Oleh: Endriatmo Sutarto
Pada hari-hari ini, kita mengenang tahun emas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini diterbitkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang sejak semula berciri populis. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dalam sila-sila Pancasila. Namun apa sebenarnya yang terjadi apabila kita mencoba merefleksikan ulang perjalanan negeri ini dilihat dari konsistensinya terhadap cita-cita amanat UUPA tersebut.
Satu dasawarsa pascareformasi, mestinya negeri ini menapaki era the end of post-colonial society (Gumilar, 2006), di mana demokrasi serta proses demokratisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi kondisi nyata; di mana civil society tumbuh-berdaya dan mampu menjadi penyeimbang negara; dan di mana proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam sistem ekonomi-politik global adalah realitas yang tak dapat ditolak, dan karena itu menuntut negeri ini berdaulat secara politik serta mandiri secara ekonomi. Tapi realitas menunjukkan bahwa bangsa ini masih tersudut dalam situasi buram.
Tindakan anarkistis, amuk massa, ketidakpatuhan sosial, perilaku menerabas batas-batas kepatutan, dan sejumlah perilaku buruk lainnya terpampang jelas dan seolah menjadi "karakter" umum kehidupan masyarakat kita. Gejala ini tidak datang dan muncul begitu saja, tapi terkait sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku buruk yang banyak dipertontonkan para elite pemimpinnya. Rusaknya etika para birokrat, politikus, dan penegak hukum, kejahatan mafia hukum, sindikasi penyuapan yang melibatkan anggota parlemen, korupsi pejabat pemerintahan, serta praktek-praktek kejahatan lainnya merupakan gejala yang dapat memicu timbulnya ketidakpercayaan rakyat terhadap para elite negara.
Apabila situasi ini berjalan terus tanpa kendali, tentu berpotensi meluas menjadi kesangsian rakyat terhadap negara. Karena itu, membangun hubungan saling percaya (trusted) yang adil serta harmonis antara negara dan rakyat harus terus diupayakan. Peran-peran negara harus direvitalisasi agar mampu merawat keyakinan publik terhadap negara dalam bingkai nilai-nilai demokratis. Negara juga dituntut setia dan konsisten terhadap amanat historisnya, yaitu memenuhi hak-hak dasar rakyat dan memastikan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata, dan bersedia membuka ruang lebih lebar bagi berkembangnya prakarsa produktif rakyat dari bawah. Negara juga harus siap mengambil tanggung jawab ketika hak-hak dasar rakyat masih terkatung-katung. Tidak hanya itu, negara juga harus mampu memastikan rasa aman bagi setiap warganya berdasarkan ketaatan pada hukum yang adil.
Menapaki nationhood
"Pembangunan negara" (state building) tidak dapat dilepaskan dan harus sejalan dengan "pembangunan bangsa" (nation building). Keberhasilan menapaki proses nationhood (kebangsaan) akan memudahkan langkah menggapai tahap nationness yang rangkanya tak lagi memusat pada nationalism berbasis ideologi politik semata (ideological base), tapi lebih pada bagaimana mendorong anak bangsa meraih prestasi dan berkarya bagi bangsa serta dunia (achievement oriented) (Parakitri Simbolon, 2006).
Jika sebuah bangsa dimengerti sebagai "komunitas terbayang", pertanyaannya adalah dari mana ia dibentuk. Biasanya kesamaan nasib dan cita-cita rakyat yang terekspresi dalam perjuangan merebut kemerdekaan disebut sebagai faktor pembentuknya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dalam banyak literatur sejarah, digambarkan sebagai keterlibatan semesta rakyat Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan. Satu soal muncul di situ adalah apakah keterlibatan semesta rakyat itu didorong oleh ajakan elite pemimpinnya ataukah dilatari, terutama, oleh kondisi-kondisi tertentu yang dirasakan rakyat.
Keduanya tentu menyumbang sebagai pembentuk semangat perjuangan. Tapi satu hal yang sering dilupakan dan membuat bangsa ini menempuh jalur pembangunan kapitalistik adalah sumbangan perjuangan agraria rakyat tani akibat ketidakadilan agraria di masa lalu. Hal terakhir ini menyangkut ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah oleh swasta asing, ketimpangan peruntukan tanah dalam bentuk konsesi-konsesi besar, dan incompatibility konsep pengelolaan serta peruntukan sumber-sumber agraria antara negara dan masyarakat adat.
Kondisi ketidakadilan agraria inilah yang sebenarnya melahirkan gerakan-gerakan protes petani yang terus membesar, meluas, dan bertransformasi menjadi embrio awal terbentuknya "komunitas terbayang", yang kemudian melahirkan semangat nasionalisme. Pasal 33 UUD 1945 merupakan kristalisasi cita-cita rakyat untuk mewujudkan keadilan agraria tersebut. Dengan kata lain, perjuangan kemerdekaan Indonesia pada dasarnya adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan agraria. Pengingkaran terhadap fakta sejarah ini telah melahirkan kondisi kemiskinan rakyat tani di pedesaan akibat ketimpangan pemilikan tanah serta ketiadaan aset dan akses atas tanah sebagai sumber hidup.
Di sisi lain, perubahan ekonomi-politik selama satu dasawarsa terakhir pascareformasi belum memperlihatkan terwujudnya tren demokrasi subtantif dan meningkatnya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Persoalan struktural, seperti kemiskinan, pengangguran, konsentrasi penguasaan aset oleh sekelompok kecil orang, sengketa dan konflik agraria, krisis pangan dan energi, penurunan kualitas lingkungan hidup, serta krisis finansial global yang terjadi akhir-akhir ini disertai efek dominonya di sektor ekonomi riil, sungguh-sungguh makin melemahkan akses masyarakat lemah terhadap hak-hak dasar mereka, terutama hak atas tanah. Mereka yang tersingkir dari pedesaan berbondong-bondong terkonsentrasi di perkotaan. Proses deruralization dan deagrarianization memunculkan problem kemiskinan baru di perkotaan yang terus bertambah. Kondisi ini tentu saja tidak muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari proses panjang politik yang lalai terhadap reforma agraria hingga secara sistematis membuat negeri ini tidak lagi dikenal sebagai negara agraris, tapi negeri pengimpor beras.
Jalan perubahan
Setengah abad lebih perjalanan bangsa ini tapi makin dipenuhi persoalan ketimpangan yang semakin lebar dari berbagai sisi. Sudah saatnya untuk kembali pada khittah perjuangan kemerdekaan, yaitu mewujudkan keadilan agraria melalui reforma agraria yang dijalankan dengan tidak setengah hati. Untuk itu, jika negeri ini hendak mengatasi kemiskinan di pedesaan, tak ada pilihan selain memberikan aset kepada rakyat miskin berupa sumber-sumber kehidupan, terutama tanah. Tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses permodalan, teknologi, pasar, dan pendampingan, yang memastikan keberdayaan mereka semakin kuat. Dalam kerangka inilah pentingnya menjalankan reforma agraria sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan struktural yang dihadapi oleh petani. Reforma agraria penting dijalankan sebagai agenda nasional dan strategi dasar negara untuk membangun struktur politik, ekonomi, serta sosial yang lebih egaliter dan berkeadilan.
Lembaga-lembaga internasional kini pun mulai menyadari urgensi dan relevansi reforma agraria sebagai skema pembangunan semesta, khususnya negara dunia ketiga. Hal ini didorong oleh, di antaranya, kegagalan teori dan praktek neoliberal melalui program penyesuaian strukturalnya (SAP), kebangkitan gerakan sosial berbasis pedesaan, dan situasi politik yang makin terbuka sehingga memungkinkan diangkutnya agenda reforma agraria di aras lokal, nasional, serta global. Di Indonesia, terbitnya Inpres No. 1 Tahun 2001 tentang Penugasan kepada BPN RI untuk menyiapkan PP Reforma Agraria, RUU Pertanahan, RUU Pengadaan Tanah, dan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Tanah Telantar patut diapresiasi. Meskipun demikian, di berbagai aras kita masih membutuhkan kerja keras berbagai pihak untuk mewujudkan keadilan agraria melalui reforma agraria.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/10/01/Opini/krn.20101001.213308
Endriatmo Sutarto
GURU BESAR POLITIK AGRARIA PADA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB, BOGOR
Pada hari-hari ini, kita mengenang tahun emas Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini diterbitkan untuk mewujudkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang sejak semula berciri populis. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dalam sila-sila Pancasila. Namun apa sebenarnya yang terjadi apabila kita mencoba merefleksikan ulang perjalanan negeri ini dilihat dari konsistensinya terhadap cita-cita amanat UUPA tersebut.
Satu dasawarsa pascareformasi, mestinya negeri ini menapaki era the end of post-colonial society (Gumilar, 2006), di mana demokrasi serta proses demokratisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi kondisi nyata; di mana civil society tumbuh-berdaya dan mampu menjadi penyeimbang negara; dan di mana proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam sistem ekonomi-politik global adalah realitas yang tak dapat ditolak, dan karena itu menuntut negeri ini berdaulat secara politik serta mandiri secara ekonomi. Tapi realitas menunjukkan bahwa bangsa ini masih tersudut dalam situasi buram.
Tindakan anarkistis, amuk massa, ketidakpatuhan sosial, perilaku menerabas batas-batas kepatutan, dan sejumlah perilaku buruk lainnya terpampang jelas dan seolah menjadi "karakter" umum kehidupan masyarakat kita. Gejala ini tidak datang dan muncul begitu saja, tapi terkait sekaligus mencerminkan sikap dan perilaku buruk yang banyak dipertontonkan para elite pemimpinnya. Rusaknya etika para birokrat, politikus, dan penegak hukum, kejahatan mafia hukum, sindikasi penyuapan yang melibatkan anggota parlemen, korupsi pejabat pemerintahan, serta praktek-praktek kejahatan lainnya merupakan gejala yang dapat memicu timbulnya ketidakpercayaan rakyat terhadap para elite negara.
Apabila situasi ini berjalan terus tanpa kendali, tentu berpotensi meluas menjadi kesangsian rakyat terhadap negara. Karena itu, membangun hubungan saling percaya (trusted) yang adil serta harmonis antara negara dan rakyat harus terus diupayakan. Peran-peran negara harus direvitalisasi agar mampu merawat keyakinan publik terhadap negara dalam bingkai nilai-nilai demokratis. Negara juga dituntut setia dan konsisten terhadap amanat historisnya, yaitu memenuhi hak-hak dasar rakyat dan memastikan pembagian kekayaan nasional secara adil dan merata, dan bersedia membuka ruang lebih lebar bagi berkembangnya prakarsa produktif rakyat dari bawah. Negara juga harus siap mengambil tanggung jawab ketika hak-hak dasar rakyat masih terkatung-katung. Tidak hanya itu, negara juga harus mampu memastikan rasa aman bagi setiap warganya berdasarkan ketaatan pada hukum yang adil.
Menapaki nationhood
"Pembangunan negara" (state building) tidak dapat dilepaskan dan harus sejalan dengan "pembangunan bangsa" (nation building). Keberhasilan menapaki proses nationhood (kebangsaan) akan memudahkan langkah menggapai tahap nationness yang rangkanya tak lagi memusat pada nationalism berbasis ideologi politik semata (ideological base), tapi lebih pada bagaimana mendorong anak bangsa meraih prestasi dan berkarya bagi bangsa serta dunia (achievement oriented) (Parakitri Simbolon, 2006).
Jika sebuah bangsa dimengerti sebagai "komunitas terbayang", pertanyaannya adalah dari mana ia dibentuk. Biasanya kesamaan nasib dan cita-cita rakyat yang terekspresi dalam perjuangan merebut kemerdekaan disebut sebagai faktor pembentuknya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dalam banyak literatur sejarah, digambarkan sebagai keterlibatan semesta rakyat Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan. Satu soal muncul di situ adalah apakah keterlibatan semesta rakyat itu didorong oleh ajakan elite pemimpinnya ataukah dilatari, terutama, oleh kondisi-kondisi tertentu yang dirasakan rakyat.
Keduanya tentu menyumbang sebagai pembentuk semangat perjuangan. Tapi satu hal yang sering dilupakan dan membuat bangsa ini menempuh jalur pembangunan kapitalistik adalah sumbangan perjuangan agraria rakyat tani akibat ketidakadilan agraria di masa lalu. Hal terakhir ini menyangkut ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah oleh swasta asing, ketimpangan peruntukan tanah dalam bentuk konsesi-konsesi besar, dan incompatibility konsep pengelolaan serta peruntukan sumber-sumber agraria antara negara dan masyarakat adat.
Kondisi ketidakadilan agraria inilah yang sebenarnya melahirkan gerakan-gerakan protes petani yang terus membesar, meluas, dan bertransformasi menjadi embrio awal terbentuknya "komunitas terbayang", yang kemudian melahirkan semangat nasionalisme. Pasal 33 UUD 1945 merupakan kristalisasi cita-cita rakyat untuk mewujudkan keadilan agraria tersebut. Dengan kata lain, perjuangan kemerdekaan Indonesia pada dasarnya adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan agraria. Pengingkaran terhadap fakta sejarah ini telah melahirkan kondisi kemiskinan rakyat tani di pedesaan akibat ketimpangan pemilikan tanah serta ketiadaan aset dan akses atas tanah sebagai sumber hidup.
Di sisi lain, perubahan ekonomi-politik selama satu dasawarsa terakhir pascareformasi belum memperlihatkan terwujudnya tren demokrasi subtantif dan meningkatnya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Persoalan struktural, seperti kemiskinan, pengangguran, konsentrasi penguasaan aset oleh sekelompok kecil orang, sengketa dan konflik agraria, krisis pangan dan energi, penurunan kualitas lingkungan hidup, serta krisis finansial global yang terjadi akhir-akhir ini disertai efek dominonya di sektor ekonomi riil, sungguh-sungguh makin melemahkan akses masyarakat lemah terhadap hak-hak dasar mereka, terutama hak atas tanah. Mereka yang tersingkir dari pedesaan berbondong-bondong terkonsentrasi di perkotaan. Proses deruralization dan deagrarianization memunculkan problem kemiskinan baru di perkotaan yang terus bertambah. Kondisi ini tentu saja tidak muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari proses panjang politik yang lalai terhadap reforma agraria hingga secara sistematis membuat negeri ini tidak lagi dikenal sebagai negara agraris, tapi negeri pengimpor beras.
Jalan perubahan
Setengah abad lebih perjalanan bangsa ini tapi makin dipenuhi persoalan ketimpangan yang semakin lebar dari berbagai sisi. Sudah saatnya untuk kembali pada khittah perjuangan kemerdekaan, yaitu mewujudkan keadilan agraria melalui reforma agraria yang dijalankan dengan tidak setengah hati. Untuk itu, jika negeri ini hendak mengatasi kemiskinan di pedesaan, tak ada pilihan selain memberikan aset kepada rakyat miskin berupa sumber-sumber kehidupan, terutama tanah. Tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses permodalan, teknologi, pasar, dan pendampingan, yang memastikan keberdayaan mereka semakin kuat. Dalam kerangka inilah pentingnya menjalankan reforma agraria sebagai jalan keluar untuk mengatasi persoalan struktural yang dihadapi oleh petani. Reforma agraria penting dijalankan sebagai agenda nasional dan strategi dasar negara untuk membangun struktur politik, ekonomi, serta sosial yang lebih egaliter dan berkeadilan.
Lembaga-lembaga internasional kini pun mulai menyadari urgensi dan relevansi reforma agraria sebagai skema pembangunan semesta, khususnya negara dunia ketiga. Hal ini didorong oleh, di antaranya, kegagalan teori dan praktek neoliberal melalui program penyesuaian strukturalnya (SAP), kebangkitan gerakan sosial berbasis pedesaan, dan situasi politik yang makin terbuka sehingga memungkinkan diangkutnya agenda reforma agraria di aras lokal, nasional, serta global. Di Indonesia, terbitnya Inpres No. 1 Tahun 2001 tentang Penugasan kepada BPN RI untuk menyiapkan PP Reforma Agraria, RUU Pertanahan, RUU Pengadaan Tanah, dan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Tanah Telantar patut diapresiasi. Meskipun demikian, di berbagai aras kita masih membutuhkan kerja keras berbagai pihak untuk mewujudkan keadilan agraria melalui reforma agraria.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/10/01/Opini/krn.20101001.213308
Endriatmo Sutarto
GURU BESAR POLITIK AGRARIA PADA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB, BOGOR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya