Oleh: Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
DUAN adalah seorang pemuda suku Dayak dari Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Pemuda yang saat ini bekerja di perkebunan sawit swasta tersebut dengan gagah mengendarai sepeda motor bebek miliknya.
Sepeda motor tersebut tinggal delapan bulan lagi lunas dari kredit yang diperolehnya di salah satu koperasi kredit (credit union/ CU) yang dewasa ini sangat marak berkembang di provinsi tersebut. Temansekerjanya bahkanbarusaja membeli motor bebek yang lebih baru dari CUyang sama.Sepeda motor tersebut dia peroleh dengan kreditberjangkawaktuempattahundengan cicilan per bulan Rp374.000, suatu jumlah yang sangat mudah ditutupi dari upahnya yang sudah melampaui Rp1 juta, yang didapat dari bekerja di kebun sawit. Fenomena ini pada akhirnya menghasilkan suatu perkembangan penjualan sepeda motor yang sangat marak di Kalimantan Barat.
Setiap tahun penjualannya sudah mencapai 150.000 unit,suatu cukup besar dibandingkan jumlah penduduk seluruh provinsi yang berjumlah sekitar 5 juta jiwa atau kurang lebih mencakup 1 juta kepala keluarga. Itulah sebabnya, di sebagian besar rumah di provinsi tersebut dewasa ini pasti ada bertengger satu atau lebih sepeda motor.Di provinsi tersebut ada sebuah desa, Meliau, sekitar 40 kilometer dari poros jalan raya PontianakSanggau,yangdewasa ini telah berkembang.Jika dulu Meliau merupakan desa terbelakang, dewasa ini ada delapan dealer sepeda motor di desa tersebut.
Dari cerita itu, kita bisa membayangkan hidupnya sebuah lembaga pembiayaan mikro, yaitu koperasi kredit,yang memiliki tali-temalikuat dengan kesejahteraan rakyat.Koperasi kredit akhirnya memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk menjangkau hal-hal yang mungkin sulitdidapatjikatanpabantuanpembiayaan semacam itu. Dengan kemampuan dan pendapatan masyarakat saat ini, sebagian adalah petani penoreh getah, sementara sebagian lagi mulai berkembang sebagai karyawan ataupun petani yang memiliki kebun sawit sendiri, maka keberadaan lembaga keuangan mikro menjadi sarana yang sangat ampuh dalam memobilisasi sumber daya keuangan.
Keanggotaan masyarakat di koperasi kredit atau yang dikenal dengan singkatan CU tersebut pun lumayan unik. Sebelum menjadi anggota, mereka yang tertarik untuk masuk harus mengikuti pendidikan ekonomi rumah tangga untuk dapat mengatur keuangan mereka sendiri.Berapakah pendapatan yang mereka peroleh secara rutin, berapakah pengeluarannya, apakah ada yang bisa dihemat dari pengeluaran tersebut dan berapakah potensi tabungannya? Dengan berbekal ilmu semacam itu,mereka mulai dapat menjadi anggota dan sekaligus memulai perannya sebagai penabung.
Peran sebagai penabung ini berlangsung beberapa lama sebelum mereka eligible untuk memperoleh kredit dari lembaga tersebut. Kendati demikian, para anggota bersedia untuk menabung karena mereka yakin dari para pendahulunya bahwa pada suatu saat nanti mereka akan memiliki kesempatan untuk memperoleh kredit. Insentif seperti inilah yang akhirnya mampu mengubah mindset masyarakat dari semula membelanjakan seluruh penghasilannya menjadi mampu untuk mengatur urutan prioritas pembe-lanjaan. Terbangunnya masyarakat penabung sedemikian inilah yang akhirnya menjadi tulang punggung perekonomian akar rumput kita.
Ini pulalah yang pada hakikatnya menjadi latar belakang bagi diselenggarakannya konferensi global Global Policy Forum dari Alliance for Financial Inclusion yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jimbaran Bali baru-baru ini. Tahun 2007 lalu, dalam suatu kunjungan ke salah satu keluarga, saya menyempatkan diri mampir ke sebuah kantor Credit Union Pancur Kasih di Desa Sebadu, kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Desa ini kurang lebih 3 jam perjalanan dari Pontianak.Penduduk desa tersebut terdiri atas kurang lebih 1000 kepala keluarga dengan mata pencaharian utama sebagai petani sawah dan juga penoreh getah karet.
Sawah mereka yang subur terhampar dikiri kanan jalan utama Pontianak-Ngabang yang melewati desa tersebut. Di belakang mereka adalah pegunungan tempat mereka mengembangkan kebun karet. Dengan latar belakang seperti itu kita bisa membayangkan seberapa besar pendapatan mereka. Dalam kunjungan tahun 2007 tersebut saya melihat laporan keuangan mereka yang terdapat pada whiteboard yang besar tertempel di dinding kantor CU.Ternyata jumlah anggota koperasi tersebut sekitar 1.000 orang, kurang lebih sesuai dengan jumlah KK di desa tersebut.
Tetapi yang menarik perhatian saya adalah, jumlah simpanan mereka pada akhir tahun 2006 telah mencapai Rp12 miliar, atau rata-rata setiap anggota sekitar Rp12 juta. Yang juga menarik adalah, pada Mei 2007, sebelum kunjungan saya tersebut ternyata simpanannya telah mencapai Rp15 miliar. Mungkin perlu penelitian yang lebih dalam mengenai perkembangan yang sangat pesat tersebut. Saya mencoba mengulangi kunjungan ke kantor CU tersebut belum lama ini.Di papan tulis tersebut hanya terdapat laporan perkembangan satu tahun, jadi saya kehilangan data antara tahun 2007 sampai 2009. Kendati demikian yang terpapar dalam papan putih tersebut adalah jumlah anggota yang mencapai 3.334 orang pada akhir 2009,sedangkan pada Mei 2010 meningkat menjadi 3.400 orang.
Jumlah anggota ini mengalami kenaikan yang sangat tinggi dibandingkan 2006. Kemungkinan adalah meluasnya keanggotaan dalam KK yang sama ataupun juga keikutsertaan anggota dari desa-desa lain. Yang juga menarik adalah jumlah simpanan yang mencapai Rp21,7 miliar di akhir Desember 2009 sedangkan di Mei 2010 mencapai Rp23,7 miliar.Kemungkinan besar masuknya anggota baru membuat tingkat simpanan rata-rata menjadi menurun tajam.Kendati demikian, bagaimanapun juga, perkembangan ini mencerminkan sifat keanggotaan yang lebih luas yang tentunya terjadi karena semakin populernya CU di wilayah tersebut.
Berdasarkan data provinsi, ternyata nilai aset CU di seluruh Kalimantan Barat (yang berasal dari puluhan CU dengan ratusan atau ribuan cabang) telah mencapai lebih dari Rp4 triliun di akhir 2009 kemarin, sehingga mencapai hampir 25% Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan komersial di seluruh provinsi tersebut. Ini jauh melampaui pangsa perbankan syariah di seluruh Indonesia yang dewasa ini masih di bawah 5%.
Dengan melihat angka-angka tersebut serta peranannya dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, kita tentunya terpanggil untuk menjaga keberlangsungan lembaga keuangan tersebut dan kalau mungkin justru menyebarkannya ke seluruh Indonesia.(*)
DUAN adalah seorang pemuda suku Dayak dari Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Pemuda yang saat ini bekerja di perkebunan sawit swasta tersebut dengan gagah mengendarai sepeda motor bebek miliknya.
Sepeda motor tersebut tinggal delapan bulan lagi lunas dari kredit yang diperolehnya di salah satu koperasi kredit (credit union/ CU) yang dewasa ini sangat marak berkembang di provinsi tersebut. Temansekerjanya bahkanbarusaja membeli motor bebek yang lebih baru dari CUyang sama.Sepeda motor tersebut dia peroleh dengan kreditberjangkawaktuempattahundengan cicilan per bulan Rp374.000, suatu jumlah yang sangat mudah ditutupi dari upahnya yang sudah melampaui Rp1 juta, yang didapat dari bekerja di kebun sawit. Fenomena ini pada akhirnya menghasilkan suatu perkembangan penjualan sepeda motor yang sangat marak di Kalimantan Barat.
Setiap tahun penjualannya sudah mencapai 150.000 unit,suatu cukup besar dibandingkan jumlah penduduk seluruh provinsi yang berjumlah sekitar 5 juta jiwa atau kurang lebih mencakup 1 juta kepala keluarga. Itulah sebabnya, di sebagian besar rumah di provinsi tersebut dewasa ini pasti ada bertengger satu atau lebih sepeda motor.Di provinsi tersebut ada sebuah desa, Meliau, sekitar 40 kilometer dari poros jalan raya PontianakSanggau,yangdewasa ini telah berkembang.Jika dulu Meliau merupakan desa terbelakang, dewasa ini ada delapan dealer sepeda motor di desa tersebut.
Dari cerita itu, kita bisa membayangkan hidupnya sebuah lembaga pembiayaan mikro, yaitu koperasi kredit,yang memiliki tali-temalikuat dengan kesejahteraan rakyat.Koperasi kredit akhirnya memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk menjangkau hal-hal yang mungkin sulitdidapatjikatanpabantuanpembiayaan semacam itu. Dengan kemampuan dan pendapatan masyarakat saat ini, sebagian adalah petani penoreh getah, sementara sebagian lagi mulai berkembang sebagai karyawan ataupun petani yang memiliki kebun sawit sendiri, maka keberadaan lembaga keuangan mikro menjadi sarana yang sangat ampuh dalam memobilisasi sumber daya keuangan.
Keanggotaan masyarakat di koperasi kredit atau yang dikenal dengan singkatan CU tersebut pun lumayan unik. Sebelum menjadi anggota, mereka yang tertarik untuk masuk harus mengikuti pendidikan ekonomi rumah tangga untuk dapat mengatur keuangan mereka sendiri.Berapakah pendapatan yang mereka peroleh secara rutin, berapakah pengeluarannya, apakah ada yang bisa dihemat dari pengeluaran tersebut dan berapakah potensi tabungannya? Dengan berbekal ilmu semacam itu,mereka mulai dapat menjadi anggota dan sekaligus memulai perannya sebagai penabung.
Peran sebagai penabung ini berlangsung beberapa lama sebelum mereka eligible untuk memperoleh kredit dari lembaga tersebut. Kendati demikian, para anggota bersedia untuk menabung karena mereka yakin dari para pendahulunya bahwa pada suatu saat nanti mereka akan memiliki kesempatan untuk memperoleh kredit. Insentif seperti inilah yang akhirnya mampu mengubah mindset masyarakat dari semula membelanjakan seluruh penghasilannya menjadi mampu untuk mengatur urutan prioritas pembe-lanjaan. Terbangunnya masyarakat penabung sedemikian inilah yang akhirnya menjadi tulang punggung perekonomian akar rumput kita.
Ini pulalah yang pada hakikatnya menjadi latar belakang bagi diselenggarakannya konferensi global Global Policy Forum dari Alliance for Financial Inclusion yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jimbaran Bali baru-baru ini. Tahun 2007 lalu, dalam suatu kunjungan ke salah satu keluarga, saya menyempatkan diri mampir ke sebuah kantor Credit Union Pancur Kasih di Desa Sebadu, kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Desa ini kurang lebih 3 jam perjalanan dari Pontianak.Penduduk desa tersebut terdiri atas kurang lebih 1000 kepala keluarga dengan mata pencaharian utama sebagai petani sawah dan juga penoreh getah karet.
Sawah mereka yang subur terhampar dikiri kanan jalan utama Pontianak-Ngabang yang melewati desa tersebut. Di belakang mereka adalah pegunungan tempat mereka mengembangkan kebun karet. Dengan latar belakang seperti itu kita bisa membayangkan seberapa besar pendapatan mereka. Dalam kunjungan tahun 2007 tersebut saya melihat laporan keuangan mereka yang terdapat pada whiteboard yang besar tertempel di dinding kantor CU.Ternyata jumlah anggota koperasi tersebut sekitar 1.000 orang, kurang lebih sesuai dengan jumlah KK di desa tersebut.
Tetapi yang menarik perhatian saya adalah, jumlah simpanan mereka pada akhir tahun 2006 telah mencapai Rp12 miliar, atau rata-rata setiap anggota sekitar Rp12 juta. Yang juga menarik adalah, pada Mei 2007, sebelum kunjungan saya tersebut ternyata simpanannya telah mencapai Rp15 miliar. Mungkin perlu penelitian yang lebih dalam mengenai perkembangan yang sangat pesat tersebut. Saya mencoba mengulangi kunjungan ke kantor CU tersebut belum lama ini.Di papan tulis tersebut hanya terdapat laporan perkembangan satu tahun, jadi saya kehilangan data antara tahun 2007 sampai 2009. Kendati demikian yang terpapar dalam papan putih tersebut adalah jumlah anggota yang mencapai 3.334 orang pada akhir 2009,sedangkan pada Mei 2010 meningkat menjadi 3.400 orang.
Jumlah anggota ini mengalami kenaikan yang sangat tinggi dibandingkan 2006. Kemungkinan adalah meluasnya keanggotaan dalam KK yang sama ataupun juga keikutsertaan anggota dari desa-desa lain. Yang juga menarik adalah jumlah simpanan yang mencapai Rp21,7 miliar di akhir Desember 2009 sedangkan di Mei 2010 mencapai Rp23,7 miliar.Kemungkinan besar masuknya anggota baru membuat tingkat simpanan rata-rata menjadi menurun tajam.Kendati demikian, bagaimanapun juga, perkembangan ini mencerminkan sifat keanggotaan yang lebih luas yang tentunya terjadi karena semakin populernya CU di wilayah tersebut.
Berdasarkan data provinsi, ternyata nilai aset CU di seluruh Kalimantan Barat (yang berasal dari puluhan CU dengan ratusan atau ribuan cabang) telah mencapai lebih dari Rp4 triliun di akhir 2009 kemarin, sehingga mencapai hampir 25% Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan komersial di seluruh provinsi tersebut. Ini jauh melampaui pangsa perbankan syariah di seluruh Indonesia yang dewasa ini masih di bawah 5%.
Dengan melihat angka-angka tersebut serta peranannya dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, kita tentunya terpanggil untuk menjaga keberlangsungan lembaga keuangan tersebut dan kalau mungkin justru menyebarkannya ke seluruh Indonesia.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/356426/38/
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya