebut kerap kali dijadikan sebagai landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan mereka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Di samping itu, kelompok minoritas harus mendapatkan perlakukan tidak manusiawi oleh sekelompok masyarakat yang tidak beridentitas, baik penyerangan maupun pengusiran.

Oleh sebab itu, Pew Forum on Religion and Public Life (2009) dalam rilisnya tentang indeks diskriminasi yang dilakukan pemerintah, Indonesia termasuk negara dalam kategori high dan very high karena masih ada undang-undang dan hukum yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan tindakan intoleran, baik berupa restriksi, dehumanisasi, dan opresi. Bahkan, diskriminasi yang terjadi di republik ini menyerupai Pakistan dan Afganistan.

Dalam hal ini, menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran Gus Dur menjadi sangat relevan. Di antaranya diperlukan pandangan keagamaan yang berorientasi kebangsaan, yang dapat melindungi seluruh warga negara, apa pun agama, keyakinan, kelompok, ras, dan sukunya. Dalam buku Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Gus Dur menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus mengembangkan pandangan keislaman yang berorientasi kebangsaan. Salah satu pesan yang kuat dalam Al Quran adalah bahwa Muhammad SAW diutus oleh Tuhan untuk membangun persaudaraan bagi seluruh umat (QS al-Anbiya [21]: 107).

Istilah tersebut menjadi salah satu prinsip yang menonjol di lingkungan Nahdlatul Ulama, yaitu Islam Rahmatan lil ’alamien. Islam menyebarkan ajaran tentang perdamaian dan toleransi, bukan ajaran yang menebarkan konflik, apalagi kekerasan. Gus Dur senantiasa menyatakan bahwa keberislaman yang berkembang di Tanah Air berbeda dengan keberislaman yang berkembang di Arab Saudi. Interaksi kebudayaan di antara berbagai kelompok di Tanah Air telah menjadikan Islam sebagai agama yang terbuka terhadap perbedaan dan keragaman, bahkan mendorong demokratisasi.

Oleh karena itulah, dalam rangka memberikan penghormatan terhadap Gus Dur sebagaimana dilakukan oleh Presiden Yudhoyono, akan sangat baik apabila MUI menarik kembali fatwa pengharaman terhadap pluralisme. Dan, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi wibawa MUI. Tradisi penangguhan dan koreksi fatwa dilakukan oleh ulama terdahulu, sebagaimana dilakukan oleh Imam Syafi’i dengan diktum pendapat lama (qaul qadim) selama masih di Irak dan pendapat baru (qaul jadid) ketika menetap di Mesir.

Tentu, pada masa mendatang, kehidupan berbangsa dan bernegara yang relatif toleran dan harmonis ini harus didukung oleh kebijakan publik dan pandangan keagamaan yang secara sungguh-sungguh dapat memperkuat kebinekaan. Itulah sesungguhnya yang menjadikan Gus Dur sebagai pendekar pluralisme di republik ini.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/04/0257230/pluralisme.pasca-gus.du

Zuhairi Misrawi Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society

Gus Dur Telah Pergi

Oleh: Franz Magnis-Suseno


Meskipun tahu bahwa Gus Dur sakit-sakitan, saat kemarin Tuhan mengatakan, ”Gus, sudah cukup!”, mengagetkan juga. Banyak dari kita, khususnya tokoh dan umat berbagai agama di Indonesia, merasa kehilangan. Kita menyertai arwahnya dengan doa-doa kita agar ia dengan aman, gembira, dan pasti terheran-heran dapat sampai ke asal-usulnya.

Betapa luar biasa Abdurrahman Wahid, Gus Dur kita ini! Seorang nasionalis Indonesia seratus persen, dengan wawasan kemanusiaan universal. Seorang tokoh Muslim yang sekaligus pluralis dan melindungi umat- umat beragama lain. Enteng-enteng saja dalam segala situasi, tetapi selalu berbobot; acuh-tak acuh, tetapi tak habis peduli dengan nasib bangsanya. Orang pesantren yang suka mendengarkan simfoni-simfoni Beethoven.

Rahasia Gus Dur adalah bahwa ia sama sekali mantap dengan dirinya sendiri. Ia percaya diri. Ia total bebas dari segala perasaan minder. Karena ia tidak pernah takut mengalah kalau itu lebih tepat, ia tidak takut kehilangan muka (dan karena itu memang tak pernah kehilangan muka), dan ia juga tidak gampang tersinggung karena hal-hal sepele.

Gus Dur berhati terbuka bagi semua minoritas, para tertindas, para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Umat-umat minoritas merasa aman padanya. Gus Dur membuat mereka merasa terhormat, ia mengakui martabat mereka para minoritas, para tertindas, para korban.

Tak perlu defensif

Ada yang tidak mengerti mengapa Gus Dur begitu ramah terhadap agama-agama minoritas, tetapi sering keras terhadap agamanya sendiri. Namun, Gus Dur demikian karena ia begitu mantap dalam agamanya. Karena itu, ia tidak perlu defensif dan tidak takut bahwa agamanya dirugikan kalau ia terbuka terhadap mereka yang berbeda.

Apakah Gus Dur seorang demokrat? Ia sendiri sebenarnya lebih menyerupai kombinasi antara kiai dan raja Jawa. Namun, ia seorang demokrat dalam arti yang lebih mendalam. Ia betul-betul meyakini dan menghayati hak-hak asasi manusia. Ia tidak tahan melihat seseorang terinjak martabatnya, ia menentang kekejaman atas nama apa pun.

Bagi saya, Gus Dur mewujudkan Islam yang percaya diri, positif, terbuka, ramah. Dengan demikian, ia memproyeksikan gambar yang positif tentang Islam. Dan, kalau pada kunjungan negara ia menyalami kepala negara lain dengan lelucon, mereka menyadari bahwa presiden Muslim ini seorang humanis dan warga dunia.

Bahwa karier politik aktif Gus Dur kontroversial berkaitan juga dengan kenyataan bahwa ia tidak dapat melihat. Keterbukaannya tidak pernah berubah.

Apa yang tinggal sesudah Gus Dur pergi? Sekurang-kurangnya dua. Pertama, hubungan begitu baik antara umat beragama yang dirintisnya akan berkembang terus.

Kedua, dengan generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader intelektual bangsa yang terbuka, pluralis, dan cerdas; modal bagus bagi masa depan bangsa.

Yang dirintis Gus Dur akan berjalan terus. Nevertheless, Gus, we will miss you. Resquiescat in pace.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/04/02533153/gus.dur.telah.pergi


Franz Magnis-Suseno
Rohaniwan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Dengan Mati, Gus Dur Abadi

Oleh: Yudi Latif


Tunjukkan padaku seorang pahlawan, niscaya akan kutulis suatu tragedi,” ujar pujangga F Scott Fitzgerald. Di tengah gemuruh takbir dan derai isak tangis yang mengiringi kepergian KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebuah ode ditulis banyak orang di media dan jejaring maya yang menobatkannya sebagai pahlawan.

Pahlawan adalah mereka yang berani mengubah tragedi menjadi jalan emansipasi. Seperti itu jualah Gus Dur. Secara individual ataupun komunal, ia tumbuh mengerami rangkaian kepahitan dan keterpinggiran.

Sejak masa kanak-kanak, ia mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, ditambah kecelakaan susulan yang mengganggu penglihatannya. Sebagai ”cucu dari kakeknya dan anak dari ayahnya”, Gus Dur yang mewarisi rumah Islam tradisional juga mendapati umatnya dalam situasi keterpurukan, sebagai subaltern (yang terpinggirkan) yang diremehkan rezim kemodernan.

Ia tidak menyerah. Sebelah matanya yang berfungsi baik ia optimalkan untuk membaca. Keterpurukan tradisi tidak membuatnya rendah diri, melainkan memberinya dorongan untuk melakukan penyelamatan.

Dalam mencari modus penyelamatan itu, ia mengamalkan nasihat Imam Syafi’i kepada para pencari untuk berani melakukan pengembaraan (intelektual). ”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tidak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya.”

Gus Dur berbeda dengan pendahulunya yang demi mengagungkan tradisi kerap menolak unsur kemodernan, yang membuat pondok pesantren agak terlambat mengantisipasi kemajuan. Gus Dur berani melakukan pengembaraan hingga ufuk terjauh filsafat, pengetahuan, dan peradaban Barat.

Namun, dia berbeda dengan pengembara lain yang cenderung melupakan asalnya sehingga, menurut Harry J Benda, adalah suatu perkecualian kaum inteligensia Indonesia yang mengenyam pendidikan Barat akan menjadi pembela dan juru bicara dari kelas asalnya. Gus Dur ibarat kacang yang tak pernah melupakan kulitnya. Sejauh apa pun ia mengembara, ia selalu ingat jalan kembali ke rumah tradisi, dengan menjangkarkan kemodernan pada akar jati diri dan mensenyawakan universalitas keislaman dengan lokalitas keindonesiaan. Tempat perabadiannya di Kompleks Pondok Pesantren Tebuireng meneguhkan komitmen Gus Dur untuk senantiasa kembali ke rumah tradisi.

Jadilah ia bak pohon dengan akar yang menghunjam dalam, batangnya menjulang tinggi, dedaunannya rindang. Dengan akarnya yang kuat, ia tumbuh menjadi pemimpin yang percaya diri, tidak mudah goyah diterpa angin kritik, fitnah, tuduhan, dan ancaman. Dengan batangnya yang menjulang, ia menjadi pemimpin yang visioner yang melampaui zamannya. Dengan dedaunannya yang rindang, ia bisa menjadi pelindung siapa saja yang merasa kepanasan dan terpinggirkan.

Kepergian Gus Dur adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Seperti kata Sayidina Ali, ”Jika seorang pahlawan alim meninggal, terjadilah lubang dalam komunitas yang tidak tertutupi hingga datang alim lain yang menggantikannya.” Tugas kita adalah membuat Indonesia negeri yang cocok bagi hidupnya para pahlawan alim yang baru.

Kehilangan harus menjadi pemicu bagi kebutuhan. Biduk perahu Indonesia terancam oleng oleh ketiadaan nakhoda kepemimpinan yang kuat, visioner, dan pengayom. Tanpa keteguhan untuk mempertahankan nilai tradisi luhur jati diri bangsa, pemimpin kita mudah menyerah pada dikte kepentingan dan falsafah lain. Tanpa ketinggian dan keluasan visi, kepemimpinan terperangkap dalam ritualisme pencitraan dan pragmatisme jangka pendek, tak memiliki daya antisipatif dalam merespons perkembangan global. Tanpa kesiapan menjadi pengayom, kepemimpinan menjadikan kemajemukan sebagai alat manipulasi politik, melupakan kemungkinan konvergensinya bagi usaha emansipasi dan kemajuan bangsa.

Gus Dur meninggalkan kita di tengah keprihatinan yang ditimbulkan kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak lama ia perjuangkan. Rule of law menjadi sekadar rule by law, dengan berbagai aturan dibuat demi melegitimasikan kepentingan kuasa dalam kemasan pencitraan taat hukum. Pelarangan buku dan ”pemanggilan” media dilakukan. Korupsi politik demi melestarikan kekuasaan merebak dengan mengancam perhatian kuasa dalam mengemban tugas pelayanan dan penyejahteraan.

Dalam situasi seperti ini, tugas intelektual untuk ”berkata benar pada kuasa” penting dipancangkan sebagai penjaga kewarasan bangsa. Keberanian berkata ”benar” inilah warisan kepahlawanan Gus Dur yang teramat mulia untuk dijunjung tinggi tunas pahlawan masa depan. Seperti kata Leo Tolstoy, ”The hero of tale—whom I love with all the power of my soul, whom I have tried to portray in all his beauty, who has been, is, and will be beautiful—is Truth.”

Dengan ”kebenaran” yang engkau wariskan, pulanglah, Gus, dengan tenang. Kita hanyalah anak sang waktu yang mengalir dari titik ke titik persinggahan sementara. Namun, setiap jejak tidaklah sia-sia. Setiap kata yang engkau sapakan memberi gairah pada hidup. Setiap canda yang engkau kelakarkan memberi senyum pada kemelut. Setiap darma yang engkau sumbangkan memberi tenaga pada sesama. Dengan menanam, engkau hidupkan asa masa depan. Dengan mati, engkau abadi!

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/05/02394140/dengan.mati.gus.dur.ab


Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Indonesia dan Gus Dur

Oleh: Benny Susetyo


Di tengah sakit yang mendera, pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan menelepon untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan rekan-rekan sejawat lainnya.

Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu berposisi di Kantor PB NU (juga sempat menyatakan sudah makan bubur). Saat itu beliau menyatakan keluhan sakit pada giginya. Saya menanyakan mengapa tidak istirahat di rumah sakit saja, beliau masih menjawab dirinya sehat-sehat saja.

Memang ada yang berbeda dalam perjumpaan terakhir itu dan itu yang membuat saya pribadi begitu berat kehilangan. Dalam percakapan itu Gus Dur menitipkan beberapa pesan penting dan tidak saya sadari itulah pesan terakhir kepada kami.

Harga mati

Yang pertama yang beliau sampaikan secara sungguh-sungguh adalah masalah keindonesiaan kita. Beliau berharap agar keindonesiaan bisa kita jaga dengan sekuat tenaga, keberanian, dan kejujuran. Kata ”kejujuran” itu diulang berkali-kali seolah untuk menunjukkan betapa kejujuran dalam ber-Indonesia selama ini sudah benar-benar diabaikan, utamanya dalam politik-kekuasaan.

Yang kedua, ”Pluralisme itu harga mati, Romo.” Pluralisme itu mutlak untuk membangun Indonesia kita yang memiliki banyak suku bangsa dan agama. Pluralisme menjadi cara pandang paling baik untuk bersikap dan bertindak. Sudah tidak ada lagi yang bisa ditawar, pluralisme harus menjadi cara pandang untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.

Yang ketiga, tak lupa beliau berpesan tentang sikap yang sebaiknya dilakukan agar dalam menghadapi tantangan dan tentangan yang datang dari kaum yang memiliki fanatisme sempit dan fundamentalisme. Menurut Gus Dur, itu semua harus dihadapi dengan cinta. Kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan karena ia hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan. Untuk mewujudkan perdamaian, cinta adalah dasar dari nilai-nilai kemanusiaan dan humanisme universal.

Tak lupa beliau mengingatkan bahwa saat ini negara kita dikendalikan oleh para mafia hitam. Mereka seolah memiliki kekuasaan dan kekuatan yang bisa menghancurkan kedaulatan hukum kita. Itu semua, sekali lagi ditegaskannya, karena sudah hampir hancurnya kejujuran dalam bertindak dan berperilaku. Tanpa kejujuran kita hanya akan terperosok pada hal sama berulang-ulang. Saya mengingat betul kalimat yang beliau sampaikan bahwa negara ini akan hancur apabila dibimbing oleh orang yang tidak punya nurani.

Atas itu semua Gus Dur masih meyakini bahwa peluang untuk menjadikan Indonesia lebih baik itu masih terbuka apabila kekuasaan diorientasikan untuk membantu rakyat, bukan semata-mata mendukung pada kapital. Karena itu, dibutuhkan proses yang panjang dan terus-menerus untuk mendidik masyarakat ini, demikian ujarnya.

Perjuangannya untuk kaum minoritas dan pembelaannya untuk kaum perempuan juga sudah tak diragukan lagi. Itu setidaknya dinyatakan pada akhir pembicaraan agar ikut serta membantu dan memperkuat perjuangan yang sudah dijalani oleh Ibu Shinta Nuriyah selama ini.

Dalam percakapan singkat di telepon itu, saya tidak tahu jika itu pesan terakhir Gus Dur kepada kami yang juga relevan ditujukan kepada rekan-rekan sejawat yang masih setia dengan perjuangan untuk pluralisme, demokrasi, dan humanisme melalui kekuatan hati nurani dan kejujuran.

Di tengah derita rasa sakit yang sudah dijalaninya bertahun- tahun, bahkan di akhir hayatnya, Sang Gus Dur begitu jelas dan tegas menyatakan kecintaannya untuk Bumi Pertiwi ini, dengan keyakinan dan semangat! Adakah teladan seperti ini bisa dikuti para elite dan politisi kita dewasa ini.


Peristiwa Situbondo

Begitu banyak ide nyeleneh beliau yang diposisikan kontroversial di tengah masyarakat pada akhirnya terbukti sebagai ide-ide yang lurus, yang mendukung pluralisme dan demokrasi. Itu arti- nya ada pertanyaan besar di te- ngah kita semua, adakah jalan yang kita tempuh selama ini begitu menyimpang sehingga jalan lurus pun dianggap sebagai nyeleneh?

Romo Mangun (almarhum) adalah tokoh yang memperkenalkan saya kepada Gus Dur pada 1996, terutama di sekitar peristiwa Sepuluh Sepuluh. Sebuah peristiwa yang menggemparkan sejarah hubungan agama dan negara di masa rezim Orde Baru. Kita pun ingat istilah rekayasa para ”naga merah” untuk menghancurkan ”naga putih”.

Peristiwa pembakaran gereja pertama kali di Situbondo pada 1996 itu didokumentasikan secara lengkap dalam berbagai foto, catatan, dan analisis. Saat itulah begitu jelas diketahui bagaimana rezim berkeinginan untuk mengadu domba keberagamaan masyarakat.

Saya mengingat saat itu Gus Dur datang dari Roma dan langsung menuju Situbondo, sekaligus meminta maaf atas adanya kejadian itu—walau kita tahu persis itu bukan kesalahan Gus Dur dan kelompoknya. Gus Dur menyadari ada kekuatan rezim yang mengadu-domba dengan menggunakan agama sebagai kepentingan politik.

Semenjak itu saya mengenal Gus Dur sebagai tokoh yang tidak hanya berbicara, melainkan juga melakukan tindakan. Kami sering turun ke bawah untuk memberikan penjelasan kepada umat yang diombang-ambingkan informasi sesat.

Semenjak itulah kami merumuskan apa yang selanjutnya dikenal dengan ”Persaudaraan Sejati”. Itu semua disadari dan diyakini bahwa peristiwa Sepuluh Sepuluh itu bukan konflik agama, melainkan konflik politik yang menggunakan agama sebagai kambing hitam.

Begitu banyak kami menjalani hari-hari memperjuangkan pluralisme, toleransi, kebersamaan, dan demokrasi bersama Gus Dur. Sudah tak terkirakan lagi sumbangsih beliau untuk kemajuan negeri ini. Kini Indonesia hidup tanpa seorang Gus Dur. Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah kita mampu menjaga dan meneruskan semua cita-cita besar beliau untuk mewujudkan Indonesia yang beradab? Semoga.

Selamat jalan, Gus....

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/05/03014478/indonesia.dan.gus.dur



BENNY SUSETYO Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia

Senin, 04 Januari 2010

10 Perusahaan siap bangun Pabrik Gula mulai 2011, Dimana 2 Pabrik Gula Berlokasi di Merauke

Sepuluh perusahaan besar akan bangun pabrik gula di 11 wilayah di Tanah Air untuk mendukung upaya swasembada gula.

Perusahaan tersebut adalah PT Wilmar, PT Bakrie Sumatera Plantations (BSP), PT Rosan Kencana Perkasa, PT Bina Muda Perkasa/Market IndoSelaras, PT Gemilang Unggul Luhur Abadi, PT Gula Manis Tinanggea, PT Sumber Mutiara Indah Perdana, PT Permata Hijau Resources, PT Duta Plantation Nusantara, dan PT Sukses Mantap Sejahtera.

Investasi yang diperlukan untuk pembangunan satu unit pabrik gula berkapasitas 15.000 ton cane per daya (TCD) mencapai Rp1,5 triliun, kapasitas 10.000 TCD mencapai Rp1 triliun, dan 6.000 TCD mencapai Rp 600 miliar.

Pada cetak biru swasembada gula nasional 2010-2014 yang diterima Bisnis kemarin diketahui pembangunan pabrik tersebut rata-rata berkapasitas 8.000 ton cane per day (TCD) hingga 12.000 TCD.

Tempat pembangunan pabrik gula tersebut mulai dari Merauke, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat.

Wilmar, pemain besar di sektor perkebunan kelapa sawit itu, dikabarkan akan membangun pabrik berkapasitas 8.000 ton dengan potensi/cadangan areal sekitar 10.000 ha di Merauke.

BSP akan membangun dengan kapasitas 12.000 ton dengan potensi/cadangan areal 50.000 ha di Merauke.

Pada awal tahun lalu, telah dilaksanakan pemaparan oleh PT Bakrie Sumatera Plantations dalam rangka investasi pengembangan industri gula berbasis tebu di Kabupaten Merauke dengan sasaran mendorong percepatan produksi gula menuju swasembada gula nasional. Paparan dilaksanakan di Direktorat Jenderal Perkebunan Deptan yang dihadiri pejabat dari berbagai instansi terkait, baik tingkat Provinsi Papua, Kabupaten Merauke dan lingkup Deptan serta Asosiasi Gula Indonesia. Berlandaskan Program pemerintah untuk gula dan bahan bakar minyak yaitu roadmap swasembada gula nasional dan roadmap pengembangan biofuel, PT BSP berencana mendirikan pabrik gula dan bio etanol di wilayah Distrik Okaba.

Hasil survei Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) areal potensial untuk pengembangan tebu di Kabupaten Merauke seluas 220.000 ha. Area survei PT BSP berada di dalam wilayah Distrik Okaba seluas 70.000 ha berupa hutan (86%), rawa (5%), lahan terbuka (10%), semak (1%).

Bulan kering

Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian (Deptan) Achmad Mangga barani mengatakan produktivitas tebu di Merauke bisa mencapai 100 ton per hektare dan menghasilkan rendemen gula mentah 16%, sedangkan untuk gula kristal putih bisa mencapai 13%.

Hal tersebut, jelas Achmad, disebabkan oleh bulan kering atau musim kering di Merauke selama 4 bulan dalam 1 tahun sehingga dapat menghasilkan rendemen di atas 11%.

Achmad memperkirakan sebuah pabrik gula rafinasi membutuhkan lahan 20.000-30.000 hektare, sedangkan di Indonesia ada 250.000-300.000 hektare lahan yang masih berpotensi untuk itu.

Dirut PTPN X Subiyono menuturkan total pabrik gula yang ada di Indonesia saat ini mencapai 61 yang terdiri dari 51 milik BUMN dan sisanya swasta.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar investasi yang diperlukan untuk pembangunan satu unit pabrik gula berkapasitas 15.000 TCD mencapai Rp1,5 triliun. Kapasitas 10.000 TCD mencapai Rp1 triliun, dan 6.000 TCD mencapai Rp600 miliar. (diena.lestari@bisnis.co.id)

Food estate Merauke dibangun 2010

Pada Februari 2010, pemerintah akan meluncurkan food estate yang dipusatkan di Merauke sebagai upaya untuk menampung keinginan investor berinvestasi pada sektor pertanian di Tanah Air.

"Nantinya, investor akan dapat memanfaatkan di daerah Merauke yang masih cukup luas," ujar Menteri Pertanian Suswono di Departemen Pertanian, kemarin.

Kini, kata Suswono, peraturan pendukung food estate itu sedang dimatangkan.

"Masih dilihat, apakah bentuk peraturan yang memayungi food estate itu berbentuk peraturan presiden atau peraturan pemerintah," ujarnya.

Menteri mengatakan yang diatur dalam peraturan tersebut a.l. luas maksimum lahan, jangka waktu usaha, penggunaan subsidi bagi pelaku usaha, ketentuan fasilitas kredit, saham maksimum yang bisa dimiliki asing dan lainya.

Tujuannya dibuatnya food estate ini selain menunjang program swasembada pangan selain padi, jagung, kedelai, singkong, tetapi juga untuk mendukung pengembangan tanaman yang dibutuhkan untuk bahan bakar nabati.

Sebelumnya, sejumlah perusahaan besar dari dalam dan luar negeri telah menyatakan keseriusannya untuk berinvestasi di Merauke.

Sejumlah perusahaan besar dari dalam negeri itu a.l. Medco, Arta Graha, dan Sinar Mas.

Sebelumnya, dalam dialog dengan para petani SP VI Tanah Miring Merauke (30 September 2009), Menteri Percepatan Daerah Tertinggal, M. Lukman Edy, mengatakan potensi lahan pertanian yang cukup besar di Kabupaten Merauke, dengan cakupan 1,9 juta ha, dilirik PT Indonesia Makmur, perusahaan yang selama ini mengimpor beras dari Vietnam, akan mengembangkan lahan pertanian seluas 200.000 ha.

Menurut Menteri, lahan seluas 200.000 ha yang akan dikembangkan tersebut dengan investasi sebesar US$500 juta atau setara dengan Rp4,5 trilun.

Pengembangan lahan pertanian seluas 200.000 ha ini akan dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun.

Menurut Mentan, food estate akan difokuskan untuk wilayah luar Jawa.

Hal tersebut bertujuan agar tidak ada konflik antara para pelaku usaha dan petani. Mentan menyatakan pemerintah tetap konsisten untuk melindungi kepentingan petani.

"Tidak mungkin petani yang memiliki lahan seluas 0,3 hektare harus berhadapan dengan pengusaha yang memiliki 10.000 hektare lahan," katanya.

Pada kesempatan itu, Suswono menyatakan saat ini pendataan lahan sedang dilakukan.

Dia mengatakan dengan adanya data yang tepat mengenai jumlah lahan baik yang berproduksi maupun lahan tidur maka akan membantu penerapan kebijakan di sektor pertanian.

Yang penting, katanya, jika data yang dimiliki tepat, pemerintah akan memberikan kebijakan yang tepat. Dengan demikian, tambahnya, produktivitas produk pertanian utama seperti padi dapat ditingkatkan.

"Swasembada dapat dipertahankan dan dimungkinkan akan mengingkat," katanya. (diena.lestari@bisnis.co.id/ www.bisnis.com)

Perkebunan Sawit Mengancam Hutan Tropis dan Manusia di Papua

Oleh: Marianne Klute (*)


Papua adalah daerah konflik. Salah satu penyebab utamanya adalah kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini yang kemudian membawa militer menempatkan diri di Papua.

Sepuluh tahun yang lalu, pada akhir rezim Suharto, Papua masih padat hutan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Setelah Soeharto mengundurkan diri (1998), Papua ditimpa oleh mafia liar dalam mencari kayu tropis. Papua juga menjadi wilayah utama operasi mafia kayu internasional. Hutan Papua telah menjadi medan konflik antara kepentingan nasional dan local. Diperkirakan konflik-konflik ini pasti akan berlangsung dalam waktu panjang.

Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten dalam rangka otonomi khusus. Segera setelah pembagian tersebut, banyak perusahaan kayu memasuki Papua. tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan konsesi penebangan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan tersebut membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka sendiri. Mereka bersama-sama menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua. Menurut data pemerintah, HPH lebih dari 14 juta hektar dialokasikan kepada perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala Burung, di wilayah sekitar Teluk Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di kabupaten Boven Digul dan Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan tinggi. Hampir satu juta hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah juta hektar milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk pertambangan. (lihat juga peta HPH di http://www.papuaweb.org/gb/peta/fwi/05.jpg).
Izin konsesi lahan menunjukan bahwa untuk Industri kayu (HPH), 14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397 ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha.

Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan Papua dibagi-bagi seperti ‘kue, atas nama pembangunan. Pertanyaannya adalah, masyarakat adat pemilik hak itu dapat apa dari ‘kue’ yang dibagi-bagi itu? Pembagian “Kue Papua” berdasarkan HPH mempunyai beberapa dampak yang tak diinginkan. Dalam periode 2001 sampai 2008, jadi hanya dalam waktu tujuh tahun, penebangan sah oleh HPH meningkat sekitar sepuluh kali lipat. Karena izin HPH pada umumnya yang mendasari tindakan penyalahgunaan, maka penebangan liar juga telah meningkat drastis, hingga 90%; tidak ada daerah lain di Indonesia dengan prosentase yang begitu tinggi. Karena itu, impor kayu tropis liar dari Indonesia sumbernya adalah Papua. Jika hutan Papua yang mempunyai keanekaragaman hayati luar biasa dan unik terus-menerus dimusnahkan dengan begitu pesat, maka punahnya hutan dalam beberapa tahun mendatang menjadi jelas.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, penebangan hutan telah merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat kehilangan hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya, yaitu sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat.


Perkebunan Sawit

Meledaknya bahan bakar agrofuels menyebabkan meluasnya ekspansi perkebunan secara besar-besaran. Hutan tropis di Papua hampir tak mempunyai kesempatan untuk bertahan, karena muncul ancaman baru yakni minyak sawit. Pemerintah Indonesia bereaksi atas kebutuhan energi dunia dengan perencanaan 20 juta hektar perkebunan sawit. Papua berkenan menyediakan tujuh juta hektar. Ini bisa berarti bahwa 9,3 juta hektar hutan konversi diperuntukkan bagi perkebunan. Perjanjian pertama untuk perkebunan besar-besaran termasuk infrastruktur terkait telah ditandatangani pada bulan Januari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibilang menekan Papua agar rencana dari Jakarta diterima. Artinya, demi biofuel menurut keinginan Jakarta, Papua harus takluk.

Di Papua terdapat beberapa perkebunan yang sudah lama ada di daerah tersebut. Perkebunan sawit yang lebih besar dan yang “produktif” saat kini hanya terdapat di wilayah dekat Jayapura (Lereh, Arso) dan Boven Digul (Korindo), semua wilayah tersebut memiliki produksi yang sangat rendah. Pengalaman dengan perkebunan tersebut adalah pengalaman yang memprihatikan. Sepuluh kali lebih banyak hutan yang ditebang dari pada yang ditanam dengan kelapa sawit. Dampak negatif lainnya adalah banjir di Lereh, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Arso dan di perkebunan Korindo di Boven Digul, masyarakat adat kehilangan tempat pemburuan. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemiskinan, penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi, dan kelaparan. Juga stres dan trauma berkepanjangan akibat masyarakat tak berdaya di hadapan kekuasaan pemerintah Indonesia.

Adanya kaitan erat antara perekonomian perkebunan dan penggundulan hutan untuk lahan perkebunan, hutan harus ditebang habis dan sisanya seperti akar-akaran dimusnahkan dengan api. Tak hanya di Papua, juga di Kalimantan dan Sumatra perusahaan kelapa sawit memiliki lahan jauh lebih banyak dari pada lahan yang ditanami. Pada Januari 2007, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian pertama yang besar dan relevan untuk Papua. Perusahaan Indonesia Sinar Mas Grup akan mengelola satu juta hektar perkebunan sawit, perusahaan minyak nasional asal Cina CNOOC akan membangun infrastruktur yang diperlukan.

Media Indonesia menyebutkan salah satu donatur proyek ini adalah KFW dari Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau - bank negara/IBRA) atau anak perusahaanya swasta yaitu DEG sebagai donor. Sementara itu, perealisasian proyek tersebut goyang. DEG sepertinya telah memundurkan diri dari proyek tersebut, dan Sinar Mas mengakui adanya “risiko”. Namun demikian, Jakarta melakukan tekanan yang kuat terhadap Papua supaya menerima maksud dari ekspansi. Di sisi lain perusahaan-perusahaan mempunyai ketertarikan atas bisnis yang menguntungkan pihaknya ini dan sibuk bernegosiasi pada semua tingkatan:dengan para gubernur dan dengan bupati masing-masing. Perkebunan secara besar direncanakan di Pantai Utara (Sarmi, Jayapura), di daerah Kepala Burung (Manokwari, Sorong) dan di tiga Kabupaten di daerah Selatan: Merauke, Boven Digul, dan Mappi. Di bagian Selatan saja, tiga juta hektar perkebunan sawit akan didirikan, termasuk Merauke dengan 1,3 juta hektar.

Hutan Papua akan dikonversi menjadi perkebunan. Konglomerat international telah bersiap di sekitar wilayah setempat, Perjanjian pada tiga tingkatan: negara, provinsi, kabupaten sudah tentu ada untuk “pembiayaan infrastruktur” dengan alasan meningkatkan akses kemudahan di bagian Utara: Sarmi, Jayapura; Selatan: Boven Digul,
Mappi, Merauke dan Barat: Sorong, Manokwari. Perencanaan muncul pada ‘meja hijau hutan belantara’, seperti digambaran dengan penggaris begitu saja di atas kertas. Perusahaan sawit berada disekitar wilayah sejak Mei 2007 dan mencoba mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang politik dan juga gereja, dengan menjanjikan akan memberikan investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur.

Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan telah berhasil memperoleh hak atas puluhan ribu hektar tanah. Masyarakat tak mempunyai hak atas partisipasi. Ternyata, kebanyakan dari mereka tak mengetahui apa yang akan menimpa mereka. Namun sebagian dari mereka menolak hilangnya hutan dan hak atas tanah mereka .

Masih dipertanyakan, apakah perkebunan besar-besaran ini bisa direalisasikan sesuai dengan yang direncanakan. Pihak perusahaan juga mengetahui bahwa investasi di bidang agro-industri yang belum layak di sebuah wilayah dengan infrastruktur yang buruk dan bahaya keamanan serta politik yang tinggi menggambarkan adanya sebuah resiko perekonomian. Namun satu yang pasti bahwa pembagain “kue” hutan harapan terakhir di Asia, terutama di Indonesia telah berlangsung di Tanah Papua. Tanah milik orang adat Papua itu telah terancam, termasuk orang adatnya sendiri.*

(*) Sekretariat Watch Indonesia. Plannufer 92 Strasse, Berlin-Germany.


sumber: www.tabloidjubi.net
KOMPAS.com - Ini kehilangan tak terperi. Tapi diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun yang lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), di Kramat Raya Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur ada di dalamnya. Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya sendiri. Itulah stroke-nya yang pertama dan paling dahsyat, yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.

Sebelum malapetaka itu, Gus Dur adalah sosok “pendekar” yang nyaris tak terkalahkan. Pada waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya. Aku tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda, wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.

Aku telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diriku sendiri sebagai murid beliau sejak aku masih remaja. Tapi memang Gus Dur telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan dan tindakan-tindakannya.

Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat aku ditunjuk sebagai salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta’dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.

Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Di Bawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada “Nawaksara”, mengingatkanku pada “Revolusi belum selesai!”

Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika. Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu, dari Amerika pula. Maka presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika.

Venezuela mengimpor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah ke sana. Maka presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita. Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hasanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam, lalu melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana…

Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi sungguh yang terbetik di benakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menempuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno. Yaitu mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan apabila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerjasama diantara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.

Hanya saja, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan itu dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya sendiri memang menjadi andalannya. Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.

Tapi pahlawanku bertempur di tengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka nasib Diponegoro pun dicicipinya pula…

Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, ketimbang ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi di tengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja. Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.

Kini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hambaNya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat ia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini, agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya. Gus Durku, Bung Karnoku… Selamat jalan….

Note : Catatan oleh Yahya Cholil Staqup, mantan Juru Bicara Presiden Gus Dur , Judul Asli : Andai Gus Dur Menjadi Presiden Sebelum Sakit (http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/12/30/23332638%20/berita.foto.rakyat.berduka.melepas.gus.dur)

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...