Rabu, 13 Oktober 2010

Perang Mata Uang

Oleh: Bambang PS Brodjonegoro


KRISIS keuangan global terberat sepanjang masa mungkin sudah berlalu dan sebagian besar pelaku ekonomi dunia menganggap 2010 adalah tahun pemulihan.


Namun, tampaknya krisis yang baru berlalu tersebut memang gejolak yang begitu berat sehingga klaim pemulihan sudah berlangsung mulai dipertanyakan. Sinyal bahwa pemulihan dari krisis mahaberat ini tidak akan berlangsung mulus sebenarnya dimulai ketika terjadi krisis utang di beberapa negara Eropa, terutama Yunani yang sempat membuat panik pelaku pasar keuangan dunia. Sinyal lebih kuat dan seharusnya lebih mengkhawatirkan perekonomian dunia adalah melemahnya laju pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) serta menurunnya tingkat kepercayaan konsumen dari perekonomian terbesar dunia tersebut.

Optimisme sempat mencuat ketika perekonomian AS tumbuh di atas 3% dalam satu kuartal.Namun, kemudian optimisme itu berganti menjadi waswas ketika pertumbuhan satu kuartal hanya di bawah 2% disertai rasa pesimisme sebagian besar rumah tangga di AS. Untuk terus memacu pertumbuhan ekonomi, Bank Sentral AS (The Fed) mematok tingkat bunga sangat rendah dan agak membiarkan dolar melemah terhadap berbagai mata uang pesaingnya. Pemulihan yang tidak mulus ini tentu merupakan perhatian negaranegara besar lainnya yang tidak kalah trauma berurusan dengan krisis global yang meruntuhkan mitos kehebatan berbagai lembaga keuangan terbesar dunia.

Mereka terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonominya dengan berbagai kebijakan yang akhirnya berbuah positif bagi sebagian negara, tetapi tidak demikian halnya dengan sebagian lainnya. Jerman misalnya mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup menjanjikan dan di atas tingkat pertumbuhan semasa krisis. Sebaliknya, Jepang yang sudah menderita resesi berkepanjangan bahkan jauh sebelum krisis global belum mampu mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup melegakan.Yang kemudian mereka saksikan adalah nilai yen yang terus menguat terhadap dolar AS dan makin menggerus daya saing produk ekspor mereka.

Hangatnya isu tentang persaingan mata uang muncul ke permukaan ketika Bank Sentral Jepang memutuskan intervensi ke pasar uang untuk “menyelamatkan” yen dengan mencegah penguatan yang terlalu berlebihan. Apa yang dilakukan bank sentral Jepang tentu sah-sah saja dilihat dari kepentingan negara itu untuk menjaga stabilitas perekonomian. Lantaran Jepang saat ini adalah perekonomian ketiga terbesar di dunia, apa pun kebijakan yang dapat menolong perekonomian Jepang akan berpengaruh positif juga terhadap perekonomian dunia dan kawasan. Protes dan pertanyaan pasti bermunculan terkait kebijakan Bank Sentral Jepang karena fenomena tersebut dapat mengancam free floatingyang tentu tidak dimaksudkan sebagai adu kemahiran bank sentral berbagai negara di pasar uang yang terbuka.

Ide free floating seharusnya dikaitkan dengan kondisi fundamental ekonomi makro suatu negara serta kebijakan ekonomi negara tersebut, dan bukan pada adu kekuatan cadangan devisa para bank sentral. Fenomena itu kemudian melebar dan mulai menjadi isu global ketika AS mengangkat isu lama terkait mata uang China, yuan, yang dianggap tidak mencerminkan nilai sebenarnya.Argumen sederhana AS dan negara perekonomian terkemuka dunia lainnya adalah bahwa tidak selayaknya lagi yuan tetap “selemah” nilainya yang sekarang karena China bukan lagi perekonomian kecil yang tumbuh cepat, melainkan sudah menjelma menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia.

Perhitungan AS mengindikasikan,yuan seharusnya 40% lebih kuat dari kondisi sekarang. Sebagai perekonomian terbesar di dunia, AS tentu merasa, pemulihan ekonomi mereka akan sangat vital peranannya dalam pemulihan ekonomi global dan karenanya negara-negara ekonomi besar lainnya harus juga mendukung upaya pemulihan AS tersebut.Persepsi tersebut tentu tidaklah salah, tetapi negara-negara lain yang ingin segera keluar dari krisis juga mempunyai perhitungan dan alasan sendiri.Jepang yang sudah begitu lama mengalami stagnasi ekonomi tentu ingin melihat kembali dominasi produk manufaktur mereka yang pernah begitu merajai dunia sebelum diambil alih Korea Selatan dan China.

China juga mempunyai alasan yang kuat secara internal.Tingkat pertumbuhan ekonomi China yang luar biasa selama ini tidak lain merupakan suatu “keharusan” dari perekonomian yang menaungi lebih dari satu miliar penduduk dan dalam masa transisi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian terbuka. Merupakan “keharusan” karena pemerintah wajib mengatasi masalah pengangguran yang bisa begitu akut bila pertumbuhan ekonomi tidak mencapai dua digit per tahunnya.Masalah itu pula yang mendorong China untuk berfokus pada produk manufaktur yang bersifat padat karya sehingga yang kemudian merajai pasaran dunia adalah produk manufaktur dengan kualitas yang memadai (bukan kualitas terbaik) serta dalam jumlah besar. Meskipun menjadi raja manufaktur dunia,perekonomian China belum lepas dari berbagai masalah yang justru terkait strategi tersebut.

Menurut pengakuan Perdana Menteri China, margin produk manufaktur China justru sangat tipis.Sedikit gangguan pada harga jual atau biaya produksi dapat membuat suatu industri kolaps dan akibatnya akan terjadi pengangguran dalam jumlah yang mungkin sulit dibayangkan kebanyakan negara di dunia.Belum lagi ancaman overheating dalam perekonomian China yang rentan terjadi karena inflasi yang cenderung cukup tinggi.Tekanan inflasi akan membuat daya beli masyarakat terancam sehingga dorongan untuk kenaikan upah juga makin besar. Sedikit kenaikan upah dapat menghilangkan secara signifikan daya saing produk China sendiri.

China intinya mempunyai kewajibannya sendiri dan bertugas melindungi warganya ketika berurusan dengan nilai tukar yuan. Sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia, China pun bisa berdalih, sebagian besar cadangan tersebut dialokasikan untuk membeli surat berharga Pemerintah AS dan artinya ikut menjaga kestabilan ekonomi Amerika. Pelajaran apa yang Indonesia bisa tarik dalam perang mata uang saat ini? Pertama,terus menjaga keseimbangan antara kekuatan ekonomi domestik dan ketergantungan pada ekspor. Ketergantungan pada ekspor, selain rawan terkena krisis seperti krisis global lalu,juga akan membuat perekonomian terlalu sensitif terhadap pergerakan nilai tukar mata uang.

Kedua,memperbaiki strategi ekspor Indonesia dengan mengurangi ketergantungan pada produk-produk yang sensitif terhadap pergerakan nilai tukar. Yang dimaksud di sini adalah produk yang unik dan punya daya saing global yang tinggi sehingga perang mata uang tidak akan langsung mengganggu penjualan barang tersebut di pasar internasional. Ketiga, tidak latah untuk ikutikutan melemahkan rupiah yang sebenarnya cenderung menguat sejauh tidak ada gangguan signifikan terhadap penerimaan ekspor. Penguatan rupiah jelas akan mengurangi beban utang dalam mata uang asing serta mencegah potensi inflasi dari barang impor.

Dengan kata lain,kebijakan nilai tukar rupiah harus dijadikan alat untuk menjaga kestabilan ekonomi yang paling utama yaitu berkurangnya pengangguran dan kemiskinan.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/357093/38/



BAMBANG PS BRODJONEGORO
Guru Besar FE Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...