Apakah rahasia keunggulan bersaing Toyota dari kacamata karyawan pesaingnya? Inilah yang dikemukakan seorang karyawan General Motor. Menurutnya keunggulan kompetitif Toyota yang utama adalah Budaya Perusahaan. Temuan ini menarik karena disampaikan bukan oleh manajer puncak, tetapi seseorang yang berada shop floor. Juga bukan oleh para akademisi yang menjelaskan dengan berbagai istilah abstrak.
Sebagai orang produksi selama ini yang tergambar dibenaknya mengenai rahasia keunggulan kompetitif Toyota adalah apa yang sering dilontarkan oleh banyak orang, seperti sistem produksi ramping (lean production system) yang dilandasi oleh just-in-time dan Jidoka (tidak meloloskan produk cacat kepada operasi berikutnya) serta prakondisi pembakuan kerja dan Heijunka (level scheduling). Tetapi dalam pengamatannya dia menemukan rahasia lain yaitu budaya perusahaan, yang menciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan key drivers untuk sistem produksi. Tanpa budaya perusahaan yang mendukung, sistem ini akan mudah ambruk dan tidak berkembang. Budaya perusahaan adalah soft side, sebagai pendukung hard side (struktural, sistem produksi, teknologi, dan desain) untuk memacu kualitas.
Hard side inilah yang sering diperbincangkan dalam percaturan mengenai kualitas. Buku, kuliah, seminar, pelatihan banyak sekali memberi perhatian kepada hard side, tanpa banyak mengalokasikan perhatian secara memadai kepada soft-side, budaya perusahaan. Hal ini juga sering diabaikan di negara kita, sehingga pengetahuan yang cukup memadai mengenai hard side, tidak menjamin kesuksesannya adalam menerapkan manajemen kualitas. Perusahaan-perusahaan Jepang sejak awal, ketika mengadopsi sistem kualitas selalu mempertimbangkan budaya setempat.
Mendapatkan insight mengenai budaya tidaklah mudah karena orang hanya melihat tampilan yang nampak (dalam khasanah budaya perusahaan disebut sebagai artefak), tetapi tidak dapat melihat kedalamannya. Jika kita berkunjung ke berbagai sudut akan tampak kata-kata pajangan yang menampilkan nilai-nilai mereka. Tetapi masalahnya adalah sejauh mana kata-kata diterapkan dalam lingkungan kerja sehari-hari.
Inilah kelebihan mereka, yang sangat menghayati keyakinan dan nilai-nilai bersama. Segala tindakannya mengarah kepada kepuasaan pelanggan yang dibuktikan dengan fokusnya yang ketat terhadap kualitas, yang cerminan ketujuh nilai dasarnya, yaitu customer first, competition and cooperation within our industry, respect for the value of people, mutual trust between employees and management, challenge and courage, applied creativity, and cost consciousness.
Dalama bidang produksi, budaya ini tampak pada saat kita melihat bagaimana anggota tim dalam shop floor, karena merekalah yang mengeksekusi rencana perusahaan dan secara langsung mengintrepetasikan budaya perusahaan sekaligus menerapkan dalam pekerjaan sehari-hari.
Bagaimana persepsi mereka terhadap masalah akan menciptakan problem solving environment yang merupakan cerminan dari nilai-nilai ini. Bagi mereka masalah adalah sebuah kesempatan untuk berkembang dan manager yang buruk adalah orang yang selalu menyatakan no problems. Masalah yang dijumpai ditelusuri dengan mencari akar permasalahan, dieksplorasi melalui pertanyaaan apa yang telah terjadi (what) dan mencari tahu mengapa terjadi (why) dan bukan mencari siapa yang bersalah (who). Bandingkan dengan situasi kebanyakan yang berada di lingkungan perusahaan-perusahaan kita. Masalah adalah sesuatu yang buruk, pertanda manager yang jelek, dan kemudian mencari siapa yang bersalah dan bukan mencari apa yang salah dan mengapa terjadi. Jika perlu malah mencari kambing hitam.
Sebagai aplikasi dari nilai-nilai ini, fokus segala upaya perusahaan diletakkan pada kualitas dan customer driven. Kesuksesan jangka panjang dicapai melalui penciptaan lingkungan, dimana anggota tim mempunyai keyakinan dan nilai-nilai bersama. Gaya manajemen yang diterapkan adalah keterlibatan langsung pihak manajemen yang ditandai oleh seringnya kunjungan kepada shop floor. Harapannya agar dapat melihat masalah di tangan pertama. Tentu saja gaya manajemen ini harus didukung hubungan yang mesra antara pekerja dan manajemen yang sifatnya kooperatif dan perasaan senasib. Kelihatan kok ideal sekali? Tetapi itulah yang terjadi. Dilakukan pula perlakuan kesetaraan diantara anggota organisasi untuk mendukungnya, seperti pakaian seragam dan kafetaria bersama.
Sistem penghargaan merupakan faktor penting dalam budaya perusahaan. Di Toyota penghargaan difokuskan kepada kerja sama, dan proses dianggap sama pentingnya dengan hasil. Sehingga nuansa yang tampak dalam sistem penghargaan adalah team environment. Bandingkan dengan kebanyakan perusahaan di sini yang berfokus pada individu dan hasil, yang bernuansa loner environment.
Dalam berkomunikasi bertumpu pada struktur yang terbuka dengan sesedikit mungkin hambatan sehingga menciptakan lingkungan information sharing dengan budaya konsesus. Bukankah salah satu contoh proses inovatif yang penting dan berhubungan dengan orientasi mutu adalah pengurangan pengambilan keputusan yang salah.
Budaya perusahaan sebagai soft-side selayaknya mendapat perhatian yang seimbang dalam upaya membentuk organisasi yang berorientasi mutu. Budaya yang quality-oriented ini merupakan suatu perjalanan, proses, dan juga cara berpikir.
Selain masalah budaya perusahaan, leadership mesti ikut jadi pertimbangan. Perlu kehadiran pola leadership yang memberi peluang pemberdayaan dan kondusif terhadap timbulnya partisipasi dan inisiatif lini bawah.
Sumber:http://www.jakartaconsulting.com/art-04-10.htm
Sebagai orang produksi selama ini yang tergambar dibenaknya mengenai rahasia keunggulan kompetitif Toyota adalah apa yang sering dilontarkan oleh banyak orang, seperti sistem produksi ramping (lean production system) yang dilandasi oleh just-in-time dan Jidoka (tidak meloloskan produk cacat kepada operasi berikutnya) serta prakondisi pembakuan kerja dan Heijunka (level scheduling). Tetapi dalam pengamatannya dia menemukan rahasia lain yaitu budaya perusahaan, yang menciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan key drivers untuk sistem produksi. Tanpa budaya perusahaan yang mendukung, sistem ini akan mudah ambruk dan tidak berkembang. Budaya perusahaan adalah soft side, sebagai pendukung hard side (struktural, sistem produksi, teknologi, dan desain) untuk memacu kualitas.
Hard side inilah yang sering diperbincangkan dalam percaturan mengenai kualitas. Buku, kuliah, seminar, pelatihan banyak sekali memberi perhatian kepada hard side, tanpa banyak mengalokasikan perhatian secara memadai kepada soft-side, budaya perusahaan. Hal ini juga sering diabaikan di negara kita, sehingga pengetahuan yang cukup memadai mengenai hard side, tidak menjamin kesuksesannya adalam menerapkan manajemen kualitas. Perusahaan-perusahaan Jepang sejak awal, ketika mengadopsi sistem kualitas selalu mempertimbangkan budaya setempat.
Mendapatkan insight mengenai budaya tidaklah mudah karena orang hanya melihat tampilan yang nampak (dalam khasanah budaya perusahaan disebut sebagai artefak), tetapi tidak dapat melihat kedalamannya. Jika kita berkunjung ke berbagai sudut akan tampak kata-kata pajangan yang menampilkan nilai-nilai mereka. Tetapi masalahnya adalah sejauh mana kata-kata diterapkan dalam lingkungan kerja sehari-hari.
Inilah kelebihan mereka, yang sangat menghayati keyakinan dan nilai-nilai bersama. Segala tindakannya mengarah kepada kepuasaan pelanggan yang dibuktikan dengan fokusnya yang ketat terhadap kualitas, yang cerminan ketujuh nilai dasarnya, yaitu customer first, competition and cooperation within our industry, respect for the value of people, mutual trust between employees and management, challenge and courage, applied creativity, and cost consciousness.
Dalama bidang produksi, budaya ini tampak pada saat kita melihat bagaimana anggota tim dalam shop floor, karena merekalah yang mengeksekusi rencana perusahaan dan secara langsung mengintrepetasikan budaya perusahaan sekaligus menerapkan dalam pekerjaan sehari-hari.
Bagaimana persepsi mereka terhadap masalah akan menciptakan problem solving environment yang merupakan cerminan dari nilai-nilai ini. Bagi mereka masalah adalah sebuah kesempatan untuk berkembang dan manager yang buruk adalah orang yang selalu menyatakan no problems. Masalah yang dijumpai ditelusuri dengan mencari akar permasalahan, dieksplorasi melalui pertanyaaan apa yang telah terjadi (what) dan mencari tahu mengapa terjadi (why) dan bukan mencari siapa yang bersalah (who). Bandingkan dengan situasi kebanyakan yang berada di lingkungan perusahaan-perusahaan kita. Masalah adalah sesuatu yang buruk, pertanda manager yang jelek, dan kemudian mencari siapa yang bersalah dan bukan mencari apa yang salah dan mengapa terjadi. Jika perlu malah mencari kambing hitam.
Sebagai aplikasi dari nilai-nilai ini, fokus segala upaya perusahaan diletakkan pada kualitas dan customer driven. Kesuksesan jangka panjang dicapai melalui penciptaan lingkungan, dimana anggota tim mempunyai keyakinan dan nilai-nilai bersama. Gaya manajemen yang diterapkan adalah keterlibatan langsung pihak manajemen yang ditandai oleh seringnya kunjungan kepada shop floor. Harapannya agar dapat melihat masalah di tangan pertama. Tentu saja gaya manajemen ini harus didukung hubungan yang mesra antara pekerja dan manajemen yang sifatnya kooperatif dan perasaan senasib. Kelihatan kok ideal sekali? Tetapi itulah yang terjadi. Dilakukan pula perlakuan kesetaraan diantara anggota organisasi untuk mendukungnya, seperti pakaian seragam dan kafetaria bersama.
Sistem penghargaan merupakan faktor penting dalam budaya perusahaan. Di Toyota penghargaan difokuskan kepada kerja sama, dan proses dianggap sama pentingnya dengan hasil. Sehingga nuansa yang tampak dalam sistem penghargaan adalah team environment. Bandingkan dengan kebanyakan perusahaan di sini yang berfokus pada individu dan hasil, yang bernuansa loner environment.
Dalam berkomunikasi bertumpu pada struktur yang terbuka dengan sesedikit mungkin hambatan sehingga menciptakan lingkungan information sharing dengan budaya konsesus. Bukankah salah satu contoh proses inovatif yang penting dan berhubungan dengan orientasi mutu adalah pengurangan pengambilan keputusan yang salah.
Budaya perusahaan sebagai soft-side selayaknya mendapat perhatian yang seimbang dalam upaya membentuk organisasi yang berorientasi mutu. Budaya yang quality-oriented ini merupakan suatu perjalanan, proses, dan juga cara berpikir.
Selain masalah budaya perusahaan, leadership mesti ikut jadi pertimbangan. Perlu kehadiran pola leadership yang memberi peluang pemberdayaan dan kondusif terhadap timbulnya partisipasi dan inisiatif lini bawah.
Sumber:http://www.jakartaconsulting.com/art-04-10.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya