Oleh: Rachmat Pambudy
Sejak Reformasi 1998, kemiskinan dan pangan selalu jadi masalah besar. Menurut World Food Programme (Program Pangan Dunia) 2010, indeks kelaparan global Indonesia masuk kategori serius.
Sekitar 14,7 juta orang kurang gizi dan prevalensi anemia pada anak dan perempuan tinggi. Dari 245 juta penduduk, 35 juta orang berpendapatan kurang dari 65 sen dollar AS atau Rp 6.000 sehari dan 127 juta orang kurang dari 2 dollar AS, setara dengan subsidi sapi di Eropa.
Program Millenium Development Goals juga kurang berhasil. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena kemiskinan dan kesulitan pangan masif melanggar hak rakyat atas pangan dan hak asasi manusia.
Belajar dari sejarah
Sadar produksi pangannya rendah, pemerintah membangun Institut Pertanian Bogor. Saat peletakan batu pertama Kampus Baranangsiang (27/4/1952), Presiden Soekarno bertekad memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papannya sendiri. Tekad itu diucapkan dan dilaksanakan. Program strategis Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM) dibuat. Bendungan dan irigasi dibangun. Pabrik pupuk, baja, tekstil, kertas, dan semen didirikan.
Tahun 1965, program SSBM terhenti karena G30S dan sabotase asing yang tak menghendaki Indonesia kuat. Pemerintahan Presiden Soeharto melanjutkannya. Industri benih modern Sang Hyang Seri didirikan (1971). Pusat penelitian dan penyuluhan pertanian dibangun. Ribuan penyuluh membantu petani melaksanakan panca usaha tani. Koperasi Unit Desa dan BRI Unit Desa menyalurkan kredit langsung dan Bulog menampung hasil panen petani. Jalan, pasar, SD inpres, dan puskesmas dibangun hampir di setiap desa untuk memakmurkan petani dan nelayan.
Kemampuan petani sempat diragukan peneliti asing (Clifford Geertz, David Penny, 1994, dan Gunnar Myrdal, 1967), tapi kerja keras petani, penyuluh, dosen, mahasiswa, dan aparat pemerintah tidak sia-sia. Produksi pangan dan pertanian meningkat drastis. Konsumen diuntungkan karena pangan terjangkau.
Petani menikmati keuntungan padi tiga hektar atau ayam broiler 5.000 ekor bisa untuk membeli sepeda motor baru seharga Rp 425.000 (1980). Nilai tukar petani tinggi. Meski bencana kelaparan dan kemiskinan massal dapat diatasi, di sisi lain revolusi hijau telah mencemari lingkungan dan pemerintahan yang represif otoriter masih terasa.
Orde Baru konsisten melanjutkan program Orde Lama sehingga pangan berlimpah. Harga dan akses akan beras, jagung, gula, ikan, ayam, susu, telur, dan sawit terjangkau dan mudah. Indonesia mendapat penghargaan dari FAO (1985) karena bisa swasembada (ekspor beras) dan penghargaan dari PBB karena sukses menurunkan jumlah orang miskin, kematian ibu dan anak, serta mengatur kelahiran bayi. Strategi besar, kebijakan konsisten, perencanaan tepat, dan kepemimpinan nasional kuat adalah kunci suksesnya. Indonesia menjadi model pembangunan negara berkembang.
Strategi baru
Sejak program SSBM sampai awal 1980-an, harga pangan jarang sekali jatuh. Kondisi shortage sangat menguntungkan petani karena harga selalu lebih tinggi dari biaya. Keadaan ini tidak lama. Keberhasilan produksi menyebabkan persediaan lajak sehingga saat panen: harga jatuh. Meski sudah diantisipasi dan kebijakan makroekonomi sudah dikaitkan dengan kebijakan pangan (Timmer, 1995), harga tetap jatuh waktu panen. Kelebihan, kekurangan pasokan, dan gejolak harga pangan primer masih menjadi persoalan rutin.
Gejolak harga menimbulkan ketidakpastian petani, pedagang, dan konsumen. Situasi semakin rumit ketika perubahan iklim menurunkan produktivitas. Negara yang kelebihan pangan makin ekspansif pada negara miskin (lemah), tetapi protektif pada dirinya.
Situasi ini bisa memburuk jika pemerintah lemah, hukum dilanggar, terjadi korupsi dan kolusi penguasa dengan pembonceng bebas. Penyelundupan, impor (beras, gula, garam, daging, paha ayam, sayur, buah), dan ekspor (gas alam, minyak sawit mentah, biji cokelat, ikan) bisa merugikan petani dan konsumen (rumah tangga dan industri domestik).
Perlu ada strategi dan kebijakan pangan nasional yang lebih canggih, holistik, komprehensif, dan terintegrasi yang berpihak kepada rakyat banyak. Pertama, setiap warga negara berhak atas pangan berkualitas dan mudah diakses. Kedua, petani dan nelayan diproteksi dan dipromosi untuk memproduksi sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral strategis (beras, jagung, tebu, ikan, susu, telur, ayam, kambing, sapi, kelapa, sawit, buah, sayuran), serta olahannya.
Ketiga, pemerintah pusat dan daerah wajib memenuhi hak dan mengatur kewajiban atas pangan sesuai dengan amanat UUD 1945, UU Pangan (1996), PP Nomor 68 (2002), dan PP Nomor 28 (2004). Harus ada jaminan air dan lahan untuk petani dan pertanian. Perlu jaminan ketersediaan kredit, sarana produksi pertanian, teknologi, dan asuransi gagal panen. Integrasi agroindustri pengolahan pangan dan subsistem agribisnis (institusi tunda jual dan penyuluhan) untuk petani akan menjamin pasokan berkelanjutan.
Kelangsungan Indonesia bergantung pada produksi dan akses pangan warganya. Produksi, produktivitas, dan akses pangan tergantung pada pilihan kebijakan. Indonesia sangat kaya, tetapi rakyatnya miskin karena sumber alam dan ekonominya bukan untuk kemakmuran mereka (Tim Harvard dan Yayasan Rajawali, 2010).
Masyarakat sulit membeli makanan dan energi karena miskin (penghasilan rendah dan banyak menganggur). Hasil studi klasik Amartya Sen (1981) menunjukkan bahwa bencana kelaparan hebat bisa terjadi tanpa penurunan persediaan pangan. Pemerintah tak lagi bisa menanganinya dengan cara primitif dan melepaskan pangan strategis pada mekanisme pasar bebas.
Pejabat pemerintah dan para ekonom harus kreatif menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menjamin gajinya tidak sebatas upah minimum regional: tidak cukup hidup layak dan membeli pangan. Soal pangan bukan lagi hanya produksi dan produktivitas petani, tetapi juga menyangkut daya beli dan akses pangan. Jika ingin bersatu melawan kelaparan seperti dibahas dalam United Against Hunger (FAO, 2010), kegagalan strategi ekonomi yang telah menciptakan paradoks Indonesia kaya tapi terjadi pengangguran massal, kemiskinan masif, dan ketidakadilan harus diakhiri.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/03183899/hak.dan.kewajiban.atas.pan
Rachmat Pambudy Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
Sejak Reformasi 1998, kemiskinan dan pangan selalu jadi masalah besar. Menurut World Food Programme (Program Pangan Dunia) 2010, indeks kelaparan global Indonesia masuk kategori serius.
Sekitar 14,7 juta orang kurang gizi dan prevalensi anemia pada anak dan perempuan tinggi. Dari 245 juta penduduk, 35 juta orang berpendapatan kurang dari 65 sen dollar AS atau Rp 6.000 sehari dan 127 juta orang kurang dari 2 dollar AS, setara dengan subsidi sapi di Eropa.
Program Millenium Development Goals juga kurang berhasil. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena kemiskinan dan kesulitan pangan masif melanggar hak rakyat atas pangan dan hak asasi manusia.
Belajar dari sejarah
Sadar produksi pangannya rendah, pemerintah membangun Institut Pertanian Bogor. Saat peletakan batu pertama Kampus Baranangsiang (27/4/1952), Presiden Soekarno bertekad memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papannya sendiri. Tekad itu diucapkan dan dilaksanakan. Program strategis Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM) dibuat. Bendungan dan irigasi dibangun. Pabrik pupuk, baja, tekstil, kertas, dan semen didirikan.
Tahun 1965, program SSBM terhenti karena G30S dan sabotase asing yang tak menghendaki Indonesia kuat. Pemerintahan Presiden Soeharto melanjutkannya. Industri benih modern Sang Hyang Seri didirikan (1971). Pusat penelitian dan penyuluhan pertanian dibangun. Ribuan penyuluh membantu petani melaksanakan panca usaha tani. Koperasi Unit Desa dan BRI Unit Desa menyalurkan kredit langsung dan Bulog menampung hasil panen petani. Jalan, pasar, SD inpres, dan puskesmas dibangun hampir di setiap desa untuk memakmurkan petani dan nelayan.
Kemampuan petani sempat diragukan peneliti asing (Clifford Geertz, David Penny, 1994, dan Gunnar Myrdal, 1967), tapi kerja keras petani, penyuluh, dosen, mahasiswa, dan aparat pemerintah tidak sia-sia. Produksi pangan dan pertanian meningkat drastis. Konsumen diuntungkan karena pangan terjangkau.
Petani menikmati keuntungan padi tiga hektar atau ayam broiler 5.000 ekor bisa untuk membeli sepeda motor baru seharga Rp 425.000 (1980). Nilai tukar petani tinggi. Meski bencana kelaparan dan kemiskinan massal dapat diatasi, di sisi lain revolusi hijau telah mencemari lingkungan dan pemerintahan yang represif otoriter masih terasa.
Orde Baru konsisten melanjutkan program Orde Lama sehingga pangan berlimpah. Harga dan akses akan beras, jagung, gula, ikan, ayam, susu, telur, dan sawit terjangkau dan mudah. Indonesia mendapat penghargaan dari FAO (1985) karena bisa swasembada (ekspor beras) dan penghargaan dari PBB karena sukses menurunkan jumlah orang miskin, kematian ibu dan anak, serta mengatur kelahiran bayi. Strategi besar, kebijakan konsisten, perencanaan tepat, dan kepemimpinan nasional kuat adalah kunci suksesnya. Indonesia menjadi model pembangunan negara berkembang.
Strategi baru
Sejak program SSBM sampai awal 1980-an, harga pangan jarang sekali jatuh. Kondisi shortage sangat menguntungkan petani karena harga selalu lebih tinggi dari biaya. Keadaan ini tidak lama. Keberhasilan produksi menyebabkan persediaan lajak sehingga saat panen: harga jatuh. Meski sudah diantisipasi dan kebijakan makroekonomi sudah dikaitkan dengan kebijakan pangan (Timmer, 1995), harga tetap jatuh waktu panen. Kelebihan, kekurangan pasokan, dan gejolak harga pangan primer masih menjadi persoalan rutin.
Gejolak harga menimbulkan ketidakpastian petani, pedagang, dan konsumen. Situasi semakin rumit ketika perubahan iklim menurunkan produktivitas. Negara yang kelebihan pangan makin ekspansif pada negara miskin (lemah), tetapi protektif pada dirinya.
Situasi ini bisa memburuk jika pemerintah lemah, hukum dilanggar, terjadi korupsi dan kolusi penguasa dengan pembonceng bebas. Penyelundupan, impor (beras, gula, garam, daging, paha ayam, sayur, buah), dan ekspor (gas alam, minyak sawit mentah, biji cokelat, ikan) bisa merugikan petani dan konsumen (rumah tangga dan industri domestik).
Perlu ada strategi dan kebijakan pangan nasional yang lebih canggih, holistik, komprehensif, dan terintegrasi yang berpihak kepada rakyat banyak. Pertama, setiap warga negara berhak atas pangan berkualitas dan mudah diakses. Kedua, petani dan nelayan diproteksi dan dipromosi untuk memproduksi sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral strategis (beras, jagung, tebu, ikan, susu, telur, ayam, kambing, sapi, kelapa, sawit, buah, sayuran), serta olahannya.
Ketiga, pemerintah pusat dan daerah wajib memenuhi hak dan mengatur kewajiban atas pangan sesuai dengan amanat UUD 1945, UU Pangan (1996), PP Nomor 68 (2002), dan PP Nomor 28 (2004). Harus ada jaminan air dan lahan untuk petani dan pertanian. Perlu jaminan ketersediaan kredit, sarana produksi pertanian, teknologi, dan asuransi gagal panen. Integrasi agroindustri pengolahan pangan dan subsistem agribisnis (institusi tunda jual dan penyuluhan) untuk petani akan menjamin pasokan berkelanjutan.
Kelangsungan Indonesia bergantung pada produksi dan akses pangan warganya. Produksi, produktivitas, dan akses pangan tergantung pada pilihan kebijakan. Indonesia sangat kaya, tetapi rakyatnya miskin karena sumber alam dan ekonominya bukan untuk kemakmuran mereka (Tim Harvard dan Yayasan Rajawali, 2010).
Masyarakat sulit membeli makanan dan energi karena miskin (penghasilan rendah dan banyak menganggur). Hasil studi klasik Amartya Sen (1981) menunjukkan bahwa bencana kelaparan hebat bisa terjadi tanpa penurunan persediaan pangan. Pemerintah tak lagi bisa menanganinya dengan cara primitif dan melepaskan pangan strategis pada mekanisme pasar bebas.
Pejabat pemerintah dan para ekonom harus kreatif menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menjamin gajinya tidak sebatas upah minimum regional: tidak cukup hidup layak dan membeli pangan. Soal pangan bukan lagi hanya produksi dan produktivitas petani, tetapi juga menyangkut daya beli dan akses pangan. Jika ingin bersatu melawan kelaparan seperti dibahas dalam United Against Hunger (FAO, 2010), kegagalan strategi ekonomi yang telah menciptakan paradoks Indonesia kaya tapi terjadi pengangguran massal, kemiskinan masif, dan ketidakadilan harus diakhiri.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/15/03183899/hak.dan.kewajiban.atas.pan
Rachmat Pambudy Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya