Minggu, 10 Oktober 2010

Visi Pergantian Menteri

Oleh: Indra J. Piliang


Tanggal 20 Oktober 2010 ini tepat satu tahun usia pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Keduanya dipilih secara langsung dalam pemilihan presiden kedua kalinya sejak Indonesia merdeka. Terpilih dengan jumlah suara mencapai 60 persen lebih dan diajukan oleh 23 gabungan partai politik tentulah prestasi luar biasa. Maka tak aneh apabila pada awal pemerintahan, perjalanan kedua pasangan ini begitu optimistis.

Namun, apa lacur. Setelah nama-nama menteri diumumkan, beserta sejumlah elemen yang bergabung dalam jajaran staf khusus presiden dan wakil presiden, optimisme meredup. Sejumlah kelalaian awal mencuat, misalnya atas status kursi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Susul-menyusul, mencuat persoalan menteri-menteri yang dianggap tidak lolos psikotes.

Tidak terlalu lama, mengemuka kebingungan menyangkut status sejumlah wakil menteri. Yang terbesar, pemerintahan dilanda masalah berkaitan dengan pembentukan Panitia Khusus DPR RI Bank Century. Sekalipun terkait dengan kinerja pemerintahan sebelumnya, mau tidak mau sejumlah nama menjadi bagian dari pemerintahan baru. Pemerintahan diwarnai politisasi. Korban pun berjatuhan.

Sampai menjelang tahun kedua, Indonesia seperti tak putus dirundung malang. Prestasi stabilitas ekonomi, politik, dan pertahanan-keamanan di era sebelumnya perlahan memudar. Konflik sosial meledak di beberapa daerah. Kita terseret pada masalah-masalah sederhana dan kecil, mulai perampokan, penyerangan rumah-rumah ibadah, sampai perkelahian warga. Indonesia berada dalam titik rapuh.

Visi permainan
Apa yang perlu dilakukan? Sejumlah langkah strategis dan luar biasa perlu diambil tapi tetap dalam koridor sistem kabinet presidensial. Salah satunya adalah mengganti atau mereposisi menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Evaluasi internal sudah dilakukan, tapi evaluasi tanpa tindak lanjut jelas keliru. Sejumlah menteri sudah dinyatakan bernilai merah, sementara yang lain hijau.

Namun penilaian itu saja tentu tidak cukup. Yang diperlukan adalah visi-misi pemerintahan ini dalam empat tahun ke depan. Apakah lebih mengedepankan masalah-masalah hubungan bilateral dan multilateral dalam apa yang disebut oleh Presiden SBY sebagai "internasionalisme" itu? Ataukah kembali ke hakikat dasar dalam janji-janji selama kampanye pemilihan presiden yang mengedepankan masalah ekonomi atau lebih khusus lagi kesejahteraan dalam arti luas?

Dalam pertandingan sepak bola, pelajaran terpenting adalah tidak semua pemain hebat adalah tim yang hebat. Begitu pula tidak semua pelatih hebat bisa memimpin tim yang berbeda. Tapi ada yang disebut sebagai visi permainan. Dengan visi yang kuat, maka individu, tim, ataupun penonton bisa dilibatkan, sehingga melahirkan kemenangan demi kemenangan, sekaligus permainan yang indah.

Visi pemerintahan jauh lebih rumit daripada visi permainan sebuah tim sepak bola. Tapi, dari segi jumlah orang yang terlibat, saya kira tidak lebih banyak. Sebuah tim minimal memiliki 22 pemain, termasuk pemain cadangan. Namun jajaran manajer dan pemilik juga ada. Sehingga mengelola kementerian, yang katakan saja 30-an, dan kelembagaan lain tidak bisa dikatakan lebih sulit.

Apalagi tidak semua kementerian harus "bermain" dua kali dalam sepekan, misalnya. Ada kementerian yang menjadi pemain belakang yang pasif, dalam posisi "menunggu bola". Tapi ada juga yang terus-menerus memburu bola dan menjadi pusat perhatian publik.

Pergantian pemain
Sekalipun dalam banyak survei tingkat dukungan terhadap pemerintah, terlebih khusus terhadap Presiden SBY, masih di atas angka 50-60 persen, tetap saja banyak penonton mulai kecewa. Sekalipun korelasinya belum begitu jelas, tingkat ketidakpercayaan yang menipis terhadap pemerintah berakibat lebih fatal di Indonesia ketimbang di negara lain, seperti Jepang, Amerika Serikat, atau Israel.

Kenapa? Fungsi pelayanan publik masih bekerja maksimal di negara-negara itu. Sedangkan di Indonesia, para pejabat publik bisa langsung terpengaruh apabila kewibawaan pemerintah (pusat) berkurang. Belum lagi masyarakat juga dengan sendirinya merasa lebih leluasa untuk menyatakan kekecewaan dengan beragam cara. Satu yang paling mengemuka dewasa ini adalah keberanian warga meningkat terhadap polisi dalam beragam aksi, termasuk anarkisme. Demoralisasi melanda kepolisian dalam beragam rupa.

Kekecewaan terbesar pada gilirannya akan mengarah langsung kepada sosok Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Dalam beragam survei, kekecewaan baru mengarah kepada menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II dan DPR RI. Tapi, ibarat makan bubur panas, kekecewaan rakyat bisa langsung mengarah ke pusat apabila tameng-tameng Presiden dan wakil Presiden itu semakin sulit mengendalikan diri.

Maka pergantian anggota KIB II menjadi satu bagian tak terpisahkan dari visi pemerintahan ke depan. Namun, agar tak terkesan hanya menyangkut masalah satu atau beberapa orang menteri, undangan yang lebih bersahabat layak dilayangkan oleh Presiden SBY kepada kalangan lain, baik masyarakat sipil, dunia usaha, termasuk partai-partai politik.

Presiden SBY perlu lebih membuka diri pada saat demokrasi sudah menjadi pilihan. Cara membuka diri itu bukanlah dengan berpidato lebih panjang atau berbicara lebih banyak, melainkan berdialog lebih sering. Dialog bisa dilakukan dengan komunitas-komunitas yang sudah ada di masyarakat. Yang terpenting adalah komunitas akademis yang tak perlu populis.

Cara mendatangkan ahli dari luar negeri justru memberi bobot kritisisme semakin kuat ke Istana Negara, seolah ahli-ahli dalam negeri sama sekali tak memiliki pengetahuan. Kenapa Presiden SBY tidak menyadari hal ini dengan baik? Apalagi acara "kuliah umum" di Istana Negara itu disiarkan secara terbuka dalam suasana guru-murid yang menempatkan Presiden dan Wakil Presiden beserta jajarannya dalam posisi mencatat atau mengangguk-angguk.

Di tengah musim hujan yang semakin sering ini, pergantian menteri berikut visi pemerintahan yang lebih jelas justru akan memberi harapan baru kepada bangsa dan negara ini. Menteri biasa diganti, apalagi bagi yang tidak mau berbesar hati meletakkan jabatan di tengah kesalahan kebijakan, ucapan, dan tindakan yang fatal.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/10/08/Opini/krn.20101008.214071

Indra J. Piliang
DEWAN PENASIHAT THE INDONESIAN INSTITUTE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...