Jumat, 31 Oktober 2008

Krisis Ekonomi Amerika: Neoliberalisme Kena Batunya

Oleh: Martin Manurung

Kali ini neoliberalisme terpojok. Pemerintah Amerika Serikat menghadapi dilema dalam mengatasi krisis keuangan terberat setelah depresi besar pada tahun 1930-an.

Pilihannya adalah antara membiarkan mekanisme ”pasar bebas” mengoreksi segala kebobrokan finansial yang kian membubung selama 10 tahun atau melakukan intervensi pemerintah untuk mengerem laju percepatan krisis dan mengembalikan kepercayaan terhadap perekonomian negara adidaya itu.

Presiden AS George W Bush mengambil pilihan kedua. ”Kita harus bertindak,” katanya dalam konferensi pers yang disiarkan berbagai televisi internasional. Dengan persetujuan Kongres, Pemerintah AS mengintervensi pasar dengan menggelontorkan dana talangan raksasa, total lebih dari satu triliun dollar AS bila dihitung sejak awal krisis, guna menyelamatkan berbagai perusahaan raksasa di Wall Street.

Pilihan itu merupakan konfirmasi bahwa ideologi neoliberalisme yang selama ini diusung dan dikampanyekan negeri itu kepada dunia ternyata omong kosong. ”Tangan-tangan ajaib” yang katanya menggerakkan ”pasar bebas” harus diikat agar tidak kian menyeret perekonomian negeri itu ke jurang kehancuran.

Neoliberalisme mengampanyekan ”pasar bebas” berdasarkan model pasar persaingan sempurna yang menjadi acuan mazhab teori ekonomi neoklasik. Pada model ini, sejatinya berlaku persyaratan free entry dan free exit’ (bebas masuk dan keluar). Hanya keuntungan, bukan pemerintah, yang dapat menentukan pelaku ekonomi masuk pasar dan menyerap surplus, lalu keluar saat defisit. Proses itu berlangsung begitu rupa sehingga seluruh surplus di pasar terserap dan mencapai keseimbangan pada posisi ”keuntungan normal (normal profit)”. Seharusnya mekanisme pasar bebas bekerja seperti itu, sebagaimana ”pakem” yang diyakini kalangan neoliberal.

Mekanisme pasar
Kekisruhan di Wall Street saat ini dapat dipandang sebagai bagian proses mekanisme pasar. Awalnya, berbagai korporasi diberi insentif untuk membesar dengan membebaskan dari aturan-aturan yang merintangi akumulasi kekayaan. Mereka ”difasilitasi” regulasi yang sengaja dibiarkan longgar sehingga memberi ruang untuk moral hazard melalui penciptaan berbagai produk keuangan yang ”ajaib” dan berisiko tinggi.

Lalu, posisi yang dominan dan ukuran besar membuat mereka mendapat predikat too big to be allowed to fail (terlalu besar untuk dibiarkan gagal). Predikat itu seolah menjadi sabuk pengaman untuk lebih menyerempet bahaya sehingga memperburuk terjadinya moral hazard. Yang lebih parah, selama proses menyerempet bahaya, otoritas pasar finansial, otoritas moneter dan Pemerintah AS menutup mata demi keuntungan politis penguasa.

Dengan demikian, krisis yang kini terjadi adalah konsekuensi alami dari praktik penyerempetan bahaya di Wall Street dan pembiaran Pemerintah AS. Dalam investasi berlaku hukum high risk, high returns atau risiko tinggi membawa tingkat pengembalian –dan kerugian—yang tinggi pula.

Para investor yang menanamkan modal pada instrumen keuangan yang berisiko tinggi, sepatutnya sadar, mereka siap menanggung akibatnya. Mengutip Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001 di Financial Times (25/7/2008), ”They got what they asked for” (mereka mendapatkan apa yang mereka minta). Kerakusan para pemburu rente berbuah bencana.

Negara pelindung modal
Alih-alih mengikuti mekanisme pasar, Pemerintah AS justru memberi ”napas buatan” melalui dana talangan tanpa banyak persyaratan. Tak ada tenggat pengembalian dan batas maksimum dana yang digelontorkan. Pun tak diatur apa yang harus dilakukan dan bagaimana perusahaan harus mereformasi organisasi dan kebijakannya guna memastikan dana talangan itu dapat dikembalikan ke negara. Hal itu amat kontras bila dibandingkan aneka kondisional yang dianjurkan AS melalui IMF dalam structural adjustment programmes (SAP) kepada negara-negara berkembang.

Konsistensi pada paham ”pasar bebas” menghendaki Pemerintah AS membiarkan swakoreksi (self correcting) pada mekanisme pasar di Wall Street. Tak seharusnya dana publik yang dikelola pemerintah digunakan untuk menyelamatkan korporasi yang mengalami kesulitan akibat perbuatannya sendiri.

Hal itu menegaskan, kembalinya peran pemerintah di AS cenderung sebagai upaya untuk melindungi pemilik modal ketimbang publik. Tesis negara sebagai pelindung modal, sebagaimana pernah dikatakan Karl Marx, menjadi sungguh-sungguh hadir dan nyata dalam krisis AS.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/08/01015541/neoliberalisme.kena.ba


Martin Manurung Penulis Analis Ekonomi-Politik dan Pembangunan; Alumnus School of Development Studies, University of East Anglia, Inggris

Lawan Pemiskinan

Oleh: Ivan A Hadar


Dampak buruk krisis global diprediksi semakin terasa pada tahun 2009. Semua ini gara-gara kesalahan kebijakan dan ulah spekulan.


Saya teringat buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002) yang bercerita tentang dampak pemiskinan. Konon,setiap 5 detik,ada satu balita yang mati kelaparan. Pemiskinan terkait masalah struktural dan perilaku. Ziegler bercerita tentang para pejabat tinggi di beberapa negara Skandinavia yang berjalan kaki,naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor.

Rumah para pemimpin terkenal Eropa seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria) pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas jauh berbeda dengan ”istana” kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia.

Parkiran gedung parlemen negeri ini pun, misalnya, sering disindir bagai show room mobil mewah.Ziegler menarik kesimpulan, semakin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan ”perilaku aneh” segelintir elite penguasanya.

Pemerataan
Tampaknya, ketika 'kebebasan' politik merebak secara global,padanannya ”kesetaraan” dan ”persaudaraan” nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warganya yang miskin dianggap ”jalan sesat” sosial demokrasi. Bagi pendukung (ekonomi- politik) neoliberal,pemerataan bukan alat ampuh melawan kemiskinan.

Bahkan sebaliknya, dianggap memperparah keadaan. Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan plausible. Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya secara produktif,sebaliknya hanya akan ”dikonsumsi” kaum papa.

Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi. Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia,pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah ”elite”(World Bank Report,Attacking Poverty,2000).

Namun,bagi Erhard Berner (2005), semua itu secara teoretis rapuh, secara empirik salah,dan bila dipraktikkan menjadi sesuatu yang sinis. Karena, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poor,mungkin saja realistis.

Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignoransi.Para pekerja kaki lima (PKL), yang rata-rata miskin, di kebanyakan negara berkembang adalah ”pahlawan” yang menyediakan lapangan kerja terbesar.

Juga tanpa kampung-kampung seperti di Jakarta, kota besar tidak akan mampu menyediakan kebutuhan papan warganya. Kontribusi fantastis sektor informal bagi perkembangan ekonomi, umumnya, luput dari statistik resmi; sementara mereka digusur-gusur para birokrat korup.

Kesehatan dan Pendidikan
Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada ”investasi produktif” adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anakanak. Dulu, banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil. Malaysia dan Korea Selatan, misalnya. Tanpa itu,berlaku ”lingkaran setan”.

Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan (anak-anak) mereka sehat dan pintar. Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, ”Kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan.

” Kemiskinan massal, menurutnya, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, tetapi penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Pro-poor Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications,2000). Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas pro-growth poverty reduction.

Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, tetapi investasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi.Cerita sukses di Brasil,Vietnam,dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton. Pada tataran makroekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan.

Anehnya, meski penelitiannya dibiayai Bank Dunia,namun dalam seluruh laporan Bank Dunia temuan ini tidak dimunculkan. Yang juga jelas,untuk mampu memenuhi kewajiban, negara miskin membutuhkan bantuan negara kaya, termasuk pemotongan utang.

Tentu saja lewat persyaratan demi pengurangan kemiskinan, termasuk upaya memerangi korupsi.Yang pasti, saat kesetaraan dan persaudaraan yang berarti pemerataan belum menjadi paradigma, petaka pemiskinan masih terus berlanjut.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/182018/



Ivan A Hadar
Koordinator Nasional
Target MDGs (Bappenas/UNDP)

Krisis Finansial dan Korporasi Ulat

Oleh :Khudori

Tumbangnya raksasa keuangan Lehman Brothers Holdings Inc membawa dampak ikutan (contagion effect) luar biasa. Ini terjadi karena Lehman Brothers tidak sendiri. Pelaku besar lain juga sempoyongan. Sejumlah perusahaan, mulai asuransi terbesar di dunia--American International Group Inc--hingga perusahaan sekuritas besar, seperti Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan Goldman Sachs, limbung. Mereka adalah lokomotif dan episentrum pembawa gerbong panjang. Bisa dibayangkan massifnya dampak negatif yang ditimbulkan. Kepanikan tidak hanya melanda bursa, dari Wall Street hingga Jakarta, tapi juga indeks harga saham merosot, dan kini kerisauan menghantui pelaku sektor riil.

Untuk mengatasi krisis keuangan, sejumlah negara melakukan berbagai langkah, terutama menyuntikkan dana talangan (bailout). Krisis keuangan menelan biaya yang begitu mahal. Amerika Serikat menginjeksi modal sembilan bank besar US$ 250 miliar dan mengikuti langkah Eropa menasionalisasi perbankan. Belum lagi paket dana talangan US$ 700 miliar untuk menyelamatkan pasar. Langka serupa diikuti Inggris, yang memompa dana US$ 691 miliar untuk menggenjot likuiditas. Jerman mengikuti (US$ 679 miliar), Irlandia (US$ 549 miliar), Prancis (US$ 494 miliar), dan Norwegia (US$ 57,4 miliar). Langkah serupa ditempuh negara-negara di Asia untuk menyelamatkan diri.

Sejauh ini ada banyak analisis yang menjelaskan kehancuran pasar finansial AS, mulai kebijakan defisit besar Presiden Bush, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, sampai tindakan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers. Namun, inti masalahnya ada dua (Prasetyantoko, 2008). Pertama, gejolak ini semata-mata kesalahan prosedur tata kelola yang mengakibatkan kegagalan pasar (market failure). Solusinya sederhana: usaha penyelamatan oleh negara.

Kedua, akar masalah ada pada sifat alamiah perekonomian itu sendiri. Sumber instabilitas ekonomi (finansial) ada pada dirinya sendiri (endogen), bukan faktor luar (eksogen). Krisis terjadi jika pelaku ekonomi terlalu ekspansif dan spekulatif dalam kebijakan keuangan, sehingga tak mampu membayar kewajibannya. Karena instabilitas bersifat endogen, campur tangan pemerintah seharusnya tidak hanya dilakukan jika telah terjadi masalah (ex-post), tapi sebelum terjadi (ex-ante). Sayang, intervensi, selain mengundang moral hazard, dianggap restriktif terhadap inovasi dan perkembangan.

Apa yang terjadi pada Lehman dan perusahaan finansial lainnya adalah absennya kehati-hatian (hedge). Sistem finansial modern memungkinkan semua pelaku keuangan bersikap spekulatif. Masalahnya, sistem keuangan semacam itu tidak adil bagi publik. Jika mereka (baca: korporasi) untung, hasilnya diprivatisasi (dimiliki privat), tapi jika rugi, bebannya dibagi kepada pihak lain. Karena ukurannya terlalu besar, pemerintah harus turun tangan menyelamatkan mereka. Untuk Indonesia, contohnya kasus BLBI 1998.

Inilah saatnya memikirkan ulang format kebijakan ekonomi, baik di level mikro (perusahaan), nasional, maupun global. Pertanyaan krusialnya, mungkinkah sistem yang mengandalkan fundamentalisme pasar seperti saat ini tidak akan bertahan? Kasus ini, untuk kesekian kalinya, menunjukkan intervensi negara amat diperlukan untuk mencegah terjadinya krisis. Apa yang harus dilakukan? Selain membuat aturan tata kelola (good governance) yang canggih dan ketat, di level mikro amat mendesak mengatur korporasi.

Sejarah mengajarkan, aneka krisis sebagian besar dipicu oleh perilaku korporasi yang tidak taat tata kelola. Ironisnya, dari tahun ke tahun, pengaturan korporasi--terutama korporasi transnasional (TNCs)--kian buruk. Padahal korporasi paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global, dan pengurasan sumber daya di seluruh dunia serta memiliki andil besar pada munculnya pola-pola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif (Khor, 2003). Dan kini korporasi terbukti jadi biang keladi segala krisis. Kesalahan terbesar berbagai kesepakatan penyelamatan lingkungan atas pembangunan ekonomi adalah kealpaan memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan, dan TNCs.

Upaya menyelesaikan kode etik bagi TNCs (Code of Conduct on TNCs) secara formal terhenti pada 1993. Sedangkan badan yang bertanggung jawab tentang hal itu, The UN Center on TNCs, dibubarkan. Dengan demikian, institusi, inisiatif internasional dalam penyusunan pedoman perilaku TNCs, dan yang menetapkan aturan mengenai hak serta kewajiban TNCs tak ada lagi. Global Compact Initiative yang diinisiasi PBB--yang meminta korporasi bertanggung jawab dan berperilaku bisnis sehat--tidak efektif karena sifatnya tidak mengikat, tapi sukarela. Kini arus balik justru kian kuat, yakni kecenderungan mengurangi dan menghilangkan peraturan demi peraturan yang dibuat pemerintah guna mengatur perusahaan. Di saat yang sama, lantaran kekuatan, lobi, dan kedekatannya dengan organisasi multilateral, ada kecenderungan TNCs diberi hak-hak dan kekuasaan yang kian besar. Kontrol negara atas perilaku korporasi dihilangkan.

Caranya? Di satu sisi, lewat deregulasi, bisnis melepaskan dari aturan, di sisi lain, privatisasi memungkinkan korporasi mengelola berbagai area dalam hidup bersama yang tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Gejala ini oleh Noreena Hertz (1999) disebut "pengambilalihan diam-diam" (silent take-over). Bisnis dalam rupa korporasi menjelma menjadi institusi yang sangat dominan, yang kekuasaan dan pengaruhnya melebihi negara dan komunitas sipil. David Korten menyebut, korporasi kini jadi pengatur dunia.

Sejarah korporasi sebenarnya masih baru. Namun, korporasi terus eksis, bahkan kian merajalela: dari 7.000 TNCs (1970-an) menjadi 37 ribu (1990-an). Selama 150 tahun, seperti diuraikan Joel Bakan dalam The Corporation (2004), korporasi telah berkembang dari entitas yang tak dikenal menjadi institusi yang mendominasi perekonomian dunia, mempengaruhi dan mengatur masyarakat, menggantikan negara. Masalahnya, menurut ahli pembangunan John Elkington (2001), dari empat metafora korporasi--ulat (caterpillar), belalang (locust), kupu-kupu (butterfly), dan lebah madu (honeybee)--dunia disesaki korporasi ulat.

Korporasi kupu-kupu dan lebah madu menumbuhkan (regeneratif), model bisnisnya sustainable, terus berinovasi, memiliki kemampuan terus tumbuh, taat etika bisnis, dan ramah sosial. Ini berbeda dari korporasi ulat (dan belalang) yang bersifat merusak (degeneratif), memiliki model bisnis tak sustainable, cenderung melampaui daya dukung ekologi, sosial, dan ekonomi, serta secara kolektif menghasilkan dampak regional dan bahkan global. Seperti ulat, sistem ekonomi (yang didominasi korporasi ulat) akan melahap kapital alam dan sosial. Itulah yang terjadi saat ini. Krisis ini, sekali lagi, mengajarkan perlunya mengatur perilaku korporasi.

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/10/30/Opini/krn.20081030.14

Khudori
Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian

Kamis, 04 September 2008

Minyak Sintetis dari Batu Bara

Oleh: Yuni Ikawati
--------------------------------------------------------------------------------

Keluar dari OPEC karena menjadi net importer minyak bumi, Indonesia mulai beralih pada batu bara, yang jumlahnya tergolong masih melimpah. Pemanfaatan batu bara itu tidak hanya dalam bentuk padat untuk membangkitkan pembangkit listrik tenaga uap, tetapi juga dicairkan menjadi minyak sintetis pengganti solar.

Pemanfaatan batu bara untuk otomotif sebenarnya telah dilakukan beberapa abad lalu pada lokomotif, yaitu sejak ditemukannya mesin uap. Namun, penggunaannya tidak berkembang karena bahan bakar ini menimbulkan polusi dan kurang praktis.

Sementara itu, penggunaan minyak bumi lebih menjanjikan dan prospektif kala itu. Namun, dengan melonjaknya harga minyak bumi belakangan ini, penggunaan batu bara mulai ditengok lagi.

Potensi cadangan batu bara di Indonesia disebut-sebut mencapai 36,3 miliar ton, tetapi sebagian besar, yaitu 85,2 persen, berkualitas rendah, disebut juga batu bara lignit. Sayangnya, batu bara yang bernilai kalor rendah ini tidak ekonomis pengangkutannya. Karena itu, dipikirkan untuk memanfaatkannya di mulut tambang sebagai pembangkit atau dicairkan di lokasi tambang.

Dengan teknik pencairan tersebut, batu bara mudah digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dan dapat menekan polusi.

”Pencairan batu bara merupakan upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis batu bara rendah sehingga dapat dipasarkan secara komersial sebagai minyak sintetis,” jelas Martin Djamin, staf ahli Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Energi Alternatif dan Terbarukan dalam Seminar ”Rusnas Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan”, Senin (11/8) di Jakarta.

Pencairan batu bara merupakan salah satu upaya men- capai sasaran energi mix nasional tahun 2025 untuk menjamin tersediaan energi untuk kepentingan nasional. Pada tahun itu, sebesar 2 persen kebutuhan energi disuplai oleh batu bara cair.

Proses likuifikasi batu bara

Dibandingkan dengan minyak, berat molekul batu bara lebih besar daripada minyak dan mengandung hidrogen lebih sedikit, tetapi lebih banyak oksigen, sulfur, dan nitrogen daripada minyak. Karena itu, batu bara memiliki densitas energi lebih sedikit daripada minyak.

Oleh karena itu, batu bara diubah menjadi bahan bakar bersih dengan densitas energi lebih tinggi dengan memisahkan sulfur dan nitrogen dan meningkatkan kandungan hidrogennya.

Likuifikasi batu bara dilakukan dengan mengubah wujud batu bara yang telah bebas abu dengan dipanaskan sampai 450 derajat Celsius dan tekanan 180 bar (satuan tekanan udara).

Produk cair dari otoklaf dipisahkan dengan alat destilasi vakum, urai SD Sumbogo M, Ketua Tim Pencairan Batu Bara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Cairan fraksi berat hasil destilasi lalu diekstraksi dengan pelarut untuk pemisahan fraksi lebih lanjut.

Bahan bakar yang padat itu dapat dikonversi menjadi minyak fraksi berat, medium, dan ringan, untuk bahan bakar mobil dan pesawat terbang.

Teknologi pencairan batu bara itu telah dilakukan lembaga pengembangan energi Jepang (NEDO), beberapa dasawarsa lalu. Namun, teknologinya sendiri pertama kali diperkenalkan oleh F Bergius, kimiawan Jerman yang memperoleh paten produksi bahan bakar cair dari batu bara dengan memakai tambahan hidrogen pada batu bara di tahun 1913.

Mengacu pada pengalamannya, NEDO kemudian bekerja sama dengan BPPT untuk hal yang sama mulai tahun 1993. Penelitian difokuskan pada pemanfaatan sampel batu bara Indonesia dari Tanjung Enim (Sumatera Selatan), Cerenti (Riau), dan Kalimantan Timur.

Pengujian dan analisa dilakukan di laboratorium pencairan batu bara di Laboratorium Sumber Daya Energi (LSDE), Pusppitek Serpong, dan di Laboratorium Nippon Brown Coal Liquefaction (NBCL).

Pabrik percontohan

Evaluasi awal menunjukkan bahwa batu bara di Banko Selatan terbaik untuk proses likuifikasi dengan hasil minyak lebih dari 70 persen berat.

Adapun dari segi teknologinya, dijelaskan Martin, pencairan batu bara tersebut sudah terbukti berhasil dalam skala laboratorium. Dari pengembangan teknik pencairan batu bara itu telah dihasilkan paten katalis untuk proses tersebut yang disebut limonit. Paten tersebut dimiliki bersama BPPT dan NEDO.

Tahap berikutnya adalah pengembangan pabrik pencairan pada skala yang lebih besar, sampai pada tingkat komersial. Dalam hal ini tengah dipersiapkan desain dan rancang bangun pabrik percontohan berkapasitas 6.000 ton per hari.

Akan tetapi, karena biaya pembangunannya yang sangat tinggi, yaitu mencapai 1,3 miliar dollar AS, BPPT pada tahun 2005 sudah mengusulkan pembangunan pabrik kapasitas 3.000 ton per hari, dengan dana yang dibutuhkan sekitar 800 juta dollar AS.

Menurut perhitungan, ujar Martin, meskipun menyerap dana yang relatif besar, pabrik pencairan batu bara ini ini dapat menghasilkan minyak sintetis yang harganya kompetitif dan menguntungkan.

Harga jual minyak sintetis batu bara untuk pabrik berkapasitas 3.000 ton per hari adalah 29,3 dollar AS-33,4 dollar AS per barel.

Pembangunan pabrik berkapasitas 3.000 ton per hari itu sebenarnya sudah disepakati akan didanai oleh Bank Sentral Jepang, JEBIC. Namun, rencana tersebut belum terealisasi karena pihak Jepang meminta jaminan teknologi dari Pemerintah Indonesia.

Hal ini, menurut Martin, jelas memberatkan Indonesia karena apabila pabrik tersebut mengalami kegagalan, sepenuhnya harus ditanggung pihak Indonesia. Sebagai jalan tengahnya akan diusulkan jaminan teknologi ditanggung kedua belah pihak.

Dengan terlaksananya pembangunan pabrik pencairan batu bara, Indonesia akan menjadi salah satu perintis penerapan teknologi baru pencairan batu bara langsung.

Selama ini, pencairan batu bara tidak langsung yang disebut Sasol telah dikembangkan oleh Afrika Selatan. Untuk penerapan teknologi Sasol, Indonesia juga menawarkan kerja sama dengan negara Afrika tersebut.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/13/01165538/minyak.sintetis.dari.b

Yuni Ikawati
Kompas

Buruh dan hak yang masih terabaikan

--------------------------------------------------------------------------------

Kemarin, 1 Mei, kita kembali memperingati hari buruh. Sebagaimana kita ketahui, peringatan hari buruh pada awalnya dilatarbelakagi oleh pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah dan buruknya kondisi kerja di tingkat pabrik sehingga melahirkan perjuangan buruh untuk meraih kendali ekonomi, hak politik, dan hak industrial.
Hingga saat ini, tanggal 1 Mei ditetapkan menjadi hari buruh dan dikenal dengan istilah May Day dan diperingati kaum buruh di berbagai negara.

Di Indonesia, May Day atau Labour Day pertama kali diperingati pada tahun 1920. Sejak peristiwa G-30 S PKI hal itu tidak diperingati lagi, karena pergerakan buruh dihubung-hubungkan dengan paham komunis. Baru pada 1999, setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru, hari buruh kembali diperingati.

Berbagai macam organisasi buruh lahir sebagai kekuatan nonnegara yang relatif independen. Namun, gerakan buruh era reformasi menghadapi tantangan yang kian berat. Ia harus menghadapi kepentingan negara dan pengusaha.

Meskipun demikian, buruh tetap saja melakukan aksi-aksi dan tuntutan-tuntutan melalui demonstrasi. Aksi damai dan tuntutan buruh pada dasarnya tidak terlepas dari masalah kesejahteraan kaum buruh terutama dalam aspek ekonomi. Tuntutan itu ditujukan kepada pemerintah dan perusahaan tempat buruh bekerja.

Ketidakpuasan akan kesejahteraan yang mereka dapatkan sebagai buruh, mendorong para buruh untuk mendapatkan hak-hak mereka lewat demonstrasi pada setiap 1 Mei. Tuntutan akan kesejahteraan yang lebih baik adalah hal yang wajar mengingat beratnya biaya hidup dengan upah yang masih rendah.

Betapa tidak, di saat harga-harga kebutuhan pokok terus saja melambung tinggi, tetapi upah yang mereka terima sangat minim dan kecil sekali. Bagi buruh, kenaikan harga kebutuhan pokok sudah pasti akan memberatkan.

Sejak masa Soeharto hingga pemerintahan Yudhoyono saat ini, politik upah murah terus saja dijalankan. Di masa Soeharto, politik upah murah dijadikan daya tarik untuk menarik investasi asing. Begitu pula saat ini, bahkan ditambah "embel-embel", apabila upah buruh tinggi, pengangguran akan semakin meningkat. Jadi upah buruh murah harus dijalankan untuk mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja dianggap lebih penting daripada meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Jika kita berbicara mengenai upah, untuk ukuran provinsi, Jakarta merupakan provinsi dengan upah tertinggi. Pada 2006, UMP Jakarta Rp819.100 per bulan. Dewan Pengupahan DKI menaikkan UMP Jakarta menjadi Rp 900.560 per bulan untuk 2007.

Namun, para aktivis buruh menilai kenaikan upah 9,95% itu terlalu rendah. Anwar Ma'ruf, Koordinator Aliansi Buruh Menggugat, mengatakan upah Rp900-an ribu per bulan belumlah layak karena UU Ketenagakerjaan mengatur agar upah ditentukan berdasarkan kebutuhan hidup layak. Dengan demikian, untuk ukuran Kota Jakarta, upah yang Rp900-an ribu per bulan belumlah layak untuk tercapainya kesejahteraan hidup.

Dari jumlah upah yang diterima kaum buruh tersebut di atas menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima oleh masyarakat yang berprofesi sebagai buruh masih relatif rendah. Kondisi ini akan semakin mempersulit kaum buruh untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya.

Untuk itu, kaum buruh perlu segera memperoleh kenaikan upah. Karena dengan naiknya harga-harga kebutuhan dan rendahnya upah yang diterima para buruh, secara otomatis akan memberatkan bagi para buruh.

Kesejahteraan buruh

Jika kita lihat, selama ini perusahaan masih menganggap buruh sebagai mesin produksi penghasil uang dan cenderung mengabaikan aspek kemanusiaan. Kaum buruh sering dijadikan bahan eksploitasi untuk kepentingan bisnis semata.

Kondisi buruh di banyak perusahaan di Indonesia masih jauh dari standar sejahtera. Apalagi dengan munculnya budaya populer di berbagai perusahaan akhir-akhir ini yang hanya menjadikan buruh sebagai tenaga-tenaga kontrak dan setiap saat bisa diputuskan hak ekonominya tanpa perlindungan yang menguntungkan dari negara.

Kondisi ini semakin meneguhkan kepada kita bahwa buruh tidak mendapatkan penghargaan atas kerja keras dan jerih payahnya dalam memajukan sebuah perusahaan.

Kiranya perlulah disadari bahwa, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang memberikan kesejahteraan kepada buruhnya. Perusahaan harus menghargai buruh sebagai investasi. Dari itu, hendaknya semua pihak mendukung peningkatan kesejahteraan buruh.

Persoalan ini harus menjadi komitmen pemerintah dan pelaku usaha. Hanya dengan memberikan kesejahteraan yang layak kepada buruh, maka suatu perusahaan akan maju dan berkembang. Tanpa buruh, perusahaan akan mati. Tanpa buruh, perusahaan tidak akan berjalan. Sekali lagi ini harus disadari oleh semua pihak.

Tidak berlebihan, semoga saja melalui peringatan hari buruh tahun ini akan muncul kesadaran dari perusahaan untuk memberi perhatian yang lebih besar kepada buruh, khususnya menyangkut tingkat kesejahteraan.

Jika para buruh sejahtera, tentu saja buruh tidak memiliki beban dalam menjalani hidupnya. Pada akhirnya tidak akan ada demo-demo para buruh yang sebenarnya akan menghentikan kegiatan produksi di perusahaan-perusahaan. Ini akan merugikan perekonomian secara nasional.

Perusahan harus berkomitmen untuk menyejahterakan buruhnya. Perusahaan hendaknya memberikan upah yang layak untuk buruh dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang tidak kalah pentingnya, sudah saatnya perusahan menyediakan atau memberikan fasilitas tempat tinggal yang layak huni untuk buruh dan keluarganya. Tempat tinggal yang layak tersebut bisa disediakan di lokasi terdekat di mana buruh bekerja, sehingga akan lebih dekat dan tidak memerlukan ongkos atau biaya transportasi.

Di samping itu, sudah seharusnya perusahaan memberikan fasilitas pendidikan kepada anak-anak buruh, memberikan jaminan sosial berupa asuransi kesehatan dan asuransi jiwa serta memberikan tunjangan hari tua untuk buruh. Jaminan sosial jangan hanya diberikan kepada mereka yang bekerja di sektor formal saja, tetapi juga hendaknya diberikan kepada mereka yang bekerja di sektor informal.

Semua poin di atas harus menjadi perhatian pihak yang berkepentingan, sebab buruh merupakan tulang punggung dalam setiap perusahaan, karena merekalah yang akan menjalankan perusahaan secara teknis dan operasional.

Menutup tulisan ini, perlu kita ingat suara lantang dari Karl Marx yang mengatakan bahwa dunia buruh adalah dunia alienatif. Buruh teralienasi secara sosial bahkan dari dirinya sendiri. Sejatinya, buruh masih menjadi warga kelas bawah yang hak-haknya masih terabaikan.

Jadi sudah waktunya, pemerintah dan perusahaan memberikan hak-hak para buruh. Buruh harus diberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Jangan lagi hak-hak para buruh diabaikan sehingga mereka dapat hidup layak sebagamana adanya. Selamat hari buruh, semoga buruh sejahtera. Semoga.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

< Oksidelfa Yanto
Staf peneliti CSIS Jakarta

Rabu, 20 Agustus 2008

Merdeka dalam jajahan neoliberalisme

Oleh: Fathullah


--------------------------------------------------------------------------------

Peringatan HUT ke-63 Kemerdekaan RI kini berhadapan langsung dengan neoliberalisme. Kita menghadapi ancaman dan tantangan penjajahan baru oleh neoliberalisme global yang kini sangat nyata keberadaannya dan menguasai perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Neoliberalisme pada kenyataannya, bukan lagi sesuatu yang mudah untuk bisa dihindari dan diantisipasi.
Akan tetapi kini semakin dekat dan bahkan telah menyatu dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Menyatu dalam pengertian ideologi dan kepentingannya telah memengaruhi, terlibat dalam pengambilan keputusan strategis berbangsa dan bernegara, dan telah membentuk suatu lingkaran setan yang mempersuram sisi kehidupan bangsa dan negara ini.

Sesuai dengan ideologinya, neoliberalisme sangat memuja pasar (istilah lain: fundamentalisme pasar). Para pemeluk neoliberalisme sangat percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi, dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tetapi juga seluruh aspek kehidupan.

Diyakini, dengan pasar bebas umat manusia akan memasuki pintu gerbang keemasan yang membebaskan dan membahagiakan. Oleh sebab itu, maka para pemeluk 'agama dunia' bernama neoliberalisme itu mengkritik dan menolak campur tangan negara dalam aktivitasnya menjalankan program-program kesejahteraan rakyat, karena dianggap hal itu akan menimbulkan defisit negara yang luar biasa. Negara dilarang turut campur tangan mengurusi persoalan rakyatnya.

Biarlah rakyat sendiri yang mengurus urusannya, sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Kecuali itu, peran negara hanya untuk melayani dan memberi kemudahan untuk kepentingan berkembangnya neoliberalisme global.

Keyakinan dan ideologi neoliberalisme adalah jelas sekali sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang menyatakan bahwa "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, ....."

Jadi, dalam konteks keyakinan dan ideologinya saja, neoliberalisme sebagaimana dijelaskan di atas telah sangat menyesatkan dan mengerikan, apalagi dalam implementasi program dan aksi-aksi yang dijalankannya, kita bisa saksikan akibatnya yang lebih mengerikan lagi. Sebut saja misalnya dalam bidang pertanian, yang menyangkut nasib hidup matinya para petani kita sebagai bangsa agraris.

Kenyataan yang terjadi di sektor itu adalah hilangnya kemerdekaan (kemandirian) pertanian kita, dan masuk ke dalam perangkap ketergantungan sistem pertanian neoliberal, termasuk di dalamnya para petani dan buruh tani, yang berada dalam lingkaran kepentingan perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) atau multinasional (multinational corporations/ MNCs) dengan perangkat pengawasnya yaitu World Trade Organization (WTO).

Secara lebih tegas lagi, di balik kepentingan neoliberalisme itu sebenarnya terdapat kepentingan TNCs/ MNCs dari negara Amerika Serikat (AS) yang didukung dan dilindungi secara politik oleh Pemerintah AS. Kepentingan TNCs / MNCs AS ini sangat jelas, misalnya dalam penguasaan TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) di seluruh dunia.

Data pada 1997 memperlihatkan bahwa industri berbasis TRIPs atau Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam bidang perdagangan mengumpulkan hasil ekspor terbesar bagi perusahaan AS, yaitu sebesar US$66,85 miliar. Angka itu disusul oleh industri kimia US$66,40 miliar, dan kendaraan bermotor US$58,34 miliar. Data UNDP juga menunjukkan bahwa pada 1995 saja angka pembayaran royalti dunia lebih dari setengahnya mengalir ke AS. (Arimbi:2002).

Sebaliknya bagi Indonesia, dengan permainan tidak adilnya TNCs /MNCs negara-negara maju seperti AS dan Jepang, menyebabkan kehilangan kepemilikan terhadap sejumlah hak paten produk andalan rakyat seperti tempe, rempah-rempah, bibit tanaman padi, dan sebagainya.

Dengan kenyataan pahit di atas, yang menggambarkan betapa ironis dan paradoksnya kita sebagai bangsa dan negara merdeka yang telah diproklamasikan sejak 63 tahun yang lalu, ternyata di balik kemerdekaan itu, hanya berupa kemerdekaan dari penjajahan secara fisik dari negara penjajah saja yang baru terjadi.

Padahal penjajahan dalam bentuk yang sangat hakiki dan kompleks, bermakna ketertindasan dan ketergantungan yang luar biasa, menyebabkan ketakberdayaan kita sebagai bangsa dan negara terhadap penjajahan nonfisik yang dilancarkan oleh para penjajah neoliberalisme global, hingga saat ini, bahkan akan terus berlangsung ke depan, tak membuat kita bisa lepas dari penjajahan dalam bentuk baru itu. Artinya bangsa dan negara ini tetap dalam kondisi sangat terjajah.

Mereka berhasil dan terus mempertahankan jajahannya karena kesalahan para pemimpin bangsa dan negara ini yang tidak konsisten dan khianat terhadap amanat kemerdekaan yang dicita-citakan oleh para pendiri dan pejuang kemerdekaan.

Para pemimpin pemerintahan kita yang lalu lebih memikirkan kepentingan sesaat untuk dirinya, keluarga dan kroninya, daripada menjadi pemimpin bangsa yang negarawan yang memikirkan dan memperjuangkan nasib bangsanya.

Mereka telah menggadaikan dan bahkan menjual harga diri dan kekayaan bangsa dan negara ini untuk kepentingan neoliberalisme global secara tidak bertanggungjawab.

Bencana yang paling serius dan sangat tidak kita harapkan tentunya adalah kehancuran kita sebagai bangsa dan negara ini, alias Indonesia yang ada sekarang ini akan bubar jalan, dan akan dicaplok di sana sini oleh negara penjajah baru dalam jaringan neoliberalisme global itu.

Jika ini yang terjadi, berceritalah anak cucu atau cicit kita nanti, bahwa katanya "dulu, kata ibu bapak atau nenek kakek saya, pernah ada negara yang namanya Indonesia Raya.

Negaranya kaya raya dengan sumber daya alam yang melimpah, tapi karena salah urus, dikorupsi dan digadaikan oleh para pemimpinnya, akhirnya negara itu pun hancur berantakan. Inilah yang wajib dan sangat relevan kita renungkan di saat 63 tahun kita merdeka sekarang ini.

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Fathullah
Peneliti dan anggota Dewan Direktur CIDES

Senin, 04 Agustus 2008

Negeri Kurawa

Oleh: Abdul Munir Mulkhan


--------------------------------------------------------------------------------

Saat orang ragu pada 34 partai peserta Pemilu 2009 yang mengumbar janji, warga ragu dan bingung memilih.

Keraguan juga tampak saat menunggu pemimpin baru yang mampu mengubah penderitaan warga di negeri kaya sumber alam ini. Saat pemimpin muda belum tampil meyakinkan, yang senior sudah ketahuan belangnya.

Di saat kritis seperti itu, banyak orang tertarik membaca kembali kisah pewayangan. Sejarah, ajaran agama, dan tradisi lokal di Nusantara juga menyimpan kisah-kisah magis kehadiran pemimpin yang dibutuhkan zamannya. Kisah-kisah itu patut disimak kembali. Dan apa yang sedang terjadi di negeri ini mungkin representasi kisah itu.

Masyarakat merasakan elite partai berbasis agama tidak bebas dari korupsi berjemaah dengan teman seasas (seagama atau seideologi) atau luar asas dari penegak hukum dan pemerintahan. Putusan pengadilan bisa ditawar, undang-undang dan peraturan disusun untuk memuluskan perilaku jahat dan selingkuh sehingga tampak tidak melanggar tata krama.

Aparat pemerintah bagai majikan yang harus dilayani, bukan hanya dengan sikap hormat, tetapi juga dengan rupiah. Cerdik pandai dan agamawan bukan tidak ada. Fatwanya terus mengalir, tetapi lebih beredar di antara menara gading tidak menyentuh hajat publik.

Nafsu menang sendiri

Gambaran melodramatik penyelenggaraan pemerintahan itu terlukis dalam kehidupan suatu negeri di dunia pewayangan yang dikenal Negeri Kurawa dengan pusat pemerintahan di Astina Pura, kadang disebut Negeri Astina. Dalam upacara resmi, para cendekia dan agamawan ditempatkan di panggung kehormatan, ke mana sang penguasa menunjukkan sikap hormat.

Sesekali para cerdik pandai dan agamawan dimintai pendapat, bukan untuk dipraktikkan, tetapi sekadar menunjukkan kepada publik atas kepedulian sang penguasa pada kebenaran. Bahasanya jauh dari kesadaran publik umat dan rakyat jelata karena lebih berorientasi kitab yang telah diseleksi sang penguasa.

Gaya hidup penggawa (aparat) kerajaan Astina itu terlukis, disebut julik. Suatu pola hidup penuh tipu daya, selingkuh menjadi pakerti (perilaku), ambisi menang sendiri, kaya sendiri, kenyang sendiri, pintar sendiri menjadi etika (meminjam Protestan Etiknya Max Weber) hidup komunitas (baca: partai politik).

Warga dan rakyat bukan hanya kehilangan panutan, pemerintahan tidak mengenal sistem keteladanan dan nilai moral. Posisi sosial politik seseorang tidak diukur dari perilaku baik, tetapi dari kemampuan dan keberanian menggunakan kekuasaan guna kepentingan diri dan kelompok.

Oleh Nietzsche, praktik hidup dan pemerintahan itu bisa digambarkan sebagai sistem sosial politik yang didominasi persona ubermensch. Persona demikian ialah pola hidup manusia bermoral tuan, manusia atas atau super yang bernafsu menang sendiri. Berbagai kisah fiksi tentang superman terinspirasi konsep manusia bermoral tuan itu.

Dalam sistem sosial politik dan pemerintahan demikian, kebenaran tidak diukur dari nilai obyektif yang didukung mayoritas, tetapi nilai subyektif penguasa yang memerintah dengan tangan besi dan Machiavelis. Moralitas baik ialah moral tuan saat nafsu menjadi komando kehidupan, bukan moral budak yang lemah. Kebaikan ialah kemegahan, bangga diri, bukan kedamaian dan ke-welas-asih-an yang menunjukkan kelemahan jiwa.

Dongeng demokrasi

Pemerintahan dan orang baik yang tergambar dalam Kerajaan Ngamarto dan Pandawa hanya mimpi indah yang enak dikisahkan sebagai dongeng.

Praktik pendidikan bagai sebuah festival dongeng tentang orang-orang bijak, baik, berbudi, dan dijanjikan surga. Kisah pahlawan dan orang suci terlukis dalam kalimat sastra yang indah dan enak didengar, tetapi kosong dari kenyataan.

Sementara fakta-fakta di lapangan bercerita tentang kisah kelaparan, penderitaan, pembunuhan berantai, korupsi, elite yang selingkuh jabatan, moral, dan seks. Berita anggota dewan, pejabat tinggi pemerintahan, elite keagamaan yang korupsi dan selingkuh seksual, mencerminkan kehidupan mayoritas warga seperti Negeri Kurawa. Wargalah yang memilih elite partai, sosial dan keagamaan, anggota dewan, dan memilih presiden yang kemudian menyusun kabinet.

Situasi kehidupan Negeri Kurawa itu tidak jauh berbeda dengan praktik demokrasi prosedural negeri ini. Suatu eufemisme tentang cara hidup ngurawa melalui sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan modern yang disebut demokrasi. Banyak alasan untuk membela diri dengan fakta buruk kehidupan negeri ini setelah 10 tahun reformasi, 60 tahun merdeka, dan satu abad kebangkitan nasional.

Sebagian melihat fakta buruk demokrasi prosedural itu sebagai kewajaran dalam kehidupan ekonomi dan tingkat pendidikan mayoritas warga Nusantara. Pada tahap sosial ekonomi seperti ini, praktik demokrasi belum menjanjikan peningkatan kesejahteraan warga kebanyakan, kecuali segelintir orang.

Sebagian berpendapat, fakta demokrasi negeri ini adalah suatu tahap yang harus dilalui bangsa yang memulai praktik demokrasi. Beberapa yang lain berpendapat, demokrasi yang baik memerlukan tingkat pendidikan dan ekonomi warga yang sudah sampai titik ekuilibrium setelah dipraktikkan berabad-abad.

Mencari takdir sosial

Berbagai pandangan ini berarti kita menerima apa adanya praktik demokrasi sebagai kebenaran. Suatu etika hidup ngurawa. Para cendekia dan agamawan terperangkap etika ngurawa yang digambarkan dalam dunia pewayangan sebagai Pandita Durno. Ia pandai dan waskita, tetapi semuanya hanya digunakan untuk membela Raja Astina.

Semua agama meramalkan kedatangan zaman akhir seperti gambaran Negeri Kurawa. Dajal tiba, saat kekuatan jahat keliwat-liwat, sebagai penanda datangnya Al-Mahdi Al-Masih, Ratu Adil, atau Satria Piningit. Mungkin manusia telah gagal membuat sistem yang mampu mengendalikan kejahatan sehingga perilaku jahat menjadi dominan. Hal itu merupakan pengantar Perang Baratayuda yang dalam dunia keagamaan dikenal dengan Hari kiamat. Pada saat itulah Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya mengganti penduduk bumi atau negeri ini dengan warga baru.

Dalam situasi demikian, tersedia aneka pilihan tindakan. Kita cukup menyesali nasib dan berdoa meminta Tuhan mengubah yang jahat berhati malaikat atau minta menunda kiamat. Pilihan lain, menggunakan sisa waktu yang ada untuk mengubah perilaku yang mentradisi yang mengakibatkan penderitaan bukan hanya orang miskin, tetapi juga anak cucu sendiri.

Paling mudah ialah menunggu Godot, Satria Piningit, atau Sang Mahdi. Kapan akan datang? Mungkin sudah terlambat saat semua sudah hancur. Kita hanya bisa membayangkan betapa derita yang harus ditanggung anak cucu nanti.

Nasib lebih baik hanya mungkin diraih jika mengubah perilaku sebagai doa.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/02/00422221/negeri.kurawa


Abdul Munir Mulkhan Anggota Komnas HAM; Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mahluk Organisasi

A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Jika kita menginginkan suatu perusahaan lestari, hal utama yang harus dilakukan adalah memperlakukan perusahaan sebagai suatu makhluk hidup. Dan ’darah’ yang harus terus mengalir dalam urat nadi perusahaan adalah inovasi.

Arie de Geus menyatakan agar dapat bertahan lama sebuah perusahaan harus memungkinkan orang-orangnya tumbuh dalam komunitas yang disatukan oleh nilai-nilai yang dinyatakan secara jelas dan konsisten. Nilai-nilai yang didasarkan atas identitas organisasi, kemauan untuk berubah dan semangat akan pengembangan. Komitmen pada sumber daya manusia ditempatkan di atas aset, dan respek terhadap inovasi dan pembelajaran.

Perusahaan harus terus-menerus mencari cara untuk menciptakan dan mewujudkan nilai (value) melalui inovasi tiada henti. Kemampuan untuk segera tanggap terhadap perubahan merupakan persyaratan agar perusahaan tetap bisa bertahan.

Pada dasarnya kinerja organisasi merefleksikan kombinasi antara kompetensi organisasional dan keselarasan organisasi dengan lingkungannya. Keselarasan yang ditentukan oleh sejauh mana kumpulan pengetahuan organisasional sesuai dengan tuntutan eksternal. Kemampuan organisasi menyempurnakan dan mengeksploitasi pengetahuan organisasionalnya sehingga mampu menciptakan pengetahuan baru dan menghasilkan inovasi, sangat bergantung pada pola komunikasi dan distribusi pengetahuan dalam organisasi. Jadi, bila peningkatan usia organisasi cenderung meningkatkan kekakuan pada pola komunikasi dan distribusi pengetahuan, maka sejalan dengan meningkatnya usia, organisasi pun menghasilkan lebih sedikit inovasi.

Kesenjangan antara kompetensi organisasional dengan tuntutan lingkungan juga meningkat sejalan dengan waktu. Bila organisasi relatif lamban (untuk berubah) maka keputusan-keputusan serta praktek-praktek yang dibawa sejak organisasi berdiri masih tetap berlaku. Akibatnya, ketika lingkungan eksternal berubah dengan cepat, keselarasan antara organisasi dengan lingkungannya akan menurun, menyeret organisasi tersebut pada keusangan.

Organisasi sejatinya sangat mirip dengan manusia. Bukankah pada hakekatnya organisasi adalah sekumpulan manusia dengan tujuan, sistem, struktur dan kultur tertentu ? Nah, agar organisasi berkembang dan memiliki keunggulan kompetitif, organisasi mesti mempunyai tradisi sebagai organisasi pembelajaran (learning organization) dan mempunyai kemampuan untuk mengelola pengetahuan (knowledge management) dengan baik.

Dalam organisasi pembelajaran (learning organization), komitmen dan kapasitas belajar ditumbuhkan secara berkesinambungan bagi seluruh anggota di tiap tataran organisasi.

Schwandt menyatakan organisasi pembelajaran memungkinkan organisasi merubah informasi menjadi pengetahuan yang berharga (valued knowledge) yang akan meningkatkan kemampuan organisasi. Boleh dikatakan, organisasi pembelajaran merupakan ‘wadah’- dengan sistem tertentu - yang memungkinkan anggota organisasi untuk terus belajar sehingga dapat meningkatkan kemampuannya.

Seperti yang diusulkan Senge, terdapat lima unsur penting mesti diperhatikan dalam pembentukannya, yakni visi bersama yang mesti digapai, model mental, keahlian personal, pembelajaran tim, dan berpikir sistematik.

Yang tak kalah pentingnya adalah kepemimpinannya. Tipe kepemimpinan yang paling sesuai untuk mendukung adalah kepemimpinan yang memberdayakan (empowerment leadership). Kepemimpinan ini memberikan penugasan, pendelegasian, dan dukungan positif kepada setiap anggota organisasi, sehingga kegiatan pembelajaran dan kinerja tim menjadi lebih baik. Penugasan yang diberikan mempunyai standar yang tinggi. Pendelegasian dilakukan berdasar prinsip penghargaan dan kepercayaan agar anggota merasa dirinya berdaya (baca : berkontribusi) dalam menggapai visi bersama. Pendelegasian semacam ini menunjukkan munculnya otonomi yang membebaskan anggota dari birokrasi yang melelahkan.

Harapan lainnya adalah terbentuknya dukungan positif sebagai cerminan integritas diri pemimpin. Dukungan positif mencakup sikap menghargai pelaksanaan tugas (terutama tugas yang berat) dan penghargaan atas sikap adil, konsisten, dan kejujuran anggota. Tak ayal, tipe kepemimpinan yang memberdayakan akan menghasilkan peningkatan kinerja jangka pendek dan membangun komitmen bersama dalam jangka panjang sehingga visi bersama dapat tercapai.

Kepemimpinan ini mesti disertai pengelolaan aset intelektual organisasi dalam rangka pembentukan knowledge management (KM), yang merupakan kontribusi dari setiap anggota organisasi agar saling mengembangkan gagasan yang berbeda. Pengalaman, pengetahuan, dan keahlian anggota organisasi, dikumpulkan, dikelola dan distribusikan ke seluruh organisasi. Organisasi mengakumulasi segenap kompetensi anggotanya, dan dijadikan kompetensi organisasi.

Proses ini akan menghasilkan knowledge-based worker yang merupakan dasar inovasi dan kreasi anggota organisasi yang akan meningkatkan nilai organisasi, karena membangun manusia pembelajar dalam organisasi. Pada galibnya, belajar merupakan proses untuk mengenali dan memahami diri sendiri (self awareness), lingkungan (cosmo awareness), dan interaksi keduanya (relationship awareness). Organisasi dan anggotanya, menjadi cepat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan siap untuk berkompetisi.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

World Class Company & GCC

A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Di tengah aroma globalisasi yang menyengat tajam, tak ada pilihan lain bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk berusaha meraih kesejajaran dengan perusahaan-perusahaan kelas dunia, world class company.

Sebuah perusahaan yang layak masuk dalam world class company, setidaknya mempunyai lima karakteristik utama, yaitu kompetensi, kemampuan berdaptasi (adaptability), mempunyai budaya kualitas, inovatif dan sifat entrepreneur. Kelima karakteristik itu saling kait-mengait dan harus terintegrasi dengan baik.

Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beroperasi dalam standar yang tinggi.

Makna “standar yang tinggi” bersifat dinamis, karena standar ini bukan hanya memiliki dimensi internal, tetapi harus berorientasi eksternal, yaitu berorientasi kepada para stake holder dan kepada dinamika persaingan.

Dari sisi internal, dapat dicapai melalui continuous improvement agar lebih baik dari yang telah dicapai sebelumnnya. Dari sisi eksternal, perusahaan harus berlomba dengan standar yang telah dicapai oleh kompetitor dan berlomba dengan ekspektasi konsumen yang meningkat. Continuous improvement saja tidaklah cukup, tetapi harus melakukan leapfrog melalui langkah-langkah inovatif.

Masalahnya bagaimana menggapai impian untuk menjadikan perusahaan kita sebuah world class company ? Pertama yang harus diperhatikan adalah prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan finansial, kehandalan SDM, kemampuan memanfaatkan teknologi, kepemilikan jejaring bisnis (business network) dan penguasaan informasi strategis.

edua, siapa yang mengantarkan agar ‘mimpi’ ini menjadi realitas. Dibutuhkan pola kepemimpinan yang dapat mengubah mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Seorang pemimpin yang dapat ‘melihat dan bermimpi’, mengubah, dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan. Ketiga, diterapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Corporate Governance dapat dipakai sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan pola manajemen yang bermutu “world class” dan dapat berdiri sejajar dengan korporasi manapun di dunia.

Pada dasarnya Corporate Governance mengarahkan perhatian pada peningkatan kinerja korporasi (corporate performance) melalui supervisi atau monitoring dari kinerja manajemen dan sekaligus memastikan akuntabilitas manajemen kepada pemegang saham dan stakeholders lain. Corporate Governance merupakan upaya memotivasi manajemen untuk meningkatkan keberhasilan (effectiveness) dan sekaligus juga mengendalikan perilaku manajemen agar tetap mengindahkan kepentingan stakeholders, dalam kerangka yang sudah disepakati bersama.

Secara umum Corporate Governance meliputi empat hal pokok (sesuai dengan konsep OECD): yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility. Pimpinan usaha harus dapat menunjukkan keadilan dalam membagi hasil kepada pemegang saham, untuk itu harus ada keterbukaan informasi kepada pemegang saham dan stakeholders mengenai berbagai kebijaksanaan, berikut harus jelas siapa yang akuntabel dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan, serta bagaimana tanggung jawab para pelaksana terhadap pelaksanaan amanat yang diembankan. Eksekutif perlu mendapat cukup wewenang (delegated authority) untuk dapat mengembangkan usaha secara berhasil.

Corporate Governance merupakan proses dan struktur dari berbagai kegiatan untuk memastikan bahwa kinerja perusahaan sesuai dengan yang diinginkan stakeholders. Sehubungan dengan itu berbagai sarana yang pada umumnya digunakan untuk memastikan keberhasilan korporat dan sekaligus menjaga kepentingan para stakeholders.

Dalam melaksanakan Corporate Governance terdapat berbagai mekanisme yang dapat dikembangkan, diantaranya melibatakan Executive Remuneration, Audit Committees, Internal Controls, dan Shareholders.

Antara remunerasi eksekutif dan Good Corporate Governance memiliki tujuan yang sama: meningkatkan performance. Sebagai salah satu instrumen pemacu kinerja korporasi, keterkaitan antara kompensasi dengan kinerja harus nampak, dan balas jasa bagi eksekutif berkorelasi dengan kinerja perusahaan.

Dalam melaksanakan Corporate Governance dapat memanfaatkan pembentukan komite. Komite merupakan badan independen yang diharapkan dapat memberikan berbagai masukan bagi dewan untuk memonitor perkembangan korporat.

Kehadiran mekanisme kontrol internal juga diperlukan, mengingat manajemen korporat harus memiliki ‘alat’ yang langsung dapat dikendalikannya untuk memonitor berbagai perkembangan penting korporat. Mekanisme kontrol internal ini merupakan sistem peringatan dini bagi manajemen. Dengan demikian berbagai “early warning signals” mengenai kondisi korporat dapat segera ditanggapi, sebelum menjadi besar dan berbahaya.

Pemegang saham, terutama Institutional Investors merupakan komponen yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam berbagai model Corporate Governance dilihat suatu asumsi bahwa para investor (terutama institutional) mempunyai kepentingan besar dalam pengelolaan perusahaan dan karena itu menaruh perhatian akan perkembangan perusahaan secara rinci.



A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Di tengah aroma globalisasi yang menyengat tajam, tak ada pilihan lain bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk berusaha meraih kesejajaran dengan perusahaan-perusahaan kelas dunia, world class company.

Sebuah perusahaan yang layak masuk dalam world class company, setidaknya mempunyai lima karakteristik utama, yaitu kompetensi, kemampuan berdaptasi (adaptability), mempunyai budaya kualitas, inovatif dan sifat entrepreneur. Kelima karakteristik itu saling kait-mengait dan harus terintegrasi dengan baik.

Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk beroperasi dalam standar yang tinggi.

Makna “standar yang tinggi” bersifat dinamis, karena standar ini bukan hanya memiliki dimensi internal, tetapi harus berorientasi eksternal, yaitu berorientasi kepada para stake holder dan kepada dinamika persaingan.

Dari sisi internal, dapat dicapai melalui continuous improvement agar lebih baik dari yang telah dicapai sebelumnnya. Dari sisi eksternal, perusahaan harus berlomba dengan standar yang telah dicapai oleh kompetitor dan berlomba dengan ekspektasi konsumen yang meningkat. Continuous improvement saja tidaklah cukup, tetapi harus melakukan leapfrog melalui langkah-langkah inovatif.

Masalahnya bagaimana menggapai impian untuk menjadikan perusahaan kita sebuah world class company ? Pertama yang harus diperhatikan adalah prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan finansial, kehandalan SDM, kemampuan memanfaatkan teknologi, kepemilikan jejaring bisnis (business network) dan penguasaan informasi strategis.

edua, siapa yang mengantarkan agar ‘mimpi’ ini menjadi realitas. Dibutuhkan pola kepemimpinan yang dapat mengubah mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Seorang pemimpin yang dapat ‘melihat dan bermimpi’, mengubah, dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan. Ketiga, diterapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance.

Corporate Governance dapat dipakai sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan pola manajemen yang bermutu “world class” dan dapat berdiri sejajar dengan korporasi manapun di dunia.

Pada dasarnya Corporate Governance mengarahkan perhatian pada peningkatan kinerja korporasi (corporate performance) melalui supervisi atau monitoring dari kinerja manajemen dan sekaligus memastikan akuntabilitas manajemen kepada pemegang saham dan stakeholders lain. Corporate Governance merupakan upaya memotivasi manajemen untuk meningkatkan keberhasilan (effectiveness) dan sekaligus juga mengendalikan perilaku manajemen agar tetap mengindahkan kepentingan stakeholders, dalam kerangka yang sudah disepakati bersama.

Secara umum Corporate Governance meliputi empat hal pokok (sesuai dengan konsep OECD): yaitu fairness, transparency, accountability dan responsibility. Pimpinan usaha harus dapat menunjukkan keadilan dalam membagi hasil kepada pemegang saham, untuk itu harus ada keterbukaan informasi kepada pemegang saham dan stakeholders mengenai berbagai kebijaksanaan, berikut harus jelas siapa yang akuntabel dalam pelaksanaan suatu kebijaksanaan, serta bagaimana tanggung jawab para pelaksana terhadap pelaksanaan amanat yang diembankan. Eksekutif perlu mendapat cukup wewenang (delegated authority) untuk dapat mengembangkan usaha secara berhasil.

Corporate Governance merupakan proses dan struktur dari berbagai kegiatan untuk memastikan bahwa kinerja perusahaan sesuai dengan yang diinginkan stakeholders. Sehubungan dengan itu berbagai sarana yang pada umumnya digunakan untuk memastikan keberhasilan korporat dan sekaligus menjaga kepentingan para stakeholders.

Dalam melaksanakan Corporate Governance terdapat berbagai mekanisme yang dapat dikembangkan, diantaranya melibatakan Executive Remuneration, Audit Committees, Internal Controls, dan Shareholders.

Antara remunerasi eksekutif dan Good Corporate Governance memiliki tujuan yang sama: meningkatkan performance. Sebagai salah satu instrumen pemacu kinerja korporasi, keterkaitan antara kompensasi dengan kinerja harus nampak, dan balas jasa bagi eksekutif berkorelasi dengan kinerja perusahaan.

Dalam melaksanakan Corporate Governance dapat memanfaatkan pembentukan komite. Komite merupakan badan independen yang diharapkan dapat memberikan berbagai masukan bagi dewan untuk memonitor perkembangan korporat.

Kehadiran mekanisme kontrol internal juga diperlukan, mengingat manajemen korporat harus memiliki ‘alat’ yang langsung dapat dikendalikannya untuk memonitor berbagai perkembangan penting korporat. Mekanisme kontrol internal ini merupakan sistem peringatan dini bagi manajemen. Dengan demikian berbagai “early warning signals” mengenai kondisi korporat dapat segera ditanggapi, sebelum menjadi besar dan berbahaya.

Pemegang saham, terutama Institutional Investors merupakan komponen yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam berbagai model Corporate Governance dilihat suatu asumsi bahwa para investor (terutama institutional) mempunyai kepentingan besar dalam pengelolaan perusahaan dan karena itu menaruh perhatian akan perkembangan perusahaan secara rinci.



Menuju Perusahaan Kelas Dunia

Good Corporate Governance dapat dimanfaatkan untuk mengelola perusahaan agar tingkat profesionalisme, akuntabilitas dan kinerjanya dapat disejajarkan dengan perusahaan-perusahaan terbaik di dunia, serta dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing. Hambatan-hambatan yang yang bersumber pada kondisi budaya kerja internal, kualitas sumber daya manusia, maupun infrastruktur budaya masyarakat yang belum kondusif untuk mengembangkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dapat dihilangkan dengan upaya-upaya perbaikan secara terus-menerus.

Disinilah pentingnya implementasi Good Corporate Governance dilaksanakan dengan seksama, memperhatikan berbagai kondisi yang dihadapi serta didasarkan berbagai kaidah perubahan organisasi yang realistis, sehingga implementasi didasarkan pada asumsi nyata kondisi yang dihadapi dan tahapan perubahan yang harus dilaksanakan. Implementasi Good Corporate Governance yang berhasil akan medukung tercapainya World Class Company.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Good Corporate Governance dapat dimanfaatkan untuk mengelola perusahaan agar tingkat profesionalisme, akuntabilitas dan kinerjanya dapat disejajarkan dengan perusahaan-perusahaan terbaik di dunia, serta dapat meningkatkan daya tahan dan daya saing. Hambatan-hambatan yang yang bersumber pada kondisi budaya kerja internal, kualitas sumber daya manusia, maupun infrastruktur budaya masyarakat yang belum kondusif untuk mengembangkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dapat dihilangkan dengan upaya-upaya perbaikan secara terus-menerus.

Disinilah pentingnya implementasi Good Corporate Governance dilaksanakan dengan seksama, memperhatikan berbagai kondisi yang dihadapi serta didasarkan berbagai kaidah perubahan organisasi yang realistis, sehingga implementasi didasarkan pada asumsi nyata kondisi yang dihadapi dan tahapan perubahan yang harus dilaksanakan. Implementasi Good Corporate Governance yang berhasil akan medukung tercapainya World Class Company.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Intrapreneurship

A.B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Apakah yang disebut oleh intrapreneurship? Arti gampangnya adalah entrepreneurship yang dipraktekkan di dalam sebuah organisasi yang mapan. Entrepreneurship memang identik dengan era perintisan usaha. Ketika perusahaan sudah membesar, organisasi menjadi sangat stabil, jiwa entrepreneurship sering tergerus oleh rasa aman dan kemapanan ini. Padahal agar organisasi bisa tetap kompetitif, entrepreneurship bukan saja wajib dimiliki oleh para pengusaha yang bekerja mandiri, tetapi juga oleh jajaran eksekutif dan karyawan perusahaan.

Entrepreneurship dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk menciptakan nilai melalui pemanfaatan sejumlah sumber daya untuk ‘mengeksploitasi’ sebuah kesempatan. Dapat pula dikatakan entrepreneurship adalah bagaimana memanfaatkan kesempatan, tanpa terlalu ‘hitung-hitung’ seberapa banyak sumber daya yang dimiliki. Modal tekad dan semangat merupakan yang utama ketimbang modal lainnya. Pendek kata entrepreneurship adalah opportunity driven.

Kesempatan tercipta oleh perubahan lingkungan, dan salah satu ciri seorang entrepreneur adalah kemampuannya yang lebih tajam dalam melihat perubahan-perubahan, dan menemukan kesempatan-kesempatan yang tersimpan di balik perubahan itu.

Seorang manajer yang rendah tingkat intrapreneurship-nya mengatakan seberapa banyak sumber daya yang dapat saya kelola, dan dari sumber daya yang dipegang ini apa yang akan dapat dicapai ? Namun seorang manajer yang tinggi tingkat intrapreneurship-nya akan mengatakan berdasarkan apa yang ingin dicapai, baru mengatakan apa saja yang harus dimiliki untuk mencapainya.

Terdapat tiga pilar dalam intrepreneurship yaitu inovasi, pengambilan resiko yang terkalkulasi, dan kreativitas. Inovasi adalah kemampuan untuk melihat segala sesuatu dengan cara yang baru. Pengambilan resiko yang terkalkulasi merupakan kemampuan untuk mengambil kesempatan yang sudah diperhitungkan dan menganggap kegagalan sebagai suatu pengalaman belajar. Kreativitas merupakan kemampuan untuk memperkirakan berbagai kemungkinan di masa depan dan secara proaktif menciptakan apa yang diidamkan.

Masalahnya adalah bagaimana memelihara semangat entrepreneurship dalam organisasi yang membesar dan semakin mapan. Organisasi yang besar dan stabil acapkali menimbulkan rasa percaya diri yang berlebihan pada orang-orang yang terlibat di dalamnya sehingga mengurangi sensitivitas terhadap kebutuhan pelangganya dan kurang responsif terhadap dinamika persaingan. Padahal dalam situasi yang hypercompetitive, timbulnya sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dapat berakibat fatal.

Menarik untuk mengamati General Motors yang berusaha menanggulangi penyakit ini. General Motors mencoba menciptakan “pasar” di dalam tubuhnya. GM mereorganisasi pabrik komponen yang kaku dan tidak efisien dengan melakukan pemecahan menjadi delapan unit internal market. Masing-masing unit dipandang sebagai profit center dan diharapkan mengembangkan keahlian yang terkait dengan system industri otomotif. Unit ini juga diharapkan mampu menjual produknya dalam pasar terbuka di luar kebutuhan GM. Misalnya, AC-Rochester tidak hanya menjual produknya kepada GM, tetapi juga menjualnya kepada Mitsubishi, Daewoo, dan Opel.

Unit-unit usaha ini diberi kebebasan untuk melakukan pembelian produk atau jasa dari pihak luar, dengan kompensasi dapat memberikan produk yang benar-benar mempunyai daya saing baik ke dalam maupun keluar. Untuk alasan kepentingan perusahaan yang lebih besar, terdapat kemungkinan perusahaan membatasi pembelian atau penjualan unit profit-center-nya ke dalam pasar internal, dengan kompensasi penurunan pemasukan atau laba dari yang seharusnya disumbangkan oleh unit tersebut.

Internal market network bukanlah pasar bebas, tetapi sebuah aliansi yang terdiri atas para intrapreneur. Kunci efektivitasnya terletak di dalam kolaborasi budaya yang dapat memberikan nuansa kebebasan berkembang kepada individu, teknologi, dan keterampilan melalui unit-unit profit center dan kemudian diorganisasi secara cepat ke arah sumber masalah dan penyelesaiannya. Dengan demikian, di dalam perusahaan diciptakan atmosfer dinamika pasar untuk merangsang daya saing. Tiap unit bertindak sebagai customer bagi unit yang lain seperti layaknya customer eksternal dan sebaliknya tiap unit menjadi pemasar seperti layaknya pemasok eksternal.

Dinamika pasar mendorong perusahaan untuk bersifat fleksibel dan responsif terhadap permintaan pasar. Kelambanan dan kekakuan birokrasi dalam bisnis membutuhkan perampingan struktur organisasi dan prosedur. Keberhasilan seringkali teraih dari kemampuan untuk melakukan hal yang berbeda, lebih cepat, dan lebih baik dari kompetitor. Semangat intrapreneurship merupakan hal yang esensial bagi pemasar.

Intrapreneurship dalam organisasi dibandingkan entrepreneurship memiliki sejumlah kelebihan maupun hambatan. Kelebihannya dibandingkan entrepreneursip terutama pada ketersedian sumber daya. Semangat intrapreneurship dalam sebuah perusahaan yang sudah mapan mempunyai sumber dayanya sudah tersedia dan ‘gratis’, tinggal bagaimana memanfaatkan kesempatan yang ada. Sementara hambatannya adalah spesialisasi dan pemisahan seringkali menghambat komunikasi, dan kompetisi internal seringkali pula menciptakan problem tersendiri.

Kenapa intrapreneurship sulit tumbuh dalam suatu organisasi? Pertama, biaya terhadap suatu kegagalan bagi yang bersangkutan terlalu tinggi, sementara penghargaan terhadap kesuksesan terlalu rendah. Intrapreneurship harus mempunyai ruang terhadap terjadinya kegagalan sementara kegagalan di dalam sebuah organisasi sering diharamkan dan dapat merusak karir seseorang. Daripada mengambil resiko yang dapat menghancurkan karirnya, anggota organisasi cenderung cari selamat. Padahal penghargaan yang akan diperolehnya jika mengalami kegagalan tidak seberapa. Kedua, terjadinya inersia yang disebabkan oleh kemapanan sebuah sistem, yang menyebabkan tidak seorang pun tergugah untuk melakukan perubahan. Ketiga, hirarki organisasi yang menyebabkan hambatan yang berlapis-lapis untuk menciptakan dan bertindak dengan cara yang baru.

Semangat entrepreneurship yang diperlukan oleh perusahaan besar tercermin ketika AT&T merintis pasar Rusia. AT&T menghadapi masalah ketika ingin melaksanakan program pemasaran melalui direct mail. Buku petunjuk telepon tidak tersedia, daftar nama tidak ada, dan kantor pos tidak menyediakan jasa ini. Hal ini tentu sangat sulit bagi AT&T yang terbiasa dengan informasi yang lengkap di AS. Dengan berbagai cara, AT&T menyewa YAR Communication untuk mendapat data tersebut dan tentunya dengan biaya yang lumayan besar.

Empat ribu buah surat siap untuk dikirim. Tetapi, Kantor Pos Rusia mencurigainya dan menahannya untuk keperluan investigasi. YAR Communication mengklarifikasi masalahnya dan akhirnya surat tersebut dapat terkirim. Respons yang sangat bagus, dan kemudian sebagian eksekutif Rusia memesan melalui telepon tanpa melihat produknya.

Kegigihan dalam keadaan yang serba terbatas dalam perintisan pasar merupakan ujian semangat intrapreneurship. Semangat ini seringkali luntur dalam perusahaan yang meraksasa dan stabil, yang dapat menimbulkan rasa aman yang berlebihan. Jadi, tugas pengelola adalah menciptakan struktur yang tidak birokratis, sistem dan budaya perusahaan yang memungkinan tumbuhnya tiga pilar utama intrapreneurship : inovasi, pengambilan resiko yang terkalkulasi, dan kreatifitas.

Bagaimana bagi Anda yang telah mempunyai semangat ini atau yang ingin mengasahnya ? Carilah perusahaan yang mempunyai iklim yang kondusif bagi berkembangnya intrapreneurship Anda.




--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Saatnya UKM Bangkit

Selama ini, usaha kecil dan menengah (UKM) dan juga usaha mikro dikenal sebagai usaha yang tetap solid saat Indonesia mengalami krisis sejak tahun 1997. Meskipun demikian, bukan berarti selama krisis, UKM terus tumbuh pesat. Modal yang merupakan sarana vital perkembangan UKM tak bisa didapat lantaran perbankan lumpuh. Produksi tak bisa terserap karena menurunnya daya beli masyarakat

PADAHAL, UKM bisa dibilang sebagai motor penggerak perekonomian masyarakat. Apabila UKM banyak yang mati, perekonomian masyarakat akan melesu. Oleh sebab itulah, pemerintah saat ini mulai gencar mengembangkan kembali UKM, mulai dari pemberian kredit lunak sampai pemberian berbagai insentif. Apalagi saat ini, UKM merupakan salah satu kekuatan yang diandalkan untuk dapat bersaing sejak berlakunya Asean Free Trade Area (AFTA).

Hal ini tidaklah berlebihan, sebab produk-produk UKM seperti kerajinan tangan, furnitur, produk kayu, mainan, tekstil, dan kulit memiliki keunggulan komparatif dibandingkan produk negara lain. Keunggulan komparatif itu antara lain harga yang murah dan desain yang beragam serta unik.

Tahun 2003, yang dicanangkan sebagai tahun investasi oleh Presiden Megawati, juga tampaknya akan menjadi tahun kebangkitan UKM. Salah satu contohnya dapat dilihat di pameran Indonesia Expo 2003 yang diadakan di Jakarta, 5-9 Maret 2003. Indonesia Expo merupakan pameran berbagai produk-produk kerajinan yang dihasilkan UKM di seluruh Indonesia. Pameran ini bertujuan untuk mengenalkan produkproduk tersebut kepada pembeli dari luar negeri.

Presiden Indonesia Expo 2003 Dwi Karsonno mengatakan, jumlah UKM yang menjadi peserta meningkat 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pameran diikuti oleh 817 peserta, sementara tahun lalu hanya 657 peserta.

Tak hanya UKM yang berebut berpameran, pembeli dari luar negeri pun diperkirakan meningkat.

Inge Oktavia Arina, Kepala Hubungan Masyarakat Debindo, penyelengara Indonesia Expo menuturkan, jumlah pembeli yang datang kali ini diprediksi sebanyak 446 perusahaan dari 41 negara. "Tahun lalu, tidak sebesar ini," katanya.

"Ini membuktikan, sebenarnya pengusaha asing sangat antusias dengan produk-produk Indonesia. Mereka tetap suka, karena produk Indonesia lebih murah ketimbang negara lain dan produknya cukup variatif," kata Inge.

Perihal tingginya permintaan dari luar negeri juga disampaikan sejumlah pengusaha kecil dan menengah. Ayatullah Khumaini, perajin replika berbagai jenis sepeda, becak, dan kereta keraton yang terbuat dari bahan logam kuningan mengaku kewalahan melayani order dari luar negeri, seperti Belanda dan Belgia.

"Setiap bulan, permintaan replika sepeda saja mencapai 1.000 buah, bahkan lebih," kata dia. Sementara saat ini, Setara Handycraft, perusahaan yang dibangunnya baru memproduksi sebanyak 600 replika sepeda per bulan.

Padahal, selama ini Khumaini, belum memasarkan produknya secara sungguh-sungguh. Artinya, dia hanya meminta bantuan pedagang-pedagang perantara untuk menjual replika sepeda dan becak.

"Kami meminta bantuan teman-teman di Bali, Yogyakarta, dan Jakarta untuk memasarkan barang kepada orang asing," katanya.

Sebagai dampak terus bertambahnya permintaan, tentu saja secara otomatis jumlah karyawan juga terus meningkat. Awalnya di tahun 1997, cuma enam karyawan. Namun, saat ini sudah mencapai 24 orang.

Dengan berkembangnya usaha tersebut, Khumaini pun dilirik berbagai pihak, salah satunya Pertamina. Sejak bulan lalu, BUMN ini menawarkan bantuan berupa pelatihan manajemen, promosi, dan kredit lunak.

Menurut Khumaini, sampai saat ini, omzet perusahaan telah mencapai Rp 100 juta per bulan. Khumaini mengaku, untuk membuat replika sepeda dan becak tidak dibutuhkan bakat.

"Asal mau belajar sebentar, pasti bisa karena sebenarnya hanya dibutuhkan kepandaian mengelas dan mengecor kuningan," katanya.


TERBUKANYA peluang yang besar di luar negeri juga diutarakan pengusaha kain Batik Daud Wiryo Hadinagoro. Daud yang asal Yogya ini mengutarakan, banyak permintaan kain batik dari luar negeri, terutama dari Jepang.

Menurut dia, dalam sebulan permintaannya bisa 1.000 potong kain. "Tapi itu jelas tak bisa saya penuhi karena dalam sebulan saya hanya bisa mengerjakan sebanyak 100 kain," katanya.

Jenis batik yang dikerjakan Daud adalah batik hand made yang mengandalkan warnawarna alam yang berasal dari berbagai jenis kayu.

"Batik yang saya buat dikerjakan secara manual dan bukan produk massal. Jadi pembuatannya lebih lama," katanya.

Harga batik buatannya di Jepang sangat mahal. Satu potong kain batik bisa mencapai Rp 40 juta. Sementara di dalam negeri harganya hanya Rp 2 juta per potong. Dengan usaha itu Daud bisa memberdayakan sekitar 40 orang-orang "pinggiran".

Di bawah bimbingannya, orang-orang yang sebelumnya belum punya keterampilan, akhirnya ahli dalam membuat batik. "Orang luar negeri banyak yang tertarik dengan batik Indonesia karena memang buatan Indonesia lebih halus, warnanya lebih variatif, dan coraknya beragam," tuturnya.

Motif yang diangkat Daud dalam corak batiknya, sebenarnya hanya memindahkan realitas kehidupan masyarakat Indonesia, seperti gambar laut, pasar, dan hutan.

Banyak yang percaya, UKM bisa lebih bangkit, apabila pengusahanya sendiri lebih mengembangkan dirinya untuk lebih kreatif membuat desain. "Untuk keratif tidak perlu bakat, asalkan kita rajin melihatlihat, apa pun bisa dijadikan ide," kata Yonni H Soeharyo, perajin mozaik dan lampu kuningan asal Jakarta.

Yonni menambahkan, produk-produk lokal masih menang dalam segi harga karena tenaga kerja dan bahan baku masih sangat murah.

PUCUK dicinta ulam tiba. Mungkin arti dari pepatah ini cocok dengan kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mulai berebutan merangkul UKM. Dulu, UKM-UKM tidak jarang mendapat penolakan atau harus memenuhi persyaratan yang panjang, jika ingin mengajukan kredit untuk modal usaha ke BUMN.

Namun, sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan (SK Menkeu) Nomor 316 tahun 1994, tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba BUMN, maka BUMN-lah yang mulai "mencari" UKM untuk dibantu.


Warih Saeko, staf bidang Bina Usaha Kecil PT Pupuk Kalimantan Timur Tbk, yang ditemui saat Indonesia Expo 2003, di Jakarta, Kamis (6/3), bercerita, bagaimana dia mencari UKM yang dipandang berpotensi untuk berkembang.

"Di Kalimantan banyak rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan, tapi punya keterampilan mengukir, yang diperoleh turun-temurun. Sayangnya, mereka tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup untuk berusaha. Nah, Pupuk Kaltim memandang ini sebagai sesuatu yang patut dibantu dan dibina. Mulailah saya mencari usaha yang potensial sampai ke pedalaman-pedalaman" kata Warih.

Menurut Warih, jumlah pinjaman yang diberikan beragam, sesuai dengan keputusan menteri tersebut, tergantung pada besar kecilnya usaha. "Kisarannya antara Rp 5 juta sampai Rp 50 juta. Boleh tiga kali mengajukan pinjaman. Bunganya cukup ringan, tiga persen per tahun," kata Warih.

"Rakyat Kalimantan sebenarnya memiliki potensi untuk bertahan dan berkembang dari kerajinan tangan yang mereka buat. Mereka tidak terpengaruh oleh keadaan luar. Soalnya bahan baku mereka biasanya diperoleh dari daerahnya sendiri. Tidak mengimpor. Dengan demikian saat dollar AS naik, mereka tidak terpengaruh, tetap dapat berproduksi," tuturnya.

Warih menyatakan, usaha rakyat adalah jenis usaha yang terbukti relatif tangguh dalam menghadapi krisis, selain itu bisa terus berkembang dan diberdayakan.

Lihat saja uraian Ahmat Ali Syahdiar, pemilik usaha kerajinan kayu di Kalimantan Timur, tentang bagaimana PT Pupuk Kaltim telah membantu dirinya dalam mengembangkan usahanya.

"Dulu, saya hanya nelayan yang tinggal di pedalaman Kalimantan Timur. Terkadang saya memang membuat piring dari kayu untuk dijual. Lalu, suatu waktu ada orang dari Pupuk Kaltim yang tertarik dengan piring-piring yang saya buat," kata Ahmat.

Kemudian dengan pinjaman sebesar Rp 7 juta, Ahmat mulai mengembangkan usahanya. "Dulu yang mengerjakan ukiran piring hanya saya sendiri. Saya diajari oleh orang Pupuk Kaltim, bagaimana membuat ukiran yang saya buat terlihat lebih menarik. Soalnya, hasil yang saya buat waktu itu masih sangat kasar," ujarnya.

Lama-kelamaan, usaha Ahmat berkembang. Ia mulai memiliki anak buah untuk mengerjakan pesanan. "Yang dibuat juga tidak hanya piring, tetapi asbak, tempat buah, tameng, tempat payung, bangku, dan meja juga. Semua barang ini dibuat dengan tangan, tidak ada yang memakai mesin," kata Ahmat.

Perkembangan lainnya adalah jumlah produksi per hari yang semakin bertambah. Kalau dulu, waktu satu hari tidak cukup bagi Ahmat untuk menyelesaikan pembuatan satu piring kayu, saat ini, satu orang pekerjaannya bisa menyelesaikan tiga piring kayu dalam sehari.

Alhasil, jumlah pendapatan yang diperolehnya juga semakin bertambah. "Dulu pendapatan saya hanya Rp 10 juta sebulan, saat ini sudah mencapai Rp 15 sampai Rp 20 juta sebulan. Itu normalnya. Kalau ada pesanan dalam jumlah besar atau ukiran yang mahal, pendapatannya bisa lebih besar lagi. Kalau untung yang saya peroleh sekitar 30 persen dari pendapatan tersebut," ujarnya.

Ukiran yang dijual Ahmat memang beragam yang paling murah adalah piring seharga Rp 20.000. Sedangkan yang termahal adalah satu set bangku ukiran, termasuk mejanya, yang harganya bisa mencapai Rp 20 juta. "Banyak juga yang memesan aneh-aneh. Pernah ada yang memesan ukiran kayu untuk pintu garasi. Harganya bisa puluhan juta," kata Ahmat.

Ahmat mengakui, saat krisis ekonomi tahun 1997 lalu, penjualan ukiran kayu miliknya memang turun, bahkan pernah sebulan sama sekali tidak ada yang membeli. Namun, Ahmat berhasil membawa keluar usahanya ini dari kemelut.

"Waktu itu ada ibu dari Pertamina yang memesan ukiran kayu dalam jumlah besar. Ibu itu sangat tertarik dengan ukiran kayu yang saya buat. Dia juga yang menyarankan berbagai bentuk baru untuk saya buat. Nah, sejak itulah usaha saya bisa bangkit kembali. Mulai banyak yang membeli dan memesan. Saat ini pengerjaan ukiran kayu di tempat saya sudah dikerjakan oleh 14 orang," kata Ahmat.

Saat ditanya mengenai rencana masa depan, Ahmat mengatakan, bermimpi untuk dapat membangun sebuah rumah ukiran kayu khas Kalimantan. "Wah saya ingin bisa membangun rumah yang benar-benar menunjukkan kekhasan Kalimantan. Kan bisa jadi proyek besar tuh, Mbak," ujar Ahmat bersemangat.

Apa yang dialami oleh Ahmat sebagai mitra binaan BUMN juga dialami Sam Khuret, perajin tas, dompet, dan ikat pinggang dari kulit, di Tanggul Angin, Sidoarjo, Jawa Timur. Sam menyatakan beruntung diambil sebagai anak asuh oleh PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), Palembang.

"Soalnya, terus terang saya tidak mengerti mengenai bagaimana memanajemen perusahaan. Tanpa manajemen yang baik, saya menyadari usaha saya akan sangat sulit berkembang," kata Sam.

Bantuan modal yang diberikan oleh PT Pusri juga tidak bisa ditafikkan sebagai hal yang memicu majunya usaha Sam.

"Dengan modal, pembinaan, dan pengikutsertaan usaha saya dalam berbagai pameran oleh Pusri, saya berhasil memperoleh omzet Rp 30 juta sampai Rp 35 juta. Tapi, kalau lagi sepi, omzet yang saya peroleh memang hanya Rp 10 juta sampai Rp 14 juta. Kalau untungnya, paling 25 persen dari omzet," ujarnya.

Sebagai suatu pengalaman yang tidak terlupakan, Sam menceritakan, dulu pengusaha kecil di Tanggul Angin pernah ditipu oleh orang Nigeria, sampai puluhan juta rupiah. Saat ini, dengan dibinanya UKM dalam hal manajemen, Sam berharap penipuan tersebut tidak terulang lagi.

Ke depannya, masih banyak hal yang dibutuhkan oleh usaha kecil agar dapat bertahan dan menjadi jaring perekonomian yang kuat untuk menopang perekonomian Indonesia. BUMN, mungkin dapat menjadi harapan yang bisa membawa UKM ke arah keberhasilan, disamping usaha keras dari UKM itu sendiri tentunya. (b16/b15)

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0303/07/ekonomi/168713.htm

Gajah Mada atau Penumpang Bus

--------------------------------------------------------------------------------

Berakit-rakit bersama,
berenang-renang sendirian
Bersakit-sakit bersama,
bersenang-senang sendirian


Inilah sepotong kidung ungkapan hati yang sarat akan sinisme dari para perintis yang tersingkir dari pentas perusahaan. Kepiluan yang mendera ketika hasil karya mereka tiba-tiba menjadi Malin Kundang yang durhaka, yang berani menendang mereka dari kursinya, seperti Frankestein yang menganggu ketentraman hidup pembuatnya.

Para perintis adalah orang yang berlepotan lumpur ketika mencangkul tanah untuk membangun pondasi perusahaan. Menerabas belantara dengan fasilitas seadanya. Membangun perusahaan with tears and blood. Haruskah mereka tersingkir dari perusahaan yang dengan susah payah mereka bangun dan digantikan oleh para eksekutif muda, berpendidikan tinggi, enerjik, tetapi bergaji tinggi dan manja akan fasilitas ? Lantas bagaimana dengan jasa-jasa yang telah mereka sumbangkan ? Pengorbanan yang diberikan pada saat masa-masa prihatin ?

Setidaknya ada lima macam perintis dalam kaitannya dengan eksistensi mereka, ketika perusahaan berkembang pesat. Pertama, adalah tipe Gajah Mada. Kedua, yang bertipe Mediokrat. Ketiga, Toxic Executive. Keempat, Sesepuh. Kelima, Penumpang Bis.

Gajah Mada. Ini adalah perintis unggulan yang mempunyai visi Amukti Palapa. Loyalitas yang diberikan bukan kepada perorangan. Maha Patih Gajah Mada mengabdi kepada visinya untuk mempersatukan Nusantara, bukan kepada raja. Melalui sumpah Amukti Palapa dia ingin mewujudkan visinya tersebut, walaupun telah terjadi pergantian raja beberapa kali. Ambisinya bukan untuk merengkuh kedudukan, tetapi untuk memajukan negeri. Dalam lingkup perusahaan perintis yang seperti ini memang tidak mudah dicari. Dia tetap dibutuhkan perusahaan walaupun perusahaan telah mengalami suksesi. Pemahaman yang mendalam terhadap perusahaan, corporate culture yang telah meresap dalam sanubarinya, pengalaman yang panjang dan kemauannya untuk belajar menghadapi hal-hal yang baru menjadikannya tak gentar menghadapi perubahan. Setidaknya terdapat beberapa hal yang menyebabkan dia sulit dicari tandingnya. Pertama, pengalamannya yang panjang dan telah teruji dalam menghadapi kesulitan, menyebabkan ia mempunyai kiat-kiat jitu dalam menghadapi problema yang rumit. Intuisinya telah terasah dengan baik, sehingga mempunyai judgment dalam membuat keputusan secara cepat. Kedua, kemampuan menggabungkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh secara learning by doing memperkokoh otoritas kepakarannya. Kemudian perjalanan kariernya yang panjang, menjadikannya memiliki network yang luas dan sangat bermanfaat bagi perusahaan.

Mediokrat. Perintis seperti ini, memiliki suatu kelebihan yang sulit dicari di kalangan orang baru, tetapi tidak berprestasi secara optimal. Kelebihan itu bisa berbentuk network yang luas, nama yang dikenal luas di kalangan stake holder atau keahlian khusus yang terbentuk oleh pengalaman dan memang masih diperlukan oleh perusahaan. Walaupun prestasinya tidak maksimal, perusahaan berkepentingan untuk mempertahankan.

Sesepuh. Perintis yang tergolong dalam tipe ini dipertahankan di perusahaan sebagai kekuatan moral. Ia dapat bertindak sebagai goal getter maintenance, ketika organisasi dilanda konflik atau menghadapi kesulitan besar. Ia seperti pohon yang rindang tempat berteduh, ketika suasana memanas. Ia dapat berdiri di atas semua golongan di dalam perusahaan. Tokoh kharismatik yang dihormati anggota organisasi sebagai tokoh pemersatu.

Toxic Executive. Mempunyai resistensi terhadap perubahan, karena ketakutan eksistensinya terganggu. Tindakannya banyak diwarnai semangat vested interest dan berfokus pada diri sendiri. Ia telah menebar tuba dalam perusahaan dan menciptakan chaos. Kurang dapat bekerja sama dengan anngota organisasi lainnya dan cenderung fanatik dengan kelompoknya sendiri. Banyak melakukan aktivitas office politic yang melahirkan pertarungan semu, yaitu pertarungan antara organisasi dan dirinya sendiri.

Penumpang bus. Kontribusi yang diberikan kepada organisasi pada saat ini sangat kecil. Walaupun demikian masih mempunyai sikap positif terhadap organisasi. Pada saat ini mungkin menjadi beban bagi organisasi, tetapi tidak mempunyai efek toxic. Dia duduk di kursi kehormatan sebagai imbalan atas jasa-jasanya yang sangat berharga kepada organisasi di masa lalu. Ia seperti penumpang bis yang akan turun di terminal tujuan pada saat pensiun, karena telah membayar tiket di terminal pemberangkatan.

Perlakuan kepada para perintis tidaklah sama, tergantung dari keseimbangan antara kontribusinya kepada organisasi di masa lalu dan kontribusinya pada saat ini. Jika tidak dapat ditempatkan di dalam jabatan struktural, dapat ditempatkan di jabatan fungsional atau mungkin di jabatan kehormatan. Tentu saja dengan pengecualian bagi toxic executive.


--------------------------------------------------------------------------------

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Jumat, 01 Agustus 2008

Energi Berbasis Ekotropika

Oleh: IGG Maha Adi
--------------------------------------------------------------------------------

Sisi baik pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak adalah kesempatan mengembangkan energi alternatif dan ramah lingkungan. Subsidi minyak merupakan hambatan ekonomi-politik yang membuat pengembangan energi non-hidrokarbon, kecuali panas bumi, menjadi terhambat karena relatif mahal.

Para pakar telah ditantang Presiden mengembangkan energi berbasis air (blue energy), tanaman (green energy), dan bentuk terbarukan lainnya. Selain pertimbangan ekonomi, teknologi, dan sosial-budaya, lingkungan hidup semestinya menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan nasional ini. Salah satu prinsip yang penting adalah kebijakan energi yang tidak melawan alam, artinya selaras dengan kenyataan ruang hidup (biosfer) tempat bangsa Indonesia tinggal dan berkembang, yaitu energi berbasis ekologi tropis atau ekotropika.

Basis ekotropika artinya mempertimbangkan semua kenyataan potensi di dalam biosfer tropika, dan menyusun kebijakan berdasarkan prinsip dari potensi itu. Kenyataan ekologis itu, antara lain, pertama, bahwa keanekaragaman spesies daerah tropis sangat tinggi, tetapi jumlah populasi per spesies rendah. Ada dua konsekuensi kondisi ini, yaitu bahan baku green energy tersedia melimpah, tetapi alamnya tidak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan yang sangat luas. Membuka satu juta hektare hutan untuk perkebunan yang akan diambil etanolnya sangat membahayakan ekosistem tropis, karena jumlah keanekaragaman jenis yang hilang akan sangat tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan dingin. Boleh jadi, di antara yang hilang itu adalah bahan baku green energy yang potensial, karena baru 30 persen spesies tropika yang teridentifikasi.

Kedua, berkaitan dengan posisi geografis dan faktor geologis. Proses geologis telah membentuk ruang hidup Indonesia sebagai kepulauan yang dipisahkan laut, sehingga bentuk pengembangan energi yang cocok adalah beragam, berskala kecil dan tersebar. Biarkan listrik Perusahaan Listrik Negara memasok industri besar dan penerangan jalan, tetapi kampung dan dusun diterangi oleh energi mikrohidro, panel surya, kincir angin, dan biarkan ibu-ibu memasak dengan biomassa dari pembakaran sampah, bukan listrik dari luar, seperti Kota Bekasi yang baru selesai membangun pembangkit listrik tenaga sampah. Maka semakin berkurang pula penderitaan masyarakat bila listrik PLN padam. Prinsip ini sesuai dengan ketahanan ekosistem di alam: makin beragam spesies, makin kuat ekosistem

Posisi geografis mentakdirkan Indonesia berlimpah hutan, cahaya matahari, hujan, angin, dan biomassa. Artinya, Indonesia tidak akan pernah kekurangan bahan baku energi bila lingkungan hidupnya terjaga. Air terjun akan selalu mengalir deras untuk memutar turbin mikrohidro, cahaya matahari dan hujan akan membuat hutan terus tumbuh dan menghasilkan biomassa yang dapat diolah menjadi energi. Matahari cuma bersinar tiga bulan di Eropa. Karena itulah mereka tidak mengembangkan energi surya. Perusahaan minyak Amerika telah berinvestasi begitu besar di seluruh dunia. Karena itulah mereka sangat berkepentingan melanggengkan penggunaan energi fosil dengan segala cara.

Kepentingan terbesar adalah pemasaran barang dan teknologi berbahan bakar minyak bumi. Eropa Barat, Jepang, Rusia, dan Amerika adalah produsen utama mesin-mesin dunia yang hampir semuanya masih berbasis energi karbon. Mustahil mereka menjadi pelopor penggunaan energi alternatif, karena itu akan memukul balik industrinya. Itu pula sebabnya, bahkan di negara-negara maju, pengembangan energi alternatif masih berskala inovasi individu.

Ketiga, berkaitan dengan proses-proses alami hutan hujan tropis. Banyak sekali orang yakin tanah hutan tropis Indonesia sangat kaya unsur hara sehingga bernafsu mengkonversinya menjadi perkebunan. Kenyataannya, lapisan unsur haranya begitu tipis sehingga mudah luruh. Kanopi hutan yang tertutup dan struktur yang berlapis-lapis berfungsi menyaring unsur hara dari air yang jatuh, sehingga hanya sedikit zat hara yang sampai ke tanah.

Ekolog Norman Myers menyimpulkan, banyak sekali tumbuhan tropis menyimpan hingga 90 persen zat hara di dalam vegetasinya, sehingga tanahnya miskin mineral yang dapat dipertukarkan tetap masam dan tidak subur. Pembukaan atau pembakaran hutan akan memicu aliran mineral ke dalam tanah, dan setelah pencucian akibat hujan, mineral itu menembus lebih jauh ke dalam tanah. Karena mata rantai daur hara terputus, maka tanaman berakar pendek seperti kelapa sawit tidak akan mampu menjangkaunya dan kesuburan hanya mampu dipulihkan dengan peningkatan jumlah pupuk. Artinya, konversi hutan tropis dengan segala cara harus dihindari

Keempat, lahan kritis. Variasi iklim yang terbatas dan matahari yang bersinar sepanjang tahun menyebabkan lahan yang dibiarkan kritis dan gundul di daerah tropis akan menderita kerusakan yang parah. Peluruhan hara akan terjadi sebelum dapat diambil kembali oleh tumbuhan. Pada 2002, hanya 7,5 persen lahan yang ditanami sawit dari 7,2 juta hektare hutan yang telah dikonversi, sisanya dibiarkan kritis. Desakan untuk mengkonversi lahan gambut menjadi kebun juga layak ditolak. Gambut adalah penyimpan karbon utama sehingga konversinya akan melepas gas rumah kaca ke udara. Untuk menekan nafsu menggerus gambut, maka skema pendanaan lingkungan seperti REDD, perdagangan karbon, atau debt for nature swap harus dipercepat realisasinya. Jadi, sangat diperlukan aturan tegas yang mewajibkan pengusaha green energy memakai lahan kritis yang ada.

Hambatan lain adalah kelembagaan. Sulit membayangkan kita menyerahkan urusan energi alternatif ini kepada lembaga pemerintah yang masih dikuasai cara berpikir carbon-minded seperti Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral atau PLN. Presiden atau Wakil Presiden sebaiknya memimpin sekumpulan ilmuwan multidisiplin dalam sebuah badan independen dengan tenggat program yang jelas untuk menerabas rantai birokrasi dan cara berpikir konvensional ini. Indonesia juga tidak perlu berkonsentrasi pada energi biru, hijau, atau hitam saja, tetapi mengembangkannya sekaligus secara komprehensif dan padu seperti warna-warni pelangi.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/2008/07/15/Opini/krn,20080715,69.id.html

IGG Maha Adi
Wartawan dan mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia

Krisis Kapitalisme Global

Oleh: Syamsul Hadi
--------------------------------------------------------------------------------

KTT G-8 di Toyako, Hokkaido, Jepang, yang baru saja berakhir terasa istimewa dengan kehadiran para pemimpin negara berkembang, seperti China, India, Meksiko, dan Indonesia.

Pernyataan di akhir KTT dapat dilihat sebagai bentuk positioning negara-negara industri maju atas isu-isu yang berkembang dalam skala global.

Menghadapi kenaikan harga minyak dunia, forum menyerukan dialog antara negara produsen dan konsumen guna menekan harga. Terkait krisis pangan, forum menegaskan, komunitas internasional perlu melakukan respons dan strategi yang terintegrasi guna mengatasi kelangkaan pangan, dengan program bantuan pangan dan peningkatan produktivitas pertanian. Perdebatan paling alot terjadi dalam isu perubahan iklim. Negara-negara G-8, terutama AS, menyatakan tidak bisa mencapai target pengurangan emisi 50 persen tahun 2050 jika negara berkembang yang ekonominya sedang tumbuh pesat tidak melakukan hal yang sama.

Krisis finansial
Perdebatan alot dalam isu perubahan iklim seolah ”menutup” perhatian atas masalah krusial lain, krisis finansial global yang berawal dari krisis subprime mortgage di AS. Pernyataan bersama G-8 memang menekankan komitmen untuk melakukan stabilisasi pasar finansial, tetapi tidak disinggung masalah melemahnya nilai dollar AS atas mata uang kuat lainnya (Kompas, 10/7). Padahal, ketidakmampuan AS untuk cepat mengatasi krisis subprime mortgage mendorong spekulan mengalihkan investasi ke komoditas pangan dan energi, yang mendorong naiknya harga pangan dan minyak dunia. Keterlibatan militer AS di Irak memperparah krisis energi.

Mantan spekulan George Soros menyatakan, krisis global saat ini akan cepat berakhir dengan syarat perekonomian, terutama pasar uang, diatur ketat (Kompas, 4/4). Di mata Soros, akar krisis saat ini adalah kekacauan di sektor finansial yang dimulai sejak 1980 saat Ronald Reagan dan Margareth Thatcher memelopori kampanye neoliberalisme di tingkat global.

Lemahnya posisi Pemerintah AS berhadapan dengan berbagai perusahaan hedge funds dan pengelola dana investasi untuk tujuan spekulasi telah diprediksi Susanne Soderberg. Dalam The Politics of the New International Financial Architecture (2004), Soderberg menggambarkan, hubungan Pemerintah AS dengan korporasi finansial yang berpusat di Wall Street adalah seperti hubungan Dr Frankenstein dan monster pintar ciptaannya.

Dengan mensponsori penerapan rumus-rumus neoliberal, Pemerintah AS menumbuhkan ”blok” kapitalis finansial yang menggurita di Wall Street, yang kemudian menjeratnya dalam ketidakberdayaan dan posisi serba salah akibat besarnya dominasi perekonomian mereka.

Pernyataan menteri keuangan G-8 yang bertemu di Osaka, Juni, juga tak menyinggung perlunya memperketat aturan main sektor finansial global. Pernyataan hanya menyebutkan, Financial innovation has contributed significantly to global growth and development, but in the light of risks to financial stability, it is imperative that transparency and risk awareness be enhanced. Poin tentang sistem finansial ada di bagian terakhir statement bersama dan paling pendek dibandingkan poin-poin pernyataan terkait harga komoditas, perubahan iklim, dan pembangunan Afrika.

Pertumbuhan tanpa batas?
Dalam konteks perubahan iklim, upaya Jepang membuka jalan bagi penyusunan traktat internasional baru menggantikan Protokol Kyoto yang habis masa berlakunya tahun 2012 pada KTT ini tidak berhasil. Memang dicapai ”komitmen umum” untuk pengurangan emisi pada tahun 2050, tetapi tidak dicapai kesepakatan tentang bagaimana target itu secara spesifik harus dicapai. Pernyataan G-8 hanya menyatakan, tiap anggota G-8 akan menyusun target masing-masing untuk periode jangka menengah setelah tahun 2012. Menanggapi hal ini, para pemimpin China, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Meksiko membuat pernyataan bersama yang menolak kewajiban tiap negara mengurangi emisi 50 persen dengan menekankan kewajiban negara maju memulai langkah-langkah nyata ke arah itu.

Para aktivis lingkungan juga mengecam keengganan negara G-8, terutama AS, untuk memberi komitmen nyata dan mengikat terkait pemanasan global. Data Greenpeace International menunjukkan, meski hanya dihuni 13 persen populasi dunia, negara G-8 memproduksi 80 persen emisi di atmosfer dan 40 persen emisi CO>sub<2>res<>res<.

Komitmen ”samar-samar” yang diberikan G-8 dinilai tak sebanding dengan dampak perubahan iklim dan global warming yang menimbulkan dampak berantai berupa kekeringan dan bencana alam di dunia. Penurunan emisi karbon akan menurunkan pertumbuhan ekonomi, tetapi amat penting menjaga kelestarian alam dan penghidupan di bumi, yang memperburuk kualitasnya karena industrialisasi dan eksploitasi alam nyaris tanpa batas.

Perbedaan pendapat dalam isu pemanasan global menunjukkan dominasi berkelanjutan paradigma pembangunan pertumbuhan ekonomi atas paradigma pembangunan berwawasan lingkungan. Sulitnya menyatukan langkah dalam mengatasi aneka masalah serius dalam krisis global saat ini seakan membenarkan prediksi Karl Marx, ”krisis berkelanjutan” dalam sistem kapitalisme global senantiasa bersumber dari kecenderungan melakukan akumulasi kapital yang tak kenal batas.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/12/00434437/krisis.kapitalisme.glo


Syamsul Hadi
Pengajar Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...