Oleh: Bastanul Siregar
Menarik sekali mencermati forecast perekonomian 2011 yang kian kencang beredar di tengah desingan peluru para preman Ibu Kota pada hari-hari ini. Apalagi, hampir semua lembaga keuangan dan ekonom optimistis pertumbuhan ekonomi 'the new BRIC' Indonesia tahun depan akan lebih baik.
Lembaga seperti Standard Chartered Bank masuk dalam kategori itu. Stanchart yang merilis proyeksinya pekan ini menyebut pertumbuhan ekonomi RI tahun depan akan mencapai 6,5% dengan laju inflasi 6%, suku bunga acuan 7,5% dan nilai tukar Rp8.500 per US$.
Angka itu lebih optimistis dari target pemerintah yang mematok pertumbuhan ekonomi 6,4%, inflasi 5,3%, SBI 3 bulan 6,5% dan kurs Rp9.250 per US$. Sekadar informasi, pertumbuhan ekonomi tahun ini dipatok 5,7%, inflasi 5,3%, SBI 3 bulan 6,5%, dan kurs Rp9.000 per US$.
Argumen yang disodorkan keduanya tak jauh berbeda, antara lain membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Eropa pascakrisis keuangan global. Meski, di sini Stanchart terlihat jauh lebih realistis dalam memproyeksi target suku bunga acuan, inflasi, dan nilai tukar.
Segendang sepenarian dengan argumentasi itu adalah proyeksi ekonom LPEM UI yang telah dikenal luas sebagai karib pemerintah, yakni Muhammad Chatib Basri. Staf khusus mantan Menkeu Sri Mulyani ini menyandarkan argumennya terutama pada penguatan investasi.
Chatib melihat investasi tahun depan lebih kuat karena impor barang modal dan bahan baku penolong tumbuh tinggi. Sepanjang 7 bulan pertama tahun ini, impor barang modal tumbuh 39,92%, sedangkan impor bahan baku penolong tumbuh 53,87%.
Optimisme pemerintah, yang mendapatkan justifikasi dari forecast Stanchart atau Chatib, juga telah tecermin dalam penurunan dana cadangan risiko fiskal 2011 secara signifikan dari Rp4,9 triliun menjadi Rp1,1 triliun.
Perlu diingat, dana cadangan itu adalah terobosan Sri Mulyani saat merumuskan APBN 2008 guna menghadapi ketidakpastian situasi perekonomian global. Kali ini, ketidakpastian yang dijadikan faktor oleh Menkeu Agus Martowadojo adalah soal cuaca.
Kita kembali dahulu ke forecast 2011. Jangan salah, kali ini para ekonom Indef, yang acap berseberangan dengan pemerintah juga merespons optimisme serupa Stanchart atau Chatib. Beberapa di antara mereka bahkan lebih optimistis.
Fadhil Hassan, Ahmad Erani Yustika, atau Aviliani misalnya, sama berpandangan bahwa laju perekonomian 2011 yang dipatok pemerintah cukup realistis, dengan peluang tembus 6,5%. Meski, seperti Stanchart, mereka juga mengoreksi target inflasi yang dinilai tak membumi.
Pertanyaannya sekarang, apakah argumentasi yang diajukan pemerintah, juga justifikasi dari lembaga dan para ekonom itu, sudah kuat benar hingga memitigasi dan melampaui tekanan yang muncul atas risiko terjadinya kontraksi pascakrisis pada tahun depan?
Faktor China
Pokok yang luput ditekankan oleh lembaga dan para ekonom itu, dan pemerintah terutama, adalah bagaimana dan seberapa jauh sebetulnya kontribusi AS dan Eropa terhadap situasi perekonomian Indonesia setelah krisis keuangan global.
Masih jelas dalam ingatan kita, bagaimana para menteri ekonomi kabinet sejak akhir 2007 sampai akhir 2010 ini, seperti terkonfirmasi dalam nota keuangan APBN 2011, masih terus menggaungkan faktor resesi AS dan Eropa sebagai risiko pertumbuhan ekonomi RI.
Alih-alih menjelaskan kemungkinan yang akan terjadi, pemerintah telah mengabaikan satu detail penting, yakni bahwa proses pemulihan ekonomi di Indonesia dan Asia umumnya dalam 3 tahun ini 'sama sekali tidak berhubungan' dengan apa yang terjadi di AS dan Eropa.
Detail itu barangkali masih bisa diperdebatkan. Namun, faktanya, tak lama setelah kejatuhan Lehman Brothers, produksi barang industri atau manufaktur di Asia terus meningkat hingga jauh melampaui capaian sebelum krisis.
Situasi ini nyaris berkebalikan dengan apa yang terjadi di AS dan Eropa, karena pada saat yang sama, produksi barang manufaktur di dua wilayah itu terus menurun dan tidak kunjung pulih.
Fakta-fakta yang berkebalikan ini juga terkonfirmasi oleh data konsumsi riil yang menunjukkan lompatan untuk Asia. Sebaliknya konsumsi Eropa, AS, juga Jepang, relatif datar.
Tidak ada pengertian lain yang lebih bisa menjelaskan situasi kontras ini, kecuali pemulihan perekonomian Indonesia dan Asia akibat pukulan krisis subprime mortgage datang dari Asia sendiri alias tanpa kontribusi apa pun dari AS dan Eropa.
Dalam pengertian itu pula lompatan perekonomian China dalam 10 tahun terakhir ini mendapatkan konteksnya. Chinalah, bukan AS atau Eropa, yang kini jadi sumber energi sekaligus risiko terbesar merah hitamnya perekonomian Indonesia dan Asia.
Dengan kata lain, kalaupun harus optimistis dengan perekonomian RI tahun depan, hanya dengan memahami risiko kebesaran China dengan mengingat kenaikan laju inflasi dalam beberapa bulan inilah seharusnya argumentasi disandarkan.
Kendala suplai
Namun, sebelum terlalu jauh berspekulasi atau latah berargumentasi, mungkin baik kita lihat dahulu apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh risiko kebesaran China serta kenaikan laju inflasi yang sudah memaksa sejumlah bank sentral di Asia mengerek suku bunga acuannya.
Perlu segera ditambahkan, laju inflasi di China kini mencapai 3,5%, tertinggi dari rata-rata sebelumnya, 1,5% pada 1997/1998. Situasi di India tak jauh berbeda, 10% atau dua kali lipat lebih tinggi dari rekor sebelumnya, yakni 5% pada 1997/1998.
Begitu pula di Singapura, yang mencapai 3,1% dari rata-rata 1,2% pada 1997/1998. Di Indonesia, inflasi Agustus lalu tercatat 6,44%, merangkak dari posisi Juli 6,22% sekaligus kian mengonfirmasi kegagalan target APBN 2010 yakni 5,3%.
Sejalan dengan situasi itu, Bank Sentral India menaikkan suku bunganya sebanyak empat kali, Malaysia tiga kali, Thailand, Korea dan Taiwan sekali. Bank Sentral Singapura mengotak-atik kebijakan nilai tukar, sementara Indonesia menaikkan persentase giro wajib minimumnya.
Yang menarik, di tengah situasi itu, permintaan di China masih sangat kuat. Penjualan ritel dalam 7 bulan terakhir tembus rekor 10 tahun terakhir. Investasi portofolio naik 32%, pertumbuhan kredit jangka pendek dan panjang melompat 18% dan 42%.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia. Sampai Agustus, penjualan semen tumbuh 6% secara tahunan, penjualan otomotif membubung 69% (wholesales) dan 61% (retail), dengan pertumbuhan kredit 20,3%.
Dengan kenaikan permintaan di China juga Indonesia dan hampir seluruh Asia umumnya, bagaimana menjelaskan lompatan inflasi yang diikuti pengetatan kebijakan moneter dan penguatan mata uang serta indeks saham?
Tentu ada banyak penjelasan untuk situasi ini. Salah satunya adalah paparan Timothy Wong, Regional Head DBS Vickers/DBS Group Reasearh yang dirilis pekan ini. Salah satu paparan yang saya kira cukup meyakinkan dan layak dijadikan referensi.
Dari sisi penguatan mata uang, Wong mengungkapkan nilai rupiah yang masih murah dengan iklim investasi yang relatif stabil akan makin mendapatkan berkah dari potensi lanjutan penurunan struktural dolar AS.
Berkah sejenis juga akan terlihat pada indeks harga saham gabungan (IHSG) yang tahun depan diyakini tembus level 4.135, dengan rasio harga terhadap laba bersih per saham 14% dan return 28%, lebih tinggi dari proyeksi 2010, 13% dengan return 5%.
Secara lebih spesifik, potensi kenaikan indeks ini juga didorong tingginya laba bersih per nilai ekuitas, serta fakta masih murahnya IHSGyang kemarin menembus rekor psikologis baru di level 3.501 apabila dikonversikan ke dolar AS.
Dari sisi inflasi, Wong menekankan, kenaikan inflasi kini tak hanya disebabkan kenaikan harga makanan. Dengan kata lain, ada persoalan di luar ketidakpastian cuaca yang kita tahu dijadikan Menkeu Agus sebagai faktor alokasi dana risiko fiskalnya.
Dengan mengambil perspektif mendasar bahwa melemahnya permintaan akan terefleksikan melalui laju inflasi yang melandai, kebijakan moneter yang melonggar serta suku bunga yang menurun, Wong mengungkapkan yang terjadi di Asia kini adalah constraint pada suplai.
Persoalan itulah yang menjelaskan bahwa secara keseluruhan, perekonomian Asia dan China khususnya mulai melambat dari sisi margin, hingga berpotensi mengakibatkan sedikit koreksi pada pertumbuhan ekonomi China, dari forecast 10% tahun ini menjadi 9,5% tahun depan.
Bersandar pada hambatan suplai itu pula, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi terkoreksi tipis dari 6,0% tahun ini menjadi 5,8% dengan kenaikan laju inflasi dari 5,1% menjadi 6,5%, suku bunga 8% serta nilai tukar rupiah Rp8.900 per US$.
Tentu kita boleh tidak setuju dengan pendapat Wong, karena optimistis tidak selalu pilihan yang lebih baik dari pesimistis, juga sebaliknya. Mungkin karena kita tahu, pemerintah bisa melakukan banyak hal dan tidak hanya diam, apalagi sibuk curhat cari perhatian.
URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3141.html
Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia (bastanul.siregar@bisnis.co.id)
Menarik sekali mencermati forecast perekonomian 2011 yang kian kencang beredar di tengah desingan peluru para preman Ibu Kota pada hari-hari ini. Apalagi, hampir semua lembaga keuangan dan ekonom optimistis pertumbuhan ekonomi 'the new BRIC' Indonesia tahun depan akan lebih baik.
Lembaga seperti Standard Chartered Bank masuk dalam kategori itu. Stanchart yang merilis proyeksinya pekan ini menyebut pertumbuhan ekonomi RI tahun depan akan mencapai 6,5% dengan laju inflasi 6%, suku bunga acuan 7,5% dan nilai tukar Rp8.500 per US$.
Angka itu lebih optimistis dari target pemerintah yang mematok pertumbuhan ekonomi 6,4%, inflasi 5,3%, SBI 3 bulan 6,5% dan kurs Rp9.250 per US$. Sekadar informasi, pertumbuhan ekonomi tahun ini dipatok 5,7%, inflasi 5,3%, SBI 3 bulan 6,5%, dan kurs Rp9.000 per US$.
Argumen yang disodorkan keduanya tak jauh berbeda, antara lain membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Eropa pascakrisis keuangan global. Meski, di sini Stanchart terlihat jauh lebih realistis dalam memproyeksi target suku bunga acuan, inflasi, dan nilai tukar.
Segendang sepenarian dengan argumentasi itu adalah proyeksi ekonom LPEM UI yang telah dikenal luas sebagai karib pemerintah, yakni Muhammad Chatib Basri. Staf khusus mantan Menkeu Sri Mulyani ini menyandarkan argumennya terutama pada penguatan investasi.
Chatib melihat investasi tahun depan lebih kuat karena impor barang modal dan bahan baku penolong tumbuh tinggi. Sepanjang 7 bulan pertama tahun ini, impor barang modal tumbuh 39,92%, sedangkan impor bahan baku penolong tumbuh 53,87%.
Optimisme pemerintah, yang mendapatkan justifikasi dari forecast Stanchart atau Chatib, juga telah tecermin dalam penurunan dana cadangan risiko fiskal 2011 secara signifikan dari Rp4,9 triliun menjadi Rp1,1 triliun.
Perlu diingat, dana cadangan itu adalah terobosan Sri Mulyani saat merumuskan APBN 2008 guna menghadapi ketidakpastian situasi perekonomian global. Kali ini, ketidakpastian yang dijadikan faktor oleh Menkeu Agus Martowadojo adalah soal cuaca.
Kita kembali dahulu ke forecast 2011. Jangan salah, kali ini para ekonom Indef, yang acap berseberangan dengan pemerintah juga merespons optimisme serupa Stanchart atau Chatib. Beberapa di antara mereka bahkan lebih optimistis.
Fadhil Hassan, Ahmad Erani Yustika, atau Aviliani misalnya, sama berpandangan bahwa laju perekonomian 2011 yang dipatok pemerintah cukup realistis, dengan peluang tembus 6,5%. Meski, seperti Stanchart, mereka juga mengoreksi target inflasi yang dinilai tak membumi.
Pertanyaannya sekarang, apakah argumentasi yang diajukan pemerintah, juga justifikasi dari lembaga dan para ekonom itu, sudah kuat benar hingga memitigasi dan melampaui tekanan yang muncul atas risiko terjadinya kontraksi pascakrisis pada tahun depan?
Faktor China
Pokok yang luput ditekankan oleh lembaga dan para ekonom itu, dan pemerintah terutama, adalah bagaimana dan seberapa jauh sebetulnya kontribusi AS dan Eropa terhadap situasi perekonomian Indonesia setelah krisis keuangan global.
Masih jelas dalam ingatan kita, bagaimana para menteri ekonomi kabinet sejak akhir 2007 sampai akhir 2010 ini, seperti terkonfirmasi dalam nota keuangan APBN 2011, masih terus menggaungkan faktor resesi AS dan Eropa sebagai risiko pertumbuhan ekonomi RI.
Alih-alih menjelaskan kemungkinan yang akan terjadi, pemerintah telah mengabaikan satu detail penting, yakni bahwa proses pemulihan ekonomi di Indonesia dan Asia umumnya dalam 3 tahun ini 'sama sekali tidak berhubungan' dengan apa yang terjadi di AS dan Eropa.
Detail itu barangkali masih bisa diperdebatkan. Namun, faktanya, tak lama setelah kejatuhan Lehman Brothers, produksi barang industri atau manufaktur di Asia terus meningkat hingga jauh melampaui capaian sebelum krisis.
Situasi ini nyaris berkebalikan dengan apa yang terjadi di AS dan Eropa, karena pada saat yang sama, produksi barang manufaktur di dua wilayah itu terus menurun dan tidak kunjung pulih.
Fakta-fakta yang berkebalikan ini juga terkonfirmasi oleh data konsumsi riil yang menunjukkan lompatan untuk Asia. Sebaliknya konsumsi Eropa, AS, juga Jepang, relatif datar.
Tidak ada pengertian lain yang lebih bisa menjelaskan situasi kontras ini, kecuali pemulihan perekonomian Indonesia dan Asia akibat pukulan krisis subprime mortgage datang dari Asia sendiri alias tanpa kontribusi apa pun dari AS dan Eropa.
Dalam pengertian itu pula lompatan perekonomian China dalam 10 tahun terakhir ini mendapatkan konteksnya. Chinalah, bukan AS atau Eropa, yang kini jadi sumber energi sekaligus risiko terbesar merah hitamnya perekonomian Indonesia dan Asia.
Dengan kata lain, kalaupun harus optimistis dengan perekonomian RI tahun depan, hanya dengan memahami risiko kebesaran China dengan mengingat kenaikan laju inflasi dalam beberapa bulan inilah seharusnya argumentasi disandarkan.
Kendala suplai
Namun, sebelum terlalu jauh berspekulasi atau latah berargumentasi, mungkin baik kita lihat dahulu apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh risiko kebesaran China serta kenaikan laju inflasi yang sudah memaksa sejumlah bank sentral di Asia mengerek suku bunga acuannya.
Perlu segera ditambahkan, laju inflasi di China kini mencapai 3,5%, tertinggi dari rata-rata sebelumnya, 1,5% pada 1997/1998. Situasi di India tak jauh berbeda, 10% atau dua kali lipat lebih tinggi dari rekor sebelumnya, yakni 5% pada 1997/1998.
Begitu pula di Singapura, yang mencapai 3,1% dari rata-rata 1,2% pada 1997/1998. Di Indonesia, inflasi Agustus lalu tercatat 6,44%, merangkak dari posisi Juli 6,22% sekaligus kian mengonfirmasi kegagalan target APBN 2010 yakni 5,3%.
Sejalan dengan situasi itu, Bank Sentral India menaikkan suku bunganya sebanyak empat kali, Malaysia tiga kali, Thailand, Korea dan Taiwan sekali. Bank Sentral Singapura mengotak-atik kebijakan nilai tukar, sementara Indonesia menaikkan persentase giro wajib minimumnya.
Yang menarik, di tengah situasi itu, permintaan di China masih sangat kuat. Penjualan ritel dalam 7 bulan terakhir tembus rekor 10 tahun terakhir. Investasi portofolio naik 32%, pertumbuhan kredit jangka pendek dan panjang melompat 18% dan 42%.
Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi di Indonesia. Sampai Agustus, penjualan semen tumbuh 6% secara tahunan, penjualan otomotif membubung 69% (wholesales) dan 61% (retail), dengan pertumbuhan kredit 20,3%.
Dengan kenaikan permintaan di China juga Indonesia dan hampir seluruh Asia umumnya, bagaimana menjelaskan lompatan inflasi yang diikuti pengetatan kebijakan moneter dan penguatan mata uang serta indeks saham?
Tentu ada banyak penjelasan untuk situasi ini. Salah satunya adalah paparan Timothy Wong, Regional Head DBS Vickers/DBS Group Reasearh yang dirilis pekan ini. Salah satu paparan yang saya kira cukup meyakinkan dan layak dijadikan referensi.
Dari sisi penguatan mata uang, Wong mengungkapkan nilai rupiah yang masih murah dengan iklim investasi yang relatif stabil akan makin mendapatkan berkah dari potensi lanjutan penurunan struktural dolar AS.
Berkah sejenis juga akan terlihat pada indeks harga saham gabungan (IHSG) yang tahun depan diyakini tembus level 4.135, dengan rasio harga terhadap laba bersih per saham 14% dan return 28%, lebih tinggi dari proyeksi 2010, 13% dengan return 5%.
Secara lebih spesifik, potensi kenaikan indeks ini juga didorong tingginya laba bersih per nilai ekuitas, serta fakta masih murahnya IHSGyang kemarin menembus rekor psikologis baru di level 3.501 apabila dikonversikan ke dolar AS.
Dari sisi inflasi, Wong menekankan, kenaikan inflasi kini tak hanya disebabkan kenaikan harga makanan. Dengan kata lain, ada persoalan di luar ketidakpastian cuaca yang kita tahu dijadikan Menkeu Agus sebagai faktor alokasi dana risiko fiskalnya.
Dengan mengambil perspektif mendasar bahwa melemahnya permintaan akan terefleksikan melalui laju inflasi yang melandai, kebijakan moneter yang melonggar serta suku bunga yang menurun, Wong mengungkapkan yang terjadi di Asia kini adalah constraint pada suplai.
Persoalan itulah yang menjelaskan bahwa secara keseluruhan, perekonomian Asia dan China khususnya mulai melambat dari sisi margin, hingga berpotensi mengakibatkan sedikit koreksi pada pertumbuhan ekonomi China, dari forecast 10% tahun ini menjadi 9,5% tahun depan.
Bersandar pada hambatan suplai itu pula, pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi terkoreksi tipis dari 6,0% tahun ini menjadi 5,8% dengan kenaikan laju inflasi dari 5,1% menjadi 6,5%, suku bunga 8% serta nilai tukar rupiah Rp8.900 per US$.
Tentu kita boleh tidak setuju dengan pendapat Wong, karena optimistis tidak selalu pilihan yang lebih baik dari pesimistis, juga sebaliknya. Mungkin karena kita tahu, pemerintah bisa melakukan banyak hal dan tidak hanya diam, apalagi sibuk curhat cari perhatian.
URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3141.html
Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia (bastanul.siregar@bisnis.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya