Oleh: Posman Sibuea
Hari Pangan Sedunia diperingati saban 16 Oktober. Tahun ini tema yang diangkat ialah ”United Againts Hunger”. Tema yang dipilih FAO ini hendak mengingatkan kita bahwa jumlah orang yang menderita kelaparan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Meski ilmu dan teknologi pertanian mengalami kemajuan yang kentara, sebagian masyarakat dunia masih dihadapkan pada persoalan kelaparan. Di saat produksi pangan mencapai titik tertinggi, pada saat yang sama dunia menghadapi kelaparan terparah sepanjang sejarah manusia. Jumlah orang yang kelaparan di dunia, termasuk di Indonesia, mencapai satu miliar jiwa. Angka ini naik 105 juta dibandingkan tahun 2008 (FAO, 2010). Inilah kejanggalan yang kita hadapi sebagai negara agraris.
Kegelisahan sosial
Soal pangan tidak bisa dianggap sepele. Kaum miskin kota dan desa akan mudah mengalami kegelisahan sosial yang cenderung liar jika mereka acap mengalami kelaparan. Negara maju memahami masalah perut yang satu ini. Petaninya disubsidi secara signifikan sehingga mampu menguasai pangan dunia.
Kepiawaian negara maju mengelola pangan mengalahkan Indonesia sebagai negara agraris yang dikenal subur dan makmur. Indonesia kini terperangkap dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai negara agraris kian terpuruk. Pemerintah dinilai tak mampu membangun ketahanan pangan yang kuat di tengah sumber daya pertanian yang melimpah.
Pangan yang cukup merupakan bagian penting dalam hak asasi manusia, yang berimplikasi bahwa pangan tidak hanya membesarkan otot, tetapi juga mencerdaskan otak. Setiap orang harus tercukupi kebutuhan akan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Kelaparan tidak hanya disebabkan kekurangan jumlah kalori sebanyak 30 persen dari yang dikonsumsi, tetapi juga karena kualitas gizi yang dikonsumsi juga buruk.
Perkembangan teknologi pertanian yang lebih maju saat ini sudah mampu meningkatkan produksi pangan seperti jagung, padi, gandum, dan daging secara signifikan. Teknologi pangan modern dalam bidang pengolahan dan pengawetan memungkinkan pangan dan produk olahannya bisa lebih tahan lama. Pangan dapat dikirim tepat waktu ke suatu tempat yang kelebihan dan ke tempat lain yang kekurangan di seluruh dunia. Ditambah lagi dengan sistem komunikasi yang makin mudah berkat jejaring sosial di dunia maya dan makin baiknya sarana transportasi darat, laut, dan udara, seharusnya pangan untuk semua dapat terwujud.
Monopoli negara maju
Hingga kini, pangan tidak bisa mencapai setiap orang. Angka satu miliar orang yang kelaparan mengundang tanda tanya: mengapa itu bisa terjadi?
Ternyata kemajuan ilmu dan teknologi pertanian hanya monopoli negara-negara maju, sementara negara berkembang berkutat dengan teknologi tradisional guna memproduksi bahan pangan. Petani miskin di negara-negara berkembang yang belum mampu mengakses teknologi pemupukan kerap mengalami gagal panen.
Penjajahan dalam bentuk kekerasan fisik sudah ditinggalkan negara maju untuk mengendalikan negara miskin. Namun, penjajahan bentuk lain kini berlangsung secara nyata, yakni mengendalikan pangan dunia lewat penguasaan ilmu dan teknologi pangan. Tren baru ini menjadi kegiatan ekonomi antarnegara yang ujung-ujungnya selalu menguntungkan negara-negara maju.
Pengenalan monokultur secara besar-besaran di negara-negara berkembang melalui revolusi hijau dapat menjadi serpihan contoh ketergantungan negara berkembang pada negara maju lewat bahan kimia, benih, dan utang. Demi kepentingan bisnis segelintir konglomerat di bidang bioteknologi, benih hasil rekayasa genetik (transgenik) dipaksakan ke petani negara-negara berkembang dalam bungkus ”program bantuan pangan”.
Benih transgenik disalurkan sebagai bantuan bagi petani miskin yang mengalami kekeringan parah. Setelah ditanam dan panen, baru disadari bahwa benih hasil panen ternyata tidak boleh ditanam lagi kalau tidak membayar royalti kepada produsen benih. Bukan itu saja, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk, insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama.
Persekongkolan perekonomian dalam perdagangan bebas telah menjebak petani masuk dalam perangkap ketergantungan di tangan konglomerat agrobisnis negara maju. Komunitas lokal di berbagai daerah di Tanah Air semakin kerap terancam kelaparan dan termarjinalisasi sebagai akibat liberalisasi perdagangan tersebut.
Ideologi pasar bebas bukan memprioritaskan pangan untuk kebutuhan warga miskin, tetapi justru menggiring pertanian untuk kepentingan perdagangan internasional. Liberalisasi pertanian semakin menghancurkan usaha tani lokal milik ratusan juta petani sehingga mereka acap terancam kelaparan dan mendorong petani berimigrasi dari desa ke kota karena di desa hanya ada kemiskinan dan busung lapar.
Saatnya kita bersatu melawan kelaparan dengan melakukan penguatan kedaulatan pangan di tengah cengkeraman industri pertanian yang berbasis kapitalistik. Pemerintah harus memfasilitasi warga pedesaan, termasuk petani, untuk menentukan sendiri konsep pemenuhan pangannya yang berbasis sumber daya lokal seiring dengan kenyataan bahwa hak atas pangan semakin terabaikan oleh pemain liberalisasi perdagangan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/16/03495985/bersatu.melawan.kelaparan
Posman Sibuea Guru Besar Ketahanan Pangan di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika St Thomas Medan
Hari Pangan Sedunia diperingati saban 16 Oktober. Tahun ini tema yang diangkat ialah ”United Againts Hunger”. Tema yang dipilih FAO ini hendak mengingatkan kita bahwa jumlah orang yang menderita kelaparan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Meski ilmu dan teknologi pertanian mengalami kemajuan yang kentara, sebagian masyarakat dunia masih dihadapkan pada persoalan kelaparan. Di saat produksi pangan mencapai titik tertinggi, pada saat yang sama dunia menghadapi kelaparan terparah sepanjang sejarah manusia. Jumlah orang yang kelaparan di dunia, termasuk di Indonesia, mencapai satu miliar jiwa. Angka ini naik 105 juta dibandingkan tahun 2008 (FAO, 2010). Inilah kejanggalan yang kita hadapi sebagai negara agraris.
Kegelisahan sosial
Soal pangan tidak bisa dianggap sepele. Kaum miskin kota dan desa akan mudah mengalami kegelisahan sosial yang cenderung liar jika mereka acap mengalami kelaparan. Negara maju memahami masalah perut yang satu ini. Petaninya disubsidi secara signifikan sehingga mampu menguasai pangan dunia.
Kepiawaian negara maju mengelola pangan mengalahkan Indonesia sebagai negara agraris yang dikenal subur dan makmur. Indonesia kini terperangkap dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai negara agraris kian terpuruk. Pemerintah dinilai tak mampu membangun ketahanan pangan yang kuat di tengah sumber daya pertanian yang melimpah.
Pangan yang cukup merupakan bagian penting dalam hak asasi manusia, yang berimplikasi bahwa pangan tidak hanya membesarkan otot, tetapi juga mencerdaskan otak. Setiap orang harus tercukupi kebutuhan akan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Kelaparan tidak hanya disebabkan kekurangan jumlah kalori sebanyak 30 persen dari yang dikonsumsi, tetapi juga karena kualitas gizi yang dikonsumsi juga buruk.
Perkembangan teknologi pertanian yang lebih maju saat ini sudah mampu meningkatkan produksi pangan seperti jagung, padi, gandum, dan daging secara signifikan. Teknologi pangan modern dalam bidang pengolahan dan pengawetan memungkinkan pangan dan produk olahannya bisa lebih tahan lama. Pangan dapat dikirim tepat waktu ke suatu tempat yang kelebihan dan ke tempat lain yang kekurangan di seluruh dunia. Ditambah lagi dengan sistem komunikasi yang makin mudah berkat jejaring sosial di dunia maya dan makin baiknya sarana transportasi darat, laut, dan udara, seharusnya pangan untuk semua dapat terwujud.
Monopoli negara maju
Hingga kini, pangan tidak bisa mencapai setiap orang. Angka satu miliar orang yang kelaparan mengundang tanda tanya: mengapa itu bisa terjadi?
Ternyata kemajuan ilmu dan teknologi pertanian hanya monopoli negara-negara maju, sementara negara berkembang berkutat dengan teknologi tradisional guna memproduksi bahan pangan. Petani miskin di negara-negara berkembang yang belum mampu mengakses teknologi pemupukan kerap mengalami gagal panen.
Penjajahan dalam bentuk kekerasan fisik sudah ditinggalkan negara maju untuk mengendalikan negara miskin. Namun, penjajahan bentuk lain kini berlangsung secara nyata, yakni mengendalikan pangan dunia lewat penguasaan ilmu dan teknologi pangan. Tren baru ini menjadi kegiatan ekonomi antarnegara yang ujung-ujungnya selalu menguntungkan negara-negara maju.
Pengenalan monokultur secara besar-besaran di negara-negara berkembang melalui revolusi hijau dapat menjadi serpihan contoh ketergantungan negara berkembang pada negara maju lewat bahan kimia, benih, dan utang. Demi kepentingan bisnis segelintir konglomerat di bidang bioteknologi, benih hasil rekayasa genetik (transgenik) dipaksakan ke petani negara-negara berkembang dalam bungkus ”program bantuan pangan”.
Benih transgenik disalurkan sebagai bantuan bagi petani miskin yang mengalami kekeringan parah. Setelah ditanam dan panen, baru disadari bahwa benih hasil panen ternyata tidak boleh ditanam lagi kalau tidak membayar royalti kepada produsen benih. Bukan itu saja, benih tersebut ternyata juga hanya bisa tumbuh jika memakai pupuk, insektisida, dan herbisida yang juga diproduksi oleh produsen yang sama.
Persekongkolan perekonomian dalam perdagangan bebas telah menjebak petani masuk dalam perangkap ketergantungan di tangan konglomerat agrobisnis negara maju. Komunitas lokal di berbagai daerah di Tanah Air semakin kerap terancam kelaparan dan termarjinalisasi sebagai akibat liberalisasi perdagangan tersebut.
Ideologi pasar bebas bukan memprioritaskan pangan untuk kebutuhan warga miskin, tetapi justru menggiring pertanian untuk kepentingan perdagangan internasional. Liberalisasi pertanian semakin menghancurkan usaha tani lokal milik ratusan juta petani sehingga mereka acap terancam kelaparan dan mendorong petani berimigrasi dari desa ke kota karena di desa hanya ada kemiskinan dan busung lapar.
Saatnya kita bersatu melawan kelaparan dengan melakukan penguatan kedaulatan pangan di tengah cengkeraman industri pertanian yang berbasis kapitalistik. Pemerintah harus memfasilitasi warga pedesaan, termasuk petani, untuk menentukan sendiri konsep pemenuhan pangannya yang berbasis sumber daya lokal seiring dengan kenyataan bahwa hak atas pangan semakin terabaikan oleh pemain liberalisasi perdagangan.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/16/03495985/bersatu.melawan.kelaparan
Posman Sibuea Guru Besar Ketahanan Pangan di Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika St Thomas Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya