Rabu, 20 Agustus 2008

Merdeka dalam jajahan neoliberalisme

Oleh: Fathullah


--------------------------------------------------------------------------------

Peringatan HUT ke-63 Kemerdekaan RI kini berhadapan langsung dengan neoliberalisme. Kita menghadapi ancaman dan tantangan penjajahan baru oleh neoliberalisme global yang kini sangat nyata keberadaannya dan menguasai perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Neoliberalisme pada kenyataannya, bukan lagi sesuatu yang mudah untuk bisa dihindari dan diantisipasi.
Akan tetapi kini semakin dekat dan bahkan telah menyatu dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Menyatu dalam pengertian ideologi dan kepentingannya telah memengaruhi, terlibat dalam pengambilan keputusan strategis berbangsa dan bernegara, dan telah membentuk suatu lingkaran setan yang mempersuram sisi kehidupan bangsa dan negara ini.

Sesuai dengan ideologinya, neoliberalisme sangat memuja pasar (istilah lain: fundamentalisme pasar). Para pemeluk neoliberalisme sangat percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tetapi juga seluruh aspek kehidupan.

Diyakini, dengan pasar bebas umat manusia akan memasuki pintu gerbang keemasan yang membebaskan dan membahagiakan. Oleh sebab itu, maka para pemeluk 'agama dunia' bernama neoliberalisme itu mengkritik dan menolak campur tangan negara dalam aktivitasnya menjalankan program-program kesejahteraan rakyat, karena dianggap hal itu akan menimbulkan defisit negara yang luar biasa. Negara dilarang turut campur tangan mengurusi persoalan rakyatnya.

Biarlah rakyat sendiri yang mengurus urusannya, sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Kecuali itu, peran negara hanya untuk melayani dan memberi kemudahan untuk kepentingan berkembangnya neoliberalisme global.

Keyakinan dan ideologi neoliberalisme adalah jelas sekali sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang menyatakan bahwa "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, ....."

Jadi, dalam konteks keyakinan dan ideologinya saja, neoliberalisme sebagaimana dijelaskan di atas telah sangat menyesatkan dan mengerikan, apalagi dalam implementasi program dan aksi-aksi yang dijalankannya, kita bisa saksikan akibatnya yang lebih mengerikan lagi. Sebut saja misalnya dalam bidang pertanian, yang menyangkut nasib hidup matinya para petani kita sebagai bangsa agraris.

Kenyataan yang terjadi di sektor itu adalah hilangnya kemerdekaan (kemandirian) pertanian kita, dan masuk ke dalam perangkap ketergantungan sistem pertanian neoliberal, termasuk di dalamnya para petani dan buruh tani, yang berada dalam lingkaran kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) atau multinasional (multinational corporations/ MNCs) dengan perangkat pengawasnya yaitu World Trade Organization (WTO).

Secara lebih tegas lagi, di balik kepentingan neoliberalisme itu sebenarnya terdapat kepentingan TNCs/ MNCs dari negara Amerika Serikat (AS) yang didukung dan dilindungi secara politik oleh Pemerintah AS. Kepentingan TNCs / MNCs AS ini sangat jelas, misalnya dalam penguasaan TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) di seluruh dunia.

Data pada 1997 memperlihatkan bahwa industri berbasis TRIPs atau Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam bidang perdagangan mengumpulkan hasil ekspor terbesar bagi perusahaan AS, yaitu sebesar US$66,85 miliar. Angka itu disusul oleh industri kimia US$66,40 miliar, dan kendaraan bermotor US$58,34 miliar. Data UNDP juga menunjukkan bahwa pada 1995 saja angka pembayaran royalti dunia lebih dari setengahnya mengalir ke AS. (Arimbi:2002).

Sebaliknya bagi Indonesia, dengan permainan tidak adilnya TNCs /MNCs negara-negara maju seperti AS dan Jepang, menyebabkan kehilangan kepemilikan terhadap sejumlah hak paten produk andalan rakyat seperti tempe, rempah-rempah, bibit tanaman padi, dan sebagainya.

Dengan kenyataan pahit di atas, yang menggambarkan betapa ironis dan paradoksnya kita sebagai bangsa dan negara merdeka yang telah diproklamasikan sejak 63 tahun yang lalu, ternyata di balik kemerdekaan itu, hanya berupa kemerdekaan dari penjajahan secara fisik dari negara penjajah saja yang baru terjadi.

Padahal penjajahan dalam bentuk yang sangat hakiki dan kompleks, bermakna ketertindasan dan ketergantungan yang luar biasa, menyebabkan ketakberdayaan kita sebagai bangsa dan negara terhadap penjajahan nonfisik yang dilancarkan oleh para penjajah neoliberalisme global, hingga saat ini, bahkan akan terus berlangsung ke depan, tak membuat kita bisa lepas dari penjajahan dalam bentuk baru itu. Artinya bangsa dan negara ini tetap dalam kondisi sangat terjajah.

Mereka berhasil dan terus mempertahankan jajahannya karena kesalahan para pemimpin bangsa dan negara ini yang tidak konsisten dan khianat terhadap amanat kemerdekaan yang dicita-citakan oleh para pendiri dan pejuang kemerdekaan.

Para pemimpin pemerintahan kita yang lalu lebih memikirkan kepentingan sesaat untuk dirinya, keluarga dan kroninya, daripada menjadi pemimpin bangsa yang negarawan yang memikirkan dan memperjuangkan nasib bangsanya.

Mereka telah menggadaikan dan bahkan menjual harga diri dan kekayaan bangsa dan negara ini untuk kepentingan neoliberalisme global secara tidak bertanggungjawab.

Bencana yang paling serius dan sangat tidak kita harapkan tentunya adalah kehancuran kita sebagai bangsa dan negara ini, alias Indonesia yang ada sekarang ini akan bubar jalan, dan akan dicaplok di sana sini oleh negara penjajah baru dalam jaringan neoliberalisme global itu.

Jika ini yang terjadi, berceritalah anak cucu atau cicit kita nanti, bahwa katanya "dulu, kata ibu bapak atau nenek kakek saya, pernah ada negara yang namanya Indonesia Raya.

Negaranya kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah, tapi karena salah urus, dikorupsi dan digadaikan oleh para pemimpinnya, akhirnya negara itu pun hancur berantakan. Inilah yang wajib dan sangat relevan kita renungkan di saat 63 tahun kita merdeka sekarang ini.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Fathullah
Peneliti dan anggota Dewan Direktur CIDES

Senin, 04 Agustus 2008

Negeri Kurawa

Oleh: Abdul Munir Mulkhan


--------------------------------------------------------------------------------

Saat orang ragu pada 34 partai peserta Pemilu 2009 yang mengumbar janji, warga ragu dan bingung memilih.

Keraguan juga tampak saat menunggu pemimpin baru yang mampu mengubah penderitaan warga di negeri kaya sumber alam ini. Saat pemimpin muda belum tampil meyakinkan, yang senior sudah ketahuan belangnya.

Di saat kritis seperti itu, banyak orang tertarik membaca kembali kisah pewayangan. Sejarah, ajaran agama, dan tradisi lokal di Nusantara juga menyimpan kisah-kisah magis kehadiran pemimpin yang dibutuhkan zamannya. Kisah-kisah itu patut disimak kembali. Dan apa yang sedang terjadi di negeri ini mungkin representasi kisah itu.

Masyarakat merasakan elite partai berbasis agama tidak bebas dari korupsi berjemaah dengan teman seasas (seagama atau seideologi) atau luar asas dari penegak hukum dan pemerintahan. Putusan pengadilan bisa ditawar, undang-undang dan peraturan disusun untuk memuluskan perilaku jahat dan selingkuh sehingga tampak tidak melanggar tata krama.

Aparat pemerintah bagai majikan yang harus dilayani, bukan hanya dengan sikap hormat, tetapi juga dengan rupiah. Cerdik pandai dan agamawan bukan tidak ada. Fatwanya terus mengalir, tetapi lebih beredar di antara menara gading tidak menyentuh hajat publik.

Nafsu menang sendiri

Gambaran melodramatik penyelenggaraan pemerintahan itu terlukis dalam kehidupan suatu negeri di dunia pewayangan yang dikenal Negeri Kurawa dengan pusat pemerintahan di Astina Pura, kadang disebut Negeri Astina. Dalam upacara resmi, para cendekia dan agamawan ditempatkan di panggung kehormatan, ke mana sang penguasa menunjukkan sikap hormat.

Sesekali para cerdik pandai dan agamawan dimintai pendapat, bukan untuk dipraktikkan, tetapi sekadar menunjukkan kepada publik atas kepedulian sang penguasa pada kebenaran. Bahasanya jauh dari kesadaran publik umat dan rakyat jelata karena lebih berorientasi kitab yang telah diseleksi sang penguasa.

Gaya hidup penggawa (aparat) kerajaan Astina itu terlukis, disebut julik. Suatu pola hidup penuh tipu daya, selingkuh menjadi pakerti (perilaku), ambisi menang sendiri, kaya sendiri, kenyang sendiri, pintar sendiri menjadi etika (meminjam Protestan Etiknya Max Weber) hidup komunitas (baca: partai politik).

Warga dan rakyat bukan hanya kehilangan panutan, pemerintahan tidak mengenal sistem keteladanan dan nilai moral. Posisi sosial politik seseorang tidak diukur dari perilaku baik, tetapi dari kemampuan dan keberanian menggunakan kekuasaan guna kepentingan diri dan kelompok.

Oleh Nietzsche, praktik hidup dan pemerintahan itu bisa digambarkan sebagai sistem sosial politik yang didominasi persona ubermensch. Persona demikian ialah pola hidup manusia bermoral tuan, manusia atas atau super yang bernafsu menang sendiri. Berbagai kisah fiksi tentang superman terinspirasi konsep manusia bermoral tuan itu.

Dalam sistem sosial politik dan pemerintahan demikian, kebenaran tidak diukur dari nilai obyektif yang didukung mayoritas, tetapi nilai subyektif penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan Machiavelis. Moralitas baik ialah moral tuan saat nafsu menjadi komando kehidupan, bukan moral budak yang lemah. Kebaikan ialah kemegahan, bangga diri, bukan kedamaian dan ke-welas-asih-an yang menunjukkan kelemahan jiwa.

Dongeng demokrasi

Pemerintahan dan orang baik yang tergambar dalam Kerajaan Ngamarto dan Pandawa hanya mimpi indah yang enak dikisahkan sebagai dongeng.

Praktik pendidikan bagai sebuah festival dongeng tentang orang-orang bijak, baik, berbudi, dan dijanjikan surga. Kisah pahlawan dan orang suci terlukis dalam kalimat sastra yang indah dan enak didengar, tetapi kosong dari kenyataan.

Sementara fakta-fakta di lapangan bercerita tentang kisah kelaparan, penderitaan, pembunuhan berantai, korupsi, elite yang selingkuh jabatan, moral, dan seks. Berita anggota dewan, pejabat tinggi pemerintahan, elite keagamaan yang korupsi dan selingkuh seksual, mencerminkan kehidupan mayoritas warga seperti Negeri Kurawa. Wargalah yang memilih elite partai, sosial dan keagamaan, anggota dewan, dan memilih presiden yang kemudian menyusun kabinet.

Situasi kehidupan Negeri Kurawa itu tidak jauh berbeda dengan praktik demokrasi prosedural negeri ini. Suatu eufemisme tentang cara hidup ngurawa melalui sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan modern yang disebut demokrasi. Banyak alasan untuk membela diri dengan fakta buruk kehidupan negeri ini setelah 10 tahun reformasi, 60 tahun merdeka, dan satu abad kebangkitan nasional.

Sebagian melihat fakta buruk demokrasi prosedural itu sebagai kewajaran dalam kehidupan ekonomi dan tingkat pendidikan mayoritas warga Nusantara. Pada tahap sosial ekonomi seperti ini, praktik demokrasi belum menjanjikan peningkatan kesejahteraan warga kebanyakan, kecuali segelintir orang.

Sebagian berpendapat, fakta demokrasi negeri ini adalah suatu tahap yang harus dilalui bangsa yang memulai praktik demokrasi. Beberapa yang lain berpendapat, demokrasi yang baik memerlukan tingkat pendidikan dan ekonomi warga yang sudah sampai titik ekuilibrium setelah dipraktikkan berabad-abad.

Mencari takdir sosial

Berbagai pandangan ini berarti kita menerima apa adanya praktik demokrasi sebagai kebenaran. Suatu etika hidup ngurawa. Para cendekia dan agamawan terperangkap etika ngurawa yang digambarkan dalam dunia pewayangan sebagai Pandita Durno. Ia pandai dan waskita, tetapi semuanya hanya digunakan untuk membela Raja Astina.

Semua agama meramalkan kedatangan zaman akhir seperti gambaran Negeri Kurawa. Dajal tiba, saat kekuatan jahat keliwat-liwat, sebagai penanda datangnya Al-Mahdi Al-Masih, Ratu Adil, atau Satria Piningit. Mungkin manusia telah gagal membuat sistem yang mampu mengendalikan kejahatan sehingga perilaku jahat menjadi dominan. Hal itu merupakan pengantar Perang Baratayuda yang dalam dunia keagamaan dikenal dengan Hari kiamat. Pada saat itulah Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya mengganti penduduk bumi atau negeri ini dengan warga baru.

Dalam situasi demikian, tersedia aneka pilihan tindakan. Kita cukup menyesali nasib dan berdoa meminta Tuhan mengubah yang jahat berhati malaikat atau minta menunda kiamat. Pilihan lain, menggunakan sisa waktu yang ada untuk mengubah perilaku yang mentradisi yang mengakibatkan penderitaan bukan hanya orang miskin, tetapi juga anak cucu sendiri.

Paling mudah ialah menunggu Godot, Satria Piningit, atau Sang Mahdi. Kapan akan datang? Mungkin sudah terlambat saat semua sudah hancur. Kita hanya bisa membayangkan betapa derita yang harus ditanggung anak cucu nanti.

Nasib lebih baik hanya mungkin diraih jika mengubah perilaku sebagai doa.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/02/00422221/negeri.kurawa


Abdul Munir Mulkhan Anggota Komnas HAM; Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahluk Organisasi

A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Jika kita menginginkan suatu perusahaan lestari, hal utama yang harus dilakukan adalah memperlakukan perusahaan sebagai suatu makhluk hidup. Dan ’darah’ yang harus terus mengalir dalam urat nadi perusahaan adalah inovasi.

Arie de Geus menyatakan agar dapat bertahan lama sebuah perusahaan harus memungkinkan orang-orangnya tumbuh dalam komunitas yang disatukan oleh nilai-nilai yang dinyatakan secara jelas dan konsisten. Nilai-nilai yang didasarkan atas identitas organisasi, kemauan untuk berubah dan semangat akan pengembangan. Komitmen pada sumber daya manusia ditempatkan di atas aset, dan respek terhadap inovasi dan pembelajaran.

Perusahaan harus terus-menerus mencari cara untuk menciptakan dan mewujudkan nilai (value) melalui inovasi tiada henti. Kemampuan untuk segera tanggap terhadap perubahan merupakan persyaratan agar perusahaan tetap bisa bertahan.

Pada dasarnya kinerja organisasi merefleksikan kombinasi antara kompetensi organisasional dan keselarasan organisasi dengan lingkungannya. Keselarasan yang ditentukan oleh sejauh mana kumpulan pengetahuan organisasional sesuai dengan tuntutan eksternal. Kemampuan organisasi menyempurnakan dan mengeksploitasi pengetahuan organisasionalnya sehingga mampu menciptakan pengetahuan baru dan menghasilkan inovasi, sangat bergantung pada pola komunikasi dan distribusi pengetahuan dalam organisasi. Jadi, bila peningkatan usia organisasi cenderung meningkatkan kekakuan pada pola komunikasi dan distribusi pengetahuan, maka sejalan dengan meningkatnya usia, organisasi pun menghasilkan lebih sedikit inovasi.

Kesenjangan antara kompetensi organisasional dengan tuntutan lingkungan juga meningkat sejalan dengan waktu. Bila organisasi relatif lamban (untuk berubah) maka keputusan-keputusan serta praktek-praktek yang dibawa sejak organisasi berdiri masih tetap berlaku. Akibatnya, ketika lingkungan eksternal berubah dengan cepat, keselarasan antara organisasi dengan lingkungannya akan menurun, menyeret organisasi tersebut pada keusangan.

Organisasi sejatinya sangat mirip dengan manusia. Bukankah pada hakekatnya organisasi adalah sekumpulan manusia dengan tujuan, sistem, struktur dan kultur tertentu ? Nah, agar organisasi berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif, organisasi mesti mempunyai tradisi sebagai organisasi pembelajaran (learning organization) dan mempunyai kemampuan untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) dengan baik.

Dalam organisasi pembelajaran (learning organization), komitmen dan kapasitas belajar ditumbuhkan secara berkesinambungan bagi seluruh anggota di tiap tataran organisasi.

Schwandt menyatakan organisasi pembelajaran memungkinkan organisasi merubah informasi menjadi pengetahuan yang berharga (valued knowledge) yang akan meningkatkan kemampuan organisasi. Boleh dikatakan, organisasi pembelajaran merupakan ‘wadah’- dengan sistem tertentu - yang memungkinkan anggota organisasi untuk terus belajar sehingga dapat meningkatkan kemampuannya.

Seperti yang diusulkan Senge, terdapat lima unsur penting mesti diperhatikan dalam pembentukannya, yakni visi bersama yang mesti digapai, model mental, keahlian personal, pembelajaran tim, dan berpikir sistematik.

Yang tak kalah pentingnya adalah kepemimpinannya. Tipe kepemimpinan yang paling sesuai untuk mendukung adalah kepemimpinan yang memberdayakan (empowerment leadership). Kepemimpinan ini memberikan penugasan, pendelegasian, dan dukungan positif kepada setiap anggota organisasi, sehingga kegiatan pembelajaran dan kinerja tim menjadi lebih baik. Penugasan yang diberikan mempunyai standar yang tinggi. Pendelegasian dilakukan berdasar prinsip penghargaan dan kepercayaan agar anggota merasa dirinya berdaya (baca : berkontribusi) dalam menggapai visi bersama. Pendelegasian semacam ini menunjukkan munculnya otonomi yang membebaskan anggota dari birokrasi yang melelahkan.

Harapan lainnya adalah terbentuknya dukungan positif sebagai cerminan integritas diri pemimpin. Dukungan positif mencakup sikap menghargai pelaksanaan tugas (terutama tugas yang berat) dan penghargaan atas sikap adil, konsisten, dan kejujuran anggota. Tak ayal, tipe kepemimpinan yang memberdayakan akan menghasilkan peningkatan kinerja jangka pendek dan membangun komitmen bersama dalam jangka panjang sehingga visi bersama dapat tercapai.

Kepemimpinan ini mesti disertai pengelolaan aset intelektual organisasi dalam rangka pembentukan knowledge management (KM), yang merupakan kontribusi dari setiap anggota organisasi agar saling mengembangkan gagasan yang berbeda. Pengalaman, pengetahuan, dan keahlian anggota organisasi, dikumpulkan, dikelola dan distribusikan ke seluruh organisasi. Organisasi mengakumulasi segenap kompetensi anggotanya, dan dijadikan kompetensi organisasi.

Proses ini akan menghasilkan knowledge-based worker yang merupakan dasar inovasi dan kreasi anggota organisasi yang akan meningkatkan nilai organisasi, karena membangun manusia pembelajar dalam organisasi. Pada galibnya, belajar merupakan proses untuk mengenali dan memahami diri sendiri (self awareness), lingkungan (cosmo awareness), dan interaksi keduanya (relationship awareness). Organisasi dan anggotanya, menjadi cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan siap untuk berkompetisi.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

World Class Company & GCC

A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Di tengah aroma globalisasi yang menyengat tajam, tak ada pilihan lain bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk berusaha meraih kesejajaran dengan perusahaan-perusahaan kelas dunia, world class company.

Sebuah perusahaan yang layak masuk dalam world class company, setidaknya mempunyai lima karakteristik utama, yaitu kompetensi, kemampuan berdaptasi (adaptability), mempunyai budaya kualitas, inovatif dan sifat entrepreneur. Kelima karakteristik itu saling kait-mengait dan harus terintegrasi dengan baik.

Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beroperasi dalam standar yang tinggi.

Makna “standar yang tinggi” bersifat dinamis, karena standar ini bukan hanya memiliki dimensi internal, tetapi harus berorientasi eksternal, yaitu berorientasi kepada para stake holder dan kepada dinamika persaingan.

Dari sisi internal, dapat dicapai melalui continuous improvement agar lebih baik dari yang telah dicapai sebelumnnya. Dari sisi eksternal, perusahaan harus berlomba dengan standar yang telah dicapai oleh kompetitor dan berlomba dengan ekspektasi konsumen yang meningkat. Continuous improvement saja tidaklah cukup, tetapi harus melakukan leapfrog melalui langkah-langkah inovatif.

Masalahnya bagaimana menggapai impian untuk menjadikan perusahaan kita sebuah world class company ? Pertama yang harus diperhatikan adalah prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan finansial, kehandalan SDM, kemampuan memanfaatkan teknologi, kepemilikan jejaring bisnis (business network) dan penguasaan informasi strategis.

edua, siapa yang mengantarkan agar ‘mimpi’ ini menjadi realitas. Dibutuhkan pola kepemimpinan yang dapat mengubah mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Seorang pemimpin yang dapat ‘melihat dan bermimpi’, mengubah, dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan. Ketiga, diterapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Corporate Governance dapat dipakai sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan pola manajemen yang bermutu “world class” dan dapat berdiri sejajar dengan korporasi manapun di dunia.

Pada dasarnya Corporate Governance mengarahkan perhatian pada peningkatan kinerja korporasi (corporate performance) melalui supervisi atau monitoring dari kinerja manajemen dan sekaligus memastikan akuntabilitas manajemen kepada pemegang saham dan stakeholders lain. Corporate Governance merupakan upaya memotivasi manajemen untuk meningkatkan keberhasilan (effectiveness) dan sekaligus juga mengendalikan perilaku manajemen agar tetap mengindahkan kepentingan stakeholders, dalam kerangka yang sudah disepakati bersama.

Secara umum Corporate Governance meliputi empat hal pokok (sesuai dengan konsep OECD): yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility. Pimpinan usaha harus dapat menunjukkan keadilan dalam membagi hasil kepada pemegang saham, untuk itu harus ada keterbukaan informasi kepada pemegang saham dan stakeholders mengenai berbagai kebijaksanaan, berikut harus jelas siapa yang akuntabel dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan, serta bagaimana tanggung jawab para pelaksana terhadap pelaksanaan amanat yang diembankan. Eksekutif perlu mendapat cukup wewenang (delegated authority) untuk dapat mengembangkan usaha secara berhasil.

Corporate Governance merupakan proses dan struktur dari berbagai kegiatan untuk memastikan bahwa kinerja perusahaan sesuai dengan yang diinginkan stakeholders. Sehubungan dengan itu berbagai sarana yang pada umumnya digunakan untuk memastikan keberhasilan korporat dan sekaligus menjaga kepentingan para stakeholders.

Dalam melaksanakan Corporate Governance terdapat berbagai mekanisme yang dapat dikembangkan, diantaranya melibatakan Executive Remuneration, Audit Committees, Internal Controls, dan Shareholders.

Antara remunerasi eksekutif dan Good Corporate Governance memiliki tujuan yang sama: meningkatkan performance. Sebagai salah satu instrumen pemacu kinerja korporasi, keterkaitan antara kompensasi dengan kinerja harus nampak, dan balas jasa bagi eksekutif berkorelasi dengan kinerja perusahaan.

Dalam melaksanakan Corporate Governance dapat memanfaatkan pembentukan komite. Komite merupakan badan independen yang diharapkan dapat memberikan berbagai masukan bagi dewan untuk memonitor perkembangan korporat.

Kehadiran mekanisme kontrol internal juga diperlukan, mengingat manajemen korporat harus memiliki ‘alat’ yang langsung dapat dikendalikannya untuk memonitor berbagai perkembangan penting korporat. Mekanisme kontrol internal ini merupakan sistem peringatan dini bagi manajemen. Dengan demikian berbagai “early warning signals” mengenai kondisi korporat dapat segera ditanggapi, sebelum menjadi besar dan berbahaya.

Pemegang saham, terutama Institutional Investors merupakan komponen yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam berbagai model Corporate Governance dilihat suatu asumsi bahwa para investor (terutama institutional) mempunyai kepentingan besar dalam pengelolaan perusahaan dan karena itu menaruh perhatian akan perkembangan perusahaan secara rinci.



A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Di tengah aroma globalisasi yang menyengat tajam, tak ada pilihan lain bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk berusaha meraih kesejajaran dengan perusahaan-perusahaan kelas dunia, world class company.

Sebuah perusahaan yang layak masuk dalam world class company, setidaknya mempunyai lima karakteristik utama, yaitu kompetensi, kemampuan berdaptasi (adaptability), mempunyai budaya kualitas, inovatif dan sifat entrepreneur. Kelima karakteristik itu saling kait-mengait dan harus terintegrasi dengan baik.

Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beroperasi dalam standar yang tinggi.

Makna “standar yang tinggi” bersifat dinamis, karena standar ini bukan hanya memiliki dimensi internal, tetapi harus berorientasi eksternal, yaitu berorientasi kepada para stake holder dan kepada dinamika persaingan.

Dari sisi internal, dapat dicapai melalui continuous improvement agar lebih baik dari yang telah dicapai sebelumnnya. Dari sisi eksternal, perusahaan harus berlomba dengan standar yang telah dicapai oleh kompetitor dan berlomba dengan ekspektasi konsumen yang meningkat. Continuous improvement saja tidaklah cukup, tetapi harus melakukan leapfrog melalui langkah-langkah inovatif.

Masalahnya bagaimana menggapai impian untuk menjadikan perusahaan kita sebuah world class company ? Pertama yang harus diperhatikan adalah prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan finansial, kehandalan SDM, kemampuan memanfaatkan teknologi, kepemilikan jejaring bisnis (business network) dan penguasaan informasi strategis.

edua, siapa yang mengantarkan agar ‘mimpi’ ini menjadi realitas. Dibutuhkan pola kepemimpinan yang dapat mengubah mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Seorang pemimpin yang dapat ‘melihat dan bermimpi’, mengubah, dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan. Ketiga, diterapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Corporate Governance dapat dipakai sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan pola manajemen yang bermutu “world class” dan dapat berdiri sejajar dengan korporasi manapun di dunia.

Pada dasarnya Corporate Governance mengarahkan perhatian pada peningkatan kinerja korporasi (corporate performance) melalui supervisi atau monitoring dari kinerja manajemen dan sekaligus memastikan akuntabilitas manajemen kepada pemegang saham dan stakeholders lain. Corporate Governance merupakan upaya memotivasi manajemen untuk meningkatkan keberhasilan (effectiveness) dan sekaligus juga mengendalikan perilaku manajemen agar tetap mengindahkan kepentingan stakeholders, dalam kerangka yang sudah disepakati bersama.

Secara umum Corporate Governance meliputi empat hal pokok (sesuai dengan konsep OECD): yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility. Pimpinan usaha harus dapat menunjukkan keadilan dalam membagi hasil kepada pemegang saham, untuk itu harus ada keterbukaan informasi kepada pemegang saham dan stakeholders mengenai berbagai kebijaksanaan, berikut harus jelas siapa yang akuntabel dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan, serta bagaimana tanggung jawab para pelaksana terhadap pelaksanaan amanat yang diembankan. Eksekutif perlu mendapat cukup wewenang (delegated authority) untuk dapat mengembangkan usaha secara berhasil.

Corporate Governance merupakan proses dan struktur dari berbagai kegiatan untuk memastikan bahwa kinerja perusahaan sesuai dengan yang diinginkan stakeholders. Sehubungan dengan itu berbagai sarana yang pada umumnya digunakan untuk memastikan keberhasilan korporat dan sekaligus menjaga kepentingan para stakeholders.

Dalam melaksanakan Corporate Governance terdapat berbagai mekanisme yang dapat dikembangkan, diantaranya melibatakan Executive Remuneration, Audit Committees, Internal Controls, dan Shareholders.

Antara remunerasi eksekutif dan Good Corporate Governance memiliki tujuan yang sama: meningkatkan performance. Sebagai salah satu instrumen pemacu kinerja korporasi, keterkaitan antara kompensasi dengan kinerja harus nampak, dan balas jasa bagi eksekutif berkorelasi dengan kinerja perusahaan.

Dalam melaksanakan Corporate Governance dapat memanfaatkan pembentukan komite. Komite merupakan badan independen yang diharapkan dapat memberikan berbagai masukan bagi dewan untuk memonitor perkembangan korporat.

Kehadiran mekanisme kontrol internal juga diperlukan, mengingat manajemen korporat harus memiliki ‘alat’ yang langsung dapat dikendalikannya untuk memonitor berbagai perkembangan penting korporat. Mekanisme kontrol internal ini merupakan sistem peringatan dini bagi manajemen. Dengan demikian berbagai “early warning signals” mengenai kondisi korporat dapat segera ditanggapi, sebelum menjadi besar dan berbahaya.

Pemegang saham, terutama Institutional Investors merupakan komponen yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam berbagai model Corporate Governance dilihat suatu asumsi bahwa para investor (terutama institutional) mempunyai kepentingan besar dalam pengelolaan perusahaan dan karena itu menaruh perhatian akan perkembangan perusahaan secara rinci.



Menuju Perusahaan Kelas Dunia

Good Corporate Governance dapat dimanfaatkan untuk mengelola perusahaan agar tingkat profesionalisme, akuntabilitas dan kinerjanya dapat disejajarkan dengan perusahaan-perusahaan terbaik di dunia, serta dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing. Hambatan-hambatan yang yang bersumber pada kondisi budaya kerja internal, kualitas sumber daya manusia, maupun infrastruktur budaya masyarakat yang belum kondusif untuk mengembangkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dapat dihilangkan dengan upaya-upaya perbaikan secara terus-menerus.

Disinilah pentingnya implementasi Good Corporate Governance dilaksanakan dengan seksama, memperhatikan berbagai kondisi yang dihadapi serta didasarkan berbagai kaidah perubahan organisasi yang realistis, sehingga implementasi didasarkan pada asumsi nyata kondisi yang dihadapi dan tahapan perubahan yang harus dilaksanakan. Implementasi Good Corporate Governance yang berhasil akan medukung tercapainya World Class Company.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Good Corporate Governance dapat dimanfaatkan untuk mengelola perusahaan agar tingkat profesionalisme, akuntabilitas dan kinerjanya dapat disejajarkan dengan perusahaan-perusahaan terbaik di dunia, serta dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing. Hambatan-hambatan yang yang bersumber pada kondisi budaya kerja internal, kualitas sumber daya manusia, maupun infrastruktur budaya masyarakat yang belum kondusif untuk mengembangkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dapat dihilangkan dengan upaya-upaya perbaikan secara terus-menerus.

Disinilah pentingnya implementasi Good Corporate Governance dilaksanakan dengan seksama, memperhatikan berbagai kondisi yang dihadapi serta didasarkan berbagai kaidah perubahan organisasi yang realistis, sehingga implementasi didasarkan pada asumsi nyata kondisi yang dihadapi dan tahapan perubahan yang harus dilaksanakan. Implementasi Good Corporate Governance yang berhasil akan medukung tercapainya World Class Company.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Intrapreneurship

A.B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Apakah yang disebut oleh intrapreneurship? Arti gampangnya adalah entrepreneurship yang dipraktekkan di dalam sebuah organisasi yang mapan. Entrepreneurship memang identik dengan era perintisan usaha. Ketika perusahaan sudah membesar, organisasi menjadi sangat stabil, jiwa entrepreneurship sering tergerus oleh rasa aman dan kemapanan ini. Padahal agar organisasi bisa tetap kompetitif, entrepreneurship bukan saja wajib dimiliki oleh para pengusaha yang bekerja mandiri, tetapi juga oleh jajaran eksekutif dan karyawan perusahaan.

Entrepreneurship dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk menciptakan nilai melalui pemanfaatan sejumlah sumber daya untuk ‘mengeksploitasi’ sebuah kesempatan. Dapat pula dikatakan entrepreneurship adalah bagaimana memanfaatkan kesempatan, tanpa terlalu ‘hitung-hitung’ seberapa banyak sumber daya yang dimiliki. Modal tekad dan semangat merupakan yang utama ketimbang modal lainnya. Pendek kata entrepreneurship adalah opportunity driven.

Kesempatan tercipta oleh perubahan lingkungan, dan salah satu ciri seorang entrepreneur adalah kemampuannya yang lebih tajam dalam melihat perubahan-perubahan, dan menemukan kesempatan-kesempatan yang tersimpan di balik perubahan itu.

Seorang manajer yang rendah tingkat intrapreneurship-nya mengatakan seberapa banyak sumber daya yang dapat saya kelola, dan dari sumber daya yang dipegang ini apa yang akan dapat dicapai ? Namun seorang manajer yang tinggi tingkat intrapreneurship-nya akan mengatakan berdasarkan apa yang ingin dicapai, baru mengatakan apa saja yang harus dimiliki untuk mencapainya.

Terdapat tiga pilar dalam intrepreneurship yaitu inovasi, pengambilan resiko yang terkalkulasi, dan kreativitas. Inovasi adalah kemampuan untuk melihat segala sesuatu dengan cara yang baru. Pengambilan resiko yang terkalkulasi merupakan kemampuan untuk mengambil kesempatan yang sudah diperhitungkan dan menganggap kegagalan sebagai suatu pengalaman belajar. Kreativitas merupakan kemampuan untuk memperkirakan berbagai kemungkinan di masa depan dan secara proaktif menciptakan apa yang diidamkan.

Masalahnya adalah bagaimana memelihara semangat entrepreneurship dalam organisasi yang membesar dan semakin mapan. Organisasi yang besar dan stabil acapkali menimbulkan rasa percaya diri yang berlebihan pada orang-orang yang terlibat di dalamnya sehingga mengurangi sensitivitas terhadap kebutuhan pelangganya dan kurang responsif terhadap dinamika persaingan. Padahal dalam situasi yang hypercompetitive, timbulnya sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dapat berakibat fatal.

Menarik untuk mengamati General Motors yang berusaha menanggulangi penyakit ini. General Motors mencoba menciptakan “pasar” di dalam tubuhnya. GM mereorganisasi pabrik komponen yang kaku dan tidak efisien dengan melakukan pemecahan menjadi delapan unit internal market. Masing-masing unit dipandang sebagai profit center dan diharapkan mengembangkan keahlian yang terkait dengan system industri otomotif. Unit ini juga diharapkan mampu menjual produknya dalam pasar terbuka di luar kebutuhan GM. Misalnya, AC-Rochester tidak hanya menjual produknya kepada GM, tetapi juga menjualnya kepada Mitsubishi, Daewoo, dan Opel.

Unit-unit usaha ini diberi kebebasan untuk melakukan pembelian produk atau jasa dari pihak luar, dengan kompensasi dapat memberikan produk yang benar-benar mempunyai daya saing baik ke dalam maupun keluar. Untuk alasan kepentingan perusahaan yang lebih besar, terdapat kemungkinan perusahaan membatasi pembelian atau penjualan unit profit-center-nya ke dalam pasar internal, dengan kompensasi penurunan pemasukan atau laba dari yang seharusnya disumbangkan oleh unit tersebut.

Internal market network bukanlah pasar bebas, tetapi sebuah aliansi yang terdiri atas para intrapreneur. Kunci efektivitasnya terletak di dalam kolaborasi budaya yang dapat memberikan nuansa kebebasan berkembang kepada individu, teknologi, dan keterampilan melalui unit-unit profit center dan kemudian diorganisasi secara cepat ke arah sumber masalah dan penyelesaiannya. Dengan demikian, di dalam perusahaan diciptakan atmosfer dinamika pasar untuk merangsang daya saing. Tiap unit bertindak sebagai customer bagi unit yang lain seperti layaknya customer eksternal dan sebaliknya tiap unit menjadi pemasar seperti layaknya pemasok eksternal.

Dinamika pasar mendorong perusahaan untuk bersifat fleksibel dan responsif terhadap permintaan pasar. Kelambanan dan kekakuan birokrasi dalam bisnis membutuhkan perampingan struktur organisasi dan prosedur. Keberhasilan seringkali teraih dari kemampuan untuk melakukan hal yang berbeda, lebih cepat, dan lebih baik dari kompetitor. Semangat intrapreneurship merupakan hal yang esensial bagi pemasar.

Intrapreneurship dalam organisasi dibandingkan entrepreneurship memiliki sejumlah kelebihan maupun hambatan. Kelebihannya dibandingkan entrepreneursip terutama pada ketersedian sumber daya. Semangat intrapreneurship dalam sebuah perusahaan yang sudah mapan mempunyai sumber dayanya sudah tersedia dan ‘gratis’, tinggal bagaimana memanfaatkan kesempatan yang ada. Sementara hambatannya adalah spesialisasi dan pemisahan seringkali menghambat komunikasi, dan kompetisi internal seringkali pula menciptakan problem tersendiri.

Kenapa intrapreneurship sulit tumbuh dalam suatu organisasi? Pertama, biaya terhadap suatu kegagalan bagi yang bersangkutan terlalu tinggi, sementara penghargaan terhadap kesuksesan terlalu rendah. Intrapreneurship harus mempunyai ruang terhadap terjadinya kegagalan sementara kegagalan di dalam sebuah organisasi sering diharamkan dan dapat merusak karir seseorang. Daripada mengambil resiko yang dapat menghancurkan karirnya, anggota organisasi cenderung cari selamat. Padahal penghargaan yang akan diperolehnya jika mengalami kegagalan tidak seberapa. Kedua, terjadinya inersia yang disebabkan oleh kemapanan sebuah sistem, yang menyebabkan tidak seorang pun tergugah untuk melakukan perubahan. Ketiga, hirarki organisasi yang menyebabkan hambatan yang berlapis-lapis untuk menciptakan dan bertindak dengan cara yang baru.

Semangat entrepreneurship yang diperlukan oleh perusahaan besar tercermin ketika AT&T merintis pasar Rusia. AT&T menghadapi masalah ketika ingin melaksanakan program pemasaran melalui direct mail. Buku petunjuk telepon tidak tersedia, daftar nama tidak ada, dan kantor pos tidak menyediakan jasa ini. Hal ini tentu sangat sulit bagi AT&T yang terbiasa dengan informasi yang lengkap di AS. Dengan berbagai cara, AT&T menyewa YAR Communication untuk mendapat data tersebut dan tentunya dengan biaya yang lumayan besar.

Empat ribu buah surat siap untuk dikirim. Tetapi, Kantor Pos Rusia mencurigainya dan menahannya untuk keperluan investigasi. YAR Communication mengklarifikasi masalahnya dan akhirnya surat tersebut dapat terkirim. Respons yang sangat bagus, dan kemudian sebagian eksekutif Rusia memesan melalui telepon tanpa melihat produknya.

Kegigihan dalam keadaan yang serba terbatas dalam perintisan pasar merupakan ujian semangat intrapreneurship. Semangat ini seringkali luntur dalam perusahaan yang meraksasa dan stabil, yang dapat menimbulkan rasa aman yang berlebihan. Jadi, tugas pengelola adalah menciptakan struktur yang tidak birokratis, sistem dan budaya perusahaan yang memungkinan tumbuhnya tiga pilar utama intrapreneurship : inovasi, pengambilan resiko yang terkalkulasi, dan kreatifitas.

Bagaimana bagi Anda yang telah mempunyai semangat ini atau yang ingin mengasahnya ? Carilah perusahaan yang mempunyai iklim yang kondusif bagi berkembangnya intrapreneurship Anda.




--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Saatnya UKM Bangkit

Selama ini, usaha kecil dan menengah (UKM) dan juga usaha mikro dikenal sebagai usaha yang tetap solid saat Indonesia mengalami krisis sejak tahun 1997. Meskipun demikian, bukan berarti selama krisis, UKM terus tumbuh pesat. Modal yang merupakan sarana vital perkembangan UKM tak bisa didapat lantaran perbankan lumpuh. Produksi tak bisa terserap karena menurunnya daya beli masyarakat

PADAHAL, UKM bisa dibilang sebagai motor penggerak perekonomian masyarakat. Apabila UKM banyak yang mati, perekonomian masyarakat akan melesu. Oleh sebab itulah, pemerintah saat ini mulai gencar mengembangkan kembali UKM, mulai dari pemberian kredit lunak sampai pemberian berbagai insentif. Apalagi saat ini, UKM merupakan salah satu kekuatan yang diandalkan untuk dapat bersaing sejak berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA).

Hal ini tidaklah berlebihan, sebab produk-produk UKM seperti kerajinan tangan, furnitur, produk kayu, mainan, tekstil, dan kulit memiliki keunggulan komparatif dibandingkan produk negara lain. Keunggulan komparatif itu antara lain harga yang murah dan desain yang beragam serta unik.

Tahun 2003, yang dicanangkan sebagai tahun investasi oleh Presiden Megawati, juga tampaknya akan menjadi tahun kebangkitan UKM. Salah satu contohnya dapat dilihat di pameran Indonesia Expo 2003 yang diadakan di Jakarta, 5-9 Maret 2003. Indonesia Expo merupakan pameran berbagai produk-produk kerajinan yang dihasilkan UKM di seluruh Indonesia. Pameran ini bertujuan untuk mengenalkan produkproduk tersebut kepada pembeli dari luar negeri.

Presiden Indonesia Expo 2003 Dwi Karsonno mengatakan, jumlah UKM yang menjadi peserta meningkat 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pameran diikuti oleh 817 peserta, sementara tahun lalu hanya 657 peserta.

Tak hanya UKM yang berebut berpameran, pembeli dari luar negeri pun diperkirakan meningkat.

Inge Oktavia Arina, Kepala Hubungan Masyarakat Debindo, penyelengara Indonesia Expo menuturkan, jumlah pembeli yang datang kali ini diprediksi sebanyak 446 perusahaan dari 41 negara. "Tahun lalu, tidak sebesar ini," katanya.

"Ini membuktikan, sebenarnya pengusaha asing sangat antusias dengan produk-produk Indonesia. Mereka tetap suka, karena produk Indonesia lebih murah ketimbang negara lain dan produknya cukup variatif," kata Inge.

Perihal tingginya permintaan dari luar negeri juga disampaikan sejumlah pengusaha kecil dan menengah. Ayatullah Khumaini, perajin replika berbagai jenis sepeda, becak, dan kereta keraton yang terbuat dari bahan logam kuningan mengaku kewalahan melayani order dari luar negeri, seperti Belanda dan Belgia.

"Setiap bulan, permintaan replika sepeda saja mencapai 1.000 buah, bahkan lebih," kata dia. Sementara saat ini, Setara Handycraft, perusahaan yang dibangunnya baru memproduksi sebanyak 600 replika sepeda per bulan.

Padahal, selama ini Khumaini, belum memasarkan produknya secara sungguh-sungguh. Artinya, dia hanya meminta bantuan pedagang-pedagang perantara untuk menjual replika sepeda dan becak.

"Kami meminta bantuan teman-teman di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta untuk memasarkan barang kepada orang asing," katanya.

Sebagai dampak terus bertambahnya permintaan, tentu saja secara otomatis jumlah karyawan juga terus meningkat. Awalnya di tahun 1997, cuma enam karyawan. Namun, saat ini sudah mencapai 24 orang.

Dengan berkembangnya usaha tersebut, Khumaini pun dilirik berbagai pihak, salah satunya Pertamina. Sejak bulan lalu, BUMN ini menawarkan bantuan berupa pelatihan manajemen, promosi, dan kredit lunak.

Menurut Khumaini, sampai saat ini, omzet perusahaan telah mencapai Rp 100 juta per bulan. Khumaini mengaku, untuk membuat replika sepeda dan becak tidak dibutuhkan bakat.

"Asal mau belajar sebentar, pasti bisa karena sebenarnya hanya dibutuhkan kepandaian mengelas dan mengecor kuningan," katanya.


TERBUKANYA peluang yang besar di luar negeri juga diutarakan pengusaha kain Batik Daud Wiryo Hadinagoro. Daud yang asal Yogya ini mengutarakan, banyak permintaan kain batik dari luar negeri, terutama dari Jepang.

Menurut dia, dalam sebulan permintaannya bisa 1.000 potong kain. "Tapi itu jelas tak bisa saya penuhi karena dalam sebulan saya hanya bisa mengerjakan sebanyak 100 kain," katanya.

Jenis batik yang dikerjakan Daud adalah batik hand made yang mengandalkan warnawarna alam yang berasal dari berbagai jenis kayu.

"Batik yang saya buat dikerjakan secara manual dan bukan produk massal. Jadi pembuatannya lebih lama," katanya.

Harga batik buatannya di Jepang sangat mahal. Satu potong kain batik bisa mencapai Rp 40 juta. Sementara di dalam negeri harganya hanya Rp 2 juta per potong. Dengan usaha itu Daud bisa memberdayakan sekitar 40 orang-orang "pinggiran".

Di bawah bimbingannya, orang-orang yang sebelumnya belum punya keterampilan, akhirnya ahli dalam membuat batik. "Orang luar negeri banyak yang tertarik dengan batik Indonesia karena memang buatan Indonesia lebih halus, warnanya lebih variatif, dan coraknya beragam," tuturnya.

Motif yang diangkat Daud dalam corak batiknya, sebenarnya hanya memindahkan realitas kehidupan masyarakat Indonesia, seperti gambar laut, pasar, dan hutan.

Banyak yang percaya, UKM bisa lebih bangkit, apabila pengusahanya sendiri lebih mengembangkan dirinya untuk lebih kreatif membuat desain. "Untuk keratif tidak perlu bakat, asalkan kita rajin melihatlihat, apa pun bisa dijadikan ide," kata Yonni H Soeharyo, perajin mozaik dan lampu kuningan asal Jakarta.

Yonni menambahkan, produk-produk lokal masih menang dalam segi harga karena tenaga kerja dan bahan baku masih sangat murah.

PUCUK dicinta ulam tiba. Mungkin arti dari pepatah ini cocok dengan kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mulai berebutan merangkul UKM. Dulu, UKM-UKM tidak jarang mendapat penolakan atau harus memenuhi persyaratan yang panjang, jika ingin mengajukan kredit untuk modal usaha ke BUMN.

Namun, sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) Nomor 316 tahun 1994, tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN, maka BUMN-lah yang mulai "mencari" UKM untuk dibantu.


Warih Saeko, staf bidang Bina Usaha Kecil PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk, yang ditemui saat Indonesia Expo 2003, di Jakarta, Kamis (6/3), bercerita, bagaimana dia mencari UKM yang dipandang berpotensi untuk berkembang.

"Di Kalimantan banyak rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan, tapi punya keterampilan mengukir, yang diperoleh turun-temurun. Sayangnya, mereka tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup untuk berusaha. Nah, Pupuk Kaltim memandang ini sebagai sesuatu yang patut dibantu dan dibina. Mulailah saya mencari usaha yang potensial sampai ke pedalaman-pedalaman" kata Warih.

Menurut Warih, jumlah pinjaman yang diberikan beragam, sesuai dengan keputusan menteri tersebut, tergantung pada besar kecilnya usaha. "Kisarannya antara Rp 5 juta sampai Rp 50 juta. Boleh tiga kali mengajukan pinjaman. Bunganya cukup ringan, tiga persen per tahun," kata Warih.

"Rakyat Kalimantan sebenarnya memiliki potensi untuk bertahan dan berkembang dari kerajinan tangan yang mereka buat. Mereka tidak terpengaruh oleh keadaan luar. Soalnya bahan baku mereka biasanya diperoleh dari daerahnya sendiri. Tidak mengimpor. Dengan demikian saat dollar AS naik, mereka tidak terpengaruh, tetap dapat berproduksi," tuturnya.

Warih menyatakan, usaha rakyat adalah jenis usaha yang terbukti relatif tangguh dalam menghadapi krisis, selain itu bisa terus berkembang dan diberdayakan.

Lihat saja uraian Ahmat Ali Syahdiar, pemilik usaha kerajinan kayu di Kalimantan Timur, tentang bagaimana PT Pupuk Kaltim telah membantu dirinya dalam mengembangkan usahanya.

"Dulu, saya hanya nelayan yang tinggal di pedalaman Kalimantan Timur. Terkadang saya memang membuat piring dari kayu untuk dijual. Lalu, suatu waktu ada orang dari Pupuk Kaltim yang tertarik dengan piring-piring yang saya buat," kata Ahmat.

Kemudian dengan pinjaman sebesar Rp 7 juta, Ahmat mulai mengembangkan usahanya. "Dulu yang mengerjakan ukiran piring hanya saya sendiri. Saya diajari oleh orang Pupuk Kaltim, bagaimana membuat ukiran yang saya buat terlihat lebih menarik. Soalnya, hasil yang saya buat waktu itu masih sangat kasar," ujarnya.

Lama-kelamaan, usaha Ahmat berkembang. Ia mulai memiliki anak buah untuk mengerjakan pesanan. "Yang dibuat juga tidak hanya piring, tetapi asbak, tempat buah, tameng, tempat payung, bangku, dan meja juga. Semua barang ini dibuat dengan tangan, tidak ada yang memakai mesin," kata Ahmat.

Perkembangan lainnya adalah jumlah produksi per hari yang semakin bertambah. Kalau dulu, waktu satu hari tidak cukup bagi Ahmat untuk menyelesaikan pembuatan satu piring kayu, saat ini, satu orang pekerjaannya bisa menyelesaikan tiga piring kayu dalam sehari.

Alhasil, jumlah pendapatan yang diperolehnya juga semakin bertambah. "Dulu pendapatan saya hanya Rp 10 juta sebulan, saat ini sudah mencapai Rp 15 sampai Rp 20 juta sebulan. Itu normalnya. Kalau ada pesanan dalam jumlah besar atau ukiran yang mahal, pendapatannya bisa lebih besar lagi. Kalau untung yang saya peroleh sekitar 30 persen dari pendapatan tersebut," ujarnya.

Ukiran yang dijual Ahmat memang beragam yang paling murah adalah piring seharga Rp 20.000. Sedangkan yang termahal adalah satu set bangku ukiran, termasuk mejanya, yang harganya bisa mencapai Rp 20 juta. "Banyak juga yang memesan aneh-aneh. Pernah ada yang memesan ukiran kayu untuk pintu garasi. Harganya bisa puluhan juta," kata Ahmat.

Ahmat mengakui, saat krisis ekonomi tahun 1997 lalu, penjualan ukiran kayu miliknya memang turun, bahkan pernah sebulan sama sekali tidak ada yang membeli. Namun, Ahmat berhasil membawa keluar usahanya ini dari kemelut.

"Waktu itu ada ibu dari Pertamina yang memesan ukiran kayu dalam jumlah besar. Ibu itu sangat tertarik dengan ukiran kayu yang saya buat. Dia juga yang menyarankan berbagai bentuk baru untuk saya buat. Nah, sejak itulah usaha saya bisa bangkit kembali. Mulai banyak yang membeli dan memesan. Saat ini pengerjaan ukiran kayu di tempat saya sudah dikerjakan oleh 14 orang," kata Ahmat.

Saat ditanya mengenai rencana masa depan, Ahmat mengatakan, bermimpi untuk dapat membangun sebuah rumah ukiran kayu khas Kalimantan. "Wah saya ingin bisa membangun rumah yang benar-benar menunjukkan kekhasan Kalimantan. Kan bisa jadi proyek besar tuh, Mbak," ujar Ahmat bersemangat.

Apa yang dialami oleh Ahmat sebagai mitra binaan BUMN juga dialami Sam Khuret, perajin tas, dompet, dan ikat pinggang dari kulit, di Tanggul Angin, Sidoarjo, Jawa Timur. Sam menyatakan beruntung diambil sebagai anak asuh oleh PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), Palembang.

"Soalnya, terus terang saya tidak mengerti mengenai bagaimana memanajemen perusahaan. Tanpa manajemen yang baik, saya menyadari usaha saya akan sangat sulit berkembang," kata Sam.

Bantuan modal yang diberikan oleh PT Pusri juga tidak bisa ditafikkan sebagai hal yang memicu majunya usaha Sam.

"Dengan modal, pembinaan, dan pengikutsertaan usaha saya dalam berbagai pameran oleh Pusri, saya berhasil memperoleh omzet Rp 30 juta sampai Rp 35 juta. Tapi, kalau lagi sepi, omzet yang saya peroleh memang hanya Rp 10 juta sampai Rp 14 juta. Kalau untungnya, paling 25 persen dari omzet," ujarnya.

Sebagai suatu pengalaman yang tidak terlupakan, Sam menceritakan, dulu pengusaha kecil di Tanggul Angin pernah ditipu oleh orang Nigeria, sampai puluhan juta rupiah. Saat ini, dengan dibinanya UKM dalam hal manajemen, Sam berharap penipuan tersebut tidak terulang lagi.

Ke depannya, masih banyak hal yang dibutuhkan oleh usaha kecil agar dapat bertahan dan menjadi jaring perekonomian yang kuat untuk menopang perekonomian Indonesia. BUMN, mungkin dapat menjadi harapan yang bisa membawa UKM ke arah keberhasilan, disamping usaha keras dari UKM itu sendiri tentunya. (b16/b15)

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/07/ekonomi/168713.htm

Gajah Mada atau Penumpang Bus

--------------------------------------------------------------------------------

Berakit-rakit bersama,
berenang-renang sendirian
Bersakit-sakit bersama,
bersenang-senang sendirian


Inilah sepotong kidung ungkapan hati yang sarat akan sinisme dari para perintis yang tersingkir dari pentas perusahaan. Kepiluan yang mendera ketika hasil karya mereka tiba-tiba menjadi Malin Kundang yang durhaka, yang berani menendang mereka dari kursinya, seperti Frankestein yang menganggu ketentraman hidup pembuatnya.

Para perintis adalah orang yang berlepotan lumpur ketika mencangkul tanah untuk membangun pondasi perusahaan. Menerabas belantara dengan fasilitas seadanya. Membangun perusahaan with tears and blood. Haruskah mereka tersingkir dari perusahaan yang dengan susah payah mereka bangun dan digantikan oleh para eksekutif muda, berpendidikan tinggi, enerjik, tetapi bergaji tinggi dan manja akan fasilitas ? Lantas bagaimana dengan jasa-jasa yang telah mereka sumbangkan ? Pengorbanan yang diberikan pada saat masa-masa prihatin ?

Setidaknya ada lima macam perintis dalam kaitannya dengan eksistensi mereka, ketika perusahaan berkembang pesat. Pertama, adalah tipe Gajah Mada. Kedua, yang bertipe Mediokrat. Ketiga, Toxic Executive. Keempat, Sesepuh. Kelima, Penumpang Bis.

Gajah Mada. Ini adalah perintis unggulan yang mempunyai visi Amukti Palapa. Loyalitas yang diberikan bukan kepada perorangan. Maha Patih Gajah Mada mengabdi kepada visinya untuk mempersatukan Nusantara, bukan kepada raja. Melalui sumpah Amukti Palapa dia ingin mewujudkan visinya tersebut, walaupun telah terjadi pergantian raja beberapa kali. Ambisinya bukan untuk merengkuh kedudukan, tetapi untuk memajukan negeri. Dalam lingkup perusahaan perintis yang seperti ini memang tidak mudah dicari. Dia tetap dibutuhkan perusahaan walaupun perusahaan telah mengalami suksesi. Pemahaman yang mendalam terhadap perusahaan, corporate culture yang telah meresap dalam sanubarinya, pengalaman yang panjang dan kemauannya untuk belajar menghadapi hal-hal yang baru menjadikannya tak gentar menghadapi perubahan. Setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan dia sulit dicari tandingnya. Pertama, pengalamannya yang panjang dan telah teruji dalam menghadapi kesulitan, menyebabkan ia mempunyai kiat-kiat jitu dalam menghadapi problema yang rumit. Intuisinya telah terasah dengan baik, sehingga mempunyai judgment dalam membuat keputusan secara cepat. Kedua, kemampuan menggabungkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh secara learning by doing memperkokoh otoritas kepakarannya. Kemudian perjalanan kariernya yang panjang, menjadikannya memiliki network yang luas dan sangat bermanfaat bagi perusahaan.

Mediokrat. Perintis seperti ini, memiliki suatu kelebihan yang sulit dicari di kalangan orang baru, tetapi tidak berprestasi secara optimal. Kelebihan itu bisa berbentuk network yang luas, nama yang dikenal luas di kalangan stake holder atau keahlian khusus yang terbentuk oleh pengalaman dan memang masih diperlukan oleh perusahaan. Walaupun prestasinya tidak maksimal, perusahaan berkepentingan untuk mempertahankan.

Sesepuh. Perintis yang tergolong dalam tipe ini dipertahankan di perusahaan sebagai kekuatan moral. Ia dapat bertindak sebagai goal getter maintenance, ketika organisasi dilanda konflik atau menghadapi kesulitan besar. Ia seperti pohon yang rindang tempat berteduh, ketika suasana memanas. Ia dapat berdiri di atas semua golongan di dalam perusahaan. Tokoh kharismatik yang dihormati anggota organisasi sebagai tokoh pemersatu.

Toxic Executive. Mempunyai resistensi terhadap perubahan, karena ketakutan eksistensinya terganggu. Tindakannya banyak diwarnai semangat vested interest dan berfokus pada diri sendiri. Ia telah menebar tuba dalam perusahaan dan menciptakan chaos. Kurang dapat bekerja sama dengan anngota organisasi lainnya dan cenderung fanatik dengan kelompoknya sendiri. Banyak melakukan aktivitas office politic yang melahirkan pertarungan semu, yaitu pertarungan antara organisasi dan dirinya sendiri.

Penumpang bus. Kontribusi yang diberikan kepada organisasi pada saat ini sangat kecil. Walaupun demikian masih mempunyai sikap positif terhadap organisasi. Pada saat ini mungkin menjadi beban bagi organisasi, tetapi tidak mempunyai efek toxic. Dia duduk di kursi kehormatan sebagai imbalan atas jasa-jasanya yang sangat berharga kepada organisasi di masa lalu. Ia seperti penumpang bis yang akan turun di terminal tujuan pada saat pensiun, karena telah membayar tiket di terminal pemberangkatan.

Perlakuan kepada para perintis tidaklah sama, tergantung dari keseimbangan antara kontribusinya kepada organisasi di masa lalu dan kontribusinya pada saat ini. Jika tidak dapat ditempatkan di dalam jabatan struktural, dapat ditempatkan di jabatan fungsional atau mungkin di jabatan kehormatan. Tentu saja dengan pengecualian bagi toxic executive.


--------------------------------------------------------------------------------

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Jumat, 01 Agustus 2008

Energi Berbasis Ekotropika

Oleh: IGG Maha Adi
--------------------------------------------------------------------------------

Sisi baik pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak adalah kesempatan mengembangkan energi alternatif dan ramah lingkungan. Subsidi minyak merupakan hambatan ekonomi-politik yang membuat pengembangan energi non-hidrokarbon, kecuali panas bumi, menjadi terhambat karena relatif mahal.

Para pakar telah ditantang Presiden mengembangkan energi berbasis air (blue energy), tanaman (green energy), dan bentuk terbarukan lainnya. Selain pertimbangan ekonomi, teknologi, dan sosial-budaya, lingkungan hidup semestinya menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan nasional ini. Salah satu prinsip yang penting adalah kebijakan energi yang tidak melawan alam, artinya selaras dengan kenyataan ruang hidup (biosfer) tempat bangsa Indonesia tinggal dan berkembang, yaitu energi berbasis ekologi tropis atau ekotropika.

Basis ekotropika artinya mempertimbangkan semua kenyataan potensi di dalam biosfer tropika, dan menyusun kebijakan berdasarkan prinsip dari potensi itu. Kenyataan ekologis itu, antara lain, pertama, bahwa keanekaragaman spesies daerah tropis sangat tinggi, tetapi jumlah populasi per spesies rendah. Ada dua konsekuensi kondisi ini, yaitu bahan baku green energy tersedia melimpah, tetapi alamnya tidak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan yang sangat luas. Membuka satu juta hektare hutan untuk perkebunan yang akan diambil etanolnya sangat membahayakan ekosistem tropis, karena jumlah keanekaragaman jenis yang hilang akan sangat tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan dingin. Boleh jadi, di antara yang hilang itu adalah bahan baku green energy yang potensial, karena baru 30 persen spesies tropika yang teridentifikasi.

Kedua, berkaitan dengan posisi geografis dan faktor geologis. Proses geologis telah membentuk ruang hidup Indonesia sebagai kepulauan yang dipisahkan laut, sehingga bentuk pengembangan energi yang cocok adalah beragam, berskala kecil dan tersebar. Biarkan listrik Perusahaan Listrik Negara memasok industri besar dan penerangan jalan, tetapi kampung dan dusun diterangi oleh energi mikrohidro, panel surya, kincir angin, dan biarkan ibu-ibu memasak dengan biomassa dari pembakaran sampah, bukan listrik dari luar, seperti Kota Bekasi yang baru selesai membangun pembangkit listrik tenaga sampah. Maka semakin berkurang pula penderitaan masyarakat bila listrik PLN padam. Prinsip ini sesuai dengan ketahanan ekosistem di alam: makin beragam spesies, makin kuat ekosistem

Posisi geografis mentakdirkan Indonesia berlimpah hutan, cahaya matahari, hujan, angin, dan biomassa. Artinya, Indonesia tidak akan pernah kekurangan bahan baku energi bila lingkungan hidupnya terjaga. Air terjun akan selalu mengalir deras untuk memutar turbin mikrohidro, cahaya matahari dan hujan akan membuat hutan terus tumbuh dan menghasilkan biomassa yang dapat diolah menjadi energi. Matahari cuma bersinar tiga bulan di Eropa. Karena itulah mereka tidak mengembangkan energi surya. Perusahaan minyak Amerika telah berinvestasi begitu besar di seluruh dunia. Karena itulah mereka sangat berkepentingan melanggengkan penggunaan energi fosil dengan segala cara.

Kepentingan terbesar adalah pemasaran barang dan teknologi berbahan bakar minyak bumi. Eropa Barat, Jepang, Rusia, dan Amerika adalah produsen utama mesin-mesin dunia yang hampir semuanya masih berbasis energi karbon. Mustahil mereka menjadi pelopor penggunaan energi alternatif, karena itu akan memukul balik industrinya. Itu pula sebabnya, bahkan di negara-negara maju, pengembangan energi alternatif masih berskala inovasi individu.

Ketiga, berkaitan dengan proses-proses alami hutan hujan tropis. Banyak sekali orang yakin tanah hutan tropis Indonesia sangat kaya unsur hara sehingga bernafsu mengkonversinya menjadi perkebunan. Kenyataannya, lapisan unsur haranya begitu tipis sehingga mudah luruh. Kanopi hutan yang tertutup dan struktur yang berlapis-lapis berfungsi menyaring unsur hara dari air yang jatuh, sehingga hanya sedikit zat hara yang sampai ke tanah.

Ekolog Norman Myers menyimpulkan, banyak sekali tumbuhan tropis menyimpan hingga 90 persen zat hara di dalam vegetasinya, sehingga tanahnya miskin mineral yang dapat dipertukarkan tetap masam dan tidak subur. Pembukaan atau pembakaran hutan akan memicu aliran mineral ke dalam tanah, dan setelah pencucian akibat hujan, mineral itu menembus lebih jauh ke dalam tanah. Karena mata rantai daur hara terputus, maka tanaman berakar pendek seperti kelapa sawit tidak akan mampu menjangkaunya dan kesuburan hanya mampu dipulihkan dengan peningkatan jumlah pupuk. Artinya, konversi hutan tropis dengan segala cara harus dihindari

Keempat, lahan kritis. Variasi iklim yang terbatas dan matahari yang bersinar sepanjang tahun menyebabkan lahan yang dibiarkan kritis dan gundul di daerah tropis akan menderita kerusakan yang parah. Peluruhan hara akan terjadi sebelum dapat diambil kembali oleh tumbuhan. Pada 2002, hanya 7,5 persen lahan yang ditanami sawit dari 7,2 juta hektare hutan yang telah dikonversi, sisanya dibiarkan kritis. Desakan untuk mengkonversi lahan gambut menjadi kebun juga layak ditolak. Gambut adalah penyimpan karbon utama sehingga konversinya akan melepas gas rumah kaca ke udara. Untuk menekan nafsu menggerus gambut, maka skema pendanaan lingkungan seperti REDD, perdagangan karbon, atau debt for nature swap harus dipercepat realisasinya. Jadi, sangat diperlukan aturan tegas yang mewajibkan pengusaha green energy memakai lahan kritis yang ada.

Hambatan lain adalah kelembagaan. Sulit membayangkan kita menyerahkan urusan energi alternatif ini kepada lembaga pemerintah yang masih dikuasai cara berpikir carbon-minded seperti Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral atau PLN. Presiden atau Wakil Presiden sebaiknya memimpin sekumpulan ilmuwan multidisiplin dalam sebuah badan independen dengan tenggat program yang jelas untuk menerabas rantai birokrasi dan cara berpikir konvensional ini. Indonesia juga tidak perlu berkonsentrasi pada energi biru, hijau, atau hitam saja, tetapi mengembangkannya sekaligus secara komprehensif dan padu seperti warna-warni pelangi.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2008/07/15/Opini/krn,20080715,69.id.html

IGG Maha Adi
Wartawan dan mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia

Krisis Kapitalisme Global

Oleh: Syamsul Hadi
--------------------------------------------------------------------------------

KTT G-8 di Toyako, Hokkaido, Jepang, yang baru saja berakhir terasa istimewa dengan kehadiran para pemimpin negara berkembang, seperti China, India, Meksiko, dan Indonesia.

Pernyataan di akhir KTT dapat dilihat sebagai bentuk positioning negara-negara industri maju atas isu-isu yang berkembang dalam skala global.

Menghadapi kenaikan harga minyak dunia, forum menyerukan dialog antara negara produsen dan konsumen guna menekan harga. Terkait krisis pangan, forum menegaskan, komunitas internasional perlu melakukan respons dan strategi yang terintegrasi guna mengatasi kelangkaan pangan, dengan program bantuan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian. Perdebatan paling alot terjadi dalam isu perubahan iklim. Negara-negara G-8, terutama AS, menyatakan tidak bisa mencapai target pengurangan emisi 50 persen tahun 2050 jika negara berkembang yang ekonominya sedang tumbuh pesat tidak melakukan hal yang sama.

Krisis finansial
Perdebatan alot dalam isu perubahan iklim seolah ”menutup” perhatian atas masalah krusial lain, krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime mortgage di AS. Pernyataan bersama G-8 memang menekankan komitmen untuk melakukan stabilisasi pasar finansial, tetapi tidak disinggung masalah melemahnya nilai dollar AS atas mata uang kuat lainnya (Kompas, 10/7). Padahal, ketidakmampuan AS untuk cepat mengatasi krisis subprime mortgage mendorong spekulan mengalihkan investasi ke komoditas pangan dan energi, yang mendorong naiknya harga pangan dan minyak dunia. Keterlibatan militer AS di Irak memperparah krisis energi.

Mantan spekulan George Soros menyatakan, krisis global saat ini akan cepat berakhir dengan syarat perekonomian, terutama pasar uang, diatur ketat (Kompas, 4/4). Di mata Soros, akar krisis saat ini adalah kekacauan di sektor finansial yang dimulai sejak 1980 saat Ronald Reagan dan Margareth Thatcher memelopori kampanye neoliberalisme di tingkat global.

Lemahnya posisi Pemerintah AS berhadapan dengan berbagai perusahaan hedge funds dan pengelola dana investasi untuk tujuan spekulasi telah diprediksi Susanne Soderberg. Dalam The Politics of the New International Financial Architecture (2004), Soderberg menggambarkan, hubungan Pemerintah AS dengan korporasi finansial yang berpusat di Wall Street adalah seperti hubungan Dr Frankenstein dan monster pintar ciptaannya.

Dengan mensponsori penerapan rumus-rumus neoliberal, Pemerintah AS menumbuhkan ”blok” kapitalis finansial yang menggurita di Wall Street, yang kemudian menjeratnya dalam ketidakberdayaan dan posisi serba salah akibat besarnya dominasi perekonomian mereka.

Pernyataan menteri keuangan G-8 yang bertemu di Osaka, Juni, juga tak menyinggung perlunya memperketat aturan main sektor finansial global. Pernyataan hanya menyebutkan, Financial innovation has contributed significantly to global growth and development, but in the light of risks to financial stability, it is imperative that transparency and risk awareness be enhanced. Poin tentang sistem finansial ada di bagian terakhir statement bersama dan paling pendek dibandingkan poin-poin pernyataan terkait harga komoditas, perubahan iklim, dan pembangunan Afrika.

Pertumbuhan tanpa batas?
Dalam konteks perubahan iklim, upaya Jepang membuka jalan bagi penyusunan traktat internasional baru menggantikan Protokol Kyoto yang habis masa berlakunya tahun 2012 pada KTT ini tidak berhasil. Memang dicapai ”komitmen umum” untuk pengurangan emisi pada tahun 2050, tetapi tidak dicapai kesepakatan tentang bagaimana target itu secara spesifik harus dicapai. Pernyataan G-8 hanya menyatakan, tiap anggota G-8 akan menyusun target masing-masing untuk periode jangka menengah setelah tahun 2012. Menanggapi hal ini, para pemimpin China, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Meksiko membuat pernyataan bersama yang menolak kewajiban tiap negara mengurangi emisi 50 persen dengan menekankan kewajiban negara maju memulai langkah-langkah nyata ke arah itu.

Para aktivis lingkungan juga mengecam keengganan negara G-8, terutama AS, untuk memberi komitmen nyata dan mengikat terkait pemanasan global. Data Greenpeace International menunjukkan, meski hanya dihuni 13 persen populasi dunia, negara G-8 memproduksi 80 persen emisi di atmosfer dan 40 persen emisi CO>sub<2>res<>res<.

Komitmen ”samar-samar” yang diberikan G-8 dinilai tak sebanding dengan dampak perubahan iklim dan global warming yang menimbulkan dampak berantai berupa kekeringan dan bencana alam di dunia. Penurunan emisi karbon akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, tetapi amat penting menjaga kelestarian alam dan penghidupan di bumi, yang memperburuk kualitasnya karena industrialisasi dan eksploitasi alam nyaris tanpa batas.

Perbedaan pendapat dalam isu pemanasan global menunjukkan dominasi berkelanjutan paradigma pembangunan pertumbuhan ekonomi atas paradigma pembangunan berwawasan lingkungan. Sulitnya menyatukan langkah dalam mengatasi aneka masalah serius dalam krisis global saat ini seakan membenarkan prediksi Karl Marx, ”krisis berkelanjutan” dalam sistem kapitalisme global senantiasa bersumber dari kecenderungan melakukan akumulasi kapital yang tak kenal batas.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/12/00434437/krisis.kapitalisme.glo


Syamsul Hadi
Pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI

Muhammad Yunus dan Permodalan Petani

Oleh: Mufid A. Busyairi


--------------------------------------------------------------------------------

Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, memperingati hari kelahirannya yang ke-67 pada 28 Juni 2008. "Suatu hari," kata pelopor perkreditan untuk rakyat kecil ini, "Cucu-cucu kita akan harus pergi ke museum untuk melihat seperti apa itu kemiskinan." Dan kita tahu bahwa dia tidak sedang berbasa-basi atau mencari simpati. Dia bekerja serius untuk itu. Buktinya, sampai kini Grameen Bank telah menyalurkan kredit sebesar US$ 5,72 miliar kepada 6,6 juta rakyat miskin Bangladesh dan menjangkau 70 ribu desa.


Sementara Yunus telah mengembangkan programnya secara mandiri sejak 1970-an, hari ini, di Indonesia, negeri yang jumlah desa tertinggalnya mencapai 32.379, kita masih gonta-ganti skema pengentasan masyarakat miskin. Bank Dunia melaporkan jumlah penduduk miskin Indonesia pada 2007 sebanyak 105,3 juta atau 45,2 persen dari total populasi Indonesia sebanyak 232,9 juta jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik menyebut angka kemiskinan 37,2 juta jiwa, di mana 63,4 persennya berada di pedesaan, yang bermata pencaharian utama di sektor pertanian, dan 80 persen berada pada skala usaha mikro dengan lahan lebih kecil dari 0,3 hektare.


Untuk pemberdayaan ekonomi rakyat, tak ada salahnya berguru pada peraih Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh tersebut. Grameen Bank didirikan pada 1974. Kerjanya melawan arus perbankan konvensional: kredit tanpa agunan. Kelompok sasaran GB adalah penduduk termiskin dan buta huruf yang landless. Yang diurus Yunus adalah bagaimana agar kredit selamat dan bisa dikembalikan, agar uang dapat berputar untuk membantu penduduk miskin lainnya. Ia meniru modus para pelepas uang (rentenir): mengakomodasi debitor dengan sistem door to door dalam menjaring nasabah dan punya fleksibilitas yang tinggi dalam operasinya (tak birokratis).


Fleksibilitas semacam ini diperlukan di Bangladesh, yang 67 persen penduduknya buta huruf. Kredit tanpa agunan memiliki risiko tinggi. Agar duit kembali, GB mematok suku bunga sama dengan pasar, dan armada tagih beroperasi periode mingguan. Berbeda dengan rentenir, yang dominan memberi kredit konsumtif dan ekspansif, GB tak ekspansif dan cuma mengenal tiga jenis kredit: kredit untuk menciptakan pendapatan produktif, kredit membangun rumah, dan kredit musiman untuk tanaman musiman. Plafon kredit tiap peminjam tetap dijaga: terendah senilai 50 taka (>US$ 1) dan tertinggi 60 ribu taka (US$ 1.500). Angka-angka ini menunjukkan komitmen GB pada penduduk miskin, selain menjaga praktek bank yang baik untuk menghindari kredit macet.


GB menanamkan disiplin kepada para peminjam. Dari setiap lima orang peminjam, dibentuk satu kelompok. Ketika ada anggota kelompok menunggak, anggota kelompok lain ikut bertanggung jawab. Kinerja salah satu anggota membawa konsekuensi kredibilitas kelompok. Yunus tidak mengambil bentuk koperasi, tapi spirit berkoperasi mewarnai operasi GB: ada anggota dan rapat anggota, ada tanggung jawab, ada rasa memiliki, ada kebersamaan, loyalitas, dan demokrasi. Perempuan jadi sasaran kredit, karena terbiasa jadi manajer keuangan. Cara ini bisa menekan kredit macet hingga 2 persen.


Hasilnya: persentase pekerja, jumlah anggota keluarga yang bekerja, jam kerja dan penghasilan rumah tangga di desa GB lebih besar ketimbang di desa non-GB (Rasid, 1997). Studi Hashemi dan Schuler (1996) menemukan: ada korelasi signifikan antara keanggotaan GB dan keberdayaan kehidupan sosial (kontrasepsi; pemberontakan sistem patriarkat; dan politik). Artinya, keberadaan GB, selain membuat ekonomi warga miskin "menggeliat", secara sosial-politik memberdayakan mereka dalam arti yang riil.


Yunus berhasil memberdayakan ekonomi rakyat karena, pertama, GB secara nyata meletakkan mekanisme demokrasi ekonomi secara riil. Ini diwujudkan dalam bentuk akses yang sama setiap orang terhadap kredit. Kedua, operasi GB hidup dalam konteks sosial yang demokratis. Kemiskinan tidak menjadi obyek politik--seperti di Indonesia, sehingga pemerintah berkepentingan menetapkan garis kemiskinan menurut selera. Ketiga, kelompok sasaran dibina intensif, mulai dari pengarahan tentang tanggung jawab kredit, cara pengembalian beserta kewajiban pembayaran bunga, dan rate income generation regeneration (uji kelayakan).


Meski mengembangkan kredit tanpa agunan, mereka akan menghentikan pinjaman dana jika anggotanya tidak menyekolahkan anaknya hingga jenjang tertentu. Ini adalah hal yang paling ditakutkan warga. Sebaliknya, Grameen memberikan reward dan beasiswa bagi anggota yang berhasil menyekolahkan anaknya. Dengan cara seperti ini, Yunus berhasil meningkatkan partisipasi pendidikan warga Bangladesh dan menciptakan generasi baru dengan pola pikir dan mental yang kuat. Sebuah sinergi yang mengagumkan.


PUAP
Apa yang terjadi di Bangladesh juga dirasakan masyarakat desa dan petani di sini. Akses sumber permodalan yang sulit. Sebenarnya, sejak Oktober 2006 pemerintah meluncurkan skema pelayanan pembiayaan pertanian (SP3). Sasarannya semua bidang pertanian mulai dari hulu, on farm, sampai hilir, kecuali tebu. Tapi program pembiayaan kredit dengan jaminan pemerintah sebesar Rp 255 miliar kepada lima bank itu tidak menyentuh kelompok petani kecil yang tidak memiliki aset, karena pihak bank tak berani mengambil risiko. Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian (2007) menyebutkan penerima SP3 terbatas hanya pada kelompok perorangan yang umumnya memiliki skala usaha menengah dan luas.


Meski ratusan triliun uang rakyat ditalangkan untuk restrukturisasi perbankan, komitmen kerakyatan perbankan di Indonesia jauh dari apa yang dimiliki seorang Muhammad Yunus. Maka, SP3 sulit diharapkan bisa membantu petani miskin. Atas kesepakatan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, pada 2008-2009 pemerintah akan melaksanakan program Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan (PUAP), yang sasarannya antara lain berkembangnya usaha agrobisnis di 11 ribu desa miskin/tertinggal di mana masing-masing desa menerima Rp 100 juta melalui kelompok tani/gabungan kelompok tani. Dengan supervisi pendamping, pengurus gabungan kelompok tani, penyuluh, atau penyelia mitra tani menyusun usulan usaha. Ujung dari modus ini, angka kemiskinan dan pengangguran di pedesaan bisa ditekan.


Agar dana PUAP tidak jatuh pada tujuan konsumtif atau tujuan lain yang tidak sesuai, verifikasi awal oleh Tim PUAP harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Meliputi: kejelasan jenis usaha produktif yang dijalankan baik on farm (tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perkebunan) maupun off farm (industri rumah tangga pertanian, pemasaran hasil pertanian skala mikro, atau usaha lain berbasis pertanian). Selain itu, diperlukan transparansi laporan periodik dan partisipasi masyarakat untuk melaporkan jika ada indikasi penyalahgunaan dana PUAP (SMS Center Deptan: 081380829555). Semua pihak yang terlibat dalam proses ini harus diingatkan bahwa dana PUAP adalah anggaran negara, yang penyimpangan terhadap penggunaannya bisa mengarah pada perbuatan korupsi.


Keterbatasan dana menyebabkan program PUAP tidak mungkin bisa menyentuh seluruh desa tertinggal secara bersamaan. Untuk itu, efektivitas dan efisiensi usaha yang dijalankan kelompok tani akan sangat membantu bergulirnya dana ini. Perlu dipertegas, status kelompok tani/gabungan kelompok tani pada program PUAP adalah pengelola dana, bukan pemilik. Kita semua tentu berharap, jika nantinya berhasil, program ini bisa menjadi cikal-bakal akses permodalan rakyat miskin di pedesaan sehingga tidak terjerat oleh rentenir atau berharap pada perbankan di negeri ini yang miskin solidaritas sosialnya.


PUAP memang bukan Grameen Bank yang telah berkibar. Sejauh mana keberhasilan PUAP, masih perlu pembuktian di lapangan. Tapi nuansa batin yang melahirkan PUAP seharusnya tidak berbeda dengan apa yang melatari seorang Muhammad Yunus saat mendirikan Grameen Bank. Ia mendapati Sufia Begum, ibu tiga anak di Desa Jobra, Bangladesh, yang untuk menghasilkan sebuah anyaman bambu bermodal lima taka (sekitar Rp 1.500) harus terjerat rentenir. Tapi uang yang kembali padanya hanya seperlima dari pinjaman tersebut. "Saya terhenyak, ya Tuhan, untuk lima taka (sekitar Rp 1.500) saja dia harus menjadi budak," kenangnya. Kisah petani miskin di negeri kita sendiri, yang tak kalah menyedihkan dibanding cerita Muhammad Yunus tersebut, adalah sebuah inspirasi. Sebaik-baik manusia, kata Al-Hadits, adalah mereka yang panjang umurnya dan bermanfaat bagi sesama.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2008/07/23/Opini/krn,20080723,61.id.html

Mufid A. Busyairi
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

Bangsa yang Dangkal

Oleh: Limas Sutanto


--------------------------------------------------------------------------------

Di tengah keterpurukan bangsa, para politikus berulah dangkal. Mereka tidak mengejawantahkan kualitas insan pemimpin.

Mereka justru merebakkan corak ketidakotentikan dan hipokrisi: banyak berkata dan berulah, tetapi tidak mendalam dan berbobot mengejawantahkan kata- kata mereka dalam tindakan nyata. Keberbondongan mereka dalam membuat partai politik hingga sebanyak 34 buah secara dangkal disyukuri sebagai tanda mekarnya demokrasi. Padahal, hal itu secara telak mewakili tiadanya pikiran besar yang bermakna dan mendalam. Bagaimana mungkin pikiran besar tertebar begitu luas dalam gagasan serbaneka yang diusung 34 partai?

Sekadar semboyan
Howard Gardner, dalam artikel The Intelligences of Creators and Leaders (1999), menginspirasikan betapa pemimpin niscaya mengejawantahkan otentisitas, setidaknya melalui dua hal: pengucapan semboyan tertentu yang cocok untuk memecahkan problem aktual bangsanya dan kehidupan sang pemimpin yang mengejawantahkan semboyan yang dikatakannya.

Sayang, di tengah bangsa ini para politikus lebih banyak mengucapkan semboyan ketimbang mengejawantahkan semboyan itu dalam kehidupan mereka.

Karena gencarnya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi akhir-akhir ini, sebagian dari mereka kini sudah memiliki rasa takut untuk korupsi uang, materi, dan fasilitas. Namun, mereka belum menyadari, pengingkaran mereka terhadap semboyan yang pernah didengungkan—ketidakotentikan dan hipokrisi—sebenarnya merupakan bentuk korupsi kendati bukan korupsi yang terkait langsung uang, materi, dan fasilitas. Para politikus tidak takut melakukan korupsi seperti itu.

Di dunia ini, tiada bangsa yang nasibnya tidak terkait kualitas para politikus dan pemimpinnya. Maka, kedangkalan politisi dan pemimpin berandil menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang dangkal. Bangsa yang dangkal menjalani kehidupan hari demi hari dalam rangka asal hidup. Kehidupan mereka tidak dipandu cita-cita bersama yang besar, mendalam, dan bermakna.

Delapan corak perilaku
Di tengah ketiadaan penghayatan hidup yang mendalam, setidaknya dapat dicatat delapan corak perilaku.

Pertama, perilaku mementingkan diri, yang kalau melebar paling jauh hanya sampai perilaku mementingkan kelompok atau golongan sendiri.

Kedua, perilaku yang dihidupi kepentingan jangka pendek dan pikiran pendek.

Ketiga, kecenderungan amnestik alias mudah lupa, termasuk pada goresan pengalaman menyakitkan yang beberapa waktu lampau ditorehkan oleh orang- orang yang kini menyatakan diri sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia.

Keempat, kecenderungan gampang dibujuk buaian kata dan citra menjulang, termasuk iklan.

Kelima, kecenderungan mudah disugesti sensasi.

Keenam, perilaku dan prestasi suam-suam kuku (mediocre), tidak pernah excellent.

Ketujuh, cenderung mengukur apa pun dengan duit dan mengubah apa pun menjadi duit.

Kedelapan, kebiasaan menindas pihak yang lemah, yang terejawantah dalam kesukaan pihak kuat mendiskriminasi pihak lemah secara tidak adil dan hipersensitivitas pihak kuat terhadap tiap progresi pihak lemah.

Di mana pun tiada bangsa yang terus dapat bertahan dan hidup terhormat sebagai bangsa dangkal. Namun rupanya bangsa ini belum menyadarinya. Bangsa ini terus hidup dangkal, kian nyata saat menyongsong Pemilu 2009. Tanpa malu-malu, orang-orang mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa, padahal rekam jejaknya tidak mengandung bukti perjuangan yang pernah dilakukan pada masa lampau untuk menyejahterakan rakyat.

Ringkasnya, orang-orang yang lantang menyatakan diri sebagai calon pemimpin puncak bangsa itu, tiada yang sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, atau Barack Obama. Ketiga orang ini adalah bagian pemimpin yang jauh sebelum ternobatkan sebagai pemimpin bangsa telah mengejawantahkan perbuatan-perbuatan besar dan perjuangan dalam menyejahterakan rakyat mereka.

Titik terapi
Pada keseluruhan perspektif ini, bangsa Indonesia patut memandang Pemilu 2009 sebagai titik terapi penting untuk mengurangi ganasnya kedangkalan yang terus merebak. Kedangkalan dapat dikurangi dengan menggunakan Pemilu 2009 sebagai kesempatan emas untuk hanya memilih pemimpin yang memiliki bobot otentisitas mantap, bukan hipokrit, dan sungguh menorehkan bukti perbuatan dan perjuangan besar untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.

Pemilu 2009 tidak boleh menjadi bagian dari kedangkalan yang merebaki bangsa ini. Justru ia niscaya dijadikan peranti terapeutik untuk mengatasi kedangkalan itu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/31/00392783/bangsa.yang.dangkal


Limas Sutanto
Psikiater Konsultan Psikoterapi, Wakil Presiden Asia Pacific Association of Psychotherapists, Tinggal di Malang

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...