Jumat, 30 Oktober 2009

Pemuda daripada Bapakisme

Oleh: J.J. Rizal


Ada yang bilang pemuda adalah resep paling mujarab buat bangsa yang sedang ketiban krisis. Sudah 11 tahun lebih Indonesia kena krisis. Berbagai eksperimen penyembuhan dicoba. Tapi sampai kini tak bisa dengan mantap dikatakan Indonesia sudah benar-benar keluar dari krisis. Karena itu, jangan kaget kalau belakangan langit Indonesia makin disesaki suara agar pemuda tampil. Saatnya alih generasi.

Ada kesadaran perlu segera ada kebangkitan pemuda sebagai kekuatan pencerah di masa gawat. Sejumlah politikus menyikapi ini dengan berlomba memajukan anak mereka. Tak sedikit pula yang memahami muda dalam logika "patung menawan". Atau regenerasi itu sel baru, daging segar. Karena itu, pemain sinetron, model, dan penyanyi pun diunggulkan masuk politik kekuasaan. Tetapi siapakah sesungguhnya pemuda itu?

Muda, maju, dan sadar
Berkatalah Kiekergard, "Hidup dilalui ke depan, tapi dipahami ke belakang." Memahami pemuda pun mesti menengok ke belakang. Nasionalisme, revolusi, dan kemerdekaan adalah kacamata sejarah yang akan menuntun orientasi berpikir dalam menemukan pemuda. Sebab, nasionalisme, revolusi, dan kemerdekaan itulah yang telah—seperti kata Chairil Anwar--"menyediakan api" bagi pemuda bertindak sebagai splendor varitatis, orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan gemerlap cahaya kebenaran.

Ben Anderson, dalam telaah mengenai Sutomo dari Budi Utomo, menilai, guna menguatkan citra diri, pemuda memakai kias yang bersifat terang bukan saja sebagai simbol, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik, dan perbedaan generasi. Wajar jika, dalam publikasi, pemuda di awal kebangkitan terus diwarnai teriak lantang paradoks kata: muda/tua, maju/kolot, dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, pemuda telah sampai kepada tingkat pertumbuhan kesadaran yang fundamental tentang perubahan. Alhasil dua dasawarsa pertama abad ke-20 pergerakan Indonesia diliputi semua sifat muda, maju, dan sadar.

Setelah 20 tahun pertama abad ke-20 itu, yang disebut "the decade of identities", sifat muda, maju, dan sadar mencapai bentuk ideologisnya yang paling matang. Bahkan periode tahun 1920-an, yang sohor dikenal sebagai "the decade of ideologies", oleh tokoh sentralnya, Soekarno, disebut "zaman muda, zaman perjuangan Indonesia muda". Muda tak sekadar usia biologis mereka rata-rata dua puluhan, bahkan belasan, tapi juga psikis dengan pemikiran dan kejiwaan yang diliputi semangat merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat.

Dari foto sezaman memang terlihat betapa muda dan dandy generasi dasawarsa ideologi ini. Tapi dari tulisan yang ditinggalkan tampak betapa keras, tajam, dan eksplisit tujuan pemikiran politiknya. Ide masyarakat baru dan kemajuan yang dianggit bukan saja mengental, seperti tecermin dengan mulai ditanggalkannya identitas etnis dan kian ramai pemakaian sebutan Indonesia serta nasional yang memuncak pada Sumpah Pemuda 1928. Namun, diikuti pula dengan perdebatan ideologis yang melandasi perjuangan dan bangsa yang diangankan. Saat itulah mayoritas pemuda dijangkiti--seperti kata Hannah Arendt--semangat revolusi: "semangat baru dan semangat bermulanya sesuatu yang baru". Cuma dengan revolusi transformasi akan tercapai.

Sejalan dengan Tan, bagi Soekarno, penggalangan kekuatan (machtsforming) adalah jalan membangkitkan kesadaran revolusioner rakyat. Sebaliknya Hatta, setelah menggedor via Manifesto Politik 1925 yang menjadi tonggak nasionalisme Indonesia, ia dan Sjahrir berpangkal pada konsep umwertung aller werte (menjebol semua nilai), memulai revolusi dengan jalan pendidikan kader (kadervorming) politik untuk mengantar massa rakyat mengubah "daulat tuanku" menjadi "daulat rakyat". Di sisi lain, Thamrin menempuh jalur kooperasi, tapi tak berarti ia meninggalkan ide revolusi. Bukankah pemerintah kolonial mencapnya "hantu kiri"? Sebab, ketika pemerintah makin represif terhadap gerakan nonkooperasi, ia lewat Volkraad malah melancarkan gerakan radikal yang sukar dibendung.

Saat itu satu sama lain bisa berselisih paham, tapi semua kian bertolak dari kesadaran kebangsaan. Terlebih penting, mereka sebagai pimpinan minoritas kreatif yang terdiri atas pemuda-pemuda cerdas nasionalis telah membawa subkultur politik antikolonial, termasuk counter ideology kolonial, bukan hanya jadi dominant culture, tapi juga jadi kultur politik nasional yang menggantikan kultur politik kolonial dan memuncak pada proklamasi kemerdekaan.

Fortiter in re
Dari kilas balik, sukses pemuda terletak pada political will pemuda itu sendiri dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Ada subyektivitas di sini, tapi lahir dari panggilan yang universal. Melewati yang nafsi-nafsi. Lahirlah pergerakan. Dalam konteks itu pada mereka ada keberanian moral menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan perjalanan panjang penuh rintangan.

Pemuda intelek sebagai komunitas politik memang minoritas, tapi minoritas kreatif, karena mereka punya cakrawala berpikir luas dan visi jauh ke depan. Ide nasionalisme yang diemban serta visi yang melekat di dalamnya sekaligus menuntut mereka bertindak menjadi ujung tombak gerakan. Implikasi logisnya, berperan antagonistis terhadap kolonialisme. Nyalalah gelora keberanian, militansi. "Jangan takut," kata H.M. Misbach. "Jebol, bongkar," kata Soekarno.

Kalau pemuda terlihat liar dan memberontak, itu karena mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali gerakan protes atau gerakan sosial sebagai wahana utama membongkar institusi dan struktur masyarakat lama serta membangun yang baru. Kaum protagonis punya moral commitment buat melakukan ide itu. Karena itu, mereka datang dengan fortiter in re atau kekuatan keyakinan, bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil, politik adalah perjuangan, bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah nilai dan kewajiban itu dapat dijalankan, bila perlu dengan mengorbankan diri. Di sinilah terletak nilai kepemudaan yang historis.

Pemuda ponggol
Penjelasan sejarah memberi sense of continuity pada masa kini. Jelas pemuda yang muncul sekarang terlepas dari pemuda yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa. Pinjam telaah Anton Lucas, yang muncul "pemuda-pemudaan". Mereka muda, tapi tak lekat pada dirinya nilai dan semangat revolusioner. Sebab, mereka lahir dari tradisi politik bapakisme atau politik-kekeluargaan (politico-familial) Soeharto yang terus hidup, bahkan mewabah dalam arti ideologis maupun biologis. Di sini menguat lagi tradisi politik Indonesia tradisional yang bersifat elitis, seakan-akan cuma sekelompok orang dapat memutar as dunia politik Indonesia. Sekaligus mulailah dibentuk tradisi politik keluarga, yang menurut Ong Hok Ham sebenarnya tak dikenal dalam sejarah politik Indonesia, juga ditentang Soekarno-Hatta karena menyuburkan feodalisme, irasionalitas, dan budaya profitur.

Dalam konteks itu, menyimak suara-suara alih generasi kini seperti mendengar gema sajak "zaman gelap" Ronggowarsito menjelang kematiannya pada 1873. Beruntung, setelah 35 tahun penyair itu wafat, muncul para pemuda bergelora hati penggugat yang menyibak kegelapan dan menggantinya dengan terang. Tapi kini rakyat belum beruntung dengan harapan akan tampilnya pemuda pembawa terang.

Rakyat kudu puas hanya dengan sejenis pemuda zaman revolusi yang sohor disebut "pemuda ponggol", ia tergugah bergerak karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Juga "pemuda-pemudaan" yang tak bebas dari pengaruh bapakisme dan tak berpikir buat memaksa "bapak" bertindak sesuai dengan keinginan mereka, seperti sejatinya pemuda. Jenis jinak, tak menggugah, yang disebut Saya Shiraishi dalam Indonesia Family in Politics sebagai pemuda daripada bapakisme yang tetap tinggal sebagai persoalan dan kekuatan penting kekuasaan dekaden karena cuma bisa membebek, wek-wek-wek.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/28/Opini/krn.20091028.18

J.J. Rizal
PENELITI SEJARAH DI KOMUNITAS BAMBU

Sumpah (untuk) Pemuda

Oleh: Fadly Rahman



Delapan puluh satu tahun silam, tepatnya pada 28 Oktober, para pemuda Indonesia bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Mereka adalah para pemuda yang gelisah akan nasib Tanah Air-nya. Kegelisahan mereka itulah rahim yang melahirkan bayi Indonesia.

Politik etis

Sebelum ikrar—yang kini dikenal sebagai Sumpah Pemuda itu—dicetuskan, tindak tanduk para pemuda awal abad ke-20 begitu menegangkan Pemerintah Hindia Belanda. Aktivitas politik para pemuda menghadapi pengawasan ketat melalui Politieke Inlichtingen Dienst (PID, semacam dinas intelijen politik Hindia Belanda). Tulisan bernapas politik hingga rapat perkumpulan pribumi mendapat sensor.

Pemerintah Hindia Belanda harus menelan ludahnya sendiri. Pasalnya, salah satu poin kebijakan politik etis pemerintah adalah mengembangkan pendidikan di tanah jajahan. Hal ini berdampak buruk bagi keamanan dan ketertiban Hindia. Para pemuda yang mengenyam pendidikan Barat, yang sebelumnya diharapkan menjadi tenaga terdidik untuk ditempatkan di kantor-kantor pemerintah, justru kian menyadari kebangsaannya dan menuntut kemerdekaan. Mereka sadar, menjadi abdi pemerintah berarti kian meneguhkan eksistensi politik kolonial.

Selain itu, embrio kebangsaan yang semula muncul dari organisasi bersifat kedaerahan, seperti Boedi Oetomo (1908) serta sederet perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, dan Jong Batak, terkikis keinginan untuk bersatu. Mereka sadar, para agen kolonial memecah belah pribumi dengan menanamkan identitas etnik. Tujuannya, agar tidak terjadi persatuan di tanah koloni. Kesadaran pemuda ini, sebagaimana disebut filsuf Ernest Renant, merupakan hasrat hidup bersama.

Rajin membaca

Hasrat para pemuda itu dilandasi pendidikan sebagai senjata untuk menekuk kolonialisme Belanda. Ungkapan ”pengetahuan adalah kekuatan” yang disuarakan Francis Bacon nyata dinikmati para pemuda semisal Soekarno, Moh Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moh Yamin. Penguasaan mereka terhadap bahasa asing membuat mereka rajin membaca karya-karya besar.

Sjahrir yang membaca Immanuel Kant, Karl Marx, John Stuart Mill, hingga Ortega Y Gasset membawanya pada benang merah, ”Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisme Barat, Timur tidak lagi memerlukan mistisisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita”.

Di tangan pemuda, bekal pengetahuan dan rasionalisme Barat yang mereka pelajari itu benar-benar menjadi bumerang bagi kolonialisme Belanda di Indonesia, seperti terjadi di tanah jajahan lain (misal Gandhi di India, Jose Rizal di Filipina, dan Sun Yat Sen di China).

Tidak ada dan tidak perlu ada kekuatan fisik dan senjata. Para pemuda menyadari, aneka gerakan sosial tidak terorganisasi yang banyak terjadi pada masa-masa sebelumnya, akhirnya tumpas di tangan militer kolonial. ”Senjata” pemuda pada masanya adalah pemikiran yang lahir dari ujung-ujung pena.

Seperti diucap ”bunga akhir abad ke-19”, Kartini, melalui kumpulan surat yang dibukukan Door Duisternis tot Licht, ”banyak, segalanya dapat diambil dari diri kita, tetapi bukan pena saya. Pena tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu; Saya dapat menyeret dengan pena saya, jika mencelupnya dalam darah jantung saya.” Ketajaman pikiran yang dimiliki Kartini terus merambat hingga awal abad ke- 20, saat kepekaan dan kemelékan para pemuda/pemudi terhadap isu-isu politik kolonial di dalam dan luar negeri kian terasah.

Suatu saat, Hatta muda menulis esai, Hindania! Esai itu bertutur tentang seorang janda kaya bernama Hindania. Ia menyesal menikah dengan Wollandia. Suami barunya itu mengeruk habis harta Hindania. Alegori dalam esai Hatta itu membuat pemerintah gelisah dan tak mengira seorang pribumi muda mampu menulis sarkasme seperti itu.

Tak cukup dengan pena. Para pemuda mengorganisasi diri melalui berbagai perkumpulan politik, hal yang mengingatkan pada apa yang diteriakkan seorang orator terhadap Jurgis dalam penutup novel Upton Sinclair, The Jungle: ”Organize! Organize! Organize!” Hanya dengan konsolidasi politik yang terorganisasi, jalan menggapai persatuan terwujud. Bisa dibayangkan saat senjata pena anak muda Indonesia kian tajam oleh pertemuan antarpemikiran rekan sebaya.

Melalui organisasi, mereka yang semula membuka album Indonesia. Bermula saat perkumpulan Indische Vereniging (1908) dibangun para mahasiswa Indonesia di Belanda, anak-anak muda kian intens terlibat persoalan politik.

Wilayah Hindia yang pernah disebut oleh George Samuel Windsor Earl dengan Indu-nesian (1850), Indonesians oleh James Richardson Logan (1863), dan Adolf Bastian dengan Indonesien (1884), mulai dikukuhkan secara politik oleh para pemuda pada awal abad ke-20, mengganti kata Indische yang dirasa berkonotasi labelisasi buatan kolonial dengan nama: Indonesia. Maka, nama Indische Vereniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (1922); disusul organisasi lain seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1926), Partai Nasional Indonesia (1928), dan Indonesia Muda (1930).

Mereka adalah para pemuda yang tercerabut dari masa-masa yang—semestinya—mengalami keingarbingaran hedonisme lazimnya jiwa-jiwa muda. Sungguh mereka ”tidak normal”. Saat anak-anak muda berdansa-dansi di societeit, mereka berjibaku dengan buku dan pena, memikirkan sebuah bangsa yang dicita-citakan, kelak. Semestinya, pemuda yang hidup masa kini, iri dengan jiwa-jiwa muda seperti itu seraya membayangkan: andai kita hidup sezaman dengan mereka.

Delapan puluh satu tahun silam, para pemuda bersumpah untuk bangsanya. Kini, bagaimana rupa kegelisahan kita memikirkan bangsa ini; atau giliran kita bersumpah untuk menjaga sumpah para pemuda itu, mereka yang telah mewariskan sebuah bangsa bernama: Indonesia.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/28/04312527/sumpah.untuk.pemuda


Fadly Rahman Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Rabu, 28 Oktober 2009

YAHUKIMO DAN KEGAGALAN NEGARA

Oleh: Endang Suryadinata


Negeri ini memang penuh ironi. Di Jakarta atau Surabaya, terlebih pada Lebaran yang baru lalu, pasti banyak sekali makanan, malah berlebihan. Tetapi di ujung timur negeri ini, tepatnya di Yahukimo, 92 orang dikabarkan tewas karena kelaparan pada pertengahan September 2009. Ini merupakan bencana kelaparan kedua di tempat yang sama, karena pada 2005 hal ini sudah pernah terjadi.

Dalam hal kelaparan ini, yang paling pantas disalahkan sebenarnya adalah sistem ekonomi dan pengelolaan negara yang amburadul. Ada yang bilang, ketika bencana kelaparan pada 2005, warga Yahukimo yang biasa makan sagu diberi beras. Akhirnya mereka bergantung pada beras, sementara mereka tidak diajari bagaimana menanam padi.

Mengapa pemerintah lebih layak dipersalahkan dalam kasus kelaparan ini? Sebab, dari sistem ekonomi kolonial di awal berdirinya negeri ini hingga sistem ekonomi neoliberal dan kapitalis saat ini, semua hanya menguntungkan segelintir elite, sehingga mereka bisa makan dan berpesta-pora tiada henti hingga tujuh turunan. Sementara itu, “wong cilik”, seperti warga Papua, kian merasakan “elit” alias ekonomi sulit. Harga bahan kebutuhan pokok pun semakin mencekik.

Revrisond Baswir menyebutkan, kekuatan neoliberalisme kini sudah merongrong perekonomian kita. Neoliberalisme menganjurkan persaingan dan pasar bebas, tapi dengan apa lagi warga miskin seperti dari Papua akan bisa bersaing? Orang kaya dengan uang Rp 5 miliar yang didepositokan bisa mendapat bunga Rp 25 juta per bulan.

Bantuan langsung tunai, yang sudah dikucurkan pada masa lalu, justru kian memperlemah orang miskin. Kehendak menolong diri sendiri menjadi lemah. Padahal, menurut Bank Dunia, separuh penduduk negeri ini sudah masuk kategori miskin, mengingat standar hidupnya kurang dari US$ 2 per hari.

Kaum miskin, khususnya para nelayan, petani, dan penganggur (termasuk penganggur terdidik lulusan S-1 atau S-2 yang jumlahnya jutaan), kini hanya bisa “nelangsa”. Mereka tidak pernah bisa menikmati berkah dari berlimpahnya kekayaan alam negeri ini. Memang, kalau berbicara kekayaan alam negeri ini, boleh jadi kita akan kian “nelangsa”. Betapa tidak, dari ikan-ikan di laut, beraneka tambang emas, hingga kayu dan hutannya, yang punya bukan wong cilik lagi. Wong cilik tidak pernah merasakan kekayaan alam itu. Semua sudah tergadai kepada kekuatan asing, sebagaimana diungkapkan oleh Amien Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!’( PPSK Press,). Ironisnya, para wakil rakyat, yang seharusnya memperjuangkan kekayaan alam itu untuk rakyat, malah rela disuap.

Ironi ini sungguh getir, karena orientasi para wakil rakyat tetap saja hendak memperkaya diri sendiri, di tengah kesengsaraan kaum miskin. Lihat saja, biaya untuk pin per anggota DPR/DPRD baru saja Rp 5 juta, seragam Rp 5 juta, dan biaya pelantikan miliaran rupiah. Bahkan, di Jawa Timur, begitu dilantik, anggota Dewan langsung gajian (Jawa Pos, 1 September 2009). Menjadi anggota Dewan ternyata bukan untuk membawa perubahan, melainkan hanya melanjutkan paradigma lama, yakni menikmati betapa empuknya kursi kekuasaan. Tak peduli rakyat yang diwakili sedang menderita!

Sedangkan para aparat hukum dan polisi, yang seharusnya menegakkan keadilan, justru tak pernah berpihak kepada orang kecil, dan kini keberadaan KPK pun diperlemah secara sistemik. Para koruptor bersatu guna mempertahankan cara hidup kotor di atas penderitaan dan rakyat yang lapar. Kesenjangan sosial pun kian menganga. Padahal, kalau orang mau kembali ke ekonomi Pancasila, kesenjangan sosial yang amat lebar itu bisa dihindari, karena ekonomi Pancasila mencoba membuat keseimbangan antara ekonomi neoliberal yang cenderung individualistik dengan ekonomi Marxian yang bersemangat kolektif. Dalam hal ini, kita tentu sependapat dengan ekonom Ahmad Erani Yustika dari INDEF, yang mengatakan bahwa keadilan sosial harus jadi tolok ukur ke depan.

Selama keadilan sosial terus diabaikan, bahkan ide keadilan sosial dianggap basi, ini sama saja dengan menanam bom waktu. Kita tahu negeri ini bersifat heterogen, baik dari sisi agama, suku, maupun golongan. Harmoni antarwarga bangsa sangat ditentukan oleh seberapa jauh kesejahteraan bisa dinikmati semua golongan. Ketidakadilan yang dirasakan kaum miskin bisa mendatangkan beragam masalah sosial, dari stres, bunuh diri, tindak kriminal, hingga konflik sosial seperti konflik antardesa.

Bung Karno pernah berpidato bahwa selama banyak orang miskin, seperti dalam kasus Yahukimo ini, pemerintah sesungguhnya menjadi pihak yang paling gagal dalam menjalankan amanat Pancasila, karena Pancasila juga menitikberatkan pada kesejahteraan bersama.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/10/20/Opini/krn.20091020.17

Endang Suryadinata
Penulis, tinggal di Belanda

Kabinet di Mata Rakyat

Oleh: Heru Nugroho


Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu 2009 yang dilakukan pasangan SBY-Boediono menuai sejumlah wacana kritis. Pembentukan kabinet lebih diwarnai nuansa balas jasa partai-partai politik yang mendukung koalisi SBY-Boediono daripada profesionalisme individu menteri yang diangkat.

Sikap seperti itu diperkirakan akan menghasilkan kepemimpinan konservatif yang lebih mendorong terbentuknya stabilitas politik daripada kesuksesan program pembangunan. Akibatnya, banyak posisi menteri yang tidak sesuai rekam jejak keahlian person-person yang mendudukinya. Karena bernuansa bagi-bagi kue kekuasaan dan stabilitas politik, diprediksi kabinet itu tidak akan berjalan baik. Bahkan, akan ada reshuffle kabinet segera setelah 100 hari kerja.

Itu adalah wacana yang dikembangkan elite politik, pengamat, ahli, aktivis, insan universitas, dan lainnya yang memiliki akses ke media, termasuk yang mengkritik secara jujur, mereka yang tidak dapat jatah menteri, atau mereka yang jengkel terhadap SBY karena kecewa masa lalu. Namun, perlu diingat, wacana pergantian kabinet dari sisi rakyat (wong cilik) hampir tidak muncul di media. Padahal, wacana itu menyangkut nasib mereka. Bagaimana wacana pembentukan kabinet versi wong cilik? Apa harapan mereka terhadap Kabinet Indonesia Bersatu 2009?

”Wong cilik” soal kesejahteraan

Fakta menunjukkan, rakyat juga mengikuti wacana pembentukan kabinet (terutama) melalui televisi. Mereka juga membicarakan hal itu dengan logika dan bahasa awam, bahasa sehari-hari.

Namun, karena masalah komodifikasi isu dan pertarungan ekonomi politik media, isu-isu yang diusung rakyat kurang menarik dan tidak terekspos di media. Ironisnya, apa yang dibincangkan rakyat justru menjadi subyek politik representasi dalam wacana pembentukan kabinet itu meski secara nyata rakyat tidak terlibat. Contoh, kabinet itu mengusung isu peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi di media tidak pernah terungkap kesejahteraan versi rakyat yang betul-betul diwacanakan oleh wong cilik.

Jika mengikuti perbincangan wong cilik (petani, buruh, tukang becak, pengemis, penganggur, dan lainnya) dalam berbagai komunitas mereka, sebetulnya yang diharapkan dari kabinet adalah perubahan nasib. Rakyat tidak peduli bagaimana komposisi kabinet. Itu adalah produk perjanjian politik atau penempatan orang profesional karena yang penting, kabinet menghasilkan perubahan kesejahteraan yang nyata bagi rakyat.

Hasil pertarungan politik Pemilu 2009 yang menghasilkan kabinet saat ini, yang dalam bahasa mereka para pihak yang berkelahi berebut kursi kekuasaan (gelut pating penthalit) dengan mengatasnamakan rakyat (ancik-ancik wong cilik), harus dibayar dengan perbaikan kesejahteraan rakyat yang riil.

Komposisi kabinet semacam apa pun jika tidak bisa menghasilkan harga-harga bahan kebutuhan pokok, pendidikan, dan pelayanan publik yang terjangkau tak akan bermakna bagi rakyat. Contoh, pemerintah harus bisa menurunkan harga minyak goreng yang masih bertengger pada Rp 9.600, padahal dulu Rp 8.000. Harga gula pasir melonjak dari Rp 7.000 ke Rp 8.000. Dan kini, amat mustahil mendapat beras Rp 4.500 per kilogram karena kini sudah menjadi Rp 5.500.

Selain itu, kebijakan subsidi pendidikan terasa tidak logis karena hanya menyubsidi SD dan SMP. Logikanya, semakin tinggi jenjang pendidikan, seharusnya subsidi justru kian banyak. Jika pemerintah ingin mengubah nasib rakyat, subsidi bagi rakyat untuk masuk jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi justru harus lebih besar dari pendidikan sebelumnya, tidak terbalik seperti saat ini.

Bagi petani, kesulitan mendapatkan pupuk menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius memperbaiki kesejahteraan petani. Pupuk harus dibeli melalui kelompok tani yang ditunjuk pemerintah dan dijatah sesuai kebutuhan. Kedatangan pupuk pun sering terlambat, membuat jadwal tanam bergeser, tidak pas dengan musik. Akibatnya, panen pun tidak optimal.

Selain itu, harga konsentrat untuk ternak juga melambung, membuat petani tidak bisa maksimal dalam menggarap sektor peternakan. Akibatnya, sektor itu hanya menjadi media subsistensi yang memperparah proses pemiskinan.

Menurut mereka, yang kini dibutuhkan adalah perluasan lapangan kerja secara riil dan bukan bantuan langsung tunai yang membuat rakyat kian tergantung dan menumbuhkan mentalitas berharap (njagagke). Akibatnya, hal ini berdampak rentan terhadap politisasi isu kesejahteraan untuk kepentingan politik sesaat.

Harapan rakyat

Mengingat rakyat sudah terlalu lama tertekan, hidup dalam impitan kemiskinan berkelanjutan, diberi janji tetapi selalu diingkari, dan selalu hanya menjadi subyek representasi politik dalam berbagai kebijakan pemerintah baik pada era otoriter maupun demokratisasi, maka kesadaran, pandangan, dan harapan mereka menjadi sangat pragmatis.

Mereka merindukan datangnya suatu zaman ketika bahan kebutuhan pokok, pelayanan kesehatan, dan pendidikan dapat dijangkau wong cilik. Dalam pandangan mereka, sistem demokrasi atau otoriter tidak penting. Yang mendasar adalah bagaimana rakyat bisa hidup layak. Karena itu, jika kabinet sekarang tidak mampu mewujudkan harapan peningkatan kesejahteraan rakyat, kabinet ini gagal meyakinkan rakyat bahwa demokrasi adalah jalan terbaik untuk semuanya.

Maka akan logis jika dikatakan, baik pemerintahan Orde Baru maupun pemerintahan SBY-Boediono sama-sama terperosok ke dalam model pemerintahan yang lalim. Perbedaannya, rezim Orba memolitisasi kesejahteraan sosial dengan mengorbankan demokrasi, pemerintahan SBY memolitisasi demokrasi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/27/05390433/kabinet.di.mata.rakyat


Heru Nugroho
Guru Besar Sosiologi UGM<

Menabur Bibit di Tanah Peramu

Oleh: Aryo Wisanggeni G


Musyawarah Besar Masyarakat Adat Malind Anim I—pertemuan adat sederhana di bawah beberapa lembar terpal— menghasilkan keputusan "mengejutkan". Para tetua adat Suku Malind Anim, suku asli di Kabupaten Merauke, menolak rencana pembukaan 1,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Merauke.

Keputusan "mengejutkan" itu sudah diprediksi banyak pihak. Perkiraan itu pula yang membuat Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten Merauke enggan hadir dalam Mean Ka, demikian orang Malind Anim menyebut pertemuan adat di Saror, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, itu.

Jati diri orang Malind—salah satu suku di Papua yang masih mengandalkan perburuan dan menokok sagu untuk mencari makanan—sangat dipengaruhi alam. Selama ribuan tahun kekayaan hutan ulayat Malind membuat hidup mereka berkelimpahan. Sagu di mana-mana, saham (kanguru kecil) dan rusa berlarian, burung pun berkicau di sekitar kampung adat, ikan melimpah.

Lebih dari dua puluh tahun lalu, sebuah sentakan budaya terjadi ketika lebih dari 48.000 ha hutan ulayat dibuka menjadi sawah bagi para transmigran. Merauke memang tumbuh-berkembang, namun bagi keuntungan siapa pertumbuhan itu terjadi masih pertanyaan besar. Di sisi lain, orang Malind tidak hanya kehilangan hutan sagu, burung cenderawasih, atau rusa mereka. Lebih dari itu, para tetua adat Malind harus melihat anak adat Malind yang melupakan nilai adatnya.

"Anak adat sekarang bisa menjual tanah yang bukan hak ulayat mereka. Pranata adat rusak. Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Aturan adat tidak lagi dihargai, padahal selama ratusan tahun nenek moyang kami dikaruniai kebijaksanaan dari Tuhan untuk menjaga keseimbangan alam," kata Wakil Ketua I LMA Malind Anim, Kabupaten Merauke, Alberth Onoka Gebze Moyuend.

Kini Moyuend dan 118 tetua adat dari Wilayah Adat Malind Sembali, Malind Mulianim, dan Malind Kima-kima mencemaskan nasib orang Malind Anim menghadapi sentakan budaya berikutnya, pembukaan jutaan hektar kebun sawit. Sebuah kecemasan yang beralasan lantaran pemerintah telah memetak-metak 1,3 juta ha dari 4,4 juta ha total luas wilayah Kabupaten Merauke bagi pembukaan kebun baru kelapa sawit.

Dari 31 investor yang "memiliki jatah" di Merauke, tiga di antaranya telah mengantongi rekomendasi dari Gubernur Papua untuk mengurus izin pembukaan hutan dari Departemen Kehutanan. Ketiganya adalah PT Bio Inti Agrindo, PT Papua Agro Lestari (masing-masing untuk pembukaan 39.000 ha perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Ulilin), dan PT Dongin Prabhawa untuk 39.000 ha di Distrik Okaba.

"Ini semua terlalu terburu. Apakah masyarakat adat kami yang peramu dan pemburu siap menjadi pekerja kebun sawit? Tidak ada orang yang lahir langsung berlari. Kami masih hidup di hutan, sepenuhnya mengambil bahan makanan sehari-hari dari hutan. Kalau hutan ulayat kampung tertentu habis dijadikan kebun sawit, warga kampung itu tidak bisa berburu di tempat lain. Ini bisa menimbulkan konflik horizontal di antara kami," kata Moyuend.

Apa yang ditakutkan Moyuend dan 118 tetua adat Malind Anim sudah terjadi di belahan Papua yang lain. Jakob Tekam, warga Kampung Sawetami, kini hanya merenungi 6.000 ha kebun kelapa sawit Perkebunan Inti Rakyat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II di Kabupaten Keerom, Papua, yang menurutnya tidak menghasilkan apa-apa.

Tekam ingat tahun 2003 panenan sawitnya dihargai Rp 710 per kilogram oleh PTPN II. "Kini harga sawit hanya berkisar Rp 500 per kilogram. Padahal, ongkos menyewa truk pengangkut sawit Rp 400.000 sekali jalan. Upah petik sawit buruh harian lepas per tandan Rp 2.000. Belum lagi harga pupuk yang mahal," kata Tekam.

Keuntungan 2 ha kebun sawit lebih kecil daripada pendapatan buruh petik yang bisa mencapai Rp 250.000 per hari. Akan tetapi, alih-alih menjadi buruh petik sawit di kebun orang, memetik sawit di kebun sendiri pun Tekam enggan.

"Memanen sawit pekerjaan berat. Kepala harus mendongak, sementara tangan memegang tongkat pemotong tandan. Saya tidak kuat. Yang kuat adalah para transmigran atau orang Wamena (dari ibu kota Kabupaten Jayawijaya yang secara tradisional memiliki budaya berkebun). Saya lebih baik menokok sagu dan berburu," kata Tekam.

Tetapi tidak semua warga asli Arso bisa hidup berkecukupan pangan seperti Tekam, lantaran ladang perburuannya telah menjadi kebun sawit.

"Warga Kampung Workwana misalnya, sebagian besar hak ulayatnya telah menjadi kebun sawit. Karena hutan yang sangat terbatas, permukiman di Kampung Workwana tidak bisa diperluas. Satu rumah di Workwana bisa ditempati 5 KK. Mereka tinggal berdesakan. Makan pun sulit karena adat melarang orang berburu di tanah ulayat orang lain," kata Ketua Persekutuan Gereja Papua Wilayah Keerom Pastor Wilhelmus Sinawil Pr.

"Ini semacam salto mortale, salto yang mematikan. Tanpa proses evolusi yang runtut—dari peramu menjadi peladang, petani sawah—langsung saja mereka dipaksa masuk ke dalam sistem industri perkebunan. Mereka yang gagal akan tersisih," kata Pastor Wilhelmus.

Data Papua dalam Angka 2006 menyebutkan total luas kebun sawit di Papua hanya mencapai 14.218 ha. Data Dinas Perkebunan Provinsi Papua mencatat hingga 2006 sekitar 4.500 ha di antaranya tidak produktif lantaran pohonnya sudah berusia lanjut, seperti yang terjadi pada kebun Tekam.

Sayangnya, para pengambil kebijakan yang tengah demam biofuel belum pernah mengevaluasi kondisi perkebunan sawit yang telah ada. Membuka hutan menjadi kebun kelapa sawit baru lebih mengedepan sebagai "solusi mencari sumber energi yang ramah lingkungan".

Papua memiliki 31,7 juta ha hutan, namun hutan yang paling diminati untuk disulap menjadi lahan sawit adalah hutan di kawasan pesisir. Padahal, justru di kawasan pesisir itulah ratusan suku subsisten, seperti orang Malind Anim dan Arso, hidup bergantung pada alam.

Selain tiga surat rekomendasi yang telah diterbitkan Gubernur Papua, ada dua investor perkebunan kelapa sawit yang justru sudah mengantongi izin usaha perkebunan (IUP). Staf ahli Gubernur Papua, Agus Sumule, menjelaskan, PT Tandan Sawita dari Rajawali Group mengantongi IUP 26.300 ha sawit di Kabupaten Keerom. Sementara PT Pusaka Agro Lestari mengantongi IUP 39.000 ha sawit di Kabupaten Mimika.

"Setiap izin usaha perkebunan akan diberikan dengan sangat hati-hati. Gubernur Papua sudah memutuskan bahwa setiap tipe hutan di Papua didedikasikan untuk menyelamatkan bumi dan masa depan kemanusiaan—termasuk melalui pengembangan industri bahan bakar-bio atau green energy secara hati-hati," kata Sumule.

Di sisi lain, World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia mencatat Merauke sebagai bagian dari 10,12 juta ha kawasan TransFly, sebuah kawasan yang penting bagi konservasi 2 juta ha hutan untuk konservasi air tawar di Papua selatan.

"Harus diingat bahwa di Merauke tidak terdapat mata air, dan semua kehidupan bergantung pada air sungai. Lokasi yang mendapat rekomendasi perkebunan sawit di Merauke adalah lokasi hulu sungai besar, seperti Kumbe dan Maro. Jika lokasi itu menjadi perkebunan sawit, tentu dampak lingkungannya akan sangat besar," kata Manager TransFly WWF-Indonesia di Merauke M Wattimena.

Kerakusan sawit, yang setiap batangnya menenggak 15 liter air, jelas ancaman bagi konservasi air tawar di Merauke.

Lebih dari itu, demam biofuel juga mengancam jati diri dan kelangsungan hidup para pemburu dan peramu di Papua. Alih-alih menyelamatkan masa depan manusia di dunia, demam biofuel itu bisa menjadi bumerang di Papua.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0801/11/humaniora/4155220.htm

Aryo Wisanggeni G
Kompas

Kamis, 22 Oktober 2009

Lowongan MT Assistant / Supervisor

TRIPUTRA AGRO PERSADA, PT


Company Description
Triputra Agro Persada merupakan salah satu anak perusahaan dari Triputra Group yang fokus di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet, yang memberikan perhatian penuh terhadap pertumbuhan, produktifitas, dan kepedulian sosial. Dalam perjalanan selama tiga tahun, Triputra Agro Persada telah sukses dalam proses perluasan lahan yang tersebar di wilayah Propinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Triputra Agro Persada saat ini sudah memiliki luas lahan (landbank) seluas 500.000 ha dengan luas lahan tertanam sekitar 120.000 ha dan tiga buah pabrik pengolahan CPO (minyak kelapa sawit mentah) berkapasitas masing-masing 60 ton/jam yang didukung oleh 11.200 karyawan yang siap menunjang program Triputra Agro Persada pada tahun 2009 untuk melaksanakan rencana tanam seluas 50.000 ha. Sehubungan dengan program ekspansi dan perkembangan yang pesat tersebut, maka kami mengajak para tenaga-tenaga muda berpotensi dan berorientasi masa depan untuk berkembang bersama kami sebagai:

MT Assistant / Supervisor

Kualifikasi Umum:

  • Pria
  • S1 Pertanian / Agribisnis / Hukum / Akuntansi / Teknik Sipil / Teknik Mesin
  • Fresh Graduate / Pengalaman maksimal 2 tahun
  • IPK minimal 2,75
  • Bersedia ditempatkan di Perkebunan yang tersebar di Sumatera & Kalimantan

Kirimkan CV Lengkap & Foto Anda ke:

recruitment@tap-agri.com dan cc ke: tubagus.wijaya@tap-agri.com

atau via pos ke:

TRIPUTRA AGRO PERSADA GROUP
RECRUITMENT & DEVELOPMENT DEPARTMENT
The East Building 23th Floor
Jl. Lingkar Mega Kuningan Kav. E 3.2 No. 1
Kuningan-Jakarta Selatan 12950

atau gunakan Quick Apply di bawah ini.

Kunjungi website kami: http://www.triputraagropersada.com


LOWONGAN ASISTEN KEBUN

PT. Salim Ivomas Pratama – Divisi Plantations


Company Description
DIBUTUHKAN




Perusahaan kami yang tergabung dalam Indofood Group, bergerak dalam bidang Agribisnis berupa perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang berlokasi di Sumatera & Kalimantan, membutuhkan tenaga-tenaga yang ulet, dinamis dan menyukai tantangan, untuk bergabung bersama kami dengan posisi :


ASISTEN KEBUN


Penempatan : Perkebunan wilayah Sumatera / Kalimantan

Syarat-syarat :

  • Mempunyai pengalaman kerja sebagai asisten kebun / asisten lapangan 1 – 2 tahun
  • Memiliki kemampuan memimpin
  • Mampu bersikap tegas dan pantang menyerah
  • Pendidikan min D3/S1 Pertanian (Jurusan: Agronomi/ Budidaya Pertanian/Ilmu
  • Tanah/Ilmu Hama & Penyakit /Perkebunan/Sosial Ekonomi Pertanian )
  • Pria usia max. 29 Thn.
  • IPK min. 2,75

    *) Seleksi akan diselenggarakan di Jakarta / Pekanbaru / Palembang

Kirimkan lamaran lengkap dan CV Anda ke :

Divisi HRD - Plantations
PT. Salim Ivomas Pratama
Sudirman Plaza
Indofood Tower, Lt. 11
Jl. Jendral Sudirman Kav. 76 – 78
Jakarta Selatan
Or email: hrd_plantations@simp.co.id

Hanya kandidat yang memenuhi kualifikasi di atas yang akan kami proses




Senin, 19 Oktober 2009

Perubahan Iklimdan Ketahanan Nasional

Oleh: Emil Salim


Kita hadapi gejala ”bumi semakin panas” yang berdampak pada ”perubahan iklim” akibat konsentrasi CO2-ekuivalen yang terbentuk di udara. Sebelum revolusi industri, terdapat lapisan CO2e setebal 280 ppm. Setelah revolusi industri (1780), konsentrasi CO2e meningkat dari 315 ppm (1930) ke 330 ppm (1970), 360 ppm (1990), dan 380 ppm (2008).

Bila pola business as usual berlanjut dalam pembangunan, pada tahun 2050 diperkirakan kita mencapai 500 ppm atau dua kali lipat sebelum revolusi industri. Para ahli sedunia sepakat menetapkan 450-550 ppm konsentrasi CO2e dengan 2,0-2,8 derajat Celsius di atas rata-rata suhu bumi sebelum revolusi industri tahun 1780 sebagai ambang batas yang tak boleh dilampaui agar perikehidupan alami dan manusia bisa berlanjut.

CO2e berasal dari polusi pembakaran minyak bumi dan batu bara yang naik dan menumpuk di udara dan membuat semacam ”selimut” yang membalut bumi ini. Sinar matahari masuk ke bumi dan menghangatkannya, tetapi panas bumi yang seyogianya kembali ke udara kini ”terkurung” sehingga menaikkan suhu bumi. Panas bumi ini mengubah iklim dan memengaruhi kehidupan alami di darat dan laut. Perubahan iklim ini berjalan seiring dengan naiknya kepadatan CO2e.

Mengganggu musim

Di Tanah Air kita, perubahan iklim terutama dipicu oleh deforestasi dan pembukaan lahan serta tanah gambut yang mengurangi kemampuan alam menyerap CO2e, bahkan melepaskan CO2 di dedaunan tanaman dan tanah gambut.

Perencanaan tata ruang bisa mengarahkan lokasi aktivitas ekonomi agar serasi dengan daya dukung alam. Sayang, pengembangan tata ruang kita tidak efektif. Bahkan, pola perencanaan jaringan jalan tol cenderung menerabas kawasan hijau yang mengurangi daya serap CO2e secara alami.

Suhu bumi yang naik mengakibatkan melelehnya bongkah dan gunung es di kutub bumi dan menaikkan permukaan laut. Suhu air laut berubah dan memengaruhi arus angin menjadi topan angin kencang. Hal ini memukul pantai pesisir dan ”memakan” serta menenggelamkan pulau. Di kawasan lautan Pasifik, pulau-pulau Nauru, Vanuatu, Kiribati, dan Kepulauan Marshall sudah tenggelam pada musim air pasang.

Di daratan aliran sungai terhambat mengalir ke laut akibat kenaikan permukaan laut sehingga air sungai terempas kembali ke hulu menimbulkan banjir.

Perubahan iklim juga mengganggu musim. Musim hujan lebih pendek dengan hujan intensif, sedangkan musim kemarau lebih panjang dengan hujan ekstensif. Dalam musim kemarau, evaporasi air permukaan semakin besar dan menciutkan volume air tawar di permukaan bumi. Air tawar menjadi langka.

Perubahan iklim ini berdampak buruk pada kehidupan alam hayati yang terdiri atas genetika plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem mengalami erosi keanekaragamannya. Ini mengganggu stabilitas dan sustainabilitas kehidupan sumber alam hayati.

Tanpa sumber alam hayati dan air tawar yang cukup di muka Bumi, maka kehidupan manusia pun ikut meredup. Teknologi mungkin masih bisa dikembangkan untuk mengubah air laut menjadi air tawar. Namun, sumber alam genetika, spesies, dan ekosistem ciptaan Tuhan tak tergantikan oleh manusia.

Perubahan iklim berdampak pada pertanian dan seluruh perikehidupan alami yang menggerogoti keberlanjutan kehidupan manusia. Dengan perubahan ruang lingkup alami kehidupan manusia, akan tumbuh virus penyakit baru dipicu oleh perubahan iklim.

Perlu prioritas tinggi

Jelas tampak dampak perubahan iklim pada keberlanjutan hidup alami dan manusia sehingga mengancam ketahanan dan keberlanjutan hidup bangsa kita. Sudah seyogianya perubahan iklim menempati prioritas tinggi dalam agenda pembangunan.

Perubahan iklim menggerogoti ketahanan pangan kita sehingga sudah sewajarnyalah kita sesuaikan perkembangan pertanian dengan perubahan iklim. Musim tanam, bibit tanaman, dan pola pertanian perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan iklim.

Sumber minyak bumi cenderung menipis, sedangkan persediaan batu bara melimpah sehingga kita cenderung memanfaatkan batu bara untuk pengembangan energi. Namun, dengan semakin gencarnya persyaratan pengendalian CO2e, kita perlu mengembangkan energi terbarukan sebagai alternatif.

Ini memerlukan kebijakan harga yang lebih berpihak pada energi terbarukan yang melimpah di Tanah Air kita, seperti sumber geotermal, tenaga mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang, tenaga biomassa, demi ketahanan energi kita di masa depan.

Kita perlu selamatkan air untuk memberlanjutkan sekuritas air tawar kita. Ini memerlukan secara sungguh-sungguh dukungan politik dan ketatalaksanaan kepemerintahan pusat-daerah yang efektif dalam menerapkan rencana tata ruang menyelamatkan daerah aliran sungai, mencegah deforestasi, memberantas illegal logging dan pembakaran hutan, demi ketahanan sustainabilitas sumber daya alam tropis kita.

Di atas segala-galanya kita perlu menegakkan ketahanan penduduk kita, terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, agar mampu berproduksi menghasilkan kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Tidak boleh terulang peristiwa kelaparan penduduk Yahukimo, Papua, karena kegagalan pertanian. Harus ada ”bantal ketahanan pangan” yang menyelamatkannya.

Dengan perubahan iklim yang mulai mencekam alam kita, membangun ketahanan penduduk kita menempati urgensi tertinggi. Ini memerlukan fokus pembangunan pada peningkatan ketahanan penduduk, menaikkan kemampuan setiap anak bangsa kita memenuhi kebutuhan pokoknya, terutama oleh diri sendiri.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah benar mencanangkan semboyan ”Pembangunan untuk Semua”. Kita perlu menanggapi perubahan iklim dengan pengembangan ketahanan nasional dengan melengkapi semboyan ini dengan tambahan kata: ”dan oleh Semua!”

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/04303442/.perubahan.iklimdan.ke


Emil Salim Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Ada Hari, Ada Nasi

Oleh: Fransiscus Welirang


Pada masyarakat Jawa, ada ungkapan, ana dina ana upa (ada hari ada nasi). Makna yang terkandung dalam ungkapan itu, tidak perlu khawatir, asal mau bekerja keras, tiap hari pasti ada yang dimakan.

Cara pikir demikian secara perlahan masuk ke alam bawah sadar tiap orang. Penduduk yang sebelumnya terbiasa dengan jagung, sagu, atau singkong sebagai makanan pokok secara terencana diperkenalkan dengan nasi sehingga mereka akhirnya bergeser mengonsumsi nasi. Akibatnya, para pembuat keputusan cenderung mengabaikan pengembangan sumber pangan alternatif sebagai medan terakhir bagi ketahanan dan kemandirian pangan nasional.

Selain itu, kebiasaan makan nasi juga meneguhkan budaya menanak nasi. Kita terbiasa menanak nasi (bulir-bulir beras), bukan menanak bahan pangan lain yang bentuknya bukan bulir-bulir. Realitas ini akhirnya menjadi salah satu hambatan bagi gerakan mengonsumsi sumber pangan alternatif.

Budaya menanak

Polemik tentang impor pangan yang mencuat dalam beberapa hari terakhir menandai lahirnya kembali kesadaran bersama tentang persoalan ketahanan pangan nasional. Saya optimistis, jika semangat kebangkitan seperti itu dipelihara secara konsisten, bukan saja devisa negara sebesar Rp 50 triliun yang dibelanjakan untuk impor pangan akan aman, tetapi kita juga bisa mengekspor hasil pertanian dan laut. Kalaupun lompatan itu tidak berhasil, setidaknya Indonesia bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri.

Jika swasembada pangan tercapai, terbuka peluang bagi para penentu kebijakan untuk mengubah alam bawah sadar rakyat agar terlepas dari jebakan pangan, terutama beras. Kini, posisi pangan dunia ditempati gandum 29 persen, beras 26 persen, jagung 25 persen, barley 10 persen, shorgum 4,0 persen, dan lain-lain.

Jika pendekatan membalik cara pikir itu terwujud, Indonesia bisa mengayuh biduk ketahanan dan keberlangsungan pangannya mengikuti arus sumber pangan alternatif yang dimiliki negeri sendiri, seperti jagung, shorghum, ubi kayu, ubi jalar, talas, garut, ganyong, kimpul, kacang bogor, kedelai, kacang hijau, kacang gude, kacang tanah, kacang tunggak, sukun, dan pisang. Semua umbi-umbian dan biji-bijian itu adalah sumber karbohidrat yang tak kalah baiknya dengan beras dan gandum yang menjadi budaya pangan dunia.

Masalahnya terletak pada budaya menanak nasi yang telanjur membelit kita. Secara umum masyarakat enggan menanak dan makan bahan pangan lain karena bentuknya tidak seperti beras. Dalam konteks ketahanan dan kemandirian pangan, budaya menanak itu tidak perlu dibunuh, tetapi perlu disiasati. Salah satunya dengan mengolah sumber bahan pangan menjadi tepung, lalu diproses menjadi bulir-bulir yang menyerupai beras sehingga bisa ditanak. Dengan demikian, kita menukik masuk alam bawah sadar masyarakat dan menghancurkan hambatan psikologis yang ada.

Jika gerakan itu dilakukan secara masif, sistematis, dan berkesinambungan, diyakini penerimaan masyarakat pada sumber pangan alternatif akan meningkat. Hal serupa pernah terjadi. Dulu masyarakat enggan mengonsumsi makanan dari tepung-tepungan. Namun, setelah diadakan gerakan sosialisasi dengan jargon ”penganekaragaman makanan untuk memantapkan tersedianya pangan melalui budaya makan tepung-tepungan”, masyarakat menerima makanan berbasis tepung, dan banyak yang menggemarinya.

Telur Columbus

Bagi Indonesia, kini saatnya menegakkan telur Columbus baru, yaitu mengolah sumber pangan alternatif yang sudah ditepung menjadi bulir-bulir yang menyerupai beras. Dengan demikian, ia bisa langsung diterima oleh budaya menanak di masyarakat. Teknologi untuk membuat bulir-bulir menyerupai beras itu juga telah tersedia. Dan jika diproduksi massal, biaya produksinya pasti akan amat murah.

Gerakan menegakkan telur Columbus itu tidak akan pernah berhasil jika semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, tidak terlibat aktif. Ia harus menjadi aksi nasional dan mimpi bersama bangsa. Karena itu, semua komponen bangsa harus secara sinergis dan simultan terlibat pembalikan cara pikir masyarakat. Alam bawah sadar masyarakat harus diisi pemahaman bahwa makan bulir-bulir menyerupai beras menjamin variasi makanan dengan nutrien dan gizi seimbang.

Sehubungan dengan hal itu, tantangan utama yang dihadapi para pemangku kepentingan adalah menciptakan ”kulinologi”, yaitu ilmu kuliner dan teknologi yang dapat mengolah tepung dalam jumlah besar untuk menjadi makanan siap saji. Artinya, membawa tepung ke mulut juga merupakan masalah krusial. Tanpa kulinologi semacam itu, akan sulit terbangun budaya makan bulir-bulir menyerupai beras yang berasal dari umbi-umbian dan biji-bijian hasil bumi sendiri. Ada hari, ada nasi? Pepatah itu rasanya tidak salah.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/02490480/ada.hari.ada.nasi


FRANSISCUS WELIRANG Pelaku Usaha; Peminat Masalah Sosial Kemasyarakatan

MDGs dan Pemerintahan Baru

Oleh: Wahyu Susilo



Terbitnya Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 2009 awal Oktober 2009, tepat momentumnya bagi pemerintahan baru di bawah SBY-Boediono. Ini saatnya mewujudkan janji-janji yang ditebar selama kampanye lalu, terutama upaya mengurangi kemiskinan di Indonesia.

Dalam laporan HDR 2009, Indonesia disebut sebagai negara dengan segudang masalah terkait migrasi, antara lain keruwetan birokrasi, pungutan, dan beban biaya tinggi yang mengakibatkan kerugian bagi kaum migran. Sementara proteksi yang seharusnya menjadi elemen pokok kaum migran masih terabaikan.

Situasi ini menjadi ironi bagi kaum migran yang telah berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan negara di tempat bekerja, serta mengalirkan remitansi yang menggerakkan ekonomi di daerah asal.

Catatan muram tentang Indonesia juga terlihat dari kemerosotan Indeks Pembangunan Manusia. Dalam HDR 2005, Indonesia berada di peringkat 107, HDR 2007-2008 di peringkat 109, dan pada HDR 2009, kita kian merosot, peringkat 111, lebih rendah ketimbang Palestina (110) dan Sri Lanka (102).

Kualitas manusia

Bagi pemerintahan baru SBY-Boediono yang akan memulai masa bakti 20 Oktober 2009, catatan muram ini perlu dimaknai sebagai pengingat, masalah kualitas manusia Indonesia harus menjadi prioritas.

Pasangan SBY-Boediono diharapkan tak terlena oleh ninabobo indikator makroekonomi yang selalu diprediksikan secara optimis dan prospektif. Secara beruntun, lembaga keuangan dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, mengoreksi prediksi indikator makroekonomi Indonesia yang sebelumnya diindikasikan melemah.

Namun, pascapenetapan presiden terpilih, indikator itu dikoreksi secara optimistik. Sikap optimistik juga ditunjukkan lembaga pemeringkat ekonomi semisal Fitch dan majalah Economist dengan laporan khusus tentang prospek Indonesia pasca-Pemilu 2009.

Pengalaman membuktikan, ninabobo kokohnya fundamental makroekonomi dari lembaga keuangan internasional itu tak selamanya benar. Pada awal dekade 1990-an, saat pertumbuhan makro ekonomi Indonesia menjulang, Bank Dunia menjuluki Indonesia sebagai Macan Baru Asia, bahkan sempat menyebutnya sebagai Keajaiban Asia.

Namun, puja-puji itu tak terbukti saat krisis mengentak tahun 1997-1998, ekonomi Indonesia ambruk.

Penulis menemukan adanya inkoherensi antara indikator makroekonomi Indonesia yang selalu optimistik (dengan sajian data statistik tentang pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan investasi) dan indikator-indikator terkait kualitas manusia.

Tingkat kesejahteraan

Laporan mengenai perekonomian Indonesia yang disajikan ADB menunjukkan, prospek perekonomian Indonesia amat tahan terhadap terpaan krisis ekonomi, bahkan pertumbuhan ekonomi tetap terjadi. Namun, dalam indikator kunci soal MDGs, ADB mengkhawatirkan Indonesia terhambat dalam pencapaian MDGs, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan angka kematian ibu melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran menjadi 420 per 100.000 kelahiran.

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah indikator makroekonomi yang dinyatakan sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik tidak terkait dengan kesejahteraan dan kesehatan kaum ibu?

Optimisme yang ditunjukkan dalam indikator makroekonomi Indonesia juga layak dipertanyakan dalam konteks ketahanan dan kedaulatan pangan. Beberapa waktu lalu, harian Kompas melaporkan situasi pangan dan pertanian Indonesia dihadapkan serbuan impor bahan pangan. Bahkan, fakta yang menyedihkan adalah bahwa Indonesia (negara kepulauan yang 70 persen wilayahnya adalah laut) adalah negara pengimpor garam.

Mantan Menteri Perekonomian dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie juga sempat terheran- heran saat Indonesia ternyata juga mengimpor singkong. Dalam laporan situasi pangan dunia 2008 yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia dikategorikan sebagai negara yang rentan mengalami kelaparan massal. FAO menyebut kelaparan massal itu bagai silent tsunami yang bisa merenggut nyawa jutaan orang. Dalam skala mikro, kelaparan dan kematian yang terjadi di Yahukimo tahun 2005 dan berulang tahun 2009 mungkin bagian dari pembunuh tersembunyi itu.

Realitas itu pasti bukan ninabobo, tetapi mungkin bisa menjadi mimpi buruk jika pemerintahan baru SBY-Boediono tidak menempatkan komitmen Indonesia dalam pencapaian MDGs sebagai agenda prioritas dan indikator kinerja pemerintahannya. Rentang waktu pemerintahan baru hampir seiring dengan tenggat akhir pencapaian MDGs tahun 2015. Apakah Indonesia akan mencapainya?

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/03090555/mdgs.dan.pemerintahan.


Wahyu Susilo Kepala Divisi Advokasi International NGO Forum on Indonesian Development (Infid)

Ketahanan Pangan dan Kelaparan Global

Oleh: Hillary Rodham Clinton


Bagi satu miliar orang di seluruh dunia, upaya sehari-hari untuk bercocok tanam, membeli, atau menjual makanan merupakan perjuangan hidup dan mati.

Coba tengok. Seorang perempuan petani di suatu desa terpencil, bangun dini hari, berjalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air. Jika kekeringan, bencana, atau hama tidak menghancurkan hasil panen, ia dapat mengumpulkan cukup pangan untuk memberi makan keluarganya dan mungkin memiliki kelebihannya dijual. Namun, tidak ada jalan menuju pasar terdekat dan tidak seorang pun mampu membeli. Lain halnya dengan kehidupan seorang pemuda yang tinggal di kota besar, sekitar 150 kilometer dari desa petani itu. Ia mempunyai pekerjaan dengan bayaran sangat kecil.

Si perempuan punya pangan untuk dijual, si pemuda ingin membelinya. Namun, transaksi sederhana itu tidak dapat dilakukan karena ada kekuatan kompleks di luar kendali mereka.

Kelaparan global

Mengatasi kelaparan global menjadi inti ”ketahanan pangan”—memberdayakan para petani untuk menanam benih dan memanen tanaman pangan dalam jumlah besar, memelihara ternak, atau menangkap ikan— dan menjamin bahwa pangan yang dihasilkan dapat dijangkau oleh mereka yang membutuhkan.

Ketahanan pangan merupakan perpaduan berbagai isu: musim kemarau dan banjir akibat perubahan iklim, ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada harga pangan, dan kenaikan harga minyak yang menyebabkan melonjaknya biaya transportasi.

Ketahanan pangan tidak hanya terkait pangan, tetapi lebih merupakan masalah keamanan. Kelaparan kronis merupakan ancaman terhadap stabilitas pemerintahan, masyarakat, dan wilayah perbatasan.

Masyarakat yang lapar atau menderita gizi buruk tidak memiliki pendapatan, pun tidak mampu merawat keluarganya, hidup tanpa harapan dan keputusasaan. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan, konflik, bahkan kekerasan. Sejak 2007, telah terjadi huru-hara di lebih dari 60 negara akibat masalah pangan.

Kegagalan pertanian di banyak negara memengaruhi perekonomian global. Pertanian adalah sumber pendapatan utama atau satu-satunya bagi lebih dari tiga perempat kaum miskin dunia. Ketika setiap hari banyak manusia bekerja keras tetapi tetap tak bisa menghidupi keluarganya, seluruh dunia merugi.

Pemerintahan Barack Obama memandang kelaparan kronis sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS). Negara-negara lain bergabung bersama AS dalam upaya ini. Negara-negara industri utama telah menjanjikan lebih dari 22 miliar dollar AS selama tiga tahun untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang menjadikan bidang pertanian sebagai ujung tombak. Pada 26 September lalu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan saya bersama-sama menyelenggarakan pertemuan para pemimpin lebih dari 130 negara untuk menggalang dukungan internasional.

Pendekatan kami merujuk pengalaman. Kita telah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk proyek-proyek pembangunan yang belum menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati untuk jangka panjang. Namun, kita telah belajar dari berbagai upaya ini. Kita tahu, strategi paling efektif berasal dari orang- orang yang paling dekat dengan masalah, bukan pemerintah atau lembaga asing yang berada ribuan mil jauhnya.

Ketahanan pangan

Berdasarkan pemikiran itu, prakarsa ketahanan pangan kami diarahkan pada lima prinsip.

Pertama, tidak ada satu model pertanian pun yang cocok untuk semua kalangan. Kami akan bekerja dengan negara mitra untuk menciptakan dan menerapkan sesuai rencana mereka.

Kedua, menyikapi penyebab dasar kelaparan dengan berinvestasi dalam segala hal, mulai benih yang lebih baik sampai melindungi petani. Mengangkat kemampuan dan ketahanan perempuan, yang menjadi mayoritas petani di dunia.

Ketiga, penekanan koordinasi pada tingkat negara, kawasan, dan global, karena tidak satu entitas pun yang mampu menghapus kelaparan sendiri.

Keempat, mendukung institusi multilateral, yang memiliki jangkauan dan sumber daya yang melebihi negara mana pun.

Terakhir, kami menjanjikan komitmen jangka panjang yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, kami akan menyiapkan berbagai perangkat pengawasan dan evaluasi sehingga masyarakat luas dapat melihat apa yang kami lakukan.

Upaya memimpin pengembangan pertanian akan melengkapi komitmen kami dalam penyediaan bantuan pangan untuk keadaan darurat, saat tragedi dan bencana terjadi, seperti yang saat ini sedang terjadi di Afrika Timur, di mana kemarau, gagal panen, dan perang saudara telah menyebabkan krisis kemanusiaan.

Meremajakan kembali pertanian dunia bukanlah hal mudah. Pada kenyataannya, hal ini adalah usaha diplomasi dan pembangunan yang paling ambisius dan komprehensif dari yang pernah dilakukan. Namun, kami yakin, hal ini dapat dilaksanakan. Jika kami berhasil, akan tercapailah masa depan yang lebih sejahtera dan damai bagi kita bersama.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/03073074/ketahanan.pangan.dan.k


Hillary Rodham Clinton Menteri Luar Negeri Amerika Serikat

Petani di Pusaran Arus Pasar Bebas

Oleh: Hermas E Prabowo


Dadi petani kuwi saiki kikrik. Ngurusi sing ora-ora, sing durung mesti ono gunane. Embuh...jamane saiki pancen wis bedho.” (Menjadi petani itu sekarang harus mengerjakan semuanya. Mengurusi hal yang kecil-kecil yang belum tentu ada gunanya. Enggak tahu, sekarang zamannya sudah berubah).

Demikian keluh kesah Suroso (76), petani salak warga Dusun Trumpon RT 04 RW 04, Kelurahan Merdikorejo, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (10/10).

Suroso mewakili gambaran sebagian besar petani Indonesia, yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar.

Petani seperti Suroso itulah yang kini harus berhadapan dengan isu-isu global. Seperti perdagangan bebas lengkap dengan beragam ”muslihat” yang dikembangkan negara-negara maju melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menghadapi ”muslihat” itu, Suroso hanya bisa menerima. ”Yo... sing penting nandur sing apik. Payu kono ora payu yo kono.. (Ya, yang penting menanam dengan baik, laku dijual syukur, tidak laku ya tidak apa-apa),” kata Suroso, yang memiliki 1.500 rumpun salak.

Bagi Suroso, dan petani lainnya, hidup urusan Tuhan. Mereka meyakini kepasrahan akan mendatangkan berkah, termasuk keberhasilan berproduksi.

Tak mudah bagi mereka mengubah cara bertani, apalagi mengembangkan pola pertanian modern, yang mengadopsi prinsip-prinsip pertanian yang baik (good agricultural practices/GAP), yang diperkenalkan Uni Eropa sejak Januari 2005.

Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip GAP sejak 2006, seiring diberlakukannya Peraturan Menteri Pertanian No 61/2006.

Ambisi negara maju

Direktur Mutu dan Standardisasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Nyoman Oka Tridjaja menyatakan, strategi perdagangan terus berubah, mengikuti permintaan konsumen. Dan itu sering kali hanya memenuhi ambisi negara maju dalam menentukan pasar komoditas pertanian mereka.

Indonesia tak bisa hanya berdiam diri, menjadi bulan-bulanan negara maju dan jadi sasaran pasar buah murah.

Oleh karena itu, kata Nyoman Oka, Indonesia mengikuti pola yang sama, yakni menerapkan hambatan nontarif bagi setiap produk pangan asal tumbuhan impor yang masuk Indonesia.

Konsekuensinya, Indonesia harus memproduksi sendiri produk pangan dari tumbuhan berkualitas dan aman dikonsumsi. Ini agar Indonesia tak dicap sebagai negara yang mempraktikkan perdagangan pangan secara tidak adil.

GAP hanya bagian dari persyaratan sertifikasi. Ada standardisasi lain, seperti sistem pengolahan yang baik, sistem HACCP, sistem mutu ISO 22000, dan pangan organik.

Pemerintah mengadopsi GAP sebagai upaya melaksanakan sistem mutu dan standardisasi produk buah dan sayuran.

GAP adalah proses produksi berdasarkan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memenuhi aspek keamanan pangan dan pelestarian lingkungan. Buah yang dihasilkan bermutu, aman dikonsumsi, aman bagi pekerja dan lingkungan.

Dengan perubahan kebijakan perdagangan dunia, nantinya hanya buah atau sayuran hasil dari petani yang telah diakreditasi oleh lembaga sertifikasi Otoritas Kompeten Keamanan Pangan yang bisa diekspor.

Petani memang bisa menjual komoditasnya di pasar lokal. Tetapi, lemahnya kontrol terhadap impor akan membuat pasar lokal menjadi target empuk serbuan buah dan sayuran impor, yang harganya relatif murah.

Dengan mengikuti pedoman Indo-GAP, petani harus melatih dirinya mendokumentasikan setiap kegiatan di lapangan.

Mencatat mulai dari kapan mengolah lahan, pemupukan dasar, memindahkan bibit, membagi petak, mengawinkan, memupuk, hingga memanen.

Tidak hanya itu, petani harus menjaga agar orang tidak sembarangan membuang kotoran di kebunnya. Tidak boleh masuk kebun kalau sedang sakit. Mengangkut hasil panen, memilah, semuanya sesuai standar.

”Ada 12 item yang harus dicatat setiap melakukan kegiatan. Ini agar mudah melacak bila konsumen negara maju mendapatkan hal yang tidak diinginkan saat makan salak kami,” kata Musrin, petani salak pondoh.

Meski rumit, para petani salak pondoh yang tergabung dalam Kelompok Duri Kencana mengikuti semua standar itu. Saat ini kebun-kebun mereka telah diregistrasi. Ini tampak dari pelat-pelat aluminium, penanda kapan pemilik kebun mengawinkan salaknya, memupuk, dan catatan lainnya.

Sayangnya, jerih payah petani itu belum mendapat penghargaan semestinya. Menurut Kepala Dinas Pertanian DI Yogyakarta Nanang Suwandi, harga salak pondok yang mengikuti prinsip GAP tidak jauh berbeda dengan yang dibudidayakan secara tradisional.

Konsumen lokal belum memiliki kesadaran tentang kualitas buah. Sementara pasar ekspor belum berkembang. Bahkan, ekspor salak ke China terhenti karena belum ada kesepakatan antara petani dan eksportir.

Persaingan pasar makin ketat. Untuk memenangkan pasar, petani tak bisa dibiarkan sendirian tertatih-tatih menghadapi perubahan. Petani butuh dukungan, dari birokrasi, politisi, maupun konsumen lokal. Jangan biarkan petani ”tenggelam” di pusaran arus globalisasi.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/14/04023229/petani.di..pusaran.aru

Hermas E Prabowo
Kompas

Menggugat Makna Kemiskinan

Oleh: Amich Alhumami


Selama bertahun-tahun, isu kemiskinan menjadi perhatian serius dan fokus kajian para sarjana dan perumus kebijakan publik.

Kemiskinan dianalisis dari berbagai sudut pandang dan pendekatan guna mendapatkan pemahaman yang utuh. Kemiskinan bukan gejala sederhana, pun tidak terkait ekonomi semata, tetapi saling terkait dengan masalah lain yang amat kompleks. Para sarjana mencoba merumuskan definisi baru kemiskinan dengan memberi makna melampaui pengertian konvensional yang selama ini dipahami umum.

Pengertian kemiskinan

Pengertian konvensional kemiskinan hanya berdimensi tunggal: pendapatan kurang, distribusi kekayaan tidak merata, menyebabkan seseorang atau keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan sehari-hari. Parameter pokok untuk mengetahui kekurangan pendapatan adalah pengeluaran rumah tangga yang amat rendah, bahkan untuk mencukupi kebutuhan konsumsi.

Di sini ada dua isu sentral. Pertama, ketersediaan lapangan kerja. Kedua, upah minimum yang menjadi instrumen penting guna melihat tingkat pemerataan distribusi pendapatan. Maka, pendekatan dalam memahami fenomena kemiskinan pun bervariasi.

Pertama, menggunakan model perbandingan antarlapisan sosial yang bertujuan menjelaskan fakta-fakta empiris perbedaan distribusi pendapatan berdasar kelompok masyarakat. Kedua, menerapkan model regresi guna mengukur upah pekerja berdasar teori modal manusia, merujuk pandangan ahli ekonomi ketenagakerjaan, seperti Becker (1964), Schultz (1963, 1971), dan Mincer (1974).

Pengertian konvensional kemiskinan ini lalu dikoreksi. Makna kemiskinan diperluas tak hanya menyangkut kesenjangan pendapatan. Pada pertengahan 1980-an muncul rumusan definisi baru: ”Kemiskinan harus dimaknai: orang, keluarga, dan sekelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan sumber daya—material, sosial, dan budaya—sehingga menghalangi mereka untuk dapat hidup layak menurut ukuran paling minimal di suatu negara tempat mereka bermukim” (Komisi Eropa, 1984).

Ekonom Amartya Sen juga mengenalkan makna kemiskinan secara lebih luas, yakni ketidakmampuan manusia, yang ditandai pendidikan rendah, tak berpengetahuan, tak berketerampilan, tak berdayaan. Bahkan, Sen menyentuh dimensi politik: ketiadaan kebebasan dan keterbatasan ruang partisipasi, yang menghalangi warga untuk terlibat proses pengambilan kebijakan publik. Dalam situasi demikian, masyarakat ada dalam posisi tidak setara untuk mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi produktif sehingga terhalang untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak mereka (lihat Development as Freedom, 1999).

Perluasan makna

Perluasan makna kemiskinan menjadi perdebatan akademik serius di kalangan para sarjana, seperti Schiller: The Economics of Poverty and Discrimination (1995), Sen: Inequality Reexamined (1992), Kanbur & Squire: The Evolution of Thinking about Poverty (2001), Danziger & Haveman: Understanding Poverty (2001), Jenkins & Micklewright: Inequality and Poverty Reexamined (2007).

Para sarjana ini menegaskan, kemiskinan bukan hanya terkait kesenjangan pendapatan atau ketidakmerataan distribusi kekayaan. Dalam membuat analisis, mereka menggunakan pendekatan multidimensional yang menjangkau aneka masalah besar di balik kesenjangan pendapatan, seperti dimensi struktural, relasi kekuasaan tak seimbang, dan sistem politik monolitik. Semua itu dipandang sebagai akar masalah yang menyebabkan ketidakmerataan distribusi kekayaan dan kesejahteraan di masyarakat.

Perubahan makna

Pemikiran para sarjana dunia itu bertemu pada satu titik: makna kemiskinan bukan lagi ketidakadilan dalam memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan konsumsi, tetapi lebih ditekankan pada pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak dasar, yang dimulai sejak manusia lahir. Maka, isu pemenuhan gizi bagi anak balita, kesehatan dan asupan nutrisi bagi ibu hamil, dan kecukupan pangan jadi bagian penting dalam melihat status sosial-ekonomi keluarga. Pergeseran makna kemiskinan ini jelas terlihat dalam laporan Bank Dunia, Equity and Development (2006), membahas isu pembangunan sosial dengan pendekatan lintas ilmu dan analisis multidimensional.

Maka, pengukuran kemiskinan dipandang tidak memadai lagi bila hanya menggunakan indikator tingkat pendapatan per kapita atau per satuan rumah tangga. Karena itu, berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan dengan maksud menambah kemampuan daya beli masyarakat, misalnya program bantuan langsung tunai, bukan saja tidak efektif—meski dinilai sedikit membantu dalam jangka pendek—tetapi tidak menyelesaikan akar kemiskinan.

Kesenjangan pendapatan adalah gejala permukaan, sedangkan pangkal kemiskinan pada ketidakmerataan akses—problem struktural—ke sumber daya ekonomi serta penguasaan aset dan kapital oleh kelompok kecil masyarakat. Situasi timpang ini melahirkan marjinalisasi, disposesi, deprivasi, dan eksklusi sosial sehingga masalah kemiskinan tak dapat diatasi hanya melalui kebijakan sementara dan sektoral.

Kebijakan pemberantasan kemiskinan harus menyentuh akar masalah. Untuk itu, kebijakan strategis yang harus ditempuh adalah perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan layanan kesehatan, pembangunan perumahan, penciptaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur untuk memperlancar transaksi ekonomi dan perdagangan, serta pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas ekonomi antarwilayah.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/15/03050830/menggugat.makna..kemis


Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Anthropology-University of Sussex, Inggris

Kamis, 15 Oktober 2009

PENGAWAS LAPANGAN (ASISTEN)

LUCYANA WIDYADANA, PT

Company Description

PT. Lucyana Widyadana merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang human resources development dengan merek dagang Widya Human Resources (Widya HR), memiliki visi dan misi dalam bidang penyediaan dan pengembangan Human Resources.


PENGAWAS LAPANGAN (ASISTEN)

Qualification :
- Pria/wanita
- Usia maks. 28 tahun
- Pendidikan minimal D3 dari jurusan Pertanian (Agronomi), Kehutanan
- Pengalaman min. 1 tahun
- Memiliki sertifikat hidroponik (lebih disukai)
- Memiliki SIM C
- Terbiasa membuat laporan kerja (daily, weekly, and monthly)
- Dapat membuat Rencana Anggaran Biaya (RAB)
- Diutamakan yang dapat menggunakan GPS

For those who interested and have the required qualification, please submit your comprehensive resume, CV, portfolio to:

firania@widyaHR.com
Or visit our web:
www.widyahr.com



Senin, 12 Oktober 2009

Project Manager ( kode : PM )

TANJUNG RHU PLANTATION & PRODUCTS, PT


Company Description

Kami perusahaan yang sedang berkembang pesat di bidang perkebunan kelapa sawit, membutuhkan tenaga-tenaga professional untuk bergabung bersama kami untuk posisi:


Project Manager ( kode : PM )
Kualifikasi :

  • Pria
  • Usia max. 45 thn
  • Pendidikan min. S1 Pertanian
  • Pengalaman min. 8 thn sbg Estate Manager, lebih disukai pernah di kebun plasma/KKPA
  • Menguasai computer Ms Word & Excel
  • Memiliki motivasi tinggi, jujur, ulet & mampu bekerja dibawah tekanan
  • Penempatan Kalimantan Barat

Kirimkan lamaran lengkap beserta foto terbaru Anda dengan menuliskan nomor telepon yang dapat dihubungi dengan mencantumkan kode posisi di sudut kiri amplop paling lambat 1 bulan setelah tanggal terbit iklan ke alamat:



Jln. Sungai Gerong No. 9
Kebun Melati, Tanah Abang
Jakarta Pusat 10230
Atau melalui email : hrd@trpp-group.com

Assisten Agronomi ( kode : AA )

TANJUNG RHU PLANTATION & PRODUCTS, PT


Company Description

Kami perusahaan yang sedang berkembang pesat di bidang perkebunan kelapa sawit, membutuhkan tenaga-tenaga professional untuk bergabung bersama kami untuk posisi:


Assisten Agronomi ( kode : AA )

Kualifikasi :

  • Pria
  • Usia max. 28 thn
  • Pendidikan minimal S1 - Pertanian Jurusan Agronomi / Tanah / Budidaya / Hama & Penyakit
  • Memiliki motivasi tinggi dan dapat bekerja secara team.
  • Diutamakan pengalaman di perkebunan kelapa sawit.
  • Penempatan Kalimantan

Kirimkan lamaran lengkap beserta foto terbaru Anda dengan menuliskan nomor telepon yang dapat dihubungi dengan mencantumkan kode posisi di sudut kiri amplop paling lambat 1 bulan setelah tanggal terbit iklan ke alamat:


Jln. Sungai Gerong No. 9
Kebun Melati, Tanah Abang
Jakarta Pusat 10230
Atau melalui email : hrd@trpp-group.com

Jumat, 09 Oktober 2009

Memetik Manfaat dari Migrasi Otak Encer

"KEMITRAAN dan kerja sama global terus kita kembangkan. Hubungan dan kerja sama antarbangsa harus berada dalam konteks yang saling menguntungkan dan berkeadilan. Prinsip ini harus kita pegang teguh, baik dalam lingkup hubungan dan kerja sama regional maupun global. Kerja sama dan kemitraan antarbangsa juga harus tetap mengedepankan kepentingan nasional." Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rapat Paripurna DPR RI, 14 Agustus 2009.

Alkisah, beberapa nelayan Madura ditangkap di perairan Australia. Saat di ruang pengadilan, hakim bertanya mengapa nelayan tersebut mencuri ikan-ikan Australia. Dengan jujur dan polos sang nelayan menjawab, "Yang Mulia, kami tidak berniat mencuri ikan milik rakyat Australia, mencuri adalah pekerjaan terkutuk. Kami hanya mengejar, berupaya menangkap, dan membawa pulang ikan-ikan kami yang berenang ke perairan Australia."

Anekdot ini terkesan mengolok-olok orang Madura. Namun, jika kita mencermatinya dengan kepala dingin dan hati terbuka, kita akan terkagum-kagum dengan pengetahuan para nelayan itu yang seolah sudah paham betul akan fenomena migrasi ikan.

Para ilmuwan sudah lebih dari satu dekade melakukan debat ilmiah untuk mengenali pola migrasi ikan-ikan khususnya tuna, baik tuna sirip biru, sirip kuning, dan mata besar. Migrasi tuna ini terjadi di laut Pasifik, Atlantik, dan Samudera Hindia. Banyak faktor yang memicu debat ilmiah ini.

Ada yang berdalih mencari tahu dan menjawab keingintahuan ilmuwan biologi akan perilaku tuna yaitu mencari tahu jenis dan pola pakan, beranak-pinak, dan predator. Ada pula yang memandang dari fisika statik seperti salinitas dan temperatur dan dinamika air laut seperti pola arus laut sebagai faktor penentu migrasi.

Bahkan shusiyang semula hanya makanan khas orang Jepang namun kemudian merebak ke segala penjuru dunia ikut ambil bagian dalam debat seputar migrasi tuna ini mengingat salah satu bagian penting dari shusi adalah ketersediaan tuna berkualitas tinggi dan segar. Berbagai metode studi dan riset serta instrumen ukur dikembangkan untuk memahami fenomena migrasi tuna ini.

Diskusi dan debat ilmiah ini yang kemudian memberi pengertian bagaimana perilaku migrasi tuna ini. Di kawasan mana tuna bertelur dan membesarkan turunannya, ke mana migrasi dan kapan waktu tuna ini bermigrasi sudah mulai dipahami. Pemahaman ini kemudian menyadarkan kita bahwa tuna tidak tepat dibudidayakan di satu tempat saja. Migrasi adalah pola hidup alamiah tuna.

Tidak ada batas laut sampai batas negara yang membatasi gerak migrasi tuna ini. Tantangan bagi kita menerima fakta ini dan mencari alternatif-alternatif untuk disepakati secara global, alternatif yang memberi keuntungan terbaik bagi kita dari migrasi tuna melanglang lintas laut dan Samudera. Keadilan dan keberlanjutan tentu dijadikan nilai luhur dalam pemilihan alternatif eksploitasi tuna. Jika tidak, kepunahan akan mengancam populasi tuna yang lezat dan bergizi ini.

Brain Drain, Menjadi Perhatian Dunia dan Musuh Bersama

Fenomena yang serupa dengan migrasi tuna ini juga terjadi pada kita. Kesepakatan mengakhiri Perang Dunia II telah menciptakan situasi yang kondusif bagi beberapa negara untuk membangun sosioekonominya. Terjadi pertumbuhan yang pesat di beberapa negara.

Sementara itu beberapa negara lain tertinggal bahkan terperangkap dalam kemiskinan dan ada juga yang mengalami pertikaian dan perebutan kekuasaan dalam negeri. Terjadi beda potensi ekonomi dan sosio-politik. Perbedaan potensi ini memicu perpindahan khususnya ilmuwan yang migrasi dari satu negara ke negara lain.

Migrasi ilmuwan ini yang kemudian menjadi isu global dan dikenal sebagai fenomena brain drain, yaitu para otak encer lari dari negara aslinya dan mengadu untung di negara lain yang dipandang lebih menjanjikan baik dari ukuran kesempatan menyalurkan kreativitas dan inovasi bahkan ada juga yang hijrah karena menengok fatamorgana ketenangan hidup di seberang sana.

Penggunaan istilah brain drain yang dalam kosakata kita berarti kuras otak jelas bermakna negatif yaitu kerugian yang dialami yaitu berkurangnya jumlah orang pintar oleh negara di mana sang otak encer berasal. Tudingan ketimpangan atau ketidakadilan menjadi tantangan dunia.

Tak pelak, Kofi Annan yang kemudian digantikan Bang Kiimoon sebagai Sekjen PBB berteriak lantang untuk menghentikan fenomena brain drain yang merugikan ini. Beberapa artikel yang mengupas misalnya berjudul Bolivarian Brain Drain yaitu fenomena kuras otak yang bergejolak di negara- negara Amerika Latin.

Pemimpin fenomenal seperti Hugo Chavez berdiri di depan dan berteriak keras mengingatkan dunia akan ketidakadilan pada negara-negara Amerika Latin. Begitu juga artikel berjudul Shanghai Brain Drain dan African Brain Drain. Sejak krisis Asia di 1998 yang juga membuat Indonesia sengsara, kita sering mendengar, membaca, dan melihat tayangan seputar fenomena brain drain ini di Tanah Air.

Beberapa di antaranya eksodus ahli dirgantara ke pabrik-pabrik di Jerman, Prancis, Inggris, Belanda, USA, Brasil, dan Canada; hengkangnya ahli nuklir ke Eropa, Asia, dan Amerika; juara-juara Olimpiade Iptek yang mendapat tawaran beasiswa menggiurkan dari negara tetangga; berbondongnya dosen dan peneliti ke Negara Jiran.

Menarik menyimak penggalan pidato Shimon Perez saat mengulas fenomena brain drain, yaitu "Historically, wars between nations, and later between people, have always been about land and its appropriation. Now that the land is generally distributed, a new type of war has appeared, the war about technology and its control. This is, I believe, the new threat for the upcoming century ".

Pengembangan dan penguasaan teknologi yang disebut Shimon Perez ini ditengarai sebagai pemicu terjadinya mobilitas otak encer. Di era globalisasi ini teknologi dijadikan senjata pamungkas dalam memosisikan diri bagi suatu negara penjadi pemain utama. Terjadi perlombaan yang tidak adil yang menjadikan yang kuat ekonominya semakin kuat teknologinya.

Tanpa kemampuan mengembangkan dan menguasai teknologi telah berakibat pada terciptanya suatu kondisi sebagai konsumen semata bahkan memaksa menjadi tamu di negaranya sendiri. Ketimpangan menjadi pemantik terjadinya kecemburuan sosial bahkan menjurus pada ketegangan politik antarnegara. Independensi dan keadilan yang menjadi nilai luhur PBB tertantang oleh fenomena brain drain ini.

Manfaat Migrasi Otak Encer

Beberapa negara ada yang dengan sengaja mendorong terjadinya mobilitas orang pintarnya ke negara-negara yang dipandang sebagai sumber inovasi teknologi. Tengok misalnya bagaimana Jepang, Korea Selatan, India, dan China memfasilitasi ilmuwannya ke AS dan Eropa.

Ilmuwan ini diperlakukan sebagai duta besar atau special envoy dengan misi ikut mengembangkan dan menguasai teknologi. Kemajuan teknologi yang diikuti kemajuan ekonomi di Korea Selatan, Jepang, India, dan China tak pelak adalah kontribusi ilmuwan yang hijrah baik sementara atau selamanya ke negara sumber inovasi.

Walaupun demikian, kebijakan mobilitas ilmuwan ini juga tidak lepas dari pro dan kontra sosio-politik. Dengan menggunakan kekuatan ekonomi kemudian beberapa langkah strategis dilakukan dengan tujuan mengambil manfaat maksimal dari kaum otak encer tersebut.

Menjadikan mereka sebagai duta besar iptek adalah hanya salah satu cara. Keberadaan ilmuwan di seberang sana akan menjadi pemasok informasi tangan pertama bagi rekan-rekannya di kampung halaman. Mereka juga menjadi pembuka peluang dan pembuka jalan mengalirnya investasi dan devisa.

Membuka peluang, menyediakan fasilitas setara, dan memberi kompensasi ekstra yang kemudian dipopulerkan dengan istilah reverse brain drain juga cara yang telah banyak terbukti memberikan manfaat. China, India, Brasil, dan Pakistan adalah contoh negara-negara yang getol dalam program reverse brain drain.

Memusuhi dan menuding mereka tidak nasionalis hanya akan memperburuk situasi dan semuanya akan rugi. Negara dan rakyat tempat asal tidak mendapat manfaat, ilmuwan yang sedang hijrah semakin enggan pulang dan tak mau berbagi. Jangan picik menilai mereka sebagai brain drain yang merugikan tanah leluhurnya, terimalah ini sebagai kenyataan, bukan untuk dihindari, melainkan untuk dicari hikmah dan manfaatnya.

Penggalan pidato Presiden RI pada Rapat Paripurna DPR RI di atas adalah sikap positif, mengajak kita untuk membuka pikiran dan mencari peluang serta menerima globalisasi sebagai strategi kerja sama internasional - orang per orang, institusi per institusi, sampai negara per negara.

Lebih jauh lagi, Presiden telah mengajak kita mengubah paradigma dari perangkap mengecam brain drainmenuju mengambil manfaat--brain gain--dari migrasi otak encer-- brain circulation. Presiden Soekarno pernah berujar, "Biarkan sumber daya alam kita tersimpan di bumi ini sampai saatnya nanti anak negeri ini mampu menggali dan mengolahnya sendiri".

Di sini ditekankan betapa pentingnya membuat anak negeri memiliki kemampuan yang mumpuni. Hijrah ke mancanegara adalah upaya efektif untuk meningkatkan kemampuan anak negeri. Pemberian kesempatan (affirmative action) menggali dan mengolah kekayaan zamrud khatulistiwa adalah pengejawantahan dari reverse brain drain.

Sebagai penutup, mari samasama menyimak hipotesa: Indonesia hanya akan maju teknologinya dan ekonominya jika terdapat cukup jumlah otak encer anak negeri yang berkarier dan berkarya di mancanegara. Buka peluang agar 10% dari otak encer negeri ini berkompetisi dalam sirkuit internasional, brain circulation. Jangan biarkan kita terperangkap dan terkecoh oleh tudingan brain drain.(*)

KUSMAYANTO KADIMAN,
Menteri Negara Riset dan Teknologi
(//mbs)

Hilangnya Rasa Malu

INDONESIA itu bukan Jakarta. Tetapi apa yang terjadi di Jakarta, oleh media massa, terutama televisi, diekspos sedemikian rupa sehingga memengaruhi perilaku masyarakat seantero Nusantara.

Seakan, apa yang terjadi di Jakarta adalah gambaran kondisi Indonesia. Meski yang demikian itu tidak benar, tapi yang pasti karakter budaya lokal semakin lama semakin tipis tergerus budaya kota, khususnya Jakarta. Yang menyedihkan, tidak semua yang datang dari Jakarta, yang ditayangkan media televisi khususnya, selalu bagus.

Mereka yang lahir dan tumbuh di daerah tentunya masih ingat, betapa rasa malu itu dahulu sangat kuat. Tetapi akhir-akhir ini berita dan pengaruh dari Ibu Kota justru menggerogoti sifat dan nilai luhur yang tumbuh di daerah, misalnya saja rasa malu yang merupakan nilai mulia sebuah bangsa dan juga ajaran agama.

Di lingkungan desa saya di dekat Candi Borobudur, Magelang, perceraian dalam suatu keluarga itu dianggap aib besar. Anggota keluarga menanggung beban batin dan malu mengapa anggota keluarganya sampai cerai. Pasti tidak mampu menempatkan diri dan tidak memiliki loyalitas serta sikap saling menghormati antara mereka.

Begitulah penilaian masyarakat. Para tetangga pun hanya pilih diam meskipun hatinya tidak setuju dan heran karena mencampuri urusan tetangga juga tindakan aib. Terlebih tindakan mencuri, sungguh aib besar dan selamanya akan dicatat diam-diam oleh masyarakat dan akan terkucilkan dalam pergaulan sosial.

Karenanya di desa selalu aman, hampir tidak pernah terjadi pencurian di dalam rumah, meski pintu tidak dikunci. Seingat saya, orang tua tidak pernah menyuruh saya belajar membaca Alquran. Tapi ada rasa malu kalau melihat teman sebaya sudah bisa membaca, sementara saya belum bisa, sehingga tidak usah disuruh orang tua pun saya akan selalu datang ke masjid, belajar mengaji.

Begitu pun ketika mandi telanjang di sungai. Jika sudah menginjak usia sembilan tahun belum sunat atau khitan, akan menjadi tertawaan teman-teman sehingga segera akan minta disunat. Kalau membolos sekolah juga ada rasa malu pada teman dan tetangga. Demikianlah, rasa malu itu dulu tertanam kuat sebagai sebuah tradisi di desa.

Namun setelah lebih dari dua puluh tahun tinggal di Jakarta, saya merasakan suasana sosial yang sangat berbeda. Media televisi sangat gencar setiap saat memburu berita dan menyajikannya ke seluruh Nusantara, sehingga mendominasi wacana publik. Apa yang terjadi di sebuah daerah ketika diangkat oleh televisi akan segera menyebar ke seantero Nusantara dan seakan menggambarkan itulah Indonesia.

Beberapa penyanyi dan pelawak lokal pun kalau sudah hijrah ke Jakarta dan berhasil tampil di televisi, maka dipersepsikan sudah menjadi artis dan pelawak nasional. Penceramah agama pun kalau sudah pernah tampil di televisi Ibu Kota, apa pun mutunya, sudah merasa sebagai penceramah nasional.

Itu semua sah-sah saja sebagai bagian dari dinamika dan perjuangan seseorang untuk mengubah nasib dan berbakti kepada masyarakat dan bangsa. Yang menyedihkan adalah ketika berbagai kasus korupsi, pelanggaran moral, dan sekian kejahatan yang dilakukan kalangan atas juga menjadi sajian berita dan yang bersangkutan terlihat biasa-biasa saja. Ini membuat masyarakat desa yang setia menonton televisi menjadi bingung.

Nilai-nilai yang selama ini dijaga justru dihancurkan oleh perilaku masyarakat Ibu Kota yang oleh masyarakat desa dibayangkan sebagai masyarakat terdidik dan beradab. Di situ muncul konflik batin yang pada urutannya menggerogoti dan merobohkan wibawa tradisi lokal yang mereka jaga dan hormati selama ini.

Bayangkan saja, artis punya anak yang tidak jelas orang tuanya ternyata menjadi tokoh selebriti. Ketika menjadi selebriti merupakan idaman dan pujaan anak-anak muda, dalam waktu yang sama tiada minggu tanpa berita pertengkaran dan perceraian rumah tangga selebiriti. Bagi orang desa hal ini sangat sulit dipahami.

Koruptor yang jelas-jelas melakukan dosa sosial dan agama, terlihat biasa-biasa saja ketika diwawancarai wartawan. Bahkan masih terlihat gagah. Anggota DPR yang oleh masyarakat dianggap tokoh panutan dan pembela nasib mereka, sangat sering diberitakan mangkir menghadiri tugas rapat.

Belum lagi yang diberitakan suka memeras dan meminta-minta uang sebagai imbalan jasa yang sama sekali tidak dibenarkan. Belum lama ini malah hendak main pukul dalam rapat. Yang juga mengusik nalar sehat adalah pesta tasyakuran ketika memperoleh jabatan baru, sehingga menimbulkan kesan kuat bahwa jabatan itu sumber kekayaan baru, bukannya sebuah amanat yang berat.

Hal-hal demikian ini secara sangat signifikan merusak bangunan kesadaran dan kesetiaan moral masyarakat bawah. Meski tingkat pendidikan dan ekonomi mereka rendah, namun telah berusaha menjaga tradisi moral bangsa. Justru yang pendidikan tinggi dan kekayaannya melimpah malah merusaknya.

Masih banyak paradoks sosial yang oleh televisi disajikan secara telanjang, sehingga masyarakat bingung bahwa rasa malu semakin hilang di kalangan masyarakat. Yang merusaknya justru dari lingkaran elite di kota-kota besar, khususnya Jakarta, yang mestinya menjadi panutan dan penjaga moral bangsa.

Namanya saja "ibu kota", mestinya menjadi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberi contoh. Jadi, untuk apa mesti sekolah tinggi-tinggi dan mengejar jabatan tinggi kalau ternyata tidak mampu menjadi teladan masyarakat? Begitulah logika sederhananya. Atau sebaliknya, untuk apa mesti setia menjaga moral, kalau yang mestinya menjadi panutan, yang sudah kaya dan berpendidikan tinggi, tidak peduli pada moral? (*)

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mbok Ngatiem dan Pertanyaan tentang Kapasitas Negara

Suatu pagi, saya mendengarkan acara dialog interaktif yang disiarkan oleh salah satu radio swasta terkemuka di Jakarta. Tema yang dibahas ketika itu adalah seputar tanggapan masyarakat berkenaan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga gas (liquid petroleum gas/ LPG).

Melalui saluran telepon yang disediakan, mengalirlah sejumlah komentar dari para pendengar, mulai dari yang bernada "menghujat" sampai pada yang bernuansa mendukung. Satu di antara sederetan pendengar yang menyampaikan pendapatnya itu adalah Mbok Ngatiem (bukan nama asli) dari Jawa Timur. Pendengar yang mengaku berstatus sebagai ibu rumah tangga ini termasuk sangat kecewa dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga LPG.

Alasan yang dia sampaikan sangat masuk akal: "Lo, pemerintah ini maunya opo toh, Mas. Awalnya, kita diminta untuk mengonversi penggunaan minyak tanah ke gas, wis dituruti, eeh......moro-moro (tiba-tiba) harga gas dinaikkan. La.. ini artinya sama saja dengan pemerintah ingin bunuh rakyat, toh? Katanya kita sudah ?reformasi', ya opo toh, Mas, hasilnya?" Tentu saja pernyataan yang dikemukakan oleh Mbok Ngatiem itu tidak sepenuhnya harus diterima. Namun, ini adalah bagian dari realitas empiris kehidupan anak bangsa yang acap sulit dicerna oleh rasionalitas politik para petinggi negara di Jakarta.

Mbok Ngatiem dengan bahasa ndeso sejatinya sedang mempertanyakan eksistensi negara dalam kehidupan nyata. Hal inilah kemudian yang telah mengusik pikiran saya. Di antara pertanyaan yang moro-moro muncul adalah apa yang dapat dimaknai dari pernyataan Mbok Ngatiem tersebut pada konteks perjalanan "reformasi" di Indonesia sejak 1998 dan apa yang harus dilakukan ke depan?

Reformasi Institusi Negara

Bila ditilik dari perspektif "relasi negara dan masyarakat" (state-society relation), ungkapan polos yang disampaikan oleh Mbok Ngatiem di atas sungguh sangat mendasar karena dia sedang menggugat kapasitas negara (state capacity) dalam realitas kehidupan masyarakat (society).

Sayangnya, pertanyaan ini cenderung mendahului realitas yang terjadi lantaran pasca-reformasi sangat jelas terlihat masih lebih banyak dicurahkan pada upaya memperbaiki dan membangun institusi negara (state institutional reforms). Sementara upaya untuk membangun dan memperkuat state capacity relatif belum mendapat perhatian yang seimbang.

Hanya menyebut beberapa contoh, upaya reformasi institusi negara yang dimaksud dimulai dari amendemen UUD 45, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, perluasan otonomi daerah, diterapkannya sistem multipartai, kebebasan pers, dan tentunya masih banyak lagi bila harus disebut satu per satu.

Lebih jauh dari itu, dalam melakukan reformasi institusi negara itu sendiri juga terkesan sangat kuat bahwa target yang hendak dicapai lebih ditekankan pada upaya membangun "citra negara" di muka masyarakat atau apa yang disebut oleh Migdal (2003) sebagai state image.

Konsekuensinya, dapat dimengerti bila kemudian "aktualisasi negara dalam kehidupan sehari-hari" (state in practice) menjadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus, keberadaan negara justru "absen". Perihal itulah, antara lain, yang dirasakan Mbok Ngatiem di atas sehingga akhirnya dia mempertanyakan apa arti reformasi atau bahkan berpretensi seakan-akan pemerintah ingin membunuh rakyat.

Perspektif Sempit dan Asumsi Keliru

Pertanyaan berikutnya yang tidak kalah penting untuk direnungkan adalah, apa yang keliru dengan proses "reformasi"? Menurut hemat saya, sedikitnya ada dua persoalan pokok yang telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya "bias reformasi" yang berlangsung di Tanah Air dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini.

Pertama karena adanya simplifikasi dalam mendefinisikan proses transisi pasca-Soeharto. Proses transisi cenderung didegradasi dalam perspektif yang sempit, yaitu hanya dimaknai sebagai transisi "sistem politik" atau lebih populernya disebut sebagai "transisi demokrasi". Sementara fakta menunjukkan bahwa apa yang sesungguhnya sedang terjadi adalah transisi pada konteks yang lebih luas, yakni transisi "relasi negara dan masyarakat"( state-society relation).

Kedua, adanya kekeliruan asumsi dalam mengartikulasi "transisi demokrasi". Sejauh ini, transisi demokrasi telah dimaknai sebagai suatu proses pergeseran dari sistem politik otoritarian menuju sistem politik demokrasi. Sementara realitas "transisi" di Indonesia jauh lebih kompleks dari postulat "transisi demokrasi" konvensional tersebut. Dikatakan demikian karena titik tolak dari proses transisi di Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya berangkat dari sistem politik otoriter menuju demokrasi, tetapi dari personalised government menuju demokrasi.

Sistem politik pada periode rezim Soeharto sudah melebihi sistem otoriter karena telah memasuki apa yang disebut oleh Alagappa (1995) sebagai model personalised government. Secara teoretis, model personalised government sebenarnya juga merupakan bagian dari sistem otoriter. Namun, yang membedakan dua model ini, antara lain, terletak pada karakteristik dari relasi kekuasaan yang berlangsung. Pada sistem otoriter, konsentrasi kekuasaan berada pada tangan sekelompok elite negara dan struktur relasi kekuasaan bersifat oligarki dengan moda bipolar atau multipolar.

Adapun pada model personalised government, konsentrasi kekuasaan berada pada tangan satu orang elite negara dan struktur relasi kekuasaan bersifat oligarki dengan moda monopolar. Dengan merujuk pada karakteristik dari personalised government di atas, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kita sejatinya baru berhasil dalam hal menggeser moda oligarki kekuasaan pada tubuh negara, dari personalised government (oligarki monopolar) ke oligarki multipolar.

Sementara pada sisi society telah melahirkan societal actors (elite masyarakat) sebagai "pemain" baru dalam ranah politik. Elite masyarakat ini merupakan kelompok yang paling diuntungkan dari proses "reformasi" karena mereka yang paling siap memaksimalkan kesempatan partisipasi akibat dari lemahnya posisi tawar atau bahkan belum siapnya masyarakat sipil (civil society).

Reformasi Jilid 2?

Upaya untuk memperbaiki dan memperkokoh institusi negara (state institutional reforms) memang harus dilakukan. Namun, bila tidak disertai dengan upaya membangun kapasitas negara (state capacity), hal itu akan berimplikasi pada semakin tidak kentaranya "aktualitas negara" (state in practice) dalam kehidupan masyarakat sebagaimana direfleksikan Mbok Ngatiem di atas.

Lebih jauh dari itu, upaya membangun institusi negara bila tidak terkelola dengan baik akan sangat rawan terhadap praktik- praktik "pembajakan" oleh para elite penyelenggara negara (state actors) untuk kepentingan legitimasi politik dan hegemoni kekuasaan. Oleh karenanya, cukup beralasan bila disarankan kepada para penyelenggara hasil Pemilu 2009 (baik para wakil rakyat di DPR maupun presiden dan wakil presiden beserta kabinetnya) agar lebih menekankan agenda "reformasi" ke depan pada upaya membangun kapasitas negara (state capacity).

Untuk itu, fokus utama reformasi seyogianya harus lebih ditekankan pada upaya membangun dan memperkuat empat pilar utama dari state capacity (Grindle,1996). Empat elemen utama dari kapasitas negara yang dimaksud adalah kapasitas institusional (institutional capacity), kapasitas teknis (technical capacity), kapasitas administratif (administrative capacity), dan kapasitas politik (political capacity).

Upaya membangun kapasitas negara ini tentu juga harus disertai dengan upaya membangun kapasitas masyarakat sipil (societal capacity).(*)

Syarif Hidayat
Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
(//mbs)

Membaca Formasi Kabinet SBY

Hingga paruh kedua Oktober ini belum dapat dipastikan formasi menteri kabinet pasangan SBY-Boediono. Kecuali SBY dan 'lingkaran dalam' (inner circle) kekuasaannya, tak seorang pun tahu nama-nama yang bakal dijadikan pembantu Presiden untuk periode lima tahun mendatang.

Kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden, seperti dijelaskan oleh Pasal 17 ayat 2 UUD 1945. Karena pelimpahan jaminan kewenangan oleh konstitusi itu, maka siapa pun pilihan presiden yang duduk di jajaran menteri tak seorang pun bisa memprotes.

Meski demikian, di dalam menentukan para pembantunya, presiden diharuskan memenuhi standar aturan UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Di dalam Pasal 13 ayat 1 dan 2 undang-undang tersebut dimaktubkan bahwa pembentukan kementerian negara mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas, cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan perkembangan lingkungan global.

Power Positioning

Dua bulan terakhir ini hampir semua partai koalisi menyodorkan nama calon menteri mereka, dari satu hingga empat nama sudah diterima SBY. Bahkan beberapa di antara parpol itu terkesan melakukan penekanan (pressure) terhadap Presiden dengan dalih sebagai investor politik telah mengantarkan kemenangan SBY.

Di satu pihak, SBY justru bereaksi "tidak bersimpati" terhadap pola-pola yang dimainkan parpol pendukung koalisi. Reaksi itu bahkan pernah ditampakkan di depan publik dengan menegaskan bahwa dia tidak perlu diintervensi oleh pihak lain dalam penyusunan kabinet. Kritik lantas muncul dialamatkan kepada parpol pendukung yang kian kentara tendensi traksaksionalnya untuk dukungan mereka terhadap SBY.

Dalam hitungan politik paling akhir, SBY memang tidak mungkin meninggalkan para kolega koalisi sebagai fungsi penopang beragam kebijakan untuk lima tahun mendatang, utamanya dalam politik parlemen (DPR). Di pihak lain, kalangan parpol pendukung menghendaki SBY mau akomodatif terhadap kepentingan mereka. Toh mereka sudah berkeringat untuk kemenangan SBY.

Permintaan posisi dalam konteks ini menjadi sebuah kewajaran politik. Hanya, kesan yang tampak permukaan justru kian memperburuk citra parpol pendukung yang seolah hanya berpretensi pada jabatan menteri belaka. Selain tidak mau terlalu diintervensi oleh kelompok kepentingan lain, SBY akan menunjuk nama-nama yang dinilai tidak berisiko dan mempunyai kualifikasi profesional di bidangnya.

Tetapi dorongan politik juga mendedahkan afirmasinya kepada kelompok pendukung. Pertimbangan di atas memunculkan beragam spekulasi. Paling tidak, ada dua hal pokok yang dapat menjadi pertimbangan bagi SBY untuk memilih para menteri pembantunya, yakni profesionalisme dan mendapat dukungan penuh dari partai politik.

Pertama, pertimbangan pemilihan kabinet dari aspek profesionalitas dan kompetensi, atau dinamakan dengan zaken kabinet (kabinet para ahli). Di tengah problem sosial yang kian kompleks, utamanya beragam bencana alam dan kerusakan infrastruktur ekonomi dan budaya, SBY seolah didorong untuk membentuk kabinetnya berisi orang-orang profesional.

Pemulihan segala aspek kehidupan rakyat, utamanya di domain ekonomi dan sosial-budaya tidak dapat diselesaikan melalui lobi ataupun diplomasi politik, melainkan harus dicari solusinya dengan langkah-langkah konkret para menteri berintegritas dan berkemampuan multiple intelligence.

Tetapi jika hanya mempertimbangkan aspek profesional an-sich dengan minimalisasi parpol pendukung, dikhawatirkan kekuatan politik di tingkat kebijakan perundangan di DPR akan menurun. Kedua, menteri dari representasi partai politik yang mendukung stabilitas di parlemen kelak.

Setiap orang yang ditunjuk bukan saja mewakili dirinya sendiri, tapi mempunyai aspirasi partai politik, sehingga ada jaminan yang menitipkan orang itu tepat agar bisa bekerja baik. Melihat kader partai saat ini, memang ada beberapa tokoh partai yang memiliki kapasitas dan kompetensi sehingga layak duduk menjadi menteri, serta memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan parpol.

Kabinet Profesional

Pertanyaan selanjutnya, sebagai presiden terpilih yang memiliki legitimasi penuh dari rakyat, bagaimana SBY menentukan formasi kabinetnya di tengah dilema antara profesionalisme dan arus politik? Keberanian SBY dalam menentukan formasi kabinet sesungguhnya dapat diukur dari sejauh mana penunjukan nama-nama menterinya bertipe "profesional", baik dari parpol maupun nonparpol.

Dalam konteks ini, kabinet profesional tak lantas meninggalkan parpol, sebab dalam parpol banyak kalangan profesional dan bisa diandalkan untuk memimpin departemen tertentu. Terlepas dari dikotomi parpol dan nonparpol, kabinet profesional adalah kabinet yang selalu menampilkan kinerja terbaiknya.

Selalu mengusahakan berada di posisi paling terbaik. Beberapa standar kabinet profesional pementingan kualitas kerja dari sekadar tebar pesona. Sisi profesionalisme diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban.

Dia mampu mengendalikan mental spiritualnya, sehingga melakukan tindakan berdasarkan nilai-nilai, prinsip hidup, ataupun agama dan kepercayaan yang dianut. Profesionalisme diukur dari "bahasa kerja" bukan untuk kepuasan diri sendiri, tapi lebih untuk kepuasan masyarakat lewat interaksi kerja.

Juga karena sangat memahami bahwa kabinet profesional itu lahir dari kebutuhan masyarakat. Jadi, mereka harus bisa melayani masyarakat sebaik-baiknya secara konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati. Dorongan membentuk kabinet profesional dari masyarakat, tampak dari angka sebuah lembaga survei beberapa bulan lalu, yaitu 78,3% rakyat menginginkan para pembantu SBY berasal dari kalangan profesional.

Jumlah yang menginginkan menteri berasal dari parpol atau orang partai hanya 4,1%. Kita tetap berharap SBY mau lebih mendengarkan aspirasi rakyat yang justru telah memilihnya ketimbang suara dan tekanan partai politik koalisi. Bukan itu saja, dengan membentuk zaken kabinet SBY akan lebih aman dan tidak diributkan oleh kepentingan sempit parpol.

Dalam hal menjaga keseimbangan sistem pemerintahan presidensialnya, utamanya di domain politik Senayan, SBY dapat memberikan porsi kepada parpol pendukung sebesar 25-30% saja dengan beragam persyaratan kualifikasi personal yang memadai. Di periode kedua ini tidak boleh hal yang pernah terjadi pada periode pertama lalu terulang.

Dengan demikian, SBY bisa maksimal memperhatikan kepentingan rakyat dengan lebih berani dan tegas. Berani melakukan terobosan untuk kemakmuran rakyat sekarang, bukan kemakmuran untuk 10 atau 20 tahun lagi. Karena itu, kita berharap profesionalisme akan menjadi ukuran utama dalam penentuan figur yang akan mengisi kursi menteri.

Angka 60% dukungan rakyat kepada pasangan SBY-Boediono merupakan mandat luar biasa yang mutlak dimaksimalkan menjawab beragam keraguan. Kesalahan memilih maksimal 34 orang pembantunya di jajaran menteri akan berakibat fatal pada kinerja pemerintah selama lima tahun mendatang. Karenanya, formasi kabinet pemerintahan SBY kali ini menjadi pertaruhan riil kapasitas kepemimpinannya untuk Indonesia yang kini sedang berduka.(*)

Pandu Dewanata
Direktur Eksekutif The Indonesian Format

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...