Oleh: Toeti Adhitama
DALAM hiruk-pikuk kehidupan politik sekarang, tanpa sengaja, kita telah mengabaikan faktor etika karena sulitnya membuat pilihan-pilihan. Contoh yang gamblang: apakah etis menyebut presiden kita tidak tegas dan lamban, sedangkan kita tidak sepenuhnya memahami bertumpuknya dan rumitnya permasalahan negara, dilatarbelakangi sikap kalangan politisi yang berbelit dan sering berkelit? Memimpin negara demokrasi lebih sulit dari memimpin negara otoriter. Seandainya presiden bersikap otoriter, persoalannya mungkin cepat terselesaikan.
Apakah etis menyebut media massa sudah menjadi industri yang tidak bertanggung jawab? Karena pengungkapan-pengungkapannya media massa dihakimi. Sementara itu, kalangan elite yang merasa dirugikan tidak mau mengerti fungsi hakiki media massa dalam negara demokrasi. Apa kata dunia bila media massa tidak bersuara? Dalam kinerja positifnya, bukankah media massa membantu menjaga tata susila dan etika publik?
Apakah etis kalau pengadilan menganggap bersalah orang lanjut usia yang memunguti buah yang jatuh dari pohon orang lain; sama bersalahnya dengan koruptor yang merugikan rakyat miliaran rupiah? Sikap mafia hukum bukan saja kontradiktif dengan fungsi hukum sebagai pengawal keadilan, tetapi jelas sangat tidak etis.
Berbagai teori mengenai etika telah banyak dipaparkan para pakar sejak lama. Rumusan-rumusannya beraneka ragam. Kesimpulannya, etika berupaya menyadarkan kita tentang apa yang seharusnya terjadi, bukan yang sebenarnya akan atau telah terjadi. Kesimpulan filosofis itu mengawang dan relatif. Tergantung sikap pelaku dan sikap yang mengamati karena persoalannya bukanlah menentukan pilihan antara yang benar dan yang salah, atau antara yang baik dan yang buruk. Persoalannya terletak pada apakah suatu tindakan menyalahi falsafah bangsa dan negara yang kita sepakati bersama?
Pancasila sebagai rujukan
Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri secara berkelanjutan mengadakan Focus Discussion Group (FGD) tentang Etika Politik Indonesia. Awal minggu ini, dalam forum ke-4 dari sepuluh sesi yang direncanakan, narasumber Prof Dr Muhammad Noor Syam SH, dari Universitas Negeri Malang, menyampaikan pendapat yang bisa menjawab keraguan kita tentang makna etika dalam politik Indonesia. Dia mengatakan, "Ajaran dan nilai filsafat amat memengaruhi pikiran, budaya dan peradaban, serta moral manusia. Semua sistem kenegaraan ditegakkan berdasarkan ajaran atau sistem filsafat yang mereka anut (sebagai dasar negara, ideologi negara)... berbagai negara modern mempromosikan keunggulan masing-masing, dan terus memperjuangkan supremasi ideologi dan dominasi sistem kenegaraannya: theokratisme, liberalisme-kapitalisme, marxismwe-komunisme-atheisme.... Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 sebagai aktualisasi filsafat hidup yang diamanatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pendiri negara."
Sepanjang sejarah bangsa ini, kita dijiwai nilai-nilai dan moral Pancasila. Paparan di atas mengandung makna bahwa etika politik Indonesia seharusnya merujuk ke falsafah tersebut. Semua sistem kenegaraan seharusnya bernapaskan falsafah tersebut, bukan yang bernapaskan ideologi asing mana pun. Sayangnya, spirit untuk meyakini Pancasila sebagai landasan idiil bangsa, dan UUD'45 sebagai landasan yuridis, telah menipis kalau bukan telah tergusur oleh kehidupan dan pikiran baru yang cenderung mengacu kepada segala konsep baru dari luar, termasuk yang kapitalistis, komunistis, sosialistis atau bahkan yang mengandung unsur agama.
Seiring perkembangan tersebut, dalam karyanya Pancasila Prof Mr Soediman Kartohadiprodjo (1908-1970) mengatakan, "Pendidikan akan menjadi alat sangat penting untuk membangun kembali, untuk menggali kembali, isi jiwa bangsa Indonesia yang terpendam bisu dalam jiwanya karena pengaruh Barat." Dia mengutip pendapat Prof Robert Ulich dari Harvard (1960, emeritus) yang mengatakan bahwa, "...segenap berkah budaya dan ilmu pengetahuan modern, demokrasi, dan hak menentukan nasib sendiri, tidak mampu mencegah krisis luar biasa yang melanda sejarah umat manusia." Kutipan oleh Prof Soediman membuat kita merenungkannya dalam konteks pandangan masyarakat tentang Barat.
Etika demi kerukunan beragama
"Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur.... Dalam mengamalkan komitmen etis ketuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa dia bukanlah agama (yang sesungguhnya) yang berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem norma dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila menyerupai konsepsi 'agama sipil' (civic religion), yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari agama...."
Pendapat di atas disampaikan dalam makalah narasumber lain FGD Kemdagri ke-4, Dr Yudi Latif, intelektual muda muslim yang pandangan-pandangannya rasional dan mencerahkan. Tokoh muda yang akrab dengan dunia penelitian itu sekarang menjabat dosen Universitas Paramadina.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, menurut Yudi Latif, adalah usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong royong untuk menyediakan landasan moral bagi kehidupan politik yang bermoralitas Ketuhanan. Sistem simbolik dan peribadatan keagamaan merupakan urusan privat/komunitas keagamaan yang bisa berbeda. Namun konsen bersama yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan dan keberadaban bisa mempersatukan seluruh umat beragama di negeri ini..
Kesimpulannya, yang diperlukan demi terwujudnya etika dalam kerukunan beragama adalah titik-temu antarumat beragama, bukan titik-selisih. Dalam spirit mengupayakan titik-temu itu, pendapat universal masing-masing agama harus didialogkan demi tumbuhnya toleransi, tanpa mengabaikan realitas yang ada di seputar kita. Dialog, dialog, dan dialog. Bukan perlawanan dan kekerasan. Pancasila tidak mengunggulkan mayoritas ataupun minoritas. Dia memenangkan moralitas.
URL Source: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/01/171961/68/11/Menjaga-Etika-Be
Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
DALAM hiruk-pikuk kehidupan politik sekarang, tanpa sengaja, kita telah mengabaikan faktor etika karena sulitnya membuat pilihan-pilihan. Contoh yang gamblang: apakah etis menyebut presiden kita tidak tegas dan lamban, sedangkan kita tidak sepenuhnya memahami bertumpuknya dan rumitnya permasalahan negara, dilatarbelakangi sikap kalangan politisi yang berbelit dan sering berkelit? Memimpin negara demokrasi lebih sulit dari memimpin negara otoriter. Seandainya presiden bersikap otoriter, persoalannya mungkin cepat terselesaikan.
Apakah etis menyebut media massa sudah menjadi industri yang tidak bertanggung jawab? Karena pengungkapan-pengungkapannya media massa dihakimi. Sementara itu, kalangan elite yang merasa dirugikan tidak mau mengerti fungsi hakiki media massa dalam negara demokrasi. Apa kata dunia bila media massa tidak bersuara? Dalam kinerja positifnya, bukankah media massa membantu menjaga tata susila dan etika publik?
Apakah etis kalau pengadilan menganggap bersalah orang lanjut usia yang memunguti buah yang jatuh dari pohon orang lain; sama bersalahnya dengan koruptor yang merugikan rakyat miliaran rupiah? Sikap mafia hukum bukan saja kontradiktif dengan fungsi hukum sebagai pengawal keadilan, tetapi jelas sangat tidak etis.
Berbagai teori mengenai etika telah banyak dipaparkan para pakar sejak lama. Rumusan-rumusannya beraneka ragam. Kesimpulannya, etika berupaya menyadarkan kita tentang apa yang seharusnya terjadi, bukan yang sebenarnya akan atau telah terjadi. Kesimpulan filosofis itu mengawang dan relatif. Tergantung sikap pelaku dan sikap yang mengamati karena persoalannya bukanlah menentukan pilihan antara yang benar dan yang salah, atau antara yang baik dan yang buruk. Persoalannya terletak pada apakah suatu tindakan menyalahi falsafah bangsa dan negara yang kita sepakati bersama?
Pancasila sebagai rujukan
Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri secara berkelanjutan mengadakan Focus Discussion Group (FGD) tentang Etika Politik Indonesia. Awal minggu ini, dalam forum ke-4 dari sepuluh sesi yang direncanakan, narasumber Prof Dr Muhammad Noor Syam SH, dari Universitas Negeri Malang, menyampaikan pendapat yang bisa menjawab keraguan kita tentang makna etika dalam politik Indonesia. Dia mengatakan, "Ajaran dan nilai filsafat amat memengaruhi pikiran, budaya dan peradaban, serta moral manusia. Semua sistem kenegaraan ditegakkan berdasarkan ajaran atau sistem filsafat yang mereka anut (sebagai dasar negara, ideologi negara)... berbagai negara modern mempromosikan keunggulan masing-masing, dan terus memperjuangkan supremasi ideologi dan dominasi sistem kenegaraannya: theokratisme, liberalisme-kapitalisme, marxismwe-komunisme-atheisme.... Bangsa Indonesia menegakkan sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 sebagai aktualisasi filsafat hidup yang diamanatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pendiri negara."
Sepanjang sejarah bangsa ini, kita dijiwai nilai-nilai dan moral Pancasila. Paparan di atas mengandung makna bahwa etika politik Indonesia seharusnya merujuk ke falsafah tersebut. Semua sistem kenegaraan seharusnya bernapaskan falsafah tersebut, bukan yang bernapaskan ideologi asing mana pun. Sayangnya, spirit untuk meyakini Pancasila sebagai landasan idiil bangsa, dan UUD'45 sebagai landasan yuridis, telah menipis kalau bukan telah tergusur oleh kehidupan dan pikiran baru yang cenderung mengacu kepada segala konsep baru dari luar, termasuk yang kapitalistis, komunistis, sosialistis atau bahkan yang mengandung unsur agama.
Seiring perkembangan tersebut, dalam karyanya Pancasila Prof Mr Soediman Kartohadiprodjo (1908-1970) mengatakan, "Pendidikan akan menjadi alat sangat penting untuk membangun kembali, untuk menggali kembali, isi jiwa bangsa Indonesia yang terpendam bisu dalam jiwanya karena pengaruh Barat." Dia mengutip pendapat Prof Robert Ulich dari Harvard (1960, emeritus) yang mengatakan bahwa, "...segenap berkah budaya dan ilmu pengetahuan modern, demokrasi, dan hak menentukan nasib sendiri, tidak mampu mencegah krisis luar biasa yang melanda sejarah umat manusia." Kutipan oleh Prof Soediman membuat kita merenungkannya dalam konteks pandangan masyarakat tentang Barat.
Etika demi kerukunan beragama
"Ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan publik-politik berlandaskan nilai-nilai moralitas dan budi pekerti yang luhur.... Dalam mengamalkan komitmen etis ketuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa dia bukanlah agama (yang sesungguhnya) yang berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribadatan, sistem norma dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila menyerupai konsepsi 'agama sipil' (civic religion), yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari agama...."
Pendapat di atas disampaikan dalam makalah narasumber lain FGD Kemdagri ke-4, Dr Yudi Latif, intelektual muda muslim yang pandangan-pandangannya rasional dan mencerahkan. Tokoh muda yang akrab dengan dunia penelitian itu sekarang menjabat dosen Universitas Paramadina.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, menurut Yudi Latif, adalah usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong royong untuk menyediakan landasan moral bagi kehidupan politik yang bermoralitas Ketuhanan. Sistem simbolik dan peribadatan keagamaan merupakan urusan privat/komunitas keagamaan yang bisa berbeda. Namun konsen bersama yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan dan keberadaban bisa mempersatukan seluruh umat beragama di negeri ini..
Kesimpulannya, yang diperlukan demi terwujudnya etika dalam kerukunan beragama adalah titik-temu antarumat beragama, bukan titik-selisih. Dalam spirit mengupayakan titik-temu itu, pendapat universal masing-masing agama harus didialogkan demi tumbuhnya toleransi, tanpa mengabaikan realitas yang ada di seputar kita. Dialog, dialog, dan dialog. Bukan perlawanan dan kekerasan. Pancasila tidak mengunggulkan mayoritas ataupun minoritas. Dia memenangkan moralitas.
URL Source: http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/01/171961/68/11/Menjaga-Etika-Be
Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya