Senin, 31 Agustus 2009

Mewaspadai Krisis Pangan 2009-2010

Oleh: Dwi Andreas Santosa



Krisis pangan global, akhir 2007-Mei 2008, disebabkan kekeringan hebat di Australia dan beberapa negara Amerika Latin pada akhir 2007. Akankah krisis pangan itu berulang tahun ini?

Indikasi awal tampak mengarah ke sana. FAO memprediksi produksi serealia dunia turun akibat penurunan luas tanam dan kekeringan tahun 2009. Bahkan, Eric deCarbonnel memperkirakan akan terjadi bencana pangan global pada 2009 (Market Skeptics, 9/1/2009). China, Australia, negara-negara Amerika Latin, dan AS, penyumbang dua pertiga produksi pertanian dunia, sedang dan akan mengalami kekeringan yang menurunkan produksi pertaniannya.

Tampaknya, krisis pangan global 2009-2010 akan terjadi. The International Grain Council (IGC) memperkirakan produksi serealia dunia turun 3,4 persen (2009-2010) dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan stok pangan dunia pada periode itu juga turun 4,3 persen.

Sebaliknya, kebutuhan pangan meningkat 0,8 persen (IGC, 2009). Dalam delapan bulan terakhir, harga kedelai, jagung, dan gandum mulai naik, rata-rata 50 persen (Desember 2008), dan cenderung naik pada bulan-bulan ke depan. Bila kondisi memburuk, kita akan memasuki krisis pangan global kedua.

Indonesia waspada

Bagi Indonesia, krisis pangan kali ini agak unik. Pada tahun 2008 kita cukup pejal (resilience) terhadap dampak krisis pangan global, tertolong peningkatan produksi padi yang tinggi. Peningkatan itu disebabkan La Nina, mengakibatkan kemarau cukup basah, selain rangsangan harga tinggi yang menggairahkan petani untuk menanam. Hal itu menyebabkan stok pangan amat baik sehingga pemerintah bisa mengatur harga lebih leluasa.

Kini, produksi pertanian Indonesia pasti mengalami gangguan akibat El Nino. Dan krisis pangan global akan berdampak serius bagi Indonesia. Selain itu, akibat penurunan produksi, jumlah pangan yang diperdagangkan akan turun dan ini akan memicu kenaikan harga. Negara pengimpor pangan—tahun 2008, Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar kedua dunia dengan impor 7.729.000 ton—akan mengalami dampak serius karena pada saat bersamaan produksi domestik turun.

Kondisi itu harus disikapi dan diantisipasi cepat. Pertama, program reforma agraria, terutama reformasi aset atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional, harus didukung penuh. Dengan rata-rata lahan pangan per kapita 359 meter persegi (bandingkan dengan Thailand 5.226 meter persegi), pendistribusian lahan untuk petani menjadi suatu keniscayaan. Tanpa hal itu, produksi pertanian kita pasti akan jalan di tempat. Kalaupun dinyatakan ada peningkatan produksi, itu hanya retorika.

Kedua, perubahan paradigma pembangunan pertanian, dari produksi ke petani (Dwi Andreas Santosa, ”Ketahanan Pangan Vs Kedaulatan Pangan”, Kompas, 13/1/2009). Amat ironis saat pemerintah menyatakan swasembada beras dan terjadi peningkatan fantastis produksi pertanian 2007-2008, kesejahteraan petani—diukur berdasar nilai tukar petani—justru merosot dari 115 (akhir 2003) menjadi 98,30 (Januari 2009). Bahkan, untuk tanaman pangan, merosot hingga 94,39 (Statistics Indonesia, BPS, 2009).

Ketiga, kelompok masyarakat yang paling menderita akibat krisis pangan adalah petani. Kantong-kantong kelaparan di Indonesia justru di wilayah-wilayah pertanian. Kini, banyak gerakan akar rumput dan swadaya masyarakat yang bersama petani membangkitkan kembali lumbung pangan. Lumbung itu dimiliki dan dikelola petani, dan akan menjadi penyelamat pada saat terjadi krisis.

Kelima, melaksanakan subsidi langsung dan asuransi pertanian yang sering menjadi wacana. Contoh terkini adalah produksi pupuk organik yang diserahkan kepada berbagai perusahaan besar dengan biaya Rp 1.500 per kg (Rp 1.000 disubsidi pemerintah). Padahal, teman-teman di jaringan petani sanggup memproduksi dengan biaya hanya Rp 500 hingga Rp 750 per kg sampai di tangan konsumen. Hal yang sama juga terjadi untuk pupuk hayati.

Keenam, perlu dihidupkan kembali Menteri Muda Urusan Pangan yang memiliki peran, fungsi, dan kewenangan mengatur dan mengendalikan pangan serta mengembalikan Bulog seperti sebelumnya.

Secara umum, kondisi pangan ke depan memang sulit. Meski demikian, masih ada harapan. Semoga kita mampu menyelamatkan diri dari krisis pangan global 2009-2010.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/04314231/mewaspadai.krisis.pang


Dwi Andreas Santosa Ketua Program Studi S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IP

ESTATE OPERATION TEAM (EOT)

TRIPUTRA AGRO PERSADA, PT




Company Description
OUR VISION

  • To become one of the highest yield producing palm oil and rubber plantations in the world at competitive investment and operating costs also full commitment to social responsibility and compliance to government regulations.
OUR MISSION


  • To develop our competencies in the spirit of continuous improvement to become the best in our field and business.
  • To increase standard of surrounding our estates through job opportunities & community development.
  • To build close & strong relationship with central and provincial government.
  • To provide equal opportunity for employees and reward based on meritocracy.
  • Create stakeholders value.

OUR VALUES

  • Integrity & high work ethics
  • Synergy and respect for the individual
  • Utmost customer satisfaction
  • Excellence through continuous innovation
  • Social concern & environmental friendly

We are fast growing and one of the biggest Palm Oil, Rubber Plantations and CPO Mills companies based in Kuningan, South Jakarta. Triputra Agro Persada Group is a group plantations in Indonesia who has more than 200,000 hectares land bank in excess of 120,000 hectares of plantations and mills that located in Jambi, Central Kalimantan, East Kalimantan, West Kalimantan, and South Kalimantan with more than 20 estates that supported by more than 11,000 employees. In line with our expansion plans and commitments for growth, we are looking for people who want to grow with us, take chances and stand out from the crowd. We need minded thinker who embrace tomorrow, have vision and technical knowledge, also have dedicated of work ethics. We are now seeking to recruit high caliber and dynamic professionals to fulfill the following positions as:



ESTATE OPERATION TEAM (EOT)
(Estate GM, Estate Manager, Mill Manager, Afdeling Head / AsKep, Engineering Head, Administration Head / KTU)

Requirements:

  • Male, hold min. S1 degree with min. GPA 3.00 majoring in Agriculture, Mechanical, Electrical, Civil, Utility, Industrial Engineering, Accounting, Finance, Management or other related disciplines from reputables university.
  • Possess min. 5 years experiences at similar position in palm oil or rubber plantation & CPO mill industry.
  • Deep understanding & strong knowledges of whole estate business process, mil operation, process & maintenance, technical work (civil, ME, workshop, transportation), administration (finance, accounting, budget, tax, HR & GA, logistic) also social matters (community development, plasma, etc).
  • Excellent experience & skill in mill aspects such as mill business process, mill project development, RAB concept, laboratory, ME and civil maintenance also design (structure, machinery, single line & wiring diagram).
  • Great proven track record in engineering skill, such as civil, mechanical, electrical, workshop and transportation.
  • Good estate administration concept and skill, such as finance, accounting, budget, tax, HR & GA also logistic.
  • Familiar with computer literacy (Ms. Office, Auto CAD, GPS, ERP) or other proficient related software.
  • Able to work under pressure with tight deadline and with minimal supervision.
  • Multi tasking also meeting high standards as well as high quality.
  • Able to function effectively as an individual or team player, self-motivated and well-organized person.
  • Having ability to work in a multi-cultural environment and attention to detail person.
  • Able to communicate clearly and effectively to all levels within an organization also good command English is a good advantage.
  • Willing to be placed and travel to plantations area across Indonesia.
  • Possess strong leadeship, good analytical thinking and interpersonal skills.


An attractive remuneration package will be offered to the successful candidates commensurate to the qualifications, experience and expertise. Those are interested, please send your comprehensive CV including employment history, academic records, together with recent photo to:




recruitment@triputraagropersada.com and cc to: taprecruitment@gmail.com

visit our website http://www.triputraagropersada.com

TRIPUTRA AGRO PERSADA GROUP
RECRUITMENT & DEVELOPMENT DEPARTMENT


The East Building 23th Floor
Lingkar Mega Kuningan Street Kav. E 3.2 No.1
Kuningan - South Jakarta 12950





** Please include your preferred position code (EOT-Estate Manager) in the email subject or envelope, otherwise your email will be deleted and only short-listed candidates will be notified.


Lowongan HEAD OF GARDENING ( BATAM )

BATAM VIEW BEACH RESORT


Company Description
Built exclusively atop a hill with access to private beach, Batam View Beach Resort is a talking point among holidaymakers looking for a getaway in Asia that blends modern amenities with nature.

The resort hotel is an oasis of calm, ideal for relaxing, yet complete with indoor and outdoor facilities to enjoy the sun, sea and sand. Enjoy breathtaking views of the Singapore skyline and the surrounding greenery and sea from our verdant 10-hectare garden (making us the hotel with the biggest grounds in Batam).

Batam View Beach Resort is an ideal venue for holidaymakers as well as for corporate meetings, functions and training, with its comprehensive facilities, including wireless Internet access.


HEAD OF GARDENING ( BATAM )
Requirements:

  • Minimum Diploma.
  • Good interpersonal and strong leadership
  • Experience at least 2 to 3 years on similar position
  • Fluent in English and Computer literacy is required.
  • Own a Passport


Send your completed resume to:

viva@batamview.com
cc
recruitment@batamview.com
Visit our website
www.batamview.com


Jumat, 28 Agustus 2009

Petani dan Kelaparan

Oleh: Tejo Pramono

Bagi buruh tani, hidup itu benar-benar kejam. Mereka bekerja keras untuk memproduksi pangan, tetapi mereka sendiri kelaparan dan miskin.

Data terakhir menunjukkan, kini tiga dari empat penduduk miskin di seluruh dunia adalah petani. Sementara di dalam negeri kerawanan pangan paling banyak menimpa buruh tani dan petani gurem. Mereka membelanjakan 70 persen pendapatannya untuk pangan. Jika gagal panen atau sakit, gizi buruk dan malanutrisi akan menimpa buruh tani dan petani gurem.

Ironi besar ini telah berlangsung lama. Tiap pemerintahan hanya bisa membuat janji atau program dengan nama baru. Namun, hasil akhirnya sama, petanilah yang paling banyak menderita kelaparan.

Tahun 2008, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat membanggakan pencapaian swasembada beras. Namun, dengan fakta swasembada beras pun, kerawanan pangan masih amat besar. Buktinya, tahun itu juga BPS melangsir angka kemiskinan 34,96 juta atau 15,42 persen penduduk. Mereka itulah penduduk rawan pangan.

Fakta tragedi kelaparan pada kelebihan produksi (tragedy of hunger in abundant) juga terjadi pada sektor kelapa sawit. Sejak tahun 2006, Indonesia bangga telah menggantikan posisi Malaysia sebagai produsen terbesar minyak sawit (crude palm oil/ CPO) di dunia. Namun, pada tahun 2008, antrean minyak goreng di Indonesia juga paling panjang di dunia. Buruh-buruh perkebunan sawit adalah bagian dari rakyat yang kelaparan karena bergaji rendah.

Soal kecukupan pangan

Dari beberapa contoh itu, akar penyebabnya adalah adanya pemisahan antara produksi dan konsumsi dalam strategi pembangunan pertanian dan pangan. Pembangunan pertanian dan pangan di Indonesia tidak dalam kerangka memenuhi kecukupan pangan keluarga tani, tetapi sekadar berorientasi produksi. Akibatnya, upah buruh tani amat rendah, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Sebenarnya di Indonesia tidak ada satu pun instansi pemerintah yang khusus mengurusi pemenuhan pangan rakyat, termasuk keluarga tani. Departemen Pertanian mengurusi produksi pangan, tetapi tidak mengurus pemenuhan pangan. Bila ada penyakit akibat kelaparan, seperti defisiensi vitamin dan marasmik- kwasiorkor, baru Departemen Kesehatan turun tangan. Tugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) lebih pada pengawasan pangan, itu pun lebih yang bersifat industri.

Bulog sendiri adalah perusahaan umum (perum) yang memiliki mandat untuk mencari keuntungan agar bisa menyumbang keuangan pemerintah dan baru bekerja bila ada permintaan operasi pasar. Sementara sifat Dewan Ketahanan Pangan yang langsung dipimpin Presiden hanya pekerjaan koordinasi dan kebijakan, bukan operasi. Departemen Perdagangan yang sering dikritik karena soal harga tidak bisa berbuat banyak karena orientasi kerjanya lebih pada urusan distribusi di pasar dan bukan bertanggung jawab atas pemenuhan hak atas pangan.

Bangsa dungu

Agar bisa menghentikan bencana kelaparan ini, pembangunan pertanian ke depan selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi pangan seperti yang sudah terjadi, tetapi lebih dari itu, juga berorientasi pemenuhan kecukupan pangan dan kesejahteraan keluarga petani. Dengan tambahan orientasi itu, indikator pembangunan sektor pertanian tidak lagi menempatkan aspek keluarga tani sebagai penunjang tujuan produksi pangan, tetapi kecukupan pangan keluarga tani itu yang menjadi orientasi.

Dengan penyatuan orientasi antara produksi pangan dan pemenuhan pangan secara simultan, pemerintah akan berkewajiban menyusun program yang komprehensif. Jika dulu rencana produksi pertanian dipandu pasar (pendekatan agrobisnis), kini rencana produksi dipandu dari target pemenuhan hak pangan.

Atas dasar pendekatan ini diharapkan kita tidak lagi menjadi bangsa dungu, memiliki produksi pangan berlebih tetapi lebih dari seratus juta rakyat rawan pangan. Terlebih pada saat dunia dan bangsa ini masih dihinggapi multikrisis (finansial, pangan, dan iklim), kita harus bekerja dengan cermat dan tidak boros.

Mengalokasikan sumber ekonomi untuk memproduksi pangan secara berlebihan (over production) sangat tidak tepat. Padahal, kita sama-sama mengetahui, volatilitas harga pangan yang amat tinggi adalah akibat dari adanya over production di tangan perusahaan besar.

Kita berharap reorientasi kebijakan pangan itu tidak sekadar berhenti pada kertas kebijakan belaka. Restrukturisasi kelembagaan menjadi syarat mutlak agar kebijakan bisa menjadi program nyata. Ke depan, Departemen Pertanian tampaknya perlu disempurnakan menjadi Departemen Pertanian dan Pangan. Elemen pangan di situ bukan hanya dalam pengertian produksi, tetapi untuk merestrukturisasi kelembagaan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pangan ke tiap keluarga.

Semoga ironi akbar petani dan kelaparan bisa dihentikan pada pemerintahan ke depan.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/27/03053983/petani.dan.kelaparan

Tejo Pramono Petani Kecil Anggota Agroekologi Kolektif di Bogor dan Aktif dalam Gerakan Petani Internasional La Via Campesina

PUPUK ORGANIK:Memperbaiki Lahan dan Petani

Oleh: Banu Astono

Kisruh pupuk akibat kelangkaan, kenaikan harga, dan merembesnya alokasi ke tempat lain menjadi persoalan tahunan. Inti masalah karena sistem distribusi yang rentan bocor dan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia semakin kuat.

Dampaknya, produktivitas tanaman tidak meningkat secara signifikan. Nilai tukar petani tetap jalan di tempat dan kualitas lahan setiap tahun terus memburuk. Hasilnya, bukan saja terjadi kemerosotan pendapatan petani, tetapi juga mengakibatkan tidak adanya kedaulatan pangan.

Konsekuensinya, produk primer pertanian yang dikonsumsi masyarakat sebagian besar diimpor. Biaya yang harus dibayar untuk itu tak kurang dari 5,003 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50,03 triliun per tahun.

Hal itu bukan saja menguras devisa, menekan pendapatan petani, tetapi juga menekan terciptanya lapangan kerja. Akibatnya, keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak maksimal. Padahal, dengan memproduksi pangan sendiri, peluang kerja terbuka luas.

Kekisruhan pupuk

Oleh sebab itu, kekisruhan pupuk tidak hanya merugikan petani tanaman pangan, tetapi juga industri pendukung sektor pertanian, lapangan kerja, dan kepentingan negara secara keseluruhan dalam hal pengadaan pangan secara nasional.

Hal itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang semakin tinggi.

Oleh sebab itu, kata Direktur Utama Petrokimia Gresik Arifin Tasrif, pihaknya melakukan pengembangan pupuk organik (petroganik). Pupuk organik ini untuk menekan penggunaan pupuk kimia oleh petani yang tidak lagi mengikuti pola pemupukan tunggal yang berimbang, yakni urea sebanyak 250 kg, ZA 100 kg, superphos 100-150 kg, dan KCl sebanyak 75 kg.

Petroganik yang diproduksi oleh industri kecil dan menengah ini dikontrol kualitas produksinya oleh PT Petrokimia Gresik sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.

Melalui kontrol di lahan percobaan Petrokimia Gresik, pupuk ini mampu meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kondisi tanah.

Dengan pemberian yang cukup, tanah menjadi gembur, lebih berpori menyerap air lebih banyak, mudah diolah, dan mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.

Jika pupuk digunakan secara baik dan tepat, mampu ditekan 20 persen penggunaan pupuk kimia. Dengan demikian, pupuk anorganik bisa dikurangi. Ini artinya, nilai subsidi pupuk urea bisa ditekan. Saat ini subsidi pupuk urea untuk tahun 2009 sebanyak 5,5 juta ton dengan nilai Rp 8,381 triliun, ZA sebanyak 923.000 ton dengan nilai Rp 1,399 triliun, superphos sebanyak 1 juta ton dengan nilai Rp 989 miliar, dan NPK 1,5 juta ton dengan nilai Rp 6,033 triliun.

Strategi yang dilakukan Petrokimia dalam mengembangkan industri petroganik bersama mitra lokalnya adalah membangun pabrik di wilayah mereka agar konsumen lebih mudah dan cepat mendapatkan pupuk organik. Biaya distribusi bisa ditekan semaksimal mungkin karena bahan baku kotoran sapi dan pemasaran berada di lokasi yang sama.

Nilai investasi yang ditanamkan oleh mitra lokal Rp 1,2 miliar, belum termasuk tanah dan bangunan. Biaya investasi itu sekitar 50 persen dari produsen dan sisanya ditutup oleh pihak perbankan, seperti Bank BNI.

Kapasitas produksi pabrik mencapai 10 ton per hari atau 3.000 ton per tahun. Jumlah tenaga kerja langsung sekitar 30 orang per pabrik. Belum termasuk pekerja tidak langsung di sektor peternakan sapi, ayam, dan sektor pendukung lain yang mencapai puluhan orang per pabrik.

Kebutuhan pupuk organik domestik dalam satu tahun diperkirakan 24 juta ton untuk areal tanaman padi seluas 12 juta hektar.

”Saat ini kami baru memiliki mitra kerja sebanyak 51 dan diharapkan pada akhir 2009 mencapai 130,” ujar Arifin Tasrif di sela peresmian pabrik pupuk organik Petroganik di Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/0453220/memperbaiki.lahan.dan..

Banu Astono
Kompas

Kamis, 27 Agustus 2009

PUPUK ORGANIK:Memperbaiki Lahan dan Petani


Oleh: Banu Astono

Kisruh pupuk akibat kelangkaan, kenaikan harga, dan merembesnya alokasi ke tempat lain menjadi persoalan tahunan. Inti masalah karena sistem distribusi yang rentan bocor dan ketergantungan petani terhadap pupuk kimia semakin kuat.

Dampaknya, produktivitas tanaman tidak meningkat secara signifikan. Nilai tukar petani tetap jalan di tempat dan kualitas lahan setiap tahun terus memburuk. Hasilnya, bukan saja terjadi kemerosotan pendapatan petani, tetapi juga mengakibatkan tidak adanya kedaulatan pangan.

Konsekuensinya, produk primer pertanian yang dikonsumsi masyarakat sebagian besar diimpor. Biaya yang harus dibayar untuk itu tak kurang dari 5,003 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50,03 triliun per tahun.

Hal itu bukan saja menguras devisa, menekan pendapatan petani, tetapi juga menekan terciptanya lapangan kerja. Akibatnya, keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak maksimal. Padahal, dengan memproduksi pangan sendiri, peluang kerja terbuka luas.

Kekisruhan pupuk

Oleh sebab itu, kekisruhan pupuk tidak hanya merugikan petani tanaman pangan, tetapi juga industri pendukung sektor pertanian, lapangan kerja, dan kepentingan negara secara keseluruhan dalam hal pengadaan pangan secara nasional.

Hal itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang semakin tinggi.

Oleh sebab itu, kata Direktur Utama Petrokimia Gresik Arifin Tasrif, pihaknya melakukan pengembangan pupuk organik (petroganik). Pupuk organik ini untuk menekan penggunaan pupuk kimia oleh petani yang tidak lagi mengikuti pola pemupukan tunggal yang berimbang, yakni urea sebanyak 250 kg, ZA 100 kg, superphos 100-150 kg, dan KCl sebanyak 75 kg.

Petroganik yang diproduksi oleh industri kecil dan menengah ini dikontrol kualitas produksinya oleh PT Petrokimia Gresik sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan.

Melalui kontrol di lahan percobaan Petrokimia Gresik, pupuk ini mampu meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kondisi tanah.

Dengan pemberian yang cukup, tanah menjadi gembur, lebih berpori menyerap air lebih banyak, mudah diolah, dan mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik.

Jika pupuk digunakan secara baik dan tepat, mampu ditekan 20 persen penggunaan pupuk kimia. Dengan demikian, pupuk anorganik bisa dikurangi. Ini artinya, nilai subsidi pupuk urea bisa ditekan. Saat ini subsidi pupuk urea untuk tahun 2009 sebanyak 5,5 juta ton dengan nilai Rp 8,381 triliun, ZA sebanyak 923.000 ton dengan nilai Rp 1,399 triliun, superphos sebanyak 1 juta ton dengan nilai Rp 989 miliar, dan NPK 1,5 juta ton dengan nilai Rp 6,033 triliun.

Strategi yang dilakukan Petrokimia dalam mengembangkan industri petroganik bersama mitra lokalnya adalah membangun pabrik di wilayah mereka agar konsumen lebih mudah dan cepat mendapatkan pupuk organik. Biaya distribusi bisa ditekan semaksimal mungkin karena bahan baku kotoran sapi dan pemasaran berada di lokasi yang sama.

Nilai investasi yang ditanamkan oleh mitra lokal Rp 1,2 miliar, belum termasuk tanah dan bangunan. Biaya investasi itu sekitar 50 persen dari produsen dan sisanya ditutup oleh pihak perbankan, seperti Bank BNI.

Kapasitas produksi pabrik mencapai 10 ton per hari atau 3.000 ton per tahun. Jumlah tenaga kerja langsung sekitar 30 orang per pabrik. Belum termasuk pekerja tidak langsung di sektor peternakan sapi, ayam, dan sektor pendukung lain yang mencapai puluhan orang per pabrik.

Kebutuhan pupuk organik domestik dalam satu tahun diperkirakan 24 juta ton untuk areal tanaman padi seluas 12 juta hektar.

”Saat ini kami baru memiliki mitra kerja sebanyak 51 dan diharapkan pada akhir 2009 mencapai 130,” ujar Arifin Tasrif di sela peresmian pabrik pupuk organik Petroganik di Cijambe, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/0453220/memperbaiki.lahan.dan..

Banu Astono
Kompas

Senin, 24 Agustus 2009

Mati Rasa yang Keterlaluan

Oleh: Sri Palupi

Kita ini memang bangsa unggul. Kesabaran dan daya tahan kita dalam menyaksikan derita orang-orang kecil macam buruh migran sungguh luar biasa. Di negeri tetangga, pelecehan terhadap satu buruh migran saja sudah membuat pemerintah dan publiknya marah. Sementara itu, di sini deportasi, pemerkosaan, penganiayaan, ancaman hukuman mati, sampai kematian mengenaskan buruh migran terus berulang dari waktu ke waktu.

Bisa jadi banyaknya kasus buruh migran yang terus berulang itu membuat kita mati rasa dan memandang persoalan itu sebagai hal biasa.

Sekadar janji

Beruntunnya kasus buruh migran yang akhir-akhir ini diangkat media menimbulkan kesan bahwa kasus yang dihadapi buruh migran semakin buruk. Padahal sesungguhnya, situasi yang dihadapi buruh migran dari tahun ke tahun tak ada perubahan, tetap saja buruk. Belum pernah ada tahun saat kita terbebas dari kasus buruh migran. Kalaupun tak ada berita di media soal buruh migran, bukan berarti tak ada kasus. Sebab, nyatanya tidak semua kasus bisa diakses media.

Tahun lalu 300-an buruh migran mati di luar negeri, tetapi media tidak banyak mempersoalkan kematian yang tinggi ini. Hal itu karena tidak semua kasus kematian diketahui media. Untuk wilayah Kabupaten Banyumas, misalnya, pada tahun 2006 terdapat 15 buruh migran mati di luar negeri dan tak satu pun yang diberitakan media. Tahun ini Migrant Care mencatat 120-an buruh migran yang mati, sementara media hanya melaporkan 30 kasus kematian. Jadi realitas kondisi buruh migran lebih buruk daripada yang digambarkan media.

Meskipun dari tahun ke tahun tidak ada perubahan, kasus buruh migran yang terjadi tahun ini terasa lebih memprihatinkan. Bukan karena angka kasusnya lebih tinggi, tetapi karena kasus-kasus itu terjadi pada saat sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang dikeluarkan pemerintah SBY-Kalla dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kenyataannya, pembenahan mendasar terhadap sistem penempatan dan perlindungan buruh migran masih sekadar janji.

Tidak berdampak

Meskipun sudah ada UU No 39/2004, UU yang kelahirannya tidak melibatkan konsultasi publik ini terbukti tidak menjawab persoalan buruh migran. UU ini lebih banyak mengatur secara detail bisnis penempatan TKI ke luar negeri, sementara aspek perlindungan ditempatkan bukan sebagai perkara utama. Perlindungan buruh migran lebih banyak diserahkan kepada perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), yang notabene adalah lembaga bisnis. Padahal kalau spiritnya adalah perlindungan, pembenahan sistem penempatan, mulai dari perekrutan, pendidikan, sampai pemulangan buruh migran akan diatur pertama-tama berdasarkan perspektif perlindungan. Itulah mengapa keberadaan UU No 39/2004 juga tidak berdampak pada perbaikan nasib buruh migran Indonesia.

BNP2TKI yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah koordinasi antardepartemen dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan buruh migran juga belum efektif menjalankan perannya. Yang terjadi, penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia masih berlangsung dengan pola lama. Nasib buruh migran tetap berada di tangan PJTKI yang bekerja tanpa standar dan beroperasi dengan tetap mengandalkan calo. Belum ada sistem kontrol efektif terhadap kinerja PJTKI. Juga tidak ada sanksi pidana bagi PJTKI yang melakukan pelanggaran selain sanksi administratif berupa pencabutan izin.

Inpres No 6/2006 yang diharapkan akan dapat memperbaiki keadaan pada kenyataannya juga bernasib sama dengan UU No 39/2004. Inpres itu menjadi tumpukan dokumen tanpa realisasi. Seperti halnya UU No 39/2004, secara substansial Inpres No 6/2006 juga lebih banyak bicara soal bisnis penempatan tenaga kerja dan miskin substansi perlindungan. Sistem perlindungan lebih banyak diarahkan ke penanganan (kasus) dan bukan pencegahan terjadinya kasus.

Selain miskin spirit perlindungan, kelemahan lain dari Inpres No 6/2006 adalah ketidakjelasan dalam hal cara menjalankan rencana. Dengan inpres itu pemerintah membuat rencana tindakan beserta target waktunya, tetapi tidak merumuskan bagaimana rencana itu hendak dijalankan. Sebagai gambaran, pemerintah berniat untuk memberantas percaloan melalui kegiatan pencegahan dan penindakan. Yang terjadi, pemerintah hanya menindak para calo yang beroperasi di lapangan, tetapi tidak membangun sistem perekrutan yang mampu menghilangkan peran calo. Padahal peran calo tidak akan pernah hilang selama mayoritas PJTKI masih berdomisili di Jakarta dan pelayanan pemerintah di bidang ketenagakerjaan belum menjangkau sampai ke tingkat desa. Akhirnya, rencana memberantas calo juga tidak mencapai hasil.

Terlepas dari kelemahannya, Inpres No 6/2006, apabila dijalankan secara serius, sebenarnya bisa membuka peluang bagi terwujudnya perlindungan nyata bagi buruh migran. Itu karena inpres yang berisi lima kebijakan terkait dengan penempatan dan perlindungan buruh migran tersebut setidaknya mulai bicara soal penyelesaian masalah krusial menyangkut perekrutan, pendidikan, pengurusan dokumen, dan perlindungan buruh migran di luar negeri melalui 27 butir tindakan. Sayangnya sampai batas akhir realisasi tindakan yang ditargetkan, yaitu Juli 2007, kegiatan yang mengarah pada perubahan mendasar dalam sistem penempatan dan perlindungan buruh migran ini belum juga dilaksanakan. Akhirnya janji membenahi sistem penempatan dan perlindungan buruh migran masih tetap tinggal menjadi janji.

Ironisnya, pemerintah daerah yang secara konsisten menjalankan Inpres No 6/2006 ini justru menjadi korban. Kabupaten Banyumas, misalnya, yang gencar memberantas percaloan dan pemerintahnya memperketat pengawasan terhadap kerja PJTKI, harus menghadapi kenyataan bahwa warganya banyak dimutasi ke daerah lain oleh para calo dan PJTKI. Akibatnya, daerah ini menghadapi persoalan tingginya penempatan buruh migran secara tidak sah, termasuk pemalsuan dokumen. Sedikitnya 70 persen buruh migran dari daerah ini ditempatkan tidak sesuai prosedur. Kondisi seperti ini semestinya mendorong pemerintah untuk membuat peraturan daerah perlindungan buruh migran di tingkat kabupaten/kota dan provinsi sehingga tidak ada lagi celah yang bisa dimainkan oleh PJTKI yang kinerjanya buruk. Peraturan daerah semacam ini juga berpeluang untuk mendorong tumbuhnya PJTKI yang berkinerja baik.

Mati rasa

Pemerintah sendiri sudah menyadari bahwa 80 persen masalah buruh migran ada di dalam negeri. Jadi kalau sistem penempatan buruh migran tidak dibenahi dari akarnya, sulit diharapkan bahwa pemerintah akan mampu memberikan perlindungan maksimal bagi buruh migran yang bekerja di luar negeri. Bayangkan saja, setiap tahun rata-rata 450.000 orang menjadi buruh migran dan entah berapa juta warga yang kini menjadi buruh migran.

Tak ada data akurat karena mayoritas buruh migran ditempatkan tanpa melalui prosedur. Dengan jumlah buruh migran sebesar itu, Indonesia hanya punya dua atase tenaga kerja. Bandingkan dengan Filipina yang sama-sama miskin, tetapi punya 100 atase tenaga kerja.

Dihadapkan pada masifnya kasus buruh migran, kita semakin kehilangan kata untuk menyikapinya. Tak tahu lagi apa yang mesti dikatakan untuk menggugat keadaan. Sebab, akar masalahnya sudah jelas dan sudah banyak dikupas. Demikian pula dengan solusinya. Yang belum jelas adalah pelaksanaannya. Kita memang bangsa besar, tetapi kita belum memiliki kemauan dan nyali besar untuk mengatasi kondisi buruk yang mengancam hak hidup warganya. Dengan membiarkan kasus buruh migran itu terus berulang, tanpa sadar kita telah mengafirmasi sikap Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, yang menyatakan bahwa kematian buruh migran Indonesia itu adalah takdir. Sebentuk mati rasa yang sungguh keterlaluan.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0709/04/opini/3812588.htm

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

Memandang Kemiskinan dari Perspektif Hak

REALITAS kemiskinan tidak sederhana. Ia tidak dapat dipahami hanya dari sederet angka tentang seberapa besar jumlah orang yang tingkat biaya konsumsinya tidak mencapai "garis kemiskinan". Kenyataan yang ada jauh lebih rumit.

Dalam pertemuan dengan kelompok pemulung yang tergabung dalam Rakyat Miskin Kota di Surabaya, Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Kelompok Kerja Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan Struktural (Kikis) pada tanggal 19 September 2002, terkuak cerita ini.

Seorang anak perempuan dari keluarga pemulung yang tinggal di bawah jembatan meninggal setelah melahirkan anaknya. Namun, jenazah itu harus menunggu sampai dua hari untuk dimakamkan karena tidak ada sebidang tanah pun yang tersedia untuk itu.

Kondisi yang sama, dalam konteks yang berbeda, dikisahkan oleh Karsiman, seorang sopir taksi. "Beberapa kali saya hampir tertabrak kereta api yang melintas," ucapnya, mengingat peristiwa yang menimpanya. Katanya, ia sering kali tidak mendengar sinyal pertanda kereta akan lewat karena pikirannya dipenuhi berbagai kebutuhan di rumah.

"Anak saya tiga, masih sekolah semua. Biayanya banyak sekali. Pernah suatu kali istri saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, sementara saya sama sekali tidak ada uang. Kereta sudah dekat, sementara mesin mobil saya malah mati di tengah. Saya panik sekali. Waktu akhirnya lolos, saya merasa dikasih hidup lagi," ujar laki-laki berusia sekitar 35 tahun itu.

Sebelum menjadi sopir taksi, Karsiman bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ketika terjadi krisis ekonomi, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. Ia mendapat pesangon yang jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, ia pun masih mencicil rumah. Sekarang rumah itu sudah dialihkan. Bersama keluarganya, Karsiman mengontrak rumah.

Begitulah. Dengan pemaparan itu tampak bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai realitas sepi. Realitas kemiskinan selalu merupakan akibat dari sesuatu, dan sesuatu itu datang di luar yang bersangkutan.

MOBIL mewah yang saat ini berseliweran di jalan-jalan raya Kota Jakarta dan jalanan yang macet karena pertumbuhan jumlah mobil tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan, bukanlah indikator kemakmuran. Sebaliknya, pemandangan itu bisa menjadi sangat manipulatif.

Tidak ada keraguan bahwa Indonesia kini tergolong negara miskin. Laporan Gerakan Anti-Pemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI) menyebut, sebelum krisis sekitar 20 juta warga Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sesudah krisis, jumlah itu meningkat sampai dua kalinya.

Setiap hari lahir sekitar 11.000 anak Indonesia, namun 800 di antaranya meninggal sebelum usia lima tahun oleh penyakit-penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Angka kematian ibu melahirkan tidak pernah turun dari 360 per 100.000 kelahiran hidup meskipun angka sebenarnya boleh jadi lebih dari dua kalinya. Dana Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (Unicef) menyatakan, dua sampai tiga juta anak Indonesia akan disebut sebagai generasi yang hilang akibat kekurangan pangan, berpenyakitan, dan tidak berpendidikan.

"Penanggulangan kemiskinan seharusnya didasarkan pada perspektif hak," kata Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium (UPC). Tuntutan ini didasarkan pada sejumlah fakta. "Kalau saya bisa tinggal di tempat yang nyaman, mengapa mereka harus digusur?" tanya Binny Buchori, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

Kaum miskin selalu menempati wilayah perkotaan yang kumuh. Akses air bersih tidak memadai, tempat tinggal tidak layak, tidak ada jaminan kesehatan dan pendidikan, tidak ada akses pendaftaran kependudukan, serta tidak ada jaminan keamanan dalam menjalankan pekerjaannya.

"Sebagai warga negara, mereka harus menjalani kehidupan yang tidak bermartabat," kata Wardah lagi. Ironi pun bermunculan. Ketika mendapati mereka tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP), pemerintah bukannya menggunakan pendekatan untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi penertiban.

Ketika kaum miskin berjuang mencari penghidupan dan menciptakan pekerjaan, misalnya sebagai pedagang kaki lima, mereka sekali lagi menjadi obyek penertiban, dan acap kali juga mengarah pada perampasan harta kaum miskin oleh petugas penertiban.

"Padahal dalam kondisi ekonomi yang sangat kritis, yang menyelamatkan ekonomi di negeri ini adalah sektor informal," ucap Binny menambahkan.

Situasi yang sama terjadi di kalangan petani miskin yang tidak bertanah dan memiliki tanah kurang dari 0,2 hektar. Selama ini juga tidak tampak kebijakan yang menyelesaikan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah.

KRISIS ekonomi politik tidak saja memberi label "negara miskin" pada Indonesia, tetapi juga memaksanya terjebak dalam jeratan akumulasi utang luar negeri.

Binny memaparkan besarnya utang pemerintah dan swasta yang menyebabkan kewajiban menyicil utang jangka pendek hampir setara dengan seperempat sampai sepertiga cadangan devisa, antara tujuh sampai sembilan miliar dollar AS. "Belanja pembangunan makin lama makin berkurang karena uangnya dipakai untuk membayar cicilan utang," kata Binny menjelaskan.

Situasi inilah yang membuat sumbangan pemikiran ahli ekonomi Amartya Sen mengenai kebebasan manusia, yang amat berharga untuk melacak sebab-sebab kemiskinan tidak menembus kenyataan di negeri ini. Kemiskinan di Indonesia tidak hanya berakar pada pilihan-pilihan politik yang salah, tetapi juga hilangnya kemampuan negara menentukan prioritasnya sendiri bagi masyarakatnya.

"Dalam situasi seperti ini ada Millenium Development Goal yang targetnya antara lain menghapus kemiskinan dan kelaparan sampai separuh dari jumlah yang ada saat ini tahun 2015," ujar Binny.

Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Ketika sarana kesejahteraan dimonetasi atas nama implementasi peraturan perdagangan dan jasa yang diadopsi negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maka hanya mereka yang mampu dapat membeli pelayanan kesejahteraan, seperti pendidikan dan kesehatan yang terbaik.

Menurut Wardah, hak-hak orang miskin tidak bisa diberikan atau dicabut. Peran negara di sini adalah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar kaum miskin, dengan melakukan tindakan yang nondiskriminatif.

Kebijakan menolak kemiskinan dan pemiskinan haruslah melibatkan kaum miskin, bukan hanya birokrat. Demikian usul Wardah.

Strategi untuk implementasi kebijakan prokemiskinan, seperti diusulkan oleh GAPRI, mencakup restrukturisasi relasi politik; redistribusi kekayaan, termasuk di dalamnya pembaruan agraria, reformasi pajak dan anggaran prorakyat, redistribusi kekayaan melalui bidang kesehatan dan pendidikan; dan reorientasi pengelolaan ekonomi, menuju ekonomi kerakyatan. (mh)

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/17/utama/630796.htm

"Corporate Responsibility"

Oleh: Todung Mulya Lubis

DALAM 20 tahun terakhir ini wacana tentang corporate responsibility banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik itu pengusaha, pemerintah, aktivis sosial, maupun lembaga-lembaga internasional. Perusahaan sebagai badan hukum adalah juga subyek hukum yang tunduk pada semua ketentuan hukum yang berlaku, termasuk terhadap produk hukum tertulis maupun produk hukum tidak tertulis (customary law).

Selain itu, perusahaan sebagai subyek hukum seyogianya juga menjadi makhluk sosial yang memerhatikan lingkungan sosialnya sehingga perusahaan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing di lingkungannya. Hal ini sangat penting, terutama jika kita berbicara tentang perusahaan raksasa yang terkadang merupakan "negara dalam negara" karena saking besarnya. Celakanya, banyak perusahaan raksasa yang justru berperilaku sebagai penguasa daerah dan mendikte pemerintahan daerah. Satu dan lain hal karena pemerintahan daerah sangat bergantung pada perusahaan raksasa tersebut, baik itu pajak, retribusi, lapangan kerja, donasi, maupun pembangunan masyarakat (community development).

Wacana tentang corporate responsibility sering dikaitkan dengan corporate accountability karena memang pada dasarnya banyak persamaan, tetapi sesungguhnya kita dapat menemukan pula perbedaannya. Corporate responsibility selalu mengacu kepada semua upaya untuk membuat perusahaan bertindak secara bertanggung jawab secara sukarela (voluntary) karena pertimbangan etika dan sosial. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan PBB melalui UN Global Compact dan International Chamber of Commerce (ICC).

Sementara itu, corporate accountability mengacu kepada semua kewajiban perusahaan untuk bertindak sesuai hukum dan norma-norma sosial atau jika tidak, perusahaan tersebut akan dihadapkan kepada konsekuensi dari in compliance yang bisa jadi menyeret perusahaan tersebut ke pengadilan. Promotor pendekatan ini banyak datang dari kalangan LSM yang melihat banyak perusahaan mencemari lingkungan dan melanggar hak komunal serta hak asasi fundamental. Terakhir isu ini diangkat sangat gencar oleh berbagai LSM dalam pertemuan Johannesburg Summit (2002).

BERBICARA mengenai corporate responsibility dan corporate accountability ini tak dapat kalau tidak berbicara juga tentang luas lingkup tanggung jawab negara karena realitasnya semua perusahaan berada dalam wilayah negara. Jadi, negara yang melakukan fungsi regulasi dan sanksi hukum tidak dapat lepas tanggung jawab. Ambil contoh perusahaan yang mencemari lingkungan atau melanggar hak asasi manusia. Dalam kasus ini apakah hanya perusahaan yang bertanggung jawab? Bukankah negara (dalam hal ini pemerintah) yang melakukan tindakan "pembiaran" tak harus bertanggung jawab? Di sinilah isu pokok yang kita hadapi karena terkadang alasan bahwa perusahaan itu tak mempunyai conscience apalagi karena perusahaan itu tak punya jiwa (soul) untuk dikutuk dan tak punya badan (body) untuk ditendang?

Dalam doktrin hukum internasional ihwal corporate responsibility yang dikaitkan dengan state responsibility ini cukup banyak diperdebatkan. Pada umumnya dianut pendapat bahwa setiap organ bukan negara yang melakukan tindakan tertentu bisa saja menjadi tanggung jawab negara, satu dan lain hal karena tindakan "pembiaran" (omission) oleh negara. International Law Commission telah mengeluarkan resolusi pada tahun 2001 yang pada hakikatnya mengesahkan tanggung jawab negara ini. Beberapa negara maju pun sesungguhnya mempunyai regulasi yang lebih kurang serupa dengan doktrin hukum internasional ini. Hal ini jelas bisa dilihat pada beberapa produk hukum di Amerika dan Jerman.

Selain pendekatan di atas ada lagi pendekatan yang melihat dari perspektif positive obligation of the state, terutama dalam konteks hukum internasional HAM. Pendekatan ini dihubungkan dengan tanggung jawab positif negara karena berlakunya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (1966) yang mewajibkan negara melakukan semua upaya pencegahan pelanggaran HAM serta menginvestigasi dan menghukum pelanggaran HAM yang dilakukan setiap subyek hukum, termasuk perusahaan dalam wilayah hukum negara tersebut. Perdebatan mengenai hal ini sangat tajam dalam tubuh PBB dan organ-organnya, seperti ILO dan Commission on Human Rights. Sementara itu, di luar PBB kita menemukan pula perdebatan mengenai hal ini di American Convention on Human Rights yang dalam salah satu butir resolusinya mengatakan, "The state has a legal duty to take reasonable steps to prevent human rights violation…."

DALAM beberapa tahun terakhir ini ihwal pelanggaran HAM oleh perusahaan sudah mulai digiring ke pengadilan nasional maupun regional. Komisi Hak Asasi Manusia Afrika pada tahun 2001 dihadapkan kepada gugatan terhadap perusahaan minyak Shell di Nigeria karena perusahaan minyak tersebut dalam mengeksploitasi minyak di kawasan Ogoniland telah mengabaikan dan melanggar hak-hak kesehatan, lingkungan, hak-hak akan makanan, dan hak komunitas lokal yang berakibat pada rusaknya sendi-sendi kehidupan di Ogoniland.

Kasus lain adalah kasus yang menimpa Unocal Inc yang bersama-sama dengan Myanmar Oil Gas Enterprise di Myanmar dituduh telah melakukan kerja paksa dan eksploitasi buruh anak, serta memaksa penduduk untuk pindah. Perkara antara National Coalition Government of the Union of Burma vs Unocal Inc telah dibawa ke pengadilan di California. Kasus lain lagi terjadi di Indonesia ketika Exxon Mobil dibawa ke pengadilan District of Columbia (2001) karena telah diduga melakukan pelanggaran HAM bersama-sama dengan pemerintah dan militer Indonesia. Kasus-kasus seperti ini sangat banyak terjadi di negara-negara lain dan banyak yang tak dibawa ke pengadilan. Jadi jumlahnya tak akan pernah jelas, tetapi kita tentu bisa menduga-duga karena memang perselingkuhan antara negara dan perusahaan raksasa bukanlah hal baru buat kita.

Atas dasar inilah berbagai teori keterlibatan perusahaan dalam pelanggaran HAM dibangun. Paling tidak sekarang kita mengenal berbagai bentuk keterlibatan perusahaan yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu pertama, direct complicity yang artinya adalah pertanggungjawaban langsung perusahaan karena perusahaan tersebut turut melakukan atau memerintahkan pelanggaran HAM. Kedua, indirect complicity, artinya perusahaan secara tidak langsung bertanggung jawab atas pelanggaran HAM karena secara tidak langsung turut terlibat. Ketiga, beneficial complicity, artinya perusahaan mengetahui pelanggaran hak asasi dan karena turut diuntungkan tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Sekali lagi tanggung jawab perusahaan di sini dikaitkan dengan tanggung jawab negara karena bagaimanapun perusahaan itu berada dalam wilayah negara yang memiliki fungsi regulasi dan kekuasaan menjatuhkan sanksi.

Wacana mengenai hal ini memang belum banyak di Indonesia, tetapi kita akan dihadapkan pada banyak kasus pelanggaran HAM yang melibatkan perusahaan, dan untuk itu perusahaan tampaknya harus lebih waspada. Sayang, tingkat kewaspadaan tersebut masih sangat minimal, malah para pengusaha masih banyak yang antipati terhadap isu HAM karena itu tak berkaitan dengan pekerjaan mereka. Padahal, persoalan HAM akan semakin banyak dalam dunia perusahaan, baik itu yang menyolok mata (pelanggaran hak akan hidup, dislokasi paksa, dan sebagainya) maupun yang tersembunyi (diskriminasi jender, diskriminasi agama, diskriminasi ras, dan pelanggaran hak penderita AIDS/HIV).

Beberapa perusahaan sudah melakukan apa yang disebut human rights audit yang secara independen dilakukan oleh pihak ketiga. Pernah pula ada undangan untuk ceramah mengenai HAM untuk semua manager di perusahaan besar (konglomerat). Semua ini perlu mendapat perhatian lebih serius karena perusahaan di Indonesia juga perlu membangun budaya hormat terhadap HAM. Human rights audit mungkin bisa sedikit membedah dan membuka tabir perusahaan dalam sikap hormat mereka terhadap hak asasi manusia.

Todung Mulya Lubis Konsultan Hukum, Law Firm, Lubis, Santosa & Maulana

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0401/28/opini/824683.htm

Sabtu, 22 Agustus 2009

Mengantisipasi Dampak El Nino

Oleh: Dr Ir Mohammad Jafar Hafsah

Akhir-akhir ini El Nino kembali ramai diperbincangkan, meskipun tidak seramai perhatian terhadap pengeboman di Mega Kuningan yang setiap hari menghiasi wajah media elektronik dan media cetak, El Nino menjadi agenda khusus rapat kabinet yang berlangsung minggu ketiga dan minggu keempat bulan Juli kemarin.


El Nino, menurut sejarahnya adalah sebuah fenomena yang teramati oleh para penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador yang tinggal di pantai sekitar Samudra Pasifik bagian timur menjelang Hari Natal (Desember). El Nino adalah fenomena alam, yakni meningkatnya suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator di atas nilai rata-ratanya. Fenomena El Nino dapat menyebabkan curah hujan di berbagai negara, termasuk sebagian besar wilayah Indonesia berkurang hingga berpotensi menimbulkan kekeringan panjang.

Dampak El Nino

Musim kemarau yang berkepanjangan dapat mengganggu masa tanam padi. Nah, kondisi ini dikhawatirkan mengganggu pasokan beras, karena El Nino yang saat ini mengancam, berpotensi memengaruhi masa tanam di kuartal terakhir.Berbagai dampak kekeringan yang dapat ditimbulkan antara lain menurunnya persediaan air (air permukaan dan air tanah), terganggunya pola tanam, pertanaman mengalami puso,meningkatkan serangan organisme perusak tanaman (OPT), dan kebakaran hutan.

Pengalaman El Nino di masa lalu telah mengakibatkan kekeringan yang banyak merugikan sektor pertanian.Pada 1997 seluas 517.614 ha, tahun 2003 seluas 568.619 ha dan tahun 2006 seluas 338.261 ha. Sebagai gambaran dampak buruk El-Nino tahun 1997, sawah mengalami kekeringan dan terjadi kebakaran hutan di berbagai tempat. Kekeringan sawah berdampak pada penurunan produksi beras sehingga Indonesia harus mengimpor beras sekitar 5 juta ton,demikian pula kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang menimbulkan kabut asap hingga ke negeri tetangga.

Langkah Pemerintah

Beberapa lembaga internasional (JAMSTEC-Jepang, BoM-Australia, NOAA-USA) telah memberikan prediksi El-Nino, meskipun satu sama lainnya berbeda. Badan Meteorologi,Klimatologi,dan Geofisika (BMKG) pun terus mengkaji dan mengamati untuk memprediksi besaran ancaman kekeringan akibat El Nino yang diperkirakan bisa mengganggu sebagian kawasan Indonesia bagian barat dan sebagian wilayah timur,namun kuat atau lemahnya pengaruh El-Nino baru bisa dipastikan bulan Agustus ini.

Sebagai antisipasi,sebelumnya pemimpin negara Asia Tenggara beserta China, Jepang, dan Korea Selatan (ASEAN+3) sepakat membentuk cadangan beras bersama untuk menghadapi dampak El Nino. Dengan cadangan ini diharapkan tak ada negara yang kekurangan beras.Setiap negara anggota diminta menyetorkan beras dalam jumlah tertentu. Meski hingga September mendatang diprediksi Indonesia masih aman dari pengaruh kekeringan ekstrem,namun pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasinya.

Presiden SBY menginstruksikan langkah- langkah berikut untuk mengantisipasi dampak El Nino, yaitu pertama meningkatkan produksi padi untuk mencapai sasaran produksi yang telah ditetapkan. Kedua, percepatan masa tanam di daerah tertentu.Ketiga, mengembangkan varietas padi yang bisa ditanam dan tumbuh di daerah sedikit air. Keempat,memanfaatkan lahan basah atau rawa saat airnya susut untuk difungsikan menjadi sawah seperti di Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah yang diperkirakan mencapai 1,8 juta ha dapat difungsikan menjadi sawah.

Kelima, memastikan gudang atau lumbung terjaga agar surplus sejak 2007 bisa tersimpan aman dalam gudang dan lumbung sebagai cadangan. Keenam, meningkatkan peran penyuluh untuk memberikan bimbingan teknis dan pendampingan pada para petani. Ketujuh, pengecekan saluran irigasi,waduk, dan situ di seluruh Indonesia yang harus berfungsi baik saat ancaman kekeringan akibat El Nino datang. Berbagai langkah lain yang dilakukan pemerintah untuk menge l i m i n a s i dampak El Nih adalah sebagai berikut.

Pertama, melalui Bulog, meningkatkan pengadaan beras menjadi 4 juta ton, sehingga stok di gudang Bulog, memadai untuk 4–5 bulan.Kedua, melanjutkan program beras untuk orang miskin (raskin) yang berubah menjadi beras bersubsidi (rasdi) untuk 12 bulan ke depan dengan rumah tangga sasaran (RTS) mencapai 17,5 juta rumah tangga.

Ketiga, program pemanfaatan hasil pendataan usaha tani (PUT) sehingga bantuan langsung dapat diberikan kepada petani sebagai pihak yang terkena dampak buruk El Nih. Keempat, penyediaan dana siaga pangan untuk menjaga stabilitas pangan sekitar Rp2–3 triliun dalam APBN 2010 untuk mengantisipasi kemungkinan dampak buruk El Nino pada 2010.

Langkah Operasional

Selain itu, berbagai langkah operasional yang mesti dilakukan untuk mengatasi dampak El Nino melalui kerja sama terpadu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta partisipasi petani. Pertama, pemetaan daerah berpotensi kekeringan, serta menyosialisasikan informasi iklim kepada pemerintah daerah dan petani tentang informasi mulainya awal musim (musim hujan dan musim kemarau).

Hal itu agar masyarakat tidak memaksakan diri menanam padi pada musim kemarau, terutama areal yang tidak ada irigasinya. Kedua, penjadwalan tanam sesuai ketersediaan air. Di daerah yang beririgasi teknis dilakukan percepatan tanam yang dibarengi dengan mobilisasi mesin pengolah lahan.Ketiga, menerapkan usaha tani dengan varietas yang relatif sedikit memerlukan air seperti kacang hijau,sorgum,dan palawija lainnya. Keempat, menyiapkan pompa air untuk sumur pantek dan air permukaan.

Kelima, menggunakan alat dan mesin untuk mempercepat pengolahan tanah yang dibarengi mobilisasi pompa air bagi areal pertanaman padi yang terancam kekeringan. Keenam,memfungsikan dan meningkatkan partisipasi perkumpulan petani pemakai air (P3A) dalam rehabilitasi dan pendistribusian air irigasi. Ketujuh, melaksanakan secara aktif gerakan hemat air dan pengaturan distribusi air (gilir giring), pemeliharaan dam/embung untuk menampung air.

Terakhir,memberdayakan tim pemantau (pusat dan daerah) untuk melakukan pemantauan secara intensif. Belajar dari berbagai pengalaman di masa lalu dalam menghadapi El Nino, ke depan kita harus lebih siap untuk mengurangi dan menghindari berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/264182/



Dr Ir Mohammad Jafar Hafsah
Ketua Dewan Pembina Perhiptani

Ramadan: Taubat dan Etos Transformasi Sosial

Oleh: Dr KH A Hasyim Muzadi

Marilah kita semua ucapkan “Marhaban ya Ramadhan, Selamat datang wahai bulan Ramadan”.Ramadan adalah bulan yang ditunggu umat Islam, karena di dalamnya penuh barakah, pada bulan ini doa-doa hamba kepada Sang Khalik banyak dikabulkan.


Ramadan adalah bulan evaluasi sekaligus bulan permenungan dan peningkatan energi iman dan takwa kepada Allah SWT. Ada yang patut menjadi spirit bagi kita bersama dalam Ramadan ini,sebagai bangsa dan negara yang sedang dalam kegamangan akibat menghadapi krisis multidimensi yang hingga kini belum tuntas terpecahkan. Adalah suasana kebatinan dan proses mental Rasulullah Muhammad SAW ketika menjelang penerimaan wahyu Alquran yang turun pada bulan Ramadan.

Alquran adalah “Risalah Besar”Nabi Muhammad SAW yang menjadi furqanatau obor perubahan secara mondial: dari masyarakat jahiliyah ke arah masyarakat tamaddun, masyarakat berperadaban. Setidaknya ada tiga hal yang dapat kita jadikan model sebagai modal untuk melakukan amar ma’ruf guna mendorong perubahan ke arah yang lebih baik.

Pertama, Rasulullah Muhammad SAW sebelum menerima wahyu Alquran melakukan penyiapan mental dan batin berupa menyatukan segala tenaga, waktu, dan pikirannya berkonsentrasi beribadah kepada Allah SWT selama enam bulan di Gua Hira. Nabi Muhammad melakukan penjernihan jiwa hingga terbebas dari subjektivitas kepentingan syahwat duniawi dan masuk ke alam malakut.

Tindakan ini dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan karena beliau menyadari akan menerima tugas besar, yaitu misi besar dan amanah untuk melakukan perubahan masyarakat yang sedang sekarat dan rusak parah, yang secara akal di luar kemampuan manusia. Maka, untuk melakukan perubahan dengan skala masif itu tak cukup hanya mengandalkan energi manusiawi, harus ada energi ekstra-insaniyah, yaitu energi agung kekuatan ilahiyah. Kedua, Nabi Muhammad banyak melakukan salat, baik salat lima waktu maupun salat sunah.

Sebagaimana firman Allah,“Dirikanlah salat mulai dari matahari tergelincir sampai gelap malam, dan dirikanlah pula salat subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan oleh para malaikat. Dan pada sebagian malam hari, salat tahajudlah kamu, sebagai ibadah tambahan bagimu, mudahmudahan Tuhanmu mengangkat ke tempat yang terpuji.

Dan katakanlah,’ Ya Tuhanku,masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong’.” (QS Al-Isra’: 78-80). Dengan kata lain,Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW jika menghadapi masalah yang besar harus banyak melakukan salat serta berdoa.Karena ternyata salatlah yang dapat mengantarkan hamba-hamba Allah ke jalan yang benar dan mendapat tempat yang terpuji serta terhormat di sisi-Nya.

Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW bangun di tengah malam untuk mendirikan salat karena menghadapi sesuatu tugas yang amat besar.Allah berfirman: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah untuk salat di malam hari, kecuali sedikit— darinya, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran dengan perlahan- lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada- Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung.(QS Al-Muzammil: 1–9).

Ketiga, Rasulullah SAW pada bulan Ramadan tekun beribadah dengan banyak melakukan iktikaf di masjid, mengulang hafalan Alquran dan mengajarkannya kepada para sahabat. Pada bulan Ramadan beliau meningkatkan kedermawanannya,berjuang lebih gigih dan bekerja lebih keras dari biasanya untuk mendapatkan rida Allah SWT. Hadis yang diriwayatkan Muslim menyatakan bahwa orang paling dermawan dalam kebaikan (melebihi) tiupan angin adalah Rasulullah Muhmmad SAW.

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Anas RA dikisahkan, ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW meminta kambing yang banyaknya memenuhi jalan di antara dua gunung, maka beliau memberikannya.Kemudian lelaki tadi datang kepada kaumnya, seraya berkata: “Wahai kaumku, masuklah ke dalam agama Islam, sesungguhnya Muhammad telah memberi aku sesuatu pemberian (yang banyak), ia adalah orang yang tidak takut miskin.” Anas RA menerangkan bahwa motif orang ini masuk Islam hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, tetapi belakangan dia mendapat hidayah Allah lebih mencintai Islamnya daripada dunia beserta isinya ini.

Cerita kedermawanan Rasulullah juga diriwayatkan At-Tirmidzi RA bahwa pada suatu hari ada seorang yang datang pada Rasulullah meminta berbagai macam kebutuhannya. Kebetulan hari itu, Rasulullah tidak mempunyai barangbarang yang dimintanya, lalu Rasulullah berkata kepadanya: “Belilah apa saja yang engkau butuhkan dengan atas nama aku yang utang.”Tiba-tiba Umar berkata: “Ya Rasul, orang itu sudah aku beri, jangan paksakan diri untuk memberi dia.” Mendengar ucapan tersebut tampak Rasulullah kurang begitu senang.

Kemudian ada seorang Anshar yang hadir dalam majelis tersebut, lalu berkata, “Ya Rasulullah, berilah dia,teruskan berinfak,jangan khawatir kekurangan sebab rezeki dari Allah yang menguasai Arays!”. Mendengar ucapan tersebut beliau tersenyum,wajahnya tampak berseri-seri, lalu beliau berkata: “Memang dengan itu aku diperintahkan.” Rasulullah merasa kurang suka jika ada orang yang terlalu perhitungan dengan segala apa yang sudah disedekahkan atau diberikan kepada orang.

Rasulullah pun selalu memberikan apa saja yang dimintakan kepada beliau, meski orang itu sudah datang berulangulang. Inilah contoh dan keteladanan seorang pemimpin yang tak ingin melihat umat atau rakyatnya kekurangan, meski dia sendiri sebenarnya sering hidup dalam kekurangan. Karena itu, marilah dengan puasa Ramadan ini kita setidaknya mencoba mengaplikasikan tiga hal yang sudah pernah dilakukan oleh Rasullah Muhammad SAW dalam menghadapi masalah-masalah besar.

Bangsa Indonesia kini sedang menghadapi persoalan-persoalan besar yang secara akal seperti di luar kemampuan manusia.Marilah kita kerahkan seluruh tenaga untuk bertobat, dalam arti kita harus berkomitmen tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang akan merugikan terhadap bangsa dan negara ini baik dalam perkataan maupun dalam kebijakan yang berdampak langsung terhadap kehidupan rakyat.Tekad kita adalah melakukan perbaikan-perbaikan di segala bidang agar rakyat Indonesia mendapatkan kehidupan adil dan makmur, sejahtera lahir dan batin.

Pada malam-malam sunyi dalam Ramadan ini marilah kita perbanyak salat dan bermunajat kepada Allah agar kita dapat keluar dari jeratan krisis dan musibah yang terus menimpa negeri ini. Pada Ramadan ini marilah terus kita tingkatan rasa kedermawanan kita terhadap sesama, rasa empati kita terhadap masalah-masalah dan musibah-musibah yang menimpa saudara-saudara kita.

Beta pun besar persoalan yang kita hadapi, tetapi kalau kita mampu dan dapat bersama-sama bahu membahu menyelesaikannya seraya memohon dan meminta ampunan- Nya, insya Allah semua persoalan bangsa ini akan segera teratasi. Amin. Wallahu a’lam bishshawab.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/264178/



Dr KH A Hasyim Muzadi
Ketua Umum PBNU dan Sekjen ICIS

Kamis, 20 Agustus 2009

Cermin Retak Kebebasan Buruh

Oleh: Hamzirwan


Perayaan HUT Ke-64 Kemerdekaan Republik Indonesia, Senin (17/8), tak mampu mengobati keresahan Sarta bin Tahar dan Yuce Hengky Sadok. Kedua pengurus serikat buruh tingkat perusahaan itu kehilangan pekerjaan dan kemerdekaan berserikat akibat kriminalisasi. Inilah cermin retak demokrasi kita.

Polisi memenjarakan Sarta setelah menggalang unjuk rasa peringatan hari buruh internasional (Mayday) 1 Mei 2007 di Kabupaten Tangerang. Polisi menahan Yuce atas aksi unjuk rasa menggugat dugaan penggelapan iuran Jamsostek karyawan sebesar Rp 19 miliar, yang digalangnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Keduanya divonis bersalah dengan hukuman penjara enam bulan. Walau mereka langsung bebas setelah hakim mengetuk palu, Sarta dan Yuce tetap berstatus mantan terpidana.

Perlindungan

Aktivis serikat buruh yang semestinya mendapat perlindungan karena bekerja berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja malah kerap menjadi korban kesewenangan kekuasaan. Pengusaha yang alergi terhadap serikat buruh akan terus berupaya menekan aktivis buruh agar mereka mundur, baik dari organisasi maupun perusahaan.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban mengungkapkan, setiap tahun ada lima sampai enam kasus kriminalisasi pengurus serikat buruh dengan jumlah tersangka puluhan orang per kasus. Biasanya berawal dari unjuk rasa buruh menuntut hak, lalu polisi lebih memakai hukum pidana daripada UU No 21/2000.

Pemerintah harus lebih serius menerapkan prinsip kebebasan berserikat dan berjuang bersama untuk menghapus kriminalisasi pengurus serikat buruh.

Sudah sembilan tahun Indonesia memiliki UU No 21/2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja dan 11 tahun meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Namun, tetap saja perlindungan terhadap serikat buruh minim.

Upaya penegakan hukum demi melindungi pengurus serikat buruh beraktivitas mutlak dibutuhkan. Pemerintah tidak boleh setengah-tengah melakukan hal ini hanya demi menyenangkan hati sebagian kecil pengusaha yang alergi serikat buruh.

Demokrasi utuh

Ahli Standar dan Prinsip Kebebasan Berserikat ILO Libsynd O Wolfson di Geneva, Swiss, Kamis (6/8), mengungkapkan, kebebasan berserikat membutuhkan demokrasi yang utuh dan asli. Tanpa itu, kebebasan berserikat sulit terwujud.

Pernyataan itu lalu menjadi bahan diskusi hangat dalam perbincangan lewat video dengan para jurnalis yang tengah mengikuti kursus Berkomunikasi Hak Buruh di Pusat Pendidikan Internasional ILO di Turin, Italia. ILO adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang fokus terhadap hak buruh.

Sebanyak 30 jurnalis, staf media ILO regional, dan juru bicara pemerintah dari Asia, Afrika, dan Eropa mengikuti kursus dengan beasiswa dari sejumlah pihak, seperti Kementerian Luar Negeri Italia.

Demokrasi yang utuh semestinya memberi tempat yang sama bagi setiap orang untuk bebas berorganisasi, mengemukakan pendapat, dan menuntut hak mereka. Bukan sekadar keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum, tetapi penuh kesemrawutan daftar pemilih tetap (DPT).

Kebebasan berserikat merupakan salah satu landasan dasar hak buruh yang penting untuk memperjuangkan pekerjaan yang layak bagi mereka. Menurut Libsynd, serikat buruh berperan penting bagi negara. Kebebasan berserikat dan peranan aktif serikat buruh dapat mendorong perkembangan demokrasi di negara itu sendiri. Hal ini yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat.

Menurut Koordinator Lembaga Penelitian dan Pendidikan Ketenagakerjaan (LPPK) Andy William Sinaga, perkembangan pasar kerja yang condong ke sistem kapitalisme membuat posisi buruh terus terjepit. Sistem kerja kontrak dan upah minimum membuat buruh kian terpuruk dalam kondisi kerja yang buruk. Sampai kapan buruh mendapat pekerjaan yang layak dan merdeka yang sesungguhnya? Semoga para pemimpin segera sadar dan berhenti berkaca di cermin yang retak.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/19/03521422/cermin.retak.kebebasan

Hamzirwan
Kompas

Lowongan Assistant Manager Plantation / ASKEP

AGRO GROUP

Company Description
We are a well established foreign conglomerate having business interest in Oil Palm Plantations, Breweries, Financial Services and Leisure. PT Agro Harapan Lestari is the managing agent for Groups’ plantations in Indonesia, where the Group has a land bank in excess of 80,000 hectares of plantation and mills in Central Kalimantan, South Kalimantan and East Kalimantan.
The business model of Agro Group Plantations evolves around building and expanding sustainable plantation projects in the region focusing on adopting the industry’s best practices and deriving operational excellence. We envision becoming a fully integrated player in the industry value-chain to ensure long term sustenance of our business.
In line with our expansion plans and commitments for growth, we are now seeking to recruit high caliber and dynamic professionals to be based in our Plantations .

Assistant Manager Plantation / ASKEP
(To be based in Central Kalimantan)

Responsibilities:

  • To Assist the Estate Manager in maintaining the estate under good order and execute plantation activities of the estate, including organize daily distribution of work force and field staff and to coordinate the field operation such us harvesting, loose fruit collection, fertilizing, weeding, and other field activities.

    Requirements :

  • The ideal candidate should possess Bachelor degree in Agriculture.
  • Minimum 3 years experience for similar position in Palm Oil plantation.
  • Can communicate in English, both oral and written.

If you got what it takes to take on the challenge, please submit your application within two weeks indicating the job code of the post applied in the subject column to :


recruitment@agroholdings-id.com

Rabu, 19 Agustus 2009

Lowongan Estate Manager

PT Agro Harapan Lestari



We are a well established foreign conglomerate having business interest in Oil Palm Plantations, Breweries, Financial Services and Leisure. PT Agro Harapan Lestari is the managing agent for Groups’ plantations in Indonesia, where the Group has a land bank in excess of 75,000 hectares of plantation and mills in Kalimantan Tengah and Kalimantan Timur.
The business model of Agro Group Plantations evolves around building and expanding sustainable plantation projects in the region focusing on adopting the industry’s best practices and deriving operational excellence. We envision becoming a fully integrated player in the industry value-chain to ensure long term sustenance of our business.
In line with our expansion plans and commitments for growth, we are now seeking to recruit high caliber and dynamic professionals to be based in our Plantations

Estate Manager
(Kalimantan)



Responsibilities:
  • Manage estate activities under his supervision in accordance with the group plantation policies and ensure that it is maintained in good agricultural condition.
  • Responsible for the execution of the budget program for the estate. Regularly monitor productivity of harvesters and overall productivity in terms of executing budget programs, and devise and implement operational tactics to improve same.
  • Maintain proper coordination between the estate and the mill, ensure adequate operational controls exists at plantation level to ensure crop quality, and wastages and losses are minimised, ensuring the target yield levels are achieved from each of the plantation fields coming under his estate.
  • Ensure proper allocation of labour, estate vehicles and other equipment among the different divisions and different activities so that the optimum level of productivity is achieved from the utilisation of the available resource to their maximum.
  • Ascertain the requirement of plantation materials, timely ordering & ensure their proper utilisation and maintenance of records relating to the material utilisation.
  • Provide routine reports & estate level performance/progress reports and other agronomy data to the Management on a regular basis.
  • Ensure that the estate staff are motivated and disciplined.

    Requirements:
  • Bachelor Degree in Agriculture or related disciplines
  • Minimum of 6 to 8 years experience in a well-known plantation company, with atleast 2 years of managerial experience
  • Good technical background in the related fields
  • Preferred age between 35 – 45 years
  • Good command in Indonesian & English languages both oral and written is a must
  • Strong leadership qualities, self motivated, positive attitude & high level people managment skills
  • Ability to work independently, is well - organized, performance-oriented, meticulously detailed, strong analytical skills & ability to work as part of a team,

    If you got what it takes to take on the challenge, please submit your application within two weeks indicating the job code of the post applied in the subject column to:


recruitment@agroholdings-id.com.

Ini Dia Pestisida Ramah Lingkungan

Harganya memang 50 persen lebih mahal, namun lebih aman. Hanya dengan mencampurkan bahan dasarnya air pestisida ini bisa digunakan dan aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

“Jika pestisida konvensional Rp 20 ribu, maka pestisida ramah lingkungan ini sekitar Rp 30 ribu,” kata Agung, produsen pestisida ramah lingkungan itu ke 89.2 FM Green Radio, Selasa (9/6).

Produk yang menurutnya diakui badan kesehatan dunia atau WHO tersebut cukup baik tersosialisasikan di Singapura dan Jepang. Sedangkan di Indonesia proses perkenalan baru berjalan satu tahun terakhir ini saja. Ia mengakui kalau sebelumnya produk ini dianggap isapan jempol belaka, termasuk oleh produsen pestisida konvensional.

Pestisida ramah lingkungan berbahan dasar gabungan Carbon Hidrogen dan Oksigen (CHO). Saat akan digunakan, bahan tersebut dicampurkan (emulsi) dengan 100 persen menggunakan air, bukan solar seperti pada pestisida konvensional. Karena menggunakan air maka dampaknya hanya terkena pada hama saja, tidak berdampak ke lingkungan sekitar.

“Kita sudah mengujinya di lab. Menurut material data sheet (MDS), pestisida ini lebih aman dari garam dan gula,” imbuhnya. Artinya, dengan mengkonsumsi gula dan garam saja, tubuh manusia baik-baik saja, maka menurutnya, produk yang ia pasarkan ini juga tidak akan berdampak pada kesehatan manusia, dan lingkungan hidup.

Untuk meyakinkan calon pengguna, dirinya mempunyai testimoni dari mereka yang sudah menggunakan pestisida tersebut. Mereka berasal dari beberapa negara, seperti dari Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Jepang. Umumnya pengguna itu menyukai terhadap produk tersebut.

Lalu bagaimana dengan harga jual? Dalam penuturannya, ia mengakui harganya sudah dinaikan karena bahan baku diimpor. Tapi, harga yang perlu dirogoh konsumen Indonesia dijaminnya tidak terlampau mahal. Ia pun mengilustrasikan harga pestisida untuk penyemprotan di rumah menggunakan pestisida konvensional ditaksir Rp 20 ribu, sedangkan dengan pestisida ramah lingkungan Rp 30 ribu.

“Memang agak mahal, tapi dampak ke lingkungan tidak ada, dan baik bagi kesehatan manusia. Karena kesehatan itu adalah priceless,” imbuhnya.

Dalam perhitungan yang dibuatnya, Agung menyatakan sebenarnya produknya ini lebih hemat. Hal itu disebabkan emulsinya adalah air yang gratis. Sedangkan pestisida konvensional membutuhkan dana tambahan untuk membeli solar sebagai emulsi.

Selain membunuh serangga atau hama, pestisida ramah lingkungan punya efek membunuh kuman dan jamur. Itu disebabkan ada unsur disinfektan di dalamnya. Keunggulan lainnya adalah karena campurannya adalah air, maka saat digunakan tidak membuat licin di lantai dan tidak meninggalkan noda.

“Kalau pestisida konvensional punya bau tidak enak, pestisida ini justru punya beragam aroma wangi. Anda bisa memilih aroma jeruk, apel, atau stroberi. Aroma cemara paling laku terjual,” tutupnya.

Standarisasi Pupuk Organik Melindungi Konsumen

Pupuk organik menjadi alternatif penting pengganti pupuk kimiawi dalam memperbaiki kualitas tanah pertanian. Pupuk organik pun jauh lebih mudah pembuatannya hingga memungkinkan banyak pihak memproduksinya dalam skala kecil maupun besar. Namun, bagaimana pengguna pupuk mengetahui kualitas pupuk yang digunakannya.

Sutarto Alimuso, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian kepada 89.2 FM Green Radio mengatakan, produsen pupuk harus mendaftarkan pupuk yang mereka produksi agar apa yang mereka produksi sesuai dengan label yang tertera.

Produsen pupuk mesti mendaftarkan produknya ke Pusat Perijinan dan Investasi Departemen Pertanian. Disana produk akan diuji dan diukur apakah kandungan dalam produknya sesuai dengan labelnya. Dengan begitu, konsumen memperoleh jaminan perlindungan kualitas produk sesuai dengan yang dibeli.

Saat ini sudah ratusan produk pupuk yang terdaftar baik yang dihasilkan oleh UMKM, produsen yang relatif besar, ataupun BUMN. Pendaftaran produknya sesuai spesifikasi produknya masing-masing. Dengan begitu tidak hanya konsumen yang dilindungi, tapi produsen pun terlindungi dari klaim spesifikasi produk dari pihak lain.

Departemen Pertanian yang menetapkan standar kualitas pupuk berdasarkan penelitian, kemudian ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian kalau itu digunakan untuk pertanian.

Prinsipnya, jika pupuk organik yang diproduksi diperdagangkan, konsumen dan produsen perlu dilindungi. Untuk itulah standarisasi dibutuhkan, sehingga ada jaminan bagi konsumen dan produsen.
sumber: www.greenradio.fm

Selasa, 18 Agustus 2009

Lowongan Field Assistant

AGRO GROUP


JOB VACANCY

We are a well established foreign conglomerate having business interest in Oil Palm Plantations, Breweries, Financial Services and Leisure. PT. Agro Harapan Lestari is the Groups’ plantations in Indonesia with a land bank in excess of 60,000 hectares of plantations and mills in Kalimantan Tengah and Kalimantan Timur. In line with our expansion plans and commitments for growth, we are now seeking to recruit high caliber and dynamic professionals to be based in Jakarta and Kalimantan.

Field Assistant

Requirements :

  • You will be required to do planning, ensure land clearing, planting, nursery establishments are done to the highest accepted industry norms and in accordance with company policy.
  • The ideal candidate should possess Bachelor degree in Agriculture with minimum 5 years experience in a similar position.

If you got what it takes to take on the challenge, please submit your application within two weeks indicating the job code of the post applied in the subject column to :

recruitment@agroholdings-id.com

Siaga Menghadapi El Nino


Oleh: Mufid A. Busyairi

Kekeringan sebetulnya fenomena biasa. Sebagai negara tropis dengan dua musim, hujan dan kemarau, setiap tahun keduanya akan datang silih berganti di Indonesia. Bedanya ada pada intensitas, frekuensi, dan durasinya yang selalu berubah-ubah. Namun, berdasarkan catatan dari tahun ke tahun, ada kecenderungan kekeringan yang terjadi menuju ke arah lebih buruk. Meski ada banyak faktor yang mempengaruhi kekeringan, El Nino dipastikan menjadi salah satu pemicu yang memperburuk cekaman kekeringan.

El Nino membuat musim kemarau berpeluang mengalami percepatan empat dasarian (sekitar 40 hari) dan musim hujan mundur selama empat dasarian (Irianto, 2006). Artinya, musim kemarau menjadi lebih lama sekitar 80 hari dibanding kondisi normal dan musim hujan mengalami pengurangan waktu yang sama. Karena curah hujan yang turun bersifat tetap, pada satu sisi kondisi ini membuat musim kemarau menjadi lebih lama. Di sisi lain, hari hujan menjadi lebih pendek sehingga peluang banjir amat besar. Bagi petani dan dunia pertanian, dua kondisi itu sama-sama tidak menguntungkan.

Menurut perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, El Nino akan melanda Indonesia pada Agustus 2009-Januari 2010. Anomali cuaca ini ditandai oleh berkurangnya hujan di wilayah timur, tengah, dan barat Indonesia. Akibatnya, suplai air bagi pertanian jadi amat terbatas. Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, El Nino akan membuat daerah-daerah lumbung padi dicekam kekeringan sehingga sebagian mengalami puso. Potensi penurunan produksi beras pada 2010 mencapai 1,6 juta ton.

Bukan kali ini saja El Nino terjadi. Sayangnya, selama ini usaha antisipasi, termasuk cara mengelola risiko El Nino, belum dilakukan secara komprehensif. Semua cenderung seremonial, parsial, ad hoc, berorientasi proyek, kurang memperhatikan aspek keberlanjutan program, dan tidak menyentuh akar persoalan. Ilustrasinya dengan mudah diamati dari usaha "dramatisasi" El Nino. Begitu otoritas resmi menyatakan El Nino berpeluang terjadi, hampir semua sektor terkait berlomba dan berpacu memanfaatkan legitimasi itu untuk memuluskan proyek sektoral. Muncullah program pompanisasi, hujan buatan, perbaikan embung, pemberian air bersih, dan pengadaan traktor. Padahal, menurut otoritas resmi, El Nino yang berpeluang terjadi intensitasnya rendah. Pendekatan ini juga nyaris tak berubah: selalu diulang-ulang tiap tahun seolah-olah segalanya masih sama.

Selama ini bencana, termasuk kekeringan akibat El Nino, selalu identik dengan keterbatasan dan penderitaan. Ini terjadi karena El Nino kita diposisikan sebagai faktor pembatas. Akan berbeda halnya bila kita menganggap El Nino sebagai peluang: peluang untuk membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana-apa pun wujud bencana itu--setiap saat. Cara ini tidak bisa ditawar-tawar karena krisis air adalah keniscayaan. Ini ditandai tiga hal (Irianto, 2003). Pertama, kesulitan air kini tidak hanya terjadi di wilayah endemi kekeringan klasik, seperti Gunungkidul dan Nusa Tenggara Timur, tapi juga merambah daerah yang berlimpah sumber air, seperti Bogor. Kedua, wilayah yang kesulitan air bergeser dan terus meluas, bergerak dari daerah hilir menuju ke arah hulu. Ketiga, terjadi peningkatan interval lama kekeringan sehingga lama hujan tahunan rendah.

Kesiapsiagaan menghadapi bencana, termasuk El Nino, diperlukan kelembagaan yang solid. Baik di level prediksi dan antisipasi (preventif) maupun saat penanggulangan (kuratif). Ketika kekeringan terjadi, biasanya akan diiringi krisis air bersih, sawah puso, kelaparan, dan busung lapar akibat stok pangan menipis. Di level penanggulangan, Badan Penanggulangan Bencana (pusat dan daerah) harus bergerak cepat "memadamkan kebakaran" dengan memberikan bantuan air bersih, bahan pangan, dan kesehatan dasar bagi warga yang membutuhkan. Keterlambatan dalam memobilisasi dan memberikan bantuan ini akan berakibat makin parahnya penderitaan warga yang menjadi korban.

Terkait dengan itu, satu hal yang terpenting, pemerintah harus menjamin cadangan beras tersedia memadai, termasuk kelancaran distribusinya. Cadangan yang memadai akan menjamin stabilisasi harga. Cadangan beras pemerintah yang hanya 350 ribu ton tidak masuk kategori aman. Bila dampak El Nino besar dan produksi menurun seperti perkiraan Menteri Pertanian, pasar akan "panas" dan mudah digoyang spekulasi oleh pedagang. Cadangan itu amat kecil ketimbang cadangan beras pemerintah di Cina (34 juta ton), India (7 juta ton), Thailand (2 juta ton), Vietnam (1 juta ton), Jepang (1 juta ton), Korea Selatan (1,1 juta ton), dan Filipina (0,75 ton). Untuk negara kepulauan dengan penduduk sebesar Indonesia, cadangan yang aman setidaknya 1-1,5 juta ton beras.

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bisa segera menyepakati besaran cadangan beras ini. Jumlah cadangan beras bersifat dinamis. Kalau kondisi aman, jumlah cadangan beras bisa 1 juta ton. Sebaliknya, ketika kondisi tidak aman, jumlah cadangan harus 1,5 juta ton. Untuk saat ini pengadaan beras buat menambah cadangan itu masih bisa dilakukan sampai September saat panen gadu berakhir. Pemerintah dan DPR bisa segera menyepakati untuk memerintahkan Bulog menambah pengadaan beras. Mumpung masih ada waktu 2 bulan.

Pertanian merupakan sektor yang boros menggunakan air. Kampanye efisiensi penggunaan air perlu dilakukan secara berkelanjutan. Masih banyak petani yang berpikir harus menanam padi saat melihat air menggenang di sawah, tanpa berhitung sebulan atau dua bulan bakal kekeringan. Karena itu, Sekolah Lapang Iklim perlu dimassalkan pada petani. Lewat sekolah ini, petani bisa diajari "membaca" peta iklim, menyusun pola tanam, dan memperkirakan hasil. Pengembangan pertanian organik dengan metode system of rice intensification juga semestinya dimassifkan secara serius. Sebab, selain tidak perlu menggunakan asupan air dalam jumlah besar seperti pada pertanian konvensional, metode ini pada akhirnya dapat memperbaiki unsur hara tanah. Selain itu, riset dan rakitan teknologi harus diarahkan untuk mengantisipasi anomali iklim tersebut. Penciptaan varietas baru, misalnya, tidak hanya berfokus pada produksi yang tinggi dan berumur genjah, tapi juga bisa beradaptasi dengan baik pada tanah dan iklim suboptimal (salinitas tinggi, kekeringan, dan genangan tinggi).

Upaya ini harus diintegrasikan dengan usaha jangka menengah dengan memanen hujan (rain harvest). Prinsipnya, kelebihan air di musim hujan ditampung dan disimpan di dalam waduk, bendung, situ, embung, dan bangunan fisik penampung air lain untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Dalam jangka panjang, selain bisa meningkatkan cadangan air tanah, ini dapat meningkatkan pendapatan petani. Dalam jangka panjang, persepsi bahwa air merupakan sumber daya yang tidak terbatas, bersifat given, dan bisa diperoleh gratis harus dicampakkan dari tiap kepala warga negeri ini. Persepsi itu jadi biang perilaku boros dan tidak bertanggung jawab kepada alam. Hanya dengan kearifan memperlakukan alam sebagai pembatas kehidupan peradaban bumi bisa diselamatkan.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/13/Opini/index.html

Mufid A. Busyairi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Komisi IV dari Fraksi Kebangkitan Bangsa

APBN 2010 :Kegagalan Memahami Hakikat Kemiskinan

Oleh: Khudori


Dalam pidato pengantar rancangan undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010, 3 Agustus lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan anggaran antikemiskinan dipatok Rp 88,2 triliun. Sasarannya, angka kemiskinan bisa ditekan 12-13,5 persen pada 2010. SBY optimistis sasaran itu bisa dicapai. SBY menyebut angka kemiskinan terus menurun sepanjang pemerintahannya: 35,1 juta pada 2005, 39,2 juta (2006), 37,2 juta (2007), 34,96 juta (2008), dan 32,5 juta (2009). Untuk mencapai itu anggaran antikemiskinan digenjot menjadi Rp 66 triliun (2009) dari sebelumnya Rp 23 triliun (2005), Rp 42 triliun (2006), Rp 51 triliun (2007), dan Rp 60 triliun (2008).

Pada era SBY, program antikemiskinan dibagi tiga cluster. Cluster pertama berupa bantuan dan perlindungan sosial kepada keluarga kurang mampu. Seperti penyediaan beras untuk rakyat miskin (raskin), Program Keluarga Harapan, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu, ada bantuan bagi lanjut usia dan cacat ganda telantar, bantuan bencana alam, Bantuan Langsung Tunai sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak, serta beasiswa untuk anak dari rumah tangga kelompok sasaran.

Adapun cluster kedua, dilaksanakan program dan anggaran berbasis masyarakat, yang dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dalam program ini diadakan pendampingan pada desa-desa yang masih memiliki kelompok masyarakat miskin. Masyarakat diberdayakan agar dapat memanfaatkan berbagai program yang telah disediakan. Dalam PNPM Mandiri ini masyarakat desa dan kelurahan yang menentukan sendiri pemanfaatan anggaran yang dialokasikan.

Cluster ketiga, dilakukan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk perbaikan iklim berusaha dan penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR). SBY menyebut cluster pertama sebagai pemberian ikan bagi rakyat miskin dan hampir miskin. Cluster kedua dianalogikan sebagai pemberian kail agar warga lebih mandiri. Dan cluster ketiga ibarat pemberian perahu. Diharapkan masyarakat kecil bisa mengembangkan usahanya sendiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Pengelompokan cluster bisa dipahami karena kelompok miskin tidak homogen. Pertanyaannya, jika pada cluster pertama hanya diberi "ikan" tanpa pemberdayaan, apakah itu tidak menimbulkan ketergantungan pada diri kelompok paling miskin itu? Ditilik dari prinsip pengembangan masyarakat (community development), jelas ini kurang tepat. Bagaimanapun kelompok cluster pertama tetap mempunyai potensi pengembangan, bukan sekadar "hidup dari pemberian". Karena itu, pada cluster pertama porsi "ikannya" lebih besar daripada kelompok lain agar bisa survive. Namun, pada saat bersamaan mereka juga perlu diberi kail. Kalau tidak, selamanya mereka miskin dan tidak berdaya.

Pada titik ini perlu mendudukkan kail dan ikan dalam penanganan kemiskinan secara proporsional. Dalam realitasnya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Misalnya tukang bakso. Setelah punya modal, ia bisa berjualan bakso dengan pendapatan sehari Rp 20 ribu. Tapi, begitu sakit, karena si tukang bakso satu-satunya tulang punggung keluarga, gerobak bakso dijual karena ia tidak punya kartu sehat. Pemberian ikan dalam bentuk bantuan langsung juga tidak selamanya membuat orang miskin malas dan bergantung pada negara. Syaratnya, sasaran, kriteria, dan mekanisme harus jelas. Visinya pun harus jangka panjang, bukan sekadar proyek yang sporadis ala BLT kompensasi kenaikan harga BBM.

Pertanyaan lain menyangkut fokus program. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang tersebar hampir di semua departemen/lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi program yang ujung-ujungnya penghamburan anggaran. Akan lebih baik jika penanggulangan kemiskinan dikumpulkan dalam satu lembaga sehingga pelaksanaan program lebih bermanfaat, efektif, dan efisien. Apa yang paling mengkhawatirkan adalah upaya antikemiskinan akan gagal seperti yang sudah-sudah.

Sudah tidak terhitung program dan usaha pemerintah untuk memberdayakan ekonomi rakyat miskin. Tanpa mengecilkan hasilnya, meskipun diklaim jumlahnya menurun, sejatinya jumlah penduduk miskin masih bejibun. Di tengah membaiknya berbagai indikator makroekonomi, kemiskinan tidak juga menurun drastis, gizi buruk masih menjangkiti 2,3 juta jiwa, dan pengangguran masih sebesar 10,4 persen. Pada rentang 2004-2008, anggaran untuk memerangi kemiskinan naik hampir empat kali lipat, tapi angka kemiskinan hanya turun 1 persen. Ini membuktikan kebijakan ekonomi, terutama untuk memberantas kemiskinan, sepanjang empat tahun lebih pemerintahan SBY justru tumpul.

Negara yang mengemban amanat konstitusi untuk menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak justru absen. Negara yang bertindak represif melalui kebijakan pembangunan dengan membiarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan warga berlarut-larut, kata Johan Galtung, berarti negara telah melakukan tindakan kekerasan secara sistematis. Apa yang salah dengan program antikemiskinan? Karena upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan direduksi hanya dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal adalah segala-galanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam: keahlian dan keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi (Suyanto, 1997; Dieter Evers, 1995; Sutojo, dkk, 1994). Menurut Chambers (1987), ada lima ketidakberuntungan pada kelompok rumah tangga miskin, yaitu kerentanan, kelemahan fisik, derajat isolasi, keterbatasan pemilikan aset, dan ketidakberdayaan.

Upaya pemberdayaan warga miskin tidak jauh dari penanganan hal-hal di atas. Pemberian "kail" dan bukan "ikan" sebagai strategi pemberdayaan ekonomi rakyat pun dirasa tidak memadai. Kelompok miskin juga perlu diajari bagaimana cara memancing yang baik. Bahkan ada persoalan mendasar bahwa kelompok miskin yang diberdayakan itu juga perlu dijamin agar "sungai" atau "kolam" yang dipancing tidak keruh dan sustainable. Bagaimana mereka bisa memancing jika kolamnya sudah dikaveling orang lain? Masih banyaknya jumlah warga miskin di era pemerintahan SBY tak hanya menunjukkan presiden terpilih itu gagal memahami kemiskinan, tapi juga gagal memenuhi janjinya. Pemilu presiden memberi harapan baru bagi warga miskin. Tapi, siapa pun presiden terpilih, ketika gagal memahami hakikat kemiskinan, mereka akan gagal menurunkannya.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/12/Opini/krn.20090812.17

Khudori
pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Pancaroba Demokrasi

Oleh: Sigit Pamungkas


Meniti jalan demokrasi bukan sebuah perjalanan yang mudah. Keliru menapakkan langkah mengakibatkan perjalanan menuju demokrasi tidak segera sampai atau bahkan tidak akan pernah sampai sama sekali.

Faktor-faktor obyektif, seperti konflik sipil, radikalisasi daerah, kemiskinan, dan ketimpangan yang akut, terkadang menjadi sebab sulitnya menggapai demokrasi. Faktor-faktor subyektif, seperti libido kekuasaan yang membuncah dan agresivitas modal, juga tidak jarang mengambil peran besar bagi gagalnya meniti jalan demokrasi.

Berbagai fenomena kontemporer memunculkan pertanyaan akan nasib dari jalan demokrasi yang sedang kita tempuh. Apakah kita masih setia di jalan demokrasi atau sedang melangkah ke rute yang lain. Pengamatan sekilas sepertinya kita tidak cukup setia untuk tetap menapaki jalan demokrasi secara baik. Secara perlahan-lahan terjadi pergeseran dari jalur demokrasi ke jalur yang lain.

Benih pembunuh

Pancaroba demokrasi sedang terjadi. Fenomena paling mendasar bagi terjadinya peralihan musim demokrasi adalah adanya ranjau bagi kebebasan berpendapat. Kasus Prita menjadi contoh yang sangat baik betapa ekspresi kebebasan berpendapat dalam bayang-bayang penjara. Secara tidak sadar, kebebasan berpendapat telah menjadi sebuah peristiwa yang berbahaya. Ketakutan menyertai atas setiap pendapat yang dikeluarkan. Sebab, ”penegak keadilan” sudah setia menunggu untuk mengadili dan tentu saja memberi hukuman.

Ketika Orde Baru berkuasa, negara menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat. Pada kasus Prita, kini swasta atau pemilik modal yang menjadi ancaman. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat negara juga akan menjadi predator bagi kebebasan berpendapat. Jika demikian adanya, kebebasan berpendapat akan dijepit oleh negara dan swasta. Tidak ada pembela bagi rakyat kecuali dirinya sendiri. Padahal, kebebasan berpendapat menjadi salah satu fondasi paling penting bagi tegaknya hak-hak politik rakyat lainnya.

Fenomena subordinasi keadilan dan kebenaran atas nama negara hukum menjadi fenomena lain yang menghalangi jalan demokrasi. Peristiwa paling kontemporer adalah terkait dengan putusan MA tentang metode alokasi kursi legislatif. Secara substantif, dapat dipastikan tidak ada argumentasi yang dapat melegitimasi model alokasi kursi ala MA.

Dalam studi tentang pemilu, model alokasi kursi terus mengalami perkembangan untuk mendapatkan formula terbaik dalam mengonversi suara menjadi kursi. Meskipun demikian, tidak satu pun dari formula itu yang memiliki logika yang serupa dengan model penghitungan ala MA.

Anehnya, di tengah pemahaman bahwa putusan MA itu secara substantif keliru, atas nama negara hukum, ada sebagian orang yang mengharapkan putusan itu dieksekusi. Ini sebuah bahaya yang mengancam demokrasi. Cara pandang seperti ini sewaktu-waktu dapat ”dipinjam” untuk melegitimasi kesewenang-wenangan penguasa atau pemilik modal secara rapi. Argumentasinya sama, atas nama negara hukum. Idealnya, hukum semestinya adalah membingkai keadilan dan kebenaran. Ternyata yang terjadi sebaliknya, ketidakadilan dan kepalsuan dibingkai oleh hukum.

Fenomena terakhir yang juga mengakibatkan peralihan musim adalah adanya kecenderungan untuk mengonsentrasikan kekuasaan. Pascapilpres, pemenang pemilu terkesan ingin menyerap kekuatan lawan menjadi bagian dari kekuasaan. Pada saat bersamaan, yang kalah pemilu juga berusaha merapat ke penguasa. Satu kekuatan politik bergerak secara sentripetal, yang lainnya bergerak secara sentrifugal. Gayung bersambut, konsentrasi kekuasaan akhirnya akan menjadi suatu yang tidak terhindarkan.

Dinamika politik di Golkar dan PDI-P menjadi titik penting terjadinya konsentrasi kekuasaan. Arus utama politik Golkar yang kalah dalam pilpres berusaha merapat ke SBY. PDI-P pun, melalui Taufiq Kiemas, juga membuka wacana merapat ke penguasa. Pemenang pemilu juga ingin merengkuh mereka. Jika demikian adanya, check and balances akan hilang. Padahal, check and balances adalah pilar demokrasi yang tidak hanya diperlukan, tetapi sebuah kebutuhan. Situasi itu menjadikan kekuasaan berjalan tanpa kontrol yang efektif. Penyimpangan kekuasaan akan semakin terbuka lebar.

Belum terlambat

Preskripsi tersebut sepertinya sebuah titik ”kecil” yang dapat diabaikan sebagai bentuk pengganggu dari jalan demokrasi. Meskipun demikian, pengalaman sejarah Orba memberi pelajaran betapa berisikonya mengabaikan sesuatu yang kelihatannya ”kecil”. Ketika rezim Soekarno dijatuhkan, terbit mimpi tentang demokrasi. Pada fase awal, gambaran tentang demokrasi seperti begitu nyata. Bayangan kembalinya otoritarianisme hampir tidak muncul.

Setelah beberapa saat berjalan, benih-benih otoritarianisme ternyata bersemi tanpa disadari. Upaya-upaya untuk merapikan ”kekacauan” dari demokrasi dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan. Orba yang semula muncul sebagai antitesis otoritarianisme kemudian berubah wajah menjadi kekuatan antitesis demokrasi.

Masih belum terlambat untuk membersihkan jalan demokrasi dari duri yang melintang. Elite politik perlu berefleksi dan kekuatan prodemokrasi perlu mengkonsolidasikan diri. Jika tidak, sejarah Orba akan direpetisi. Polanya berbeda, tetapi dapat berakhir di ujung yang sama.

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/0511414/.pancaroba.demokrasi


Sigit Pamungkas
Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...