Kamis, 26 November 2009

Dampak Politik Perseteruan Hukum

Oleh: Maswadi Rauf


Sudah beberapa minggu ini perseteruan hukum antarlembaga penegak hukum mendominasi pemberitaan media massa dan pembicaraan di dalam masyarakat.


Perseteruan tersebut telah menjadi masalah nasional yang diketahui oleh hampir semua warga masyarakat di Indonesia. Telah berkembang opini di dalam masyarakat kita bahwa konflik hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI (Polri) bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) disebabkan oleh adanya keinginan pihak tertentu untuk melemahkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi terdepan di Indonesia.

Opini ini juga menganggap bahwa Polri dan Kejagung hanyalah pelaksana dari keinginan tersebut. Oleh karena itu,muncul anggapan bahwa tindakan hukum yang dilakukan terhadap tiga mantan pimpinan KPK (Antasari, Bibit, dan Chandra) adalah rekayasa hukum untuk mengebiri KPK.Telah terlihat sejumlah bukti hukum yang menunjukkan adanya pemaksaan untuk memerkarakan ketiga orang tersebut.

Bangsa Indonesia telah terlibat dalam perdebatan hukum yang hebat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di samping opini publik tersebut, telah muncul pula opini tandingan yang membela Polri dan Kejagung dalam menindak ketiga mantan pimpinan KPK tersebut. Kelompok ini beranggapan bahwa Polri dan Kejagung telah menjalankan tugas secara benar dengan menangkap dan menyeret ketiga orang tersebut ke pengadilan berdasarkan bukti-bukti hukum yang jelas dan kuat.

Mereka beranggapan bahwa ketiga orang tersebut memang terlibat dalam tindakan kriminal sehingga wajar bila dijatuhi hukuman. Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim 8 kelihatannya tidak banyak membantu karena rekomendasi yang dihasilkan tim tersebut tidak segera menghasilkan keputusan.

Presiden SBY masih menunggu sampai Senin atau Selasa pekan ini untuk membuat keputusan setelah menerima masukan dari Polri dan Kejagung sebagai pihakpihak yang terlibat dalam perseteruan tersebut. Memang agak aneh bila Presiden SBY mempersilakan kedua instansi tersebut untuk mempelajari rekomendasi tersebut dan memberikan pendapat mereka kepada Presiden karena kedua instansi tersebut adalah instansi yang akan terkena oleh keputusan Presiden.

Polarisasi Politik

Perseteruan hukum tersebut ternyata telah meluas ke bidang politik. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh karena hukum terkait erat dengan politik. Masalah korupsi sering kali berhubungan erat dengan politik karena yang melakukan korupsi adalah para pejabat politik dan pejabat pemerintah (termasuk polisi dan tentara).

Di samping itu, tidak jarang korupsi dilakukan oleh pejabat politik dan pejabat pemerintah dalam rangka mengumpulkan dana untuk kepentingan partai politik mereka atau kepentingan mereka sendiri. Kasus hukum KPK melawan Polri dan Kejagung telah menghasilkan polarisasi politik. Dukungan politik terhadap KPK berupa demonstrasi yang meluas dalam beberapa minggu terakhir ini telah mendorong pihak yang mendukung Polri dan Kejagung untuk mengadakan aksi serupa.

Aksi unjuk rasa terjadi di beberapa kota seperti Jakarta dan Medan yang menuntut diabaikannya rekomendasi Tim 8 dan meneruskan proses pengadilan bagi mantan pimpinan KPK tersebut. Melakukan unjuk rasa adalah hak setiap warga negara dalam demokrasi. Oleh karena itu demonstrasi yang dilakukan oleh siapa saja tidak perlu dipertanyakan motivasi dan tujuannya.

Namun merekayasa demonstrasi untuk kepentingan politik pihak yang melakukan rekayasa adalah sebuah tindakan yang berbahaya. Seharusnya demonstrasi dilakukan karena para demonstran merasa terlanggar kepentingannya sehingga mereka melakukan unjuk rasa terhadap pemerintah sebagai institusi pembuat keputusan politik. Oleh karena itu tidak wajar bila demonstrasi dilakukan tidak untuk kepentingan yang berdemo, tapi untuk kepentingan pihak yang menjadi sponsor demo.

Demo seperti ini dijadikan alat politik oleh perekayasa demo yang tidak terkait dengan kepentingan pendemo atau kepentingan rakyat banyak. Memang sulit untuk membuktikan demo yang mana yang merupakan rekayasa: apakah demo yang mendukung KPK atau demo yang anti-KPK? Biarlah masyarakat yang menilai sendiri yang dapat pula berkembang menjadi opini publik.

Terlepas dari direkayasa atau tidak, mengadakan demo tandingan adalah tindakan politik yang berbahaya karena konflik hukum dapat berubah menjadi konflik politik horizontal karena keterlibatan massa dalam perseteruan hukum antarlembaga-lembaga penegak hukum.Demo tandingan akan berakibat pada pelibatan warga masyarakat secara massal dalam konflik politik yang akan memperkeruh keadaan politik di Indonesia.

Citra Politik Pemerintah

Perseteruan hukum yang tidak kunjung selesai berakibat buruk bagi citra politik pemerintahan Presiden SBY.Sudah banyak sekali komentar yang mengatakan bahwa seharusnya Presiden SBY membuat keputusan yang cepat dan tegas dalam kasus perseteruan hukum tersebut.Apalagi Tim 8 telah menyerahkan rekomendasinya. Presiden SBY dapat membuat keputusan apa saja yang dianggap terbaik agar debat publik yang intensif itu bisa berhenti karena hal itu memang merupakan kewenangan Presiden seperti yang telah dilakukannya tadi malam.

Presiden SBY bisa memutuskan untuk mengikuti rekomendasi Tim 8 atau mengabaikannya dengan membuat keputusan yang berbeda dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat. Perkembangan politik memang sudah semakin memburuk karena di luar negeri juga berkembang persepsi bahwa yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pertarungan antara tokoh-tokoh politik yang antikorupsi melawan tokoh-tokoh yang ingin melemahkan pemberantasan korupsi.

Pandangan seperti ini bisa memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Pengambilan keputusan yang lambat hanyalah akan memperkuat kesan bahwa Pemerintah Indonesia bersikap ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang menghambat usaha pemberantasan korupsi. Penundaan pengambilan keputusan oleh Presiden SBY juga menyebabkan beredarnya desas-desus yang memperburuk keadaan seperti keterkaitan kasus perseteruan KPK-Polri/Kejagung ini dengan kasus Bank Century yang memunculkan pendapat bahwa kasus Bank Century terkait dengan elite politik yang sekarang berkuasa.

Desasdesus ini dapat digunakan untuk memperkuat anggapan bahwa korupsi di Indonesia yang melibatkan pejabat-pejabat politik tetap berlangsung dan tidak pernah berhenti, malah semakin menghebat. Tidak dapat disangkal bahwa kasus hukum ini sangat mengganggu pencapaian target 100 hari pemerintahan pimpinan Presiden SBY.Debat publik dan opini publik yang berkembang mengakibatkan tersedotnya perhatian para penyelenggara negara dan terganggunya konsentrasi mereka dalam pencapaian target tersebut.

Rakyat banyak malah menganggap bahwa target 100 hari tidak lagi terlalu penting sekarang ini karena yang jauh lebih penting adalah menyelesaikan perseteruan KPK-Polri/Kejagung. Seharusnya penyelesaian kasus ini dijadikan target utama oleh pemerintah. Pemerintah dituntut untuk mampu menyelesaikan kasus hukum itu dengan tetap memberikan kekuasaan yang besar bagi KPK untuk memberantas korupsi di Indonesia.

Dukungan rakyat kepada KPK memang sudah tidak diragukan lagi. Mereka beranggapan bahwa korupsi adalah sumber malapetaka sehingga pemberantasan korupsi adalah prasyarat bagi keberhasilan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu keputusan yang diambil Presiden SBY harus menunjukkan niat dan tekad yang kuat untuk memberantas korupsi tanpa peduli siapa pun yang melakukannya.

Hanya dengan berpihak pada pemberantasan korupsi,yang antara lain dilakukan oleh KPK, Presiden SBY dapat memperbaiki citra politiknya. Ketidakjelasan dalam bersikap atau adanya kesan pengebirian terhadap KPK hanya akan memperburuk citra pemerintah di masa rakyat.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/286235/



Maswadi Rauf
Guru Besar
Ilmu Politik

Perlu Upaya Simultan Berantas Korupsi

Oleh: Ivan A Hadar


Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja melakukan konferensi pers terkait tanggapan atas rekomendasi Tim 8 yang telah disampaikan kepada Presiden seminggu sebelumnya.


Namun dapat kita lihat dari laporan live beberapa televisi, ternyata para pakar dan juga anggota Tim 8,pengacara maupun Chandra M Hamzah masih harus mengira-ngira arti jawaban Presiden SBY tersebut.Tampaknya ini harus dibuat lebih konkret agar rakyat tak menebak-nebak. Sebelumnya Ketua Tim 8 Adnan Buyung Nasution pernah mensinyalir ada skenario besar untuk menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Skenario yang didukung oleh (oknum) petinggi penegak hukum,pengacara, dan koruptor ini, menurutnya, makin kentara setelah mendalami kasus Bibit-Chandra dan kasus Antasari Azhar. Indikasinya, demikian Buyung,tampak dari rekayasa pemidanaan wakil ketua nonaktif KPK,Chandra dan Bibit. Indikasi adanya skenario besar semakin nyata setelah kesaksian Wiliardi Wizar.

Meskipun dibantah Kapolri, eks Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu menyatakan, ada upaya petinggi kepolisian untuk menyeret ketua nonaktif KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Melihat perkembangan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mestinya segera bertindak sesuai usulan Tim 8, selain menyelesaikan kasus Chandra-Bibit, juga melakukan reformasi Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung). “Diminta atau tidak, Presiden harus tergerak hatinya”,kata Buyung kepada beberapa media.Tanpa itu, program antikorupsi yang dicanangkan kabinet baru bisa dianggap sekadar retorika.

Surutnya Semangat Antikorupsi

Penerima Nobel Perdamaian Oscar Arias Sanchez (2005) pernah memperingatkan, “Skandal-skandal korupsi yang berkepanjangan itu mengecewakan hati rakyat. Perlawanan rakyat, atau bahkan kudeta,dapat saja muncul kembali di beberapa negara. Partai-partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokannya.

Tatkala partai-partai politik ditinggalkan rakyat,demokrasi menghadapi risiko menjadi suatu sistem yang lumpuh.” Peringatan Sanchez itu rasanya sangat tepat dengan capaian pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski rezim Soeharto yang melakukan megakorupsi berhasil ditumbangkan oleh gerakan Reformasi, korupsi masih menjadi “virus”perusak utama negeri ini. Menurut survei Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM (Juli 2009), 2005 adalah “tahun emas” realisasi komitmen Presiden SBY periode 2004–2009 dalam memberantas korupsi.

Tahun emas pemberantasan korupsi itu ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di pengujung Desember 2004. Saat itu terlihat semangat Presiden SBY yang luar biasa hingga keluar pernyataannya untuk memimpin sendiri secara langsung pemberantasan korupsi. Sayangnya, sejak 2007 semangat pemberantasan korupsi itu mengalami penurunan drastis yang bertahan hingga 2009.

Kian surutnya semangat pemberantasan korupsi oleh pemerintah ditengarai karena adanya tarik ulur kepentingan politik menjelang pemilihan umum.Kondisi tersebut terlihat kian membahayakan karena dalam menyusun kabinetnya,SBY tidak mendasarkan pada akuntabilitas, akseptabilitas, dan kapabilitas para calon menteri.

Gerakan Antikorupsi

Saat ini, tiga ancaman utama Indonesia adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan konflik SARA.Selain merupakan dampak langsung tatanan ekonomi-politik yang tidak adil dan bernuansa kekerasan, ancaman itu berkorelasi dengan perilaku koruptif (tidak saja) para elite bangsa. Per definisi, korupsi berasal dari kata Latin rumpere, berarti melanggar, khususnya melanggar tata cara berperilaku terpuji dan aturan birokrasi.

Seseorang dikatakan melakukan tindakan korupsi ketika, dalam melanggar aturan, dia sendiri, keluarga, kerabat, suku, dan kelompok sosial pilihannya memperoleh imbalan materiil maupun fasilitas. Deskripsi sederhana tentang korupsi itu sekaligus menunjuk berbagai kesulitan pemberantasannya, yang tak jarang bersifat dilematis. Pertama, untuk membuktikan telah terjadi korupsi dibutuhkan perangkat hukum yang terperinci.

Tanpa itu, terbuka lebar peluang penafsiran hukum yang pada gilirannya memperbesar godaan untuk, misalnya, menerapkan pungutan kepada masyarakat dengan seenaknya. Namun, pada saat sama, kian banyak aturan bisa berarti kian besar kekuasaan birokrasi sehingga kian besar peluang pungutan liar. Kedua, kian erat hubungan sosial sebuah masyarakat kian sulit membuktikan praktik korupsi.

Seorang pejabat yang memberi proyek kepada seorang pengusaha dengan memperoleh imbalan tertentu bisa dijerat dengan tuduhan korupsi. Namun, akan sulit dibuktikan bila imbalan atas jasanya itu diperoleh dalam bentuk sumbangan, hadiah, atau lowongan kerja bagi anaknya. Suap-menyuap untuk memperoleh kemudahan birokrasi dengan demikian tidak harus terjadi secara langsung dan terbuka.

Mungkin karena itu,ada ketentuan di Malaysia, pejabat pemerintah dilarang menerima hadiah apa pun dari masyarakat, apalagi dari pengusaha. Ketiga, dalam masyarakat dengan pola hubungan perkerabatan seperti masyarakat Indonesia, boleh jadi tidak realistis menuntut seorang pejabat agar berperilaku berjarak terhadap keluarga, kerabat, suku, dan seterusnya. Sang pejabat yang berperilaku berjarak akan dinilai tak bermoral karena melupakan akar rumput, kerabat, dan daerahnya.

Pemberantasan korupsi harus dilakukan simultan, lewat tindakan kuratif atau penegakan hukum, preventif, dan preservatif.Tindakan preventif dimaksudkan guna mencegah internalisasi sikap permisif atas tindak koruptif, sementara upaya preservatif guna memberi perlindungan dan kemampuan resistensi bagi individu atau elemen sosial yang sudah menyerap nilai-nilai antikorupsi. Tindakan kuratif yang urgen saat ini adalah membongkar kemungkinan adanya “skenario besar” pelemahan KPK.

Semoga rekomendasi Tim 8 bisa menggerakkan nurani SBY untuk berdiri paling depan dalam menangani hal ini. Sementara tindakan preventif dan preservatif akan terlaksana antara lain dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi. Mengambil momentum saat ini, hal itu bisa menjadi wacana perubahan kurikulum di Tanah Air.Pengubahan kurikulum selain berkait dengan tuntutan agar lebih memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, idealnya mempromosikan nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan sikap tidak mudah menyerah demi kebaikan.

Nilai-nilai yang ditengarai kian tergerus oleh perilaku koruptif, konsumtif, dan permisif. Harapan kita,“kasus KPK”bisa menjadi momentum kebangkitan kembali nilai-nilai tersebut.Pendidikan dengan kurikulum demikian disepakati sebagai bentuk persiapan kehidupan.Filsuf kondang Jerman Peter Sloterdijk (1994) mengatakan, kebijakan masa depan suatu bangsa sebagian besar tergantung pada fungsi visioner dan profetik kaum terpelajarnya.

Untuk saat ini, dibutuhkan langkah proaktif Presiden SBY untuk memimpin gerakan antikorupsi secara holistis.Gerakan ini dipastikan didukung masyarakat luas.Tanpa itu, gerakan antikorupsi berkembang menjadi semata gerakan dari rakyat yang bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/286234/



Ivan A Hadar
Wapemred Jurnal Sosdem,
Pemerhati Sosial-Ekonomi

Century Gate: Hak Angket, Siapa Takut?

Oleh: Bambang Soesatyo


Triliunan rupiah dana talangan untuk Bank Century tak bisa dipertanggungjawabkan oleh orang kepercayaan presiden yang bernafsu menyelamatkan bank bobrok itu. Maka, dengan asumsi tak ada lagi skandal besar di kemudian hari, kasus Bank Century kini berstatus sebagai faktor kunci penentu stabilitas pemerintahan.

Karena itu, dengan statusnya tersebut, tak ada pilihan lain bagi partai politik pendukung pemerintah di parlemen untuk segera ikut dan aktif menuntaskan kasus ini dengan cara mendukung hak angket. Data-data tentang aliran dana yang belum dikonfirmasi telah berseliweran di ruang publik. Pengetahuan publik itulah yang menyebabkan dorongan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan hak angket semakin menguat dari hari ke hari. Partai politik pendukung pemerintah perlu menyadari bahwa aspek-aspek janggal dari bailout Bank Century sudah menjadi kisah yang terang benderang di ruang publik. Debat atau diskusi untuk menutup-nutupi semua kejanggalan itu tak efektif lagi karena publik sudah kehilangan kepercayaan. Publik yakin betul ada yang salah dari bailout itu, sehingga masalahnya harus direspons dengan hak angket DPR.

Jangan takut pada hak angket. Karena itu, jangan berlebihan dalam mengestimasi atau mengkalkulasi arah atau tujuan hak angket. Penggunaan hak angket tak identik dengan niat memakzulkan presiden. Dalam konteks hak angket untuk bailout Bank Century, partai-partai pengimbang (oposisi) selaku penggagas sama sekali tidak berniat membidik agenda impeachment presiden. Agenda utamanya adalah meminta pertanggungjawaban dari pejabat yang merumuskan kebijakan bailout itu. Ingat, jumlah uang negara yang digunakan dalam bailout itu sangatlah besar untuk sebuah bank yang bobrok.

Teman-teman penggagas hak angket mengatakan, mengaitkan agenda pemakzulan dalam isu hak angket adalah pemikiran kurang beradab dalam berpolitik. Pada era modern kini, kualitas dinamika peradaban politik kita harus ditingkatkan. Penggunaan hak angket atau interpelasi harus dihargai sebagai hak konstitusional setiap anggota DPR. Hak angket tak bisa dipisahkan dari fungsi kontrol anggota DPR. Mengontrol atau meminta pertanggungjawaban pemerintah jangan disamakan dengan manuver politik menjatuhkan presiden. Kalau hak angket diidentikkan dengan upaya memakzulkan presiden, betapa tidak beradabnya budaya politik kita. Bagaimana persepsi orang luar tentang peradaban politik kita ketika melihat pemerintah yang masa baktinya baru seumur jagung sudah dihadapkan pada nafsu DPR menjatuhkannya. Tidak, kita tidak ingin seperti itu dalam hak angket Bank Century.

Hingga pekan lalu, arus aspirasi di DPR untuk mengegolkan hak angket terasa belum begitu kuat. Kecenderungan itu tampak bertolak belakang dengan aspirasi publik yang begitu kuat, ditandai oleh unjuk rasa di berbagai kota. Belum semua fraksi berniat menggunakan hak angket untuk kasus bailout Bank Century. Jumlah anggota DPR yang telah menyatakan mendukung hak angket pun belum sampai 50 persen dari total anggota DPR. Perkembangan ini membangun rasa curiga di tengah publik; jangan-jangan gagasan hak angket kali ini pun masuk angin lagi alias bakal gugur di tengah jalan.

Bisa dipahami jika partai politik atau fraksi pendukung pemerintah masih ragu karena belum ada petunjuk resmi dari pimpinan partai masing-masing. Ada juga yang beralasan masih menunggu hasil audit investigasi BPK. Oke, kita hargai saja pendirian masing-masing fraksi dan anggota DPR. Namun, berdasarkan bocoran data plus sejumlah rumor yang belum terkonfirmasikan, penyikapan dan penyelesaian kasus bailout Bank Century kini telah berstatus sebagai faktor kunci bagi terciptanya stabilitas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lima tahun ke depan. Perkembangan ini mudah-mudahan bisa mengubah persepsi partai politik maupun fraksi-fraksi DPR pendukung pemerintah.

Logikanya adalah jika fraksi-fraksi pendukung pemerintah mau menjaga pemerintahan berjalan stabil, mereka dituntut untuk proaktif membersihkan ganjalan-ganjalan yang bisa merusak stabilitas pemerintahan. Salah satu ganjalan yang telah mengemuka saat ini adalah kasus bailout Bank Century. Seperti diketahui, kasus ini menyeret nama orang-orang kepercayaan presiden. Kalau mereka tidak mampu menjernihkan masalah dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal, orang-orang kepercayaan presiden ini akan terus menjadi sasaran bidik fraksi pengimbang di DPR maupun publik. Kalau sudah begitu, stabilitas pemerintahan menjadi taruhannya. Semua partai dan fraksi DPR pendukung pemerintah mestinya tidak boleh mengambil risiko itu. Sebaliknya, risiko itu justru harus dieliminasi.

Sikap Fraksi Partai Golkar sendiri mengacu pada penegasan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang menyatakan mendukung pemerintah dengan cara menjaga stabilitas pemerintahan. Untuk itu, setiap masalah yang berpotensi merecoki pemerintah harus diselesaikan atau dihilangkan agar pemerintah bisa berkonsentrasi penuh pada program pembangunan.

Pada hasil audit tahap pertama, Badan Pemeriksa Keuangan telah memberi sinyal bahwa bailout itu memang bermasalah dan mengandung sejumlah kejanggalan. Pimpinan Bank Indonesia memperkuat sinyal kejanggalan itu dengan mengemukakan bahwa terjadi penarikan dana dalam jumlah sangat besar pasca-bailout. Mudah-mudahan semua sinyal itu bisa diterima semua fraksi pendukung pemerintah sebagai sikap awal mendukung hak angket. Pekan ini BPK mengumumkan hasil audit investigasi atas bailout Bank Century. Publik berharap pengumuman BPK itu lebih menonjolkan aliran dana Bank Century pasca-bailout. Sebab, aspek itulah yang paling ditunggu-tunggu publik. Mudah-mudahan hasil audit yang dipaparkan ke publik apa adanya alias belum direkayasa atau dimanipulasi. Benar-benar belum mendapat sentuhan tangan setan. Publik patut curiga mengingat sebelumnya amat sangat tidak mudah mendapatkan aliran dana kasus ini. Kalau saja kita semua mau bersepakat kasus ini luar biasa, akses publik untuk tahu aliran dana pasca-bailout mestinya dimudahkan. Persoalannya jadi lain jika kasus ini disederhanakan atau ditutup-tutupi.

Hingga satu pekan sebelum BPK mengumumkan hasil audit investigasi sudah muncul bocoran data. Bocoran itu menjelaskan bahwa tak kurang dari Rp 3,7 triliun--dari total Rp 6,7 triliun dana talangan Bank Century--tak bisa dipertanggungjawabkan oleh para perumus dan pembuat kebijakan bailout itu. Sempat muncul dugaan bahwa sekitar Rp 500 miliar diserahkan kepada seorang politikus. Dengan munculnya dugaan yang terakhir ini, nama-nama yang dibidik dalam kasus ini bertambah, dari tiga menjadi empat nama. Tiga nama sebelumnya adalah mereka yang membuat putusan final bailout itu. Kini di kalangan politikus beredar pertanyaan tentang siapa saja penerima dana talangan sisanya yang berjumlah Rp 3,2 triliun itu.

Kalau diasumsikan presiden pun telah mendapatkan bocoran data yang sama, bisa dipastikan kepala negara akan sangat marah. Masalahnya adalah keputusan menyelamatkan Bank Century ditetapkan oleh atau tak bisa dipisahkan dari orang-orang yang selama ini sangat dipercayainya. Karena merasa sangat terganggu oleh kasus ini, presiden bisa saja ikut mendukung hak angket DPR. Seperti orang kebanyakan lainnya, presiden pun pasti berkepentingan dengan transparansi aliran dana talangan Bank Century agar tidak muncul spekulasi yang merugikan nama baik presiden.

Pada akhirnya, kita mengajak semua fraksi di DPR membuka lagi file tentang bagaimana awal pengungkapan kasus Bank Century. Pada file itu, kita diingatkan tentang kesimpangsiuran pernyataan para pejabat. Kita garisbawahi saja indikasi ketidakjujuran dalam mekanisme pengambilan keputusan final bailout Bank Century dan upaya melempar tanggung jawab dengan klaim bailout itu sudah disetujui Wakil Presiden. Ketidakjujuran itu tampak telanjang ketika Wakil Presiden lantang mementahkan klaim itu. Hak angket, siapa takut?

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/11/24/Opini/krn.20091124.18

Bambang Soesatyo
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Golkar/Pengusul Hak Angket Century

Masalah Pertanian Kita

Oleh: Usep Setiawan


Berbeda dengan para menteri pertanian sebelumnya yang ingin menggenjot produktivitas pertanian, mentan yang baru memulai visinya dengan urgensi pelaksanaan reforma agraria.

Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian menegaskan gejala ”konversi” lahan pertanian ke nonpertanian berbanding lurus dengan ”ploretarisasi” petani.

Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru, mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan berjanji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).

Selama ini, reforma agraria ”dititipkan” Presiden Yudhoyono ke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salah satu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yang setelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, komitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkait urusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.

Agenda lanjutan

Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lanjutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat program reforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yang lahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakat adat/lokal harus diprioritaskan.

Kedua, identifikasi tanah yang layak dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek miskin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan ”pemiliknya” perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin. Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agenda mendesak untuk dituntaskan.

Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisipatif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dan konsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuan serta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkan keadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.

Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, dan program pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung ”produktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunan pertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlu rumusan lebih berkeadilan dengan ”produktivitas mengutamakan pemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produktif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskin desa.

Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser paradigma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyediakan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuhkan petani miskin mengiringi program landreform.

Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empat dan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasi dengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perlu diperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks ”penataan ruang”, guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agraria agar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.

Perlu lompatan

Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang (2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar. Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengurus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dan tindak melompat jauh ke depan.

Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal membangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksistensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatan dengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan penataan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.

Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria. Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentan dan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambil mengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi lingkungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistem perdagangan yang tak adil.

Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagrariaanlah makna hakiki dari ”demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan” yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alam nyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/23/03073592/masalah.pertanian.kita


Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

Senin, 23 November 2009

Milestone Rekomendasi Tim Delapan

Oleh: Zainal Arifin Mochtar


Tim Delapan akhirnya menyerahkan laporan akhir kepada Presiden, Selasa, (17/11). Dengan laporan setebal 31 halaman, tugas Tim Delapan telah selesai.


Mandat yang diperoleh untuk menyelesaikan persoalan Bibit-Chandra telah diselesaikan. Secara garis besar,laporan tersebut memuat beberapa butir utama yang kira-kira dapat terpetakan menjadi tujuh poin utama. Pertama, proses hukum terhadap Bibit-Chandra sebaiknya dihentikan karena adanya penanganan yang tidak tepat dan terlihat sangat dipaksakan.Kedua,dijatuhkannya sanksi terhadap pejabat- pejabat yang bertanggung jawab atas adanya upaya penegakan proses hukum yang dipaksakan.

Ketiga, melakukan reformasi institusional yang menyeluruh pada tubuh kepolisian dan kejaksaan. Keempat, melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh kepolisian,kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kelima, memprioritaskan upaya untuk melakukan operasi pemberantasan makelar kasus (markus) dan mafia peradilan di semua lembaga penegakan hukum.

Keenam, mendorong upaya penuntasan perkara-perkara lainnya yang terkait dengan kasus korupsi Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century, serta kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.Ketujuh,Presiden disarankan untuk membentuk suatu komisi negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan lembagalembaga hukum. Tujuh poin ini tentu menarik.

Memetakan bahwa kasus yang diderita oleh Bibit-Chandra memang rekayasa. Karenanya, ada yang harus bertanggung jawab untuk hal tersebut.Lebih lanjut harus segera dilakukan perbaikan untuk mereformasi lembaga-lembaga yang gagal menunjukkan penegakan hukum substantif karena adanya markus.Terkhusus, makelar kasus harus segera diupayakan pemberantasannya.

Rekomendasi ke Aksi

Rekomendasi ini sudah menjadi dosis yang ”luar biasa”di tengah kewenangan Tim Delapan yang biasabiasa saja. Karena dalam rekomendasi ini berisi hal-hal yang menarik dengan tujuan pencapaian yang lebih luas dalam kelindan persoalan Bibit-Chandra. Tapi sejujurnya, rekomendasi Tim Delapan tetaplah rekomendasi. Tidak bisa dianggap self excecuted.Tidak mungkin dianggap sebagai pemuas keinginan rakyat Indonesia yang menginginkan penuntasan perkara Bibit-Chandra.

Hasil Tim Delapan hanya berbicara pada tingkat “apa yang seharusnya dicapai”. Rekomendasi ini dapat berubah menjadi batu pijakan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi jika “apa yang seharusnya dicapai” dapat dilengkapi dengan “bagaimana hal tersebut dicapai”, serta kemampuan dan kemauan untuk mencapainya. Secara detail, dari tujuh poin rekomendasi, sesungguhnya tidak semuanya harus menunggu tanggapan Presiden SBY. Selain penghentian perkara Bibit-Chandra, pemberian hukuman pada pejabat yang terlibat pada pemaksaan kasus Bibit-Chandra dan pembentukan komisi negara,praktis tidak perlu menunggu tanggapan SBY.

Untuk meneruskan perkara Masaro, SKRT, peran Susno dan Lucas dalam perkara uang Budi Sampoerna pada Bank Century.Pemberantasan perkara tidak membutuhkan tanggapan Presiden SBY atas rekomendasi. Perkara-perkara ini tetap saja harus berjalan tanpa perlu menunggu tanggapan Presiden SBY. KPK yang memang berpeluang menangani perkara ini harus bergerak cepat dan langsung.Tidak ada hubungan dengan harus menunggu tanggapan Presiden. Hal yang sama seharusnya dilakukan dalam upaya melakukan perlawanan atas markus.

Memberantas markus adalah wilayah yang pasti dan wajib dilakukan tanpa perlu menunggu penerimaan Presiden SBY. Seharusnya, hal-hal ini dilakukan dengan segera dan dilangsungkan tanpa perlu membuang waktu. Sisanya sudah tersedia kemungkinan langkah hukumnya.Misalnya langkah hukum penghentian perkara Bibit-Chandra,kemungkinan langkah hukumnya sudah tersedia. Secara hukum, ada empat pilihan langkah yang masih mungkin diambil. Pertama,rekomendasi untuk menghentikan penyidikan.

Ini tentu berarti memerintahkan kepolisian untuk melakukannya. Sebagai penyidik, merekalah yang dapat menghentikan penyidikan. Kedua, penghentian penuntutan.Hal ini dilakukan jika berkas sudah beralih dari kepolisian ke kejaksaan.Ada hak yang dimiliki kejaksaan untuk menghentikan penuntutan, misalnya saja jika dianggap bukan perkara pidana.Kemungkinan untuk yang ini juga kecil karena sama dengan mempertanyakan keprofesionalan kejaksaan dan kepolisian. Ketiga untuk men-deponeering perkara ini.Deponeeringadalah hak yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan asas oportunitas yang dia miliki.

Pertimbangan dalam melakukan tindakan ini adalah bisa dikarenakan demi kepentingan umum. Bahkan, dalam melaksanakannya, Kejaksaan dapat meminta lembaga-lembaga yang terkait dalam perkara ini untuk memberikan pertimbangan. Bahkan Presiden dapat memberikan alasan demi kepentingan umum dalam rangka dilakukannya deponeering. Tentu bukan dalam kerangka intervensi, tetapi dalam kerangka menegaskan kepentingan umum. Keempat, abolisi.

Walau mungkin, tetapi langkah ini kelihatannya kurang tepat karena seakan-akan memberikan keputusan akhir pada Presiden, dan pada saat yang sama baik Bibit maupun Chandra tetap saja dianggap bersalah, hanya diabolisikan oleh Presiden. Dari keempat langkah yang tersedia, Presiden seharusnya mengambil salah satunya sebagai cara untuk menghentikan proses perkara atas Bibit-Chandra.Spektrum persoalan Bibit-Chandra sudah terbukti bukan lagi berdimensi pidana, tetapi lebih berbahasa politis, koruptif; berbau mafia peradilan, dan kalau mau disebut bertendensi “like or dislike”.

Presiden SBY harus melihat dengan jernih bahwa persoalan ini tentu tidak bisa dipandang remeh.Meski dapat menunda keputusan hingga seminggu,tetapi bukan berarti dapat berpikir untuk menghilangkan fakta temuan Tim Delapan. Hal yang sama hukuman atas pejabat yang merekayasa atau memaksakan perkara atas Bibit- Chandra. Ini memang membutuhkan tanggapan Presiden SBY atas perkara ini. Akhirnya memang harus menunggu.Tetapi, lagi-lagi keduanya membutuhkan kemampuan dan kemauan Presiden SBY. Hal tersebut membutuhkan kemauan dan kesungguhan untuk menuntaskan perkara ini tentunya dengan memihak pada melaksanakan strategi yang menyelesaikan.

Milestone

Kembali ke Tim Delapan,butirbutir ini sangat berpeluang menjadi batu pijakan proses reformasi jilid kedua yang kita harapkan, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Rekomendasi Tim Delapan harusnya menjadi poinpoin penting yang dapat jadi pijakan perbaikan.

Paling tidak telah menjadi cermin bahwa wajah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri lagi burukburuknya. Kita perlu segera berbenah dan melakukan sesuatu. Rekomendasi Tim Delapan memang telah menunjukkan pelembagaan dugaan-dugaan yang kita punyai selama ini.Tim Delapan telah membungkusnya menjadi fakta yang terekomendasi bahwa potret parah penegakan hukum kita memang sedang berada pada titik tertinggi.

Ada upaya yang harus dilakukan.Ada tindakan yang harus diambil. Sayangnya, rekomendasi Tim Delapan bisa menjadi milestone atau malah “mati muda”, sangat bergantung pada iktikad melaksanakan, baik untuk menunggu tindakan Presiden SBY maupun inisiatif untuk melakukan sesuatu perbaikan.Tentu kita semua mengharapkan penegakan hukum substantif.

Karenanya, semua memang menunggu iktikad untuk melakukan sesuatu, terutama dari Presiden SBY yang telah menunda hingga Senin depan. Kita semua menunggu karena memang ada yang harus dilakukan. Semoga mampu dan mau.Karena kita semua membutuhkan hal tersebut.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/285433/



Zainal Arifin Mochtar
Dosen Fakultas Hukum, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta

Jumat, 20 November 2009

Pengadilan oleh Media Massa

Oleh: Prof Dr Jusuf



Dalam upaya penegakan hukum di Indonesia telah terjadi benturan antarlembaga penegak hukum.Benturan itu diawali dengan testimoni Antasari Azhar di hadapan penyidik Polri yang menyatakan adanya dugaan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petinggi KPK.


Dari data tersebut,Polri menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada penahanan yang bersangkutan. Tindakan penahanan terhadap oknum pimpinan KPK nonaktif tersebut yang dilaksanakan oleh Bareskrim Polri telah direspons masyarakat ke ranah politik melalui satu bentuk pressure group. Bentuknya antara lain dengan aksi unjuk rasa dan gerakan dukungan massa yang diidentikkan dengan gerakan mendukung KPK, tidak hanya secara fisik, tetapi juga melalui gerakan dunia maya (Facebookers) yang sampai saat ini telah mencapai 1 juta lebih.

Beberapa tokoh masyarakat, tanpa mengetahui substansi masalah hukumnya, ikut-ikutan mendukung tersangka dan menghujat Polri. Gerakan tersebut lebih dipacu secara sistematis oleh tayangan media televisi. Setiap hari tak ubahnya kita sedang menyaksikan sidang pengadilan melalui media massa dengan presenter televisi sebagai penanya/pewawancara dengan pihak lain sebagai objek wawancaranya (trial by the press). Melalui tayangan itu pula berkembang secara sistematis opini publik yang keliru seolah-olah “ada perseteruan” antara Polri dan KPK.

Selanjutnya, berkembang opini seolah-olah tindakan Polri menahan dua petinggi KPK tersebut sebagai tindakan mengadaada dan ”merekayasa”.Penjelasan Kapolri dalam beberapa konferensi pers ternyata tidak mampu mengubah persepsi yang keliru tersebut. Hal itu wajar karena dalam konferensi pers, tidak mungkin semua aspek teknis dibeberkan. Tindakan penangguhan penahanan terhadap dua pimpinan KPK nonaktif ternyata tidak menyurutkan gerakan unjuk rasa dan dikatakan bahwa penangguhan penahanan itu diberikan karena ada tekanan.

Kemudian kasus ini juga dikait-kaitkan dengan peranan Susno Duadji dalam kasus Bank Century. Desakan-desakan agar kasus Bank Century ditangani KPK terus dilancarkan oleh kelompok penekan (pressure group) dengan motif dan tujuan tidak hanya sekadar masalah proses penyidikannya, tetapi lebih jauh telah menjangkau tujuan politik secara nasional. Dengan demikian, jelas terlihat adanya pihak-pihak yang sengaja mengondisikan penggunaan kekuatan untuk memaksakan persepsinya dengan dalih mendukung pemberantasan korupsi.

Tidak disadari bahwa penggunaan kekuatan dalam bentuk tersebut memiliki kecenderungan tindakan korupsi karena melegitimasi persepsi dengan power dan tidak dengan kebenaran substantif. Lord Acton mengatakan: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.

Theory of The Truth

Wacana baru sistem peradilan di Indonesia dapat dimaknai dengan adanya shifting the theory of the truth dari Foucault (1972) yang berpandangan bahwa kebenaran pada dasarnya dapat dibuat dan dikondisikan, terutama oleh mereka yang memiliki power (man of desire). Pada umumnya, yang memiliki kekuasaan tersebut adalah pemerintah sebagai pihak penguasa. Namun, fenomena yang terjadi saat ini,man of desire berada di tangan media massa sebagai pihak yang secara tidak sengaja telah menggerakkan masyarakat sebagai pressure power.

Demikian pula, fenomena konflik antara KPK,Polri,dan Kejaksaan Agung telah membuat wacana baru dalam sistem peradilan,yaitu terjadinya perpindahan kekuasaan sistem peradilan dari kekuasaan negara (state) menjadi kekuasaan masyarakat.Perubahan ini antara lain disebabkan pertumbuhan yang pesat di bidang komunikasi dan teknologi. Opini masyarakat yang terbentuk dengan sangat cepat dan diciptakan melalui pemanfaatan kecanggihan sistem komunikasi modern dengan perantara media massa.

Pemilik media massa secara tidak langsung berperan sebagai man of desire yang dapat menciptakan dan mengondisikan kebenaran sesuai dengan keyakinannya.Pemberitaan dapat membentuk interpretasi masyarakat sehingga makna yang dihasilkan dapat berupa opini yang pada akhirnya terakumulasi menjadi sebuah pressure group. Gerakan pressure group yang dibentuk dari opini media massa telah berubah sebagai pengadilan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.

Hal ini menjadikan tatanan sistem pengadilan menjadi lawless yang membuat seolah instrumen hukum tidak berfungsi dan tidak berdaya menghadapi tekanan masyarakat.Rasionalitas ini akan memiliki implikasi negatif bagi sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia pada masa mendatang karena pada hakikatnya hukum memiliki sebuah kepastian terhadap kebenaran dan keadilan dan bukan hasil bentukan terhadap opini masyarakat.

Fenomena Abolisi

Konflik antara KPK,Polri, dan Kejaksaan Agung merupakan hasil dari temuan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparat-aparat lembaga tersebut. Penyimpangan ini merupakan domain hukum yang harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang bermuara pada putusan pengadilan. Akan tetapi saat ini telah terjadi perubahan mengarah pada domain politik, yaitu terciptanya opini masyarakat yang tidak memercayai lembaga penegak hukum.

Opini masyarakat yang ”awam” hukum mudah diarahkan untuk turut serta mengadili lembaga hukum dan bahkan memaksa Presiden untuk ikut serta melakukan intervensi di bidang hukum. Ada beraneka saran dari berbagai pihak yang menginginkan Presiden melakukan intervensi hukum untuk menyelesaikan permasalahan yang melibatkan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Pendapat saat ini yang sedang mengerucut adalah agar Presiden memberikan abolisi.

Abolisi pada hakikatnya merupakan hak Presiden untuk membatalkan tuntutan terhadap seseorang sebelum putusan hakim ditetapkan atau kewenangan kepala negara untuk menggugurkan hak penuntut umum untuk melakukan penuntutan serta akibat hukum yang timbul karena tuntutan tersebut.

Tindakan ini ditempuh Presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) bahwa: (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Tindakan itu menjadi sangat dilematis untuk kondisi saat ini karena apabila tindakan abolisi tersebut diambil, dapat diinterpretasikan bahwa Presiden telah mengintervensi sistem peradilan pidana dan akan dituduh sebagai melanggar hukum.

Alternatif Solusi

Alternatif solusi yang mungkin dapat diambil dapat disesuaikan pada tataran substansi masalahnya sehingga dapat dilakukan dengan memprioritaskan supremasi hukum. Di antaranya, memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian (penyidik) dan Kejaksaan Agung (penuntut) untuk melengkapi dan menuntaskan proses pidananya sesuai ketentuan KUHAP sampai pada proses pengadilan.

Bila setelah diupayakan secara maksimal dan profesional ternyata tidak memungkinkan untuk diteruskan prosesnya ke Pengadilan, kepada penyidik diberikan kesempatan menggunakan kewenangan profesionalnya selaku penyidik untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sesuai KUHP.Demikian juga halnya terhadap Kejaksaan Agung yang memiliki wewenang menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP).

Fenomena pengadilan media massa yang menggunakan masyarakat sebagai instrumen pengadilan jalanan membuat kondisi hukum menjadi tidak berdaya (lawless). Hal ini perlu diluruskan untuk mencegah terjadinya gangguan pada lembaga penegak hukum yang diberikan otoritas oleh negara. Implikasi terhadap gangguan tersebut akan merugikan keadilan dan kebenaran, yang menjadi harapan masyarakat itu sendiri.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/285441/



Prof Dr Jusuf
Profesional Lemhannas RI

KPK Vs Polri: Tak Ada yang Kalah dan Menang

Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Jika ada negara di muka bumi yang paling enak ditonton dalam arti runyam dan remuk dalam proses penegakan hukum, Indonesia adalah salah satu di antaranya yang berada di baris paling depan.

Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sengaja dibentuk dalam semangat reformasi untuk membantu tugas-tugas kepolisian dan kejaksaan, khususnya dalam memerangi korupsi—karena dua institusi negara itu setengah lumpuh dalam menjalankan tugas dan kewajibannya—sekarang justru sedang adu jotos. Bukankah ini adalah sebuah pertunjukan dari bangsa yang tunamalu?

Presiden bertindak cepat

Saya tidak tahu, bagaimana pilunya arwah tokoh seperti Bung Hatta dan Jenderal Hoegeng menyaksikan tontonan gratis yang setengah biadab ini. Petinggi polisi dan Kejaksaan Agung telah sama-sama pasang badan dalam upaya menegakkan benang basah, dengan merekayasa bukti hukum untuk melumpuhkan KPK dengan mengorbankan Bibit dan Chandra. Namun, tanpa dikomando, rakyat dari berbagai lapisan yang masih berfungsi nuraninya bangkit serentak melawan segala kepalsuan ini.

Syukurlah, kali ini Presiden bertindak cepat dengan membentuk Tim Delapan pada 2 November lalu. Temuannya telah diserahkan kepada Presiden pada 16 November, sesuai jangka waktu yang diberikan kepada tim ini.

Kini publik sudah tahu apa isi laporan tim setebal 31 halaman itu. Dari salah seorang anggota tim, saya diberi tahu bahwa Presiden cukup puas dengan hasil kerja Tim Delapan ini. Salah satu indikator kepuasan itu adalah agar temuan investigasi itu dibagikan kepada publik, segera setelah dilaporkan kepada Presiden.

Bagi saya, yang selama ini bersikap kritis kepada kepemimpinan Presiden SBY, kejadian ini sungguh luar biasa. Keluarbiasaan semacam ini jangan hanya berhenti pada titik awal ini.

Kini bagaimana selanjutnya? Bola sepenuhnya berada di tangan Presiden. Jika ingin Program 100 Hari-nya dihargai publik, saya mohon agar saran dan rekomendasi Tim Delapan dilaksanakan dengan berani dan penuh tanggung jawab sekalipun akan membawa korban.

Menghargai hasil Tim Delapan

Tidak ada jalan yang paling bijak bagi Presiden, kecuali menghargai dan melaksanakan hasil kerja tim yang dibentuknya sendiri. Untuk sementara waktu, agar semua pihak tidak kehilangan muka, bisa saja dicari formula dalam format ”tak ada yang menang dan kalah” (win-win solution) agar tidak menyulut keguncangan dahsyat seketika.

Namun, untuk jangka panjang, reformasi total pada semua institusi penegakan hukum wajib dilaksanakan. Untuk tujuan ini perlu dibentuk komisi/tim independen yang terdiri dari mereka yang punya rekam jejak yang telah teruji selama ini dengan integritas moral yang tahan banting, baik dari kalangan warga biasa, perguruan tinggi, kepolisian, maupun kejaksaan. Pribadi baik di kalangan kepolisian dan kejaksaan masih cukup tersedia. Tim Delapan adalah satu contoh terpuji untuk itu sekalipun saya semula agak skeptis.

Berharap kepada Presiden

Kemudian, untuk jangka lebih panjang lagi, reformasi birokrasi secara keseluruhan—yang selama ini hanya berkutat dalam teori dan wacana—harus dilakukan mulai sekarang. Birokrasi kita tetap buruk dan rapuh seperti sediakala, tidak banyak berbeda dengan keadaan sebelum era reformasi. Jika ada perbedaan, bukan dalam bentuk perubahan fundamental. Segi positifnya sekarang adalah borok menahun itu lebih mudah dibongkar berkat pers bebas sebagai salah satu pilar demokrasi dibandingkan dengan masa sebelumnya yang selalu ditutup rapat, sesuai dengan watak utama sebuah rezim otoritarian.

Sekiranya SBY gagal membaca tanda-tanda zaman saat ini untuk bertindak cepat dan tepat, pemerintahannya mungkin saja bertahan sampai tahun 2014 dengan legitimasi konstitusional yang dimiliki.

Namun, terkait legitimasi moral dan sosial, kita semua tidak perlu bertanya karena berangsur-angsur akan runtuh. Kita belum dapat membayangkan akibat buruknya jika semua itu berlaku.

Pembentukan Tim Delapan melalui gerak cepat yang tangkas itu harus diikuti gerak cepat selanjutnya jika memang kita tidak rela melihat Indonesia tercinta ini seperti kampung tak bertuan.

Kita semua masih berharap, semoga Presiden SBY mampu membawa negara dan bangsa ini ke keadaan yang lebih baik.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/20/04111114/tak..ada.yang.kalah.da

.

Ahmad Syafii Maarif
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Century Gate:Bocornya notulen Century

Oleh: Hendri T. Asworo & Hery Trianto



Entah kebetulan atau tidak, kemarin, notulen rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) beredar di kalangan pengamat, anggota parlemen, dan tentu saja para wartawan. Ini berarti, hanya sehari sebelum hasil audit investigatif penyelamatan PT Bank Century Tbk diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Audit investigatif Bank Century-kini berubah nama menjadi Bank Mutiara-adalah titah DPR kepada Badan Pemeriksa Keuangan, agar menelusuri sinyalemen ketidakberesan dalam penyelamatan bank tersebut.

Rapat KSSK berlangsung pada Jumat, 21 November 2008, dari pukul 00.11-05.00 WIB, di Gedung Djuanda Lantai 3, Jakarta, adalah pangkal dari kisruh bailout berasal. Disinilah Bank Century diputuskan sebagai bank berisiko sistemik sehingga harus diselamatkan.

Notulen rapat setebal 5 halaman, yang salinannya diperoleh Bisnis, ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, selaku ketua KSSK dan pemimpin rapat, serta Gubernur BI Boediono (waktu itu) sebagai anggota.

Selain kedua orang tersebut, 16 orang juga hadir, termasuk Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan Firdaus Djaelani, Kepala Bapepam-LK Fuaad Rahmany, dan Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo.

Pemilik Bank Century Robert Tantular, Dirut Hermanus Hassan Muslim, dan Wadirut Hamidy, juga diundang datang ke Departemen Keuangan pada saat yang sama, tetapi tidak terlibat dalam rapat. Mereka, sebagaimana dikatakan Robert Tantular pada satu kesempatan, dibiarkan menunggu lontang-lantung di ruangan lain.

Rapat yang pernah disebut Deputi Senior Gubernur BI Darmin Nasution berlangsung panas sehingga 'semua kata binatang sampai keluar dan membuat semua sakit' itu jelas tergambar pada notulen.

Ini terutama pada poin penentuan Bank Century sebagai bank dengan risiko sistemik atau tidak. Dalam presentasi Gubernur BI, Bank Century telah dinyatakan sebagai bank gagal dan ditengarai berdampak sistemik. Ketika itu, Boediono juga menyampaikan langkah-langkah yang telah dilakukan bank sentral.

Jelas pula, sebagian besar peserta rapat meragukan bahwa bank ini berisiko sistemik, tetapi mengapa justru keputusan penyelamatan yang diambil?

Keraguan pertama datang dari pendapat LPS dalam poin C yakni pada keadaan normal, Bank Century bukan sistemik. Pendapat ini diperkuat oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu yang menyebut analisis risiko sistemik BI belum didukung oleh data yang cukup dan terukur, tetapi lebih kepada analis dampak psikologis.

Pandangan Ketua Bapepam-LK Fuad A. Rahmany hampir senada. Menurut otoritas pasar modal ini, karena ukuran kecil, secara finansial tidak menimbulkan risiko yang signifikan terhadap bank lain, sehingga dampak sistemiknya lebih psikologis.

Ini sejalan dengan fakta yang dihimpun Bisnis, bahwa sebelum dan sesudah diselamatkan, tagihan Century ke bank lain selalu lebih besar dibandingkan dengan kewajibannya. Pada Oktober dan November 2008, bank itu hanya memiliki kewajiban kepada bank lain Rp738 miliar dan Rp429 miliar, jauh lebih rendah dari tagihannya Rp1,64 triliun dan Rp864 miliar.

Dari sisi lain, masih menurut Bapepam LK, apabila bank kecil saja dinyatakan berisiko sistemik dapat menimbulkan persepsi perbankan Indonesia sangat rentan. Ini juga diperkuat oleh fakta bahwa saham Bank Century tidak aktif diperdagangkan di pasar modal.

Anehnya, hingga pertemuan malam itu, ternyata BI juga kesulitan mengukur apakah sebuah bank bisa menimbulkan risiko sistemik atau tidak, karena merupakan dampak berantai. Hal yang bisa diukur hanyalah perkiraan besar biaya bila dilakukan penyelamatan.

Menteri Keuangan mempertanyakan justifikasi penetapan bank gagal. Dia juga menuding bank yang dikendalikan oleh Robert Tantular itu mempunyai reputasi tidak bagus, sehingga diperlukan pertimbangan matang agar tidak menimbulkan moral hazard.

BI bersikeras

Namun, BI tetap bersikeras dengan opsi penyelamatan. Dalam notulen itu terlihat jelas bank sentral menginginkan keputusan harus diambil segera dan tidak bisa ditunda hingga Jumat sore-dari rapat yang berakhir Jumat dini hari-karena Bank Century tidak cukup dana untuk pre-fund kliring dan memenuhi kliring sepanjang hari itu.

BI juga kokoh pada penilaiannya bahwa terhadap bank gagal dan yang berdampak sistemik harus dilakukan upaya penyelamatan. Bank sentral juga menanyakan apakah LPS bisa mengambil alih secara kondisional. Hal ini dijawab tidak oleh LPS.

Dalam notulen, dengan penuh keyakinan BI menyampaikan jika Century tidak diselamatkan, sudah pasti LPS harus membayar dana simpanan nasabah sesuai jumlah yang dijaminkan sekitar Rp5,5 triliun.

Namun, apabila diselamatkan LPS hanya mengeluarkan dana sebesar yang diperlukan untuk memenuhi giro wajib minimum. Belakangan terungkap kebutuhan dana penyelamatan hanya Rp632 miliar. Ada kemungkinan, apabila diselamatkan, LPS tidak harus mengeluarkan seluruh jumlah Rp5,5 triliun. Kita tahu, bailout Bank Century menelan Rp6,7 triliun.

Ekonom Dradjad Wibowo menilai notulen tersebut menjadi 'kotak hitam' untuk mengusut penyelewengan penyelamatan Bank Century. Pasalnya rapat pengambilan keputusan seperti setengah kamar yang tidak dihadiri oleh seluruh anggota KSSK.

"Rapat kerja dihadiri seluruh anggota, tapi rapat pengambilan keputusan hanya oleh beberapa pihak. Beberapa pihak inilah yang memutuskan untuk menyatakan Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik," ujarnya.

Dalam notulen kesimpulan rapat memang jelas tertulis, pengambilan keputusan hanya dihadiri oleh Menkeu Sri Mulyani, Gubernur BI Boediono, Ketua Bapepam-LK Fuad A. Rahmany, Ketua Dewan Komisioner LPS Rudjito dan anggota Dewan Komisioner LPS serta Sekretaris KSSK Raden Pardede.

Rapat memutuskan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, kemudian penanganan dilakukan oleh LPS dan lembaga ini meminta dukungan dari Bank Mandiri untuk mengisi manajemen baru.

Menurut Legislator Fraksi Golkar Harry Azhar Azis, notulen itu menjadi bukti transparansi KSSK dalam mengambil keputusan. Seharusnya, katanya, hal itu menjadi bukti bagi BPK dan aparat terkait untuk melakukan penyelidikan.

"Ini yang menjadi pertanyaan dan harus diusut oleh pihak terkait. Alasan sistemiknya lemah. Kemudian dana itu lari ke mana?" tegasnya.

Rapat Jumat dini hari tersebut hanyalah sebuah prolog dari drama penyelamatan Bank Century. Sebab setelahnya, proses bailout menelan dana yang sangat besar, dan dicurigai sebagai alat konspirasi menggangsir dana premi penjaminan dari perbankan yang dipungut LPS.

Kasus Bank Century pula yang diyakini menjadi cikal bakal perseteruan Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyita banyak energi publik, menyeret nama-nama besar termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih dari 200 anggota DPR telah mengajukan hak angket meminta kejelasan kasus.

Hari ini, saat audit investigatif BPK dijanjikan kelar dan diserahkan ke DPR, mudah-mudahan menjadi titik terang berikutnya, membuat persoalan gamblang, termasuk menuntut siapa pun yang terlibat dan bertanggung jawab. Bukankah, notulen rapat KSSK itu telah cukup membantu? (hendri.asworo@bisnis. co.id/hery.trianto@bisnis.co.id)

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Hendri T. Asworo & Hery Trianto
Wartawan Bisnis Indonesia

World Summit on Food Security : Kesenjangan kepentingan dalam ketahanan pangan

Oleh: Arief Budisusilo


Jika Putaran Doha mampet antara lain gara-gara subsidi dan proteksi produk pertanian yang dilakukan negara maju, itu wajar-wajar saja.
Bukan saja lantaran isu pertanian adalah salah satu pokok masalah sensitif, karena menyangkut urusan perut, melainkan juga kepentingan antarnegara berbeda, dan bisa jadi berbenturan.

Itu pula yang tecermin dari dinamika Konferensi Tingkat Tinggi Dunia tentang Ketahanan Pangan (World Summit on Food Security) yang diselenggarakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di markas besarnya di Roma, sejak Senin hingga Rabu pekan ini.

"Sayang sekali, perhatian negara maju terhadap KTT ini sangat kurang. Mereka mengirimkan wakil dari level menteri pun tidak," ujar Menteri Pertanian Suswono saat mendampingi Wakil Presiden Boediono menjelaskan hasil-hasil KTT itu, di hotel Hassler Roma, tempat delegasi Indonesia menginap.

"Jadinya, ini seperti semangat antarnegara berkembang saja," sambung menteri yang baru sebulan duduk di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II itu.

Kegundahan Suswono masuk akal. Pasalnya, dalam deklarasi KTT itu jelas-jelas disebutkan perlunya dukungan internasional-tentu dari negara maju-bagi negara berkembang untuk menerapkan program nasional yang bertujuan membangun sektor pertanian dan mencapai ketahanan pangan.

Apalagi, ketahanan pangan dunia saat ini dalam "situasi darurat", meminjam istilah Direktur Eksekutif World Food Programme Jaosette Sheeran.

Jacques Diouf, Dirjen FAO, bahkan menyerukan kepada pemerintahan seluruh dunia untuk mengucurkan dana sedikitnya US$44 miliar guna menghentikan kelaparan kronis yang diderita 1,02 miliar orang.

Betul, seperenam penduduk dunia kini kelaparan, yang berarti satu dari setiap enam orang di sekitar kita. Bahkan, setiap enam detik satu anak tewas karena perutnya tak sanggup lagi menahan sakit akibat malnutrisi.

Apalagi jika memproyeksikan penduduk dunia yang bakal mencapai 9 miliar pada tahun 2050, FAO memproyeksikan produksi pangan harus meningkat setidaknya 70% dari posisi saat ini jika ingin mencapai tujuan pembangunan milenium (MDG's) dengan target mengurangi level kelaparan menjadi sekitar 400 juta orang di seantero jagat ini.

Tantangan global

Meningkatnya insiden kelaparan dunia, yang melonjak sekitar 200 juta dalam 2 tahun terakhir, terutama dipicu oleh kombinasi dari tingginya harga pangan, krisis finansial, dan kejutan iklim.

Harga pangan melonjak akibat krisis keuangan dan krisis energi. Harga gandum meroket lebih dari dua kali lipat sejak 2007, yang mencapai puncaknya pada pertengahan 2008.

Apalagi kenaikan harga energi memicu lonjakan harga pupuk, sehingga biaya produksi pertanian ikut terdongkrak, atau menggelembungkan biaya subsidi yang mempersulit negara berkembang. Warga miskin memprotes ketidakberdayaan mereka membeli makanan.

Di sisi lain, komitmen negara donor membantu negara berkembang untuk mengatasi krisis pangan juga terus menurun. Pada 1980, sumbangan negara donor untuk pembangunan pertanian masih mencapai 19%, yang anjlok tinggal 8,3% pada 2006, merujuk data FAO.

Di level perdagangan internasional, perundingan kesepakatan perdagangan mengalami gangguan serius lantaran sejumlah negara maju berkukuh dalam subsidi dan proteksi pertanian.

Karena itulah, Wakil Presiden Boediono dalam pidatonya yang tak sampai 10 menit di depan delegasi KTT Roma, menyerukan perlunya perbaikan lingkungan perdagangan demi kesinambungan produksi pangan global.

"Kita butuh aturan perdagangan internasional yang mendukung pembangunan pertanian di negara berkembang," ujarnya seraya menekankan agar Putaran Doha diaktifkan kembali.

Posisi Indonesia

Indonesia, dengan produksi beras di level 60 juta ton per tahun saat ini, memiliki posisi penting dalam pasok pangan dunia, karena berpotensi menghasilkan produksi pangan jauh lebih besar daripada kebutuhan domestik.

Karena itu, Indonesia dianggap punya peranan penting dalam pasokan pangan dunia. "Indonesia telah cukup memenuhi kebutuhan sendiri, karena itu kita punya keinginan menyumbang dari sisi suplai untuk mengurangi tekanan supply-demand dunia," ujar Boediono.

Tentu pemerintah tidak bisa sendirian, meski menurut Menteri Pertanian Suswono, porsi anggaran yang berkaitan dengan sektor pertanian saat ini sudah mencapai 5% dari total APBN.

Pemerintah bersama swasta tengah menjajaki pengembangan Food Estate di kawasan Indonesia timur. Dalam waktu dekat, menurut Suswono, Presiden akan mengeluarkan keputusan agar program itu segera berjalan.

Namun, patut diingatkan agar keterlibatan swasta tidak kebablasan. Dari banyak pengalaman di dunia, keterlibatan swasta termasuk perusahaan multinasional justru tidak berpihak kepada kepentingan domestik.

Di sinilah masalahnya. Di Roma, kalangan lembaga swadaya masyarakat menyerukan hal yang sama. Paralel dengan KTT, sedikitnya 642 orang penggiat pangan dari 93 negara, yang mewakili 450 organisasi nonpemerintah, berkumpul dalam gerakan sosial.

Mereka mendesak penghentian penjarahan lahan oleh modal swasta dari luar. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, lebih dari 40 juta hektare lahan subur di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Eropa Timur telah dialihfungsikan melalui kesepakatan kolutif, menggantikan produksi pangan lokal untuk kepentingan produksi berorientasi ekspor.

Inilah esensi kesenjangan kepentingan itu. Karena itu, ketimbang mempromosikan investasi industri pertanian besar-besaran, pemerintahan perlu lebih fokus pada reformasi struktural untuk hak-hak sipil dan pribumi atas sumber daya lahan dan air, demi ketahanan pangan. (arief.budisusilo @bisnis.co.id)

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Arief Budisusilo
Wartawan Bisnis Indonesia

Kamis, 12 November 2009

Basmi Mafia Hukum

Oleh: Hendardi



Langkah yang tepat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan pemberantasan mafia hukum dalam prioritas pertama dari 15 program pilihan 100 hari pemerintahannya.

Prioritas itu disampaikan Presiden Yudhoyono tanggal 5 November lalu menyusul ledakan kontroversi kasus Bibit dan Chandra—dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—yang disangka melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh Markas Besar (Mabes) Polri.

Operasi mafia

Banyak elemen masyarakat sudah muak dengan maraknya korupsi, suap, dan pemerasan yang melumuri penegak hukum dan pengadilan. Belakangan merebak konflik antara KPK yang dibentuk tahun 2002 dengan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung sehingga Presiden mengakui keberadaan jaringan mafia dalam penegakan hukum.

Presiden menyebut mafia yang memetik keuntungan ilegal itu terdiri atas makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, dan pungutan liar (pungli), yang merusak rasa keadilan dan mengakibatkan kerugian material bagi mereka yang menjadi korban.

Sebelumnya kita mengenal ”mafia peradilan” yang telah membusukkan lembaga-lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Polisi, jaksa, dan hakim yang kotor adalah tiga ujung tombak yang menodai citra dan moralitas institusinya.

Meski demikian, masih banyak polisi, jaksa, dan hakim yang bersih, mematuhi hukum dan kode etik profesi. Namun, persoalan yang pokok adalah bahwa jaringan ”mafia peradilan” telah berakar kuat—puluhan tahun tertanam—yang beroperasi dalam sistem peradilan pidana, terutama melibatkan pimpinan institusi penegak hukum dan pengadilan.

Beberapa tahun lalu ada lelucon, katanya, ”banyak kasus korupsi tanpa koruptor”. Hal itu muncul dalam silang pendapat antara seorang anggota DPR dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh terkait ungkapan ”ustaz di kampung maling”. Atau ungkapan populer ”kasih uang habis perkara” (KUHP).

Maraknya korupsi, bahkan dugaan ”desentralisasi korupsi” yang menyebar jauh, juga menyulitkan proses perbaikan lembaga penegak hukum dan pengadilan. Karena itu, kesempatan memupuk kekayaan pribadi berkembang bersamaan dengan kesempatan penguatan ”mafia peradilan”, termasuk beroperasinya makelar kasus, pemerasan, jual-beli perkara, dan pungli. Beroperasinya jaringan ”mafia peradilan” itu diakui bersifat sistemik—setiap oknum tahu sama tahu—sehingga menyumbat keadilan. Presiden juga mengungkapkan, mafia hukum bisa terjadi di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen, instansi pajak, bea cukai, dan di daerah.

Pembasmian

Prioritas program pemerintah yang berniat membasmi mafia hukum patut disambut meski belum ada langkah-langkah nyata. Dari upaya itu, telah disiapkan baru PO Box 9948 Jakarta 10000 dengan kode GM yang dapat digunakan oleh mereka yang menjadi korban ”mafia peradilan”.

Momentum itu tak lepas dari kontroversi kasus Bibit-Chandra, termasuk dukungan yang kian besar dari berbagai daerah terhadap KPK. Boleh jadi, hal ini juga menjadi pelajaran berharga bagi Mabes Polri dan Kejagung.

Meski demikian, basmi atau ganyang mafia hukum membutuhkan langkah nyata dan berani dari pemerintah.

Pertama, dibutuhkan revisi UU Antikorupsi dengan memasukkan prinsip pembuktian terbalik agar mempermudah pemeriksaan kekayaan pribadi seorang pejabat dan petugas penegak hukum dan pengadilan.

Kedua, lembaga kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus dibersihkan dari jaringan mafia hukum. Memang tak terelakkan kesan, KPK dibentuk dengan mengambil lahan kepolisian dan kejaksaan sehingga hubungan ketiga lembaga ini kurang harmonis. Sudah seharusnya mereka bekerja sama lebih efektif untuk memberantas korupsi.

Ketiga, mereka yang diduga terlibat praktik mafia hukum harus ditindak tanpa pandang bulu. Ini penting agar tak berkembang menjadi pertikaian antarlembaga. Untuk itu, pertama-tama yang bersangkutan harus didudukkan sebagai oknum yang menodai citra lembaga.

Keempat, mutlak dibutuhkan pengawasan atas operasi lembaga penegak hukum dan pengadilan. Sekarang sudah ada Komisi Yudisial (KY) yang mengawasi perilaku hakim; juga ada Komisi Kepolisian Nasional untuk menyoroti perilaku polisi; serta Komisi Kejaksaan untuk mengawasi kejaksaan. Karena itu, juga perlu dibentuk badan yang mengawasi perilaku KPK.

Di antara lembaga-lembaga itu, yang lebih aktif hanya KY. Berdasar riset KY yang dilakukan tahun 2006, hampir 90 persen hakim dinyatakan bermasalah terkait korupsi. Dan hingga kini Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan belum ada laporan riset terkait perilaku kedua lembaga penegak hukum itu.

Kelima, tak boleh diabaikan pentingnya partisipasi organisasi dan elemen di masyarakat dalam membasmi mafia hukum. Hal ini terlihat selama beberapa pekan ini, dengan meningkatnya dukungan kepada KPK dari facebookers yang diperkirakan sudah lebih dari satu juta.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/12/02284746/basmi.mafia.hukum


HENDARDI
Ketua Badan Pengurus Setara Institute

Rabu, 11 November 2009

"Pembengkokan" Hukum Bisa Ganggu Perekonomian

Oleh: Faisal Basri


Wakil Presiden Boediono, Jumat lalu, mengutarakan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan rata-rata 7 persen dalam lima tahun ke depan, dibutuhkan dana investasi hingga Rp 2.000 triliun (Kompas, 7 November 2009, halaman 15). Jika berdasarkan harga berlaku, angka tersebut tergolong konservatif.

Menurut versi Kadin Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Roadmap Pembangunan Ekonomi 2009-2014, dana investasi sebesar Rp 2.000 triliun hanya cukup untuk mengerek pertumbuhan tahun 2010. Adapun untuk menopang target pertumbuhan selama kurun waktu 2010-2014, kebutuhan dana rata-rata setahun untuk menggenjot investasi sekitar Rp 2.900 triliun.

Perbedaan versi pemerintah dan versi Kadin Indonesia bisa disebabkan oleh tiga faktor: (1) apakah perhitungan berdasarkan harga konstan (tak memperhitungkan kenaikan harga-harga) atau harga berlaku, (2) asumsi laju inflasi, dan (3) asumsi angka incremental capital output ratio (ICOR), yang mengukur berapa kebutuhan tambahan modal untuk menghasilkan tambahan satu unit produk domestik bruto.

Masih menurut penjelasan Wakil Presiden, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu mengisi sekitar 20 persen atau Rp 400 triliun. Sisanya, 80 persen atau Rp 1.600 triliun, dibutuhkan dana dari sektor usaha nasional (swasta dan BUMN) serta dana luar negeri. Menurut versi Kadin Indonesia, kemampuan APBN untuk belanja modal murni hanya sekitar 13 persen. Berarti ketergantungan terhadap modal swasta dalam negeri dan luar negeri lebih besar lagi.

Untuk menggambarkan betapa besar tantangan pendanaan ini, kita pakai saja kebutuhan dana untuk tahun 2010 sebesar Rp 2.000 triliun. APBN bisa menyumbang sekitar Rp 200 triliun. Dari ekspansi kredit perbankan sekitar 30 persen akan diperoleh dana sekitar Rp 450 triliun. Katakanlah jumlah yang sama kita bisa harapkan dari pasar modal. Dengan demikian, dari ketiga sumber ini terkumpul Rp 1.100 triliun.

Jika prospek usaha sangat cemerlang dan iklim bisnis membaik secara signifikan, dunia usaha akan lebih banyak menyisihkan keuntungan dan biaya penyusutan untuk investasi baru ataupun perluasan usaha. Dengan hitung-hitungan sangat optimistis, katakanlah dana internal perusahaan akan mencapai Rp 400 triliun.

Kebutuhan modal

Kebutuhan yang tersisa sebesar Rp 500 triliun untuk menggenapi Rp 2.000 triliun harus ditutupi oleh arus modal asing neto, baik dalam bentuk portofolio maupun penanaman modal asing langsung (PMAL). Dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS, berarti kita membutuhkan arus modal masuk neto sekitar 50 miliar dollar AS. Angka sebesar itu selama ini tak pernah kita capai.

Kita memiliki potensi untuk mewujudkan target-target di atas. Dengan merapikan kebijakan moneter, akan ada celah untuk peningkatan ekspansi kredit. Jika diiringi pembenahan fiskal, terutama pengenyahan sumbat-sumbat yang mengganggu realisasi belanja modal pemerintah, peredaran ”darah” di dalam perekonomian akan lebih lancar.



Sumbangsih pasar modal juga masih bisa ditingkatkan. Beberapa BUMN besar bisa meraup dana segar dari initial public offering. Lewat serangkaian pembenahan di sektor logistik dan memerangi praktik ekonomi biaya tinggi, kita dapat menekan inefisiensi sehingga ICOR bisa turun.

Walaupun hanya sedikit, penurunan ICOR akan sangat berarti untuk mengurangi kebutuhan pembiayaan investasi. Dengan semakin cepat kita berbenah di dalam negeri, tuntutan pemenuhan dana dari luar negeri bisa dikurangi. Berkurangnya ketergantungan terhadap dana luar negeri akan memperkokoh daya tahan perekonomian dan kemandirian bangsa.

Tinggal kita berharap dari modal asing yang lebih berkualitas. Di pasar modal kita lebih banyak berharap dari investor institusional yang mementingkan faktor-faktor fundamental jangka panjang. Sementara itu, dalam hal PMAL, kita mendorong investor-investor yang bisa mempercepat pendalaman industri, penguatan kapabilitas teknologi, dan peningkatan nilai tambah.

Tahun 2010, arus PMAL diperkirakan bakal pulih. Krisis global telah mulai menggeser pandangan perusahaan-perusahaan multinasional. Mereka cenderung akan semakin melirik negara-negara yang memiliki pasar domestik yang relatif besar seperti Indonesia.

Kita mulai banyak dilirik investor asing dan emerging markets di Asia telah terbukti paling memiliki daya tahan dan paling cepat pulih. Asia telah menjelma sebagai ujung tombak utama pemulihan ekonomi dunia.

Semua celah peluang di atas akan kembali tersumbat apabila kepastian usaha tak terhadirkan. Risiko bisnis yang tinggi akan membuat investor urung menanamkan modal. Rekomendasi yang terhimpun dari Rembuk Nasional, akhir bulan Oktober lalu, kebanyakan adalah urusan hukum dan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan betapa salah satu sumbatan paling serius adalah persoalan unsur-unsur dari institusi.

Institusi tak hanya persoalan undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis, melainkan juga meliputi norma dan nilai, termasuk sense of justice dan sense of equity yang tertanam di dalam masyarakat. Jika penegakan hukum mencederai perasaan masyarakat dan mengikis keyakinan pengusaha, kita akan tetap di jalur lambat dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas.

Betapa semakin mengedepan persoalan institusi ini di tengah turbulensi dan karut-marut perekonomian dunia tecermin dari terpilihnya dua cendekiawan yang mendalami institutional economics sebagai peraih Nobel di bidang ekonomi.

Kita berharap dan harus mendesakkan agar kemelut hukum bisa cepat berakhir. Kinilah momentum terbaik untuk membenahi institusi sampai ke akar-akarnya agar perjalanan ke depan tak lagi terantuk-antuk.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/09/02483587/pembengkokan.hukum.bis

Faisal Basri
Pengamat Ekonomi

Corporate Social Responbility (CSR): Tindakan Amoral Korporasi?

Oleh: Mukti Fajar ND


CSR yang selama ini dilakukan oleh korporasi, mendasarkan pada prinsip sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philantrophy), dianggap tidak efektif. Demikian kegelisahan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB dalam pertemuan Global Compact di Geneva, Swiss. Korporasi dianggap tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan sosial seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan community development.

Hal itu terbukti dengan meningkatnya krisis pemanasan global, ketimpangan ekonomi (extreme poverty), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta persoalan sosial lainnya. Demikian pula di Indonesia, pengaturan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty/CSR) dalam Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal justru banyak ditentang banyak korporat.

Perdebatan klasik itu dikarenakan, pertama, mengenai hakikat korporasi dan, kedua, mengenai penegakan hukumnya.

Secara nature, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. Pendapat ini disampaikan Milton Friedman, seorang peraih nobel bidang ekonomi. "Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder,… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi" (Joel Bakan, 2006). Artinya, CSR merupakan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.

Dengan konstruksi hukum perusahaan yang ada sekarang, memang sulit untuk mengubah perilaku mereka. Walaupun kita bisa saksikan, korporasi dilahirkan untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri.

Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Masih ingat kisah tanggung jawab Lapindo Brantas Inc terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, kan? Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.

Korporasi yang dibentuk dalam sebuah wilayah hukum seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat di mana hukum itu ada. Oleh karena itu, perlu dibongkar kembali (Gary von Stage, 1994). Pembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung (John Rawls, 1995).

Masyarakat mempunyai hak atas keuntungan yang didapat oleh korporasi karena masyarakat sesungguhnya "pemegang saham" bagi sebuah wilayah hukum yang dijadikan operasi korporasi. Perluasan tafsir atas Pasal 304 KUHP tentang "membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara..." dapat pula diterapkan sanksi pidana bagi korporasi yang mempunyai kekayaan berlebih tetapi menelantarkan masyarakat di sekitarnya dalam kesulitan.

Dengan paradigma tersebut, CSR akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam hukum perusahaan.

Ruang lingkup isu-isu dalam CSR memang tidak bisa dibatasi hanya pada teritorial negara karena dampak negatif yang diakibatkan operasi korporat bersifat global, seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Persoalan penegakan hukum internasional mempunyai kelemahan karena tidak adanya struktur hukum sebagai otoritas yang dibangun untuk melaksanakannya.

Perjanjian internasional hanya berjalan efektif ketika semua negara sepakat di dalamnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai organisasi raksasa yang diikuti hampir seluruh negara di dunia sampai hari ini berdalih hanya akan mengatur negara, bukan korporasi.

Alotnya pihak Amerika Serikat untuk menandatangani pengurangan emisi karbon, demi menekan pemanasan global dengan Uni Eropa, adalah bentuk pembelotan dan mungkin akan diikuti negara lain, yang akan dirugikan industrinya jika menandatangani kesepakatan tersebut.

Namun, bentuk soft law, seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises, yang digagas dalam World Summit on Sustainable Development on CSR dapat dijadikan rujukan (Calder & Culverwell, 2005).

Penerapan sertifikasi bagi korporasi yang memberikan produk yang ramah lingkungan, memerhatikan kehidupan yang layak bagi buruh, dan peduli terhadap community development adalah acuan bagi sebuah negara yang akan menerima kehadiran korporasi untuk beroperasi di wilayahnya.

Menolak kehadiran korporasi yang mempunyai daftar hitam adalah tindakan yang bijak dan baik untuk kemanusiaan daripada perhitungan keuntungan sesaat. Walau kadang sulit sebab korporasi lihai menyuap penjabat negara setempat untuk mendapat izin beroperasi.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0708/15/opini/3763353.htm


Mukti Fajar ND Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diterjang Liberalisasi, Dibelit Ekonomi Rente

Oleh: Alexander Irwan


PENGOTAK-ngOTAKAN ilmu pengetahuan sudah berawal pada abad ke-18 dan menjadi mapan sebelum Perang Dunia II (Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu Sosial, LKiS, 1997). Pengotakan tersebut dimulai ketika ilmu eksak, kebenaran bisa diuji, memisahkan diri dengan filsafat, yang dianggap spekulatif, tidak bisa diuji kebenarannya. Ilmu itu pada gilirannya mengalami keretakan internal ke dalam macam-macam divisi karena adanya ketegangan antara pendekatan nomothetis, yang mengandalkan hukum-hukum universal, dan pendekatan ideosinkratis, keunikan-keunikan berdasarkan ruang dan waktu.

Sekat-sekat akademis ilmu-ilmu sosial tersebut mulai runtuh sesudah Perang Dunia Kedua. Dampaknya terlihat, misalnya, menjadi populernya disiplin, seperti politik ekonomi, studi kawasan dengan studi kawasan terkenal, seperti studi Amerika Latin, Asia Timur, multicultural studies, women studies, atau world system perspective. Pendekatan-pendekatan lintas batas ilmu pengetahuan tersebut bukan saja tidak mengakui ketersekatan ilmu, tetapi keterpisahan itu menjadi tidak relevan.

Pendekatan multidimensional

Kenapa saya membuka resensi buku Andrew Rosser, The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market, and Power, dan buku Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, dengan ulasan singkat mengenai masalah rontoknya sekat-sekat disiplin ilmu sosial setelah Perang Dunia II? Ulasan tersebut menjadi penting di sini karena pendekatan yang ditawarkan Rosser, pendekatan multidimensional yang bersifat historis, merupakan bagian dari proses keterbukaan pendekatan ilmiah tersebut. Pendekatan multidimensional biasanya tidak hanya mendobrak ketersekatan ilmu, tetapi juga tidak lagi menganut pengotakan gagasan, struktur, dan individu ke dalam pendekatan teoretis yang bertentangan. Karena diakui adanya pluralitas determinasi, maka tidak lagi dipersoalkan variabel mana yang lebih unggul sebagai determinan, karena tujuannya adalah memahami hubungan antarvariabel untuk mencapai pemahaman historis sebuah entitas dalam kekompleksannya.

Pada satu waktu dan tempat, variable A kelihatan menonjol, tetapi di lain tempat dan waktu peran variabel H lebih tampak. Menurut Rosser:

"The view taken here is that the New Order is best understood as a 'multidimensional' entity in that it responded, not just to instrumental, structural, or state-centered dynamics but to all three depending on the particular historical circumstances that prevailed" (Rosser, 2002, hlm 30). (Pendekatan yang diambil di sini adalah bahwa Orde Baru paling tepat kalau dipahami sebagai sebuah entitas "multidimensional" yang bereaksi tidak hanya terhadap dinamika-dinamika instrumental, struktural, atau berporos pada negara, tetapi terhadap ketiga-tiganya tergantung pada konteks kesejarahannya)

Dengan pendekatan historis multidimensional tersebut, Rosser memperlakukan Pendekatan Tingkah Laku, Pendekatan Kepentingan Negara, Pendekatan Pascanegara, dan Pendekatan Kelas sebagai kacamata-kacamata yang membantu mengungkap kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan publik.

Determinasi gagasan

Dalam melihat penyusunan kebijakan publik di Indonesia, Mallarangeng dengan jelas juga memetakan posisi pendekatannya dibanding dengan berbagai pendekatan lain, seperti "Teori Koalisi Politik dan Kepentingan Ekonomi", "Teori Otonomi Negara", dan "Teori Pilihan Rasional". Akan tetapi, pendekatan Mallarangeng ternyata berseberangan dengan pendekatan multidimensional yang ditawarkan Rosser.

Kalau Rosser menggunakan pendekatan kepluralan determinasi untuk melihat kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan politik dan ekonomi yang berkenaan dengan proses liberalisasi, Mallarangeng justru ingin memapankan "gagasan" sebagai determinan yang paling menentukan dalam penentuan kebijakan publik. Jadi, seperti jingle Coca Cola: di mana saja dan kapan saja, gagasan menjadi determinasi utama.

Menurut Mallarangeng, "... saya tidak ingin menyandarkan studi ini pada apa yang disebut sebagai faktor-faktor struktural -misalnya "logika" kapitalisme, mobilitas modal, dan kapitalisme global-dalam menjelaskan perubahan kebijakan... Saya menempatkan cendekiawan, penulis, pembentuk opini, aktivis, dan ekonom pada posisi yang lebih menentukan, sebagai pelaku yang menciptakan kondisi atau melahirkan tekanan bagi terjadinya perubahan kebijakan." (Mallarangeng, 2002, hlm 32) "... masih menjadi tanda tanya besar apakah dua negara (Brasil dan Argentina, tambahan penulis) dengan kondisi struktural yang sama akan mengambil kebijakan yang serupa... Dengan kata lain, jika berbagai prasyarat struktural sudah terpenuhi, kunci perbedaan arah kebijakan terletak pada gagasan dan cara gagasan itu disampaikan serta dirumuskan oleh para pengambil keputusan." (Mallarangeng, 2002, hlm 16-17)

Upaya Mallarangeng memapankan "gagasan" sebagai determinan utama yang paling berperan, mengingatkan penulis pada mendiang Terry Hopkins, yang merupakan teoretikus dan metodolog yang ada di belakang Immanuel Wallerstein dan perspektif sistem dunianya. Pada tahun 1989, dia mengatakan bahwa sampai saat itu masih banyak orang, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa Marxisme sudah tidak relevan lagi, yang ternyata karyanya merupakan jawaban kepada Marx.

Ternyata diktum Terry masih juga berlaku, bahkan sampai di era milenium baru ini. Masih ingat perdebatan mengenai base and superstructure yang tak habis-habisnya, yaitu apakah hubungan produksi dan struktur kepemilikan modal itu mendeterminasi aktor dan gagasan, atau aktor dan gagasan itu bisa, pertama, bersifat independen dari struktur, dan kedua, apakah bisa mempengaruhi struktur ekonomi? Karya Rizal, diterbitkan tahun 2002, yang berargumen bahwa "gagasan" adalah determinan yang paling berperan dalam penyusunan dan perubahan kebijakan publik bisa dipandang sebagai jawaban terhadap kekakuan sebagian pendekatan Marxis yang dengan fanatik menganut determinasi struktur.

Kenapa Mallarangeng masih berupaya untuk mencari determinan utama yang paling berperan? Kalaupun mau memahami peran gagasan dalam penentuan kebijakan publik, upaya itu tidak perlu dilakukan dengan jalan memapankan gagasan sebagai determinan utama. Coba kita ikuti nalar Mallarangeng (hlm 24-25) dalam pembentukan "komunitas epistemis liberal" yang menduduki posisi yang sangat penting dalam argumennya. "Komunitas epistemis liberal" sendiri dipahami oleh Mallarangeng sebagai jaringan individu lintas negara, masyarakat, maupun kelas yang anggotanya bisa ditemukan di kantor pemerintah, universitas, media massa, dan lembaga penelitian kebijakan.

Kelompok ini mempunyai keyakinan atau kepercayaan bersama atas perlu dan cocoknya penerapan kebijakan-kebijakan liberal di Indonesia, dan dengan demikian menjadi "perantara" pengejawantahan "gagasan" liberal menjadi kebijakan. Kalaupun kita terima bahwa "komunitas epistemis liberal" ini mempunyai visi yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang ada, sehingga mereka bukan sekadar wayang yang dikendalikan dan didikte oleh kepentingan kelas dan negara, itu tidak berarti bahwa "gagasan" kemudian menjadi determinan utama. Menjadi salah satu determinan sudah pasti. Tetapi, belum ada argumennya kenapa serta-merta gagasan menjadi determinan utama.

Gagasan, lembaga sosial, dan subyektivitas

Banyak studi yang sudah dilakukan mengenai peran gagasan, misalnya studi-studi yang berkenaan dengan masalah diskursus. Salah satunya dilakukan oleh Chris Weedon, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, 1987, hlm 40-41, seorang feminis, yang bahkan sejak pertengahan dekade 1980-an sudah memperingatkan bahwa diskursus itu tidak hanya "beroperasi" di tingkat bahasa/gagasan, tapi juga pada tingkat proses dan lembaga sosial, serta pada tingkat subyektivitas. Weedon sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk memapankan diskursus sebagai determinan utama. Untuk apa menyempitkan cakrawala pemikiran seperti itu? Yang ingin dia lihat adalah bagaimana diskursus beroperasi di tingkat bahasa/ gagasan, di tingkat proses dan lembaga sosial, dan di tingkat subyektivitas.

Jadi, kalau mau memakai pendekatan Weedon untuk membantu memahami subyektivitas Soeharto, misalnya, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menempatkan gagasan Soeharto sebagai determinan utama dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Tujuannya adalah memahami bagaimana gagasan Soeharto mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi, politik, budaya, dan subyektivitas dirinya, berinteraksi dengan proses-proses dan lembaga-lembaga sosial yang ada untuk membentuk sebuah tatanan hubungan kekuasaan.

Ketika melakukan analisis berdasarkan pendekatan masing-masing, Mallarangeng yang berupaya memapankan gagasan sebagai determinan utama ternyata lebih konsisten dibanding dengan Rosser. Menurut Mallarangeng, proses deregulasi melemah setelah mencapai puncaknya pada tahun 1989, dan pada periode 1990-1992 terjadi ketidakpastian arah kebijakan ekonomi. Dia konsisten ketika menyebut bahwa melemahnya deregulasi tersebut disebabkan oleh "kegagalan intelektual", yaitu bahwa "koalisi liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para pengkritik mereka" (hlm 232), yaitu berkenaan dengan munculnya konglomerat (etnis Tionghoa) yang memperbesar kesenjangan ekonomi. Dengan cukup detail Mallarangeng kemudian menggambarkan bagaimana pertempuran gagasan deregulasi dan gagasan antideregulasi, dimotori oleh intelektual populis dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), di wacana publik (219-232). Bahkan, dia mengungkapkan bagaimana Dorodjatun, sebagai bagian dari teknokrat kelompok "epistemis liberal", berkhianat dengan berbicara kepada publik bahwa kalau proses deregulasi berjalan terus, Indonesia akan terjerembab ke dalam perekonomian kapitalis liberal.

Akan tetapi, sebetulnya posisi yang diambil Dorodjatun itu tidaklah aneh, bahkan mungkin dia memang tidak pas untuk dimasukkan ke dalam kelompok "epistemis liberal". Meskipun dia dikenal sebagai generasi terakhir Mafia Berkeley, dia sebetulnya sudah menyimpang dari jalur liberalisme ekonomi yang dianut kelompok teknokrat tersebut.

Dalam sebuah diskusi Senat Mahasiswa di FISIP UI, dia secara bercanda mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia waktu itu berhenti mengirimkan ekonom mudanya ke Berkeley setelah melihat hasil dari generasi terakhirnya (maksudnya dirinya sendiri) menjadi melenceng. Maka, kalau dulu Hadi Soesastro mengajar pengantar ekonomi di FISIP UI memakai textbook Samuelson, Dorodjatun lebih menyukai textbook Todaro.

Kembali ke pendekatan Weedon, pertempuran di tingkat bahasa/gagasan dan di tingkat subyektivitas, sayang sekali Mallarangeng tidak sampai mengonstruksi subyektivitas seorang Dorodjatun, misalnya. Apabila Mallarangeng juga memperlakukan proses dan lembaga sosial sebagai variabel yang sejajar dengan gagasan, akan lebih dapat mengungkapkan multidimensionalitas pengambilan kebijakan di Indonesia. Tampaknya upaya untuk menjaga konsistensi pendekatannya bahwa gagasan adalah determinasi utama, menyebabkan kemunculan konglomerat etnis Tionghoa dan kepentingan bisnis keluarga Soeharto, keduanya berhubungan erat dengan logika modal dan negara yang mau dihindari sebagai determinan oleh Mallarangeng, diperlakukan sebagai anak tiri. Mereka diperkenalkan kepada para tamu, tetapi disuruh berdiri di pojok dan tidak diberi ruang untuk ikut ngerumpi. Pokoknya, pembaca sekadar diberi tahu bahwa ada kemunculan dominasi pengusaha etnis Tionghoa dan keluarga Soeharto, tetapi penentu utama arah kebijakan publik adalah tetap gagasan.

Penderitaan ganda

Pendekatan multidimensional Rosser ternyata kurang bisa terjaga konsistensinya. Singkatnya, pendekatan multi-dimensionalnya ternyata masih kurang multidimensi. Akibatnya, kekompleksan dampak proses liberalisasi di Indonesia juga tidak semua terungkap dengan baik.

Tidak seperti Mallarangeng, Rosser berpendapat bahwa proses liberalisasi di Indonesia bukanlah masalah unggulnya "rasionalitas ekonomi", yang menurut Mallarangeng adalah gagasan yang diwakili oleh kelompok teknokrat "epistemis liberal", atas gagasan kelompok kepentingan sosial dan politik. Menurut Rosser, hal itu merupakan masalah berhasil tidaknya koalisi kepentingan "mobile capitalists", lembaga internasional pemberi utang, penanam modal internasional di pasar modal, footloose manufacturing-perusahaan multinasional yang mudah pindah tempat, dan pendukungnya seperti IMF dan Bank Dunia, memenangkan perebutan kekuasaan dalam pengambilan kebijakan melawan koalisi kepentingan kalangan politiko-birokrat dan konglomerat yang antiliberalisasi. Kesimpulan yang ditarik oleh Rosser adalah:

"Indonesia is unlikely to converge on the neoliberal model. Whilst the crisis has clearly unleashed powerful structural pressures for reform, prospects for reform are limited by the fact that the country lacks one of the main prerequisites for the existence of liberal market: a strong domestic coalition of interests that supports market reform." (hlm ix-x) (Indonesia tampaknya tidak akan mengikuti model neoliberal. Sementara krisis dengan jelas telah menimbulkan tekanan-tekanan struktural yang sangat kuat untuk melakukan reformasi, prospek untuk reformasi dibatasi oleh kenyataan bahwa negara ini tidak memiliki prasyarat utama bagi keberadaan pasar liberal: sebuah koalisi kepentingan domestik yang kuat yang mendukung reformasi pasar).

Menurut Rosser (hlm 4), dengan keunggulan koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, maka Indonesia bukannya sedang mengarah ke pasar liberal dan demokrasi liberal, tetapi justru sedang bergerak ke arah chaos, politik uang, dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi.

Apa yang kurang dari pendekatan multidimensi Rosser? Memang betul bahwa koalisi kalangan mobile capitalists gagal merebut kekuasaan negara dari tangan aparat partai politik dan klien-klien bisnis mereka (hlm 195), tetapi itu tidak berarti bahwa langkah-langkah liberalisasi yang sudah berhasil digolkan di Indonesia tidak mempunyai dampak yang berarti.

Ambil saja satu contoh, yaitu dalam bidang liberalisasi, tarif impor yang dilakukan dalam konteks WTO, AFTA, dan APEC, yang juga didukung oleh tekanan-tekanan dari IMF. Dalam hal buruh misalnya, dengan diturunkannya berbagai tarif impor sampai ke titik minimal, bahkan maunya sampai ke titik nol, berbagai investor yang terbebani oleh biaya ekonomi tinggi dan berbagai ketidakpastian hukum-ini akibat koalisi politiko-birokrat dan konglomerat tetap berada di atas angin-dan politik di Indonesia, sudah merelokasi produksi mereka di negara Asia Tenggara lainnya.

Buat mereka, lebih murah berproduksi di negara Asia Tenggara lainnya kemudian mengimpor produknya ke Indonesia, dan ini menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia. Menguatnya gerakan buruh di Indonesia, yang berdampak pada kenaikan upah buruh, ternyata disertai dengan kegagalan negara untuk mewujudkan iklim investasi yang kompetitif. Demikian pula dengan nasib petani tebu dan pabrik gula yang menderita melihat gulanya kalah bersaing dengan gula impor yang bea masuknya diturunkan sampai mendekati nol persen. Di samping itu, para retailer kecil di daerah juga terancam dengan liberalisasi izin investasi modal asing yang menyebabkan retailer asing boleh beroperasi di tingkat provinsi dan kabupaten.

Apa yang hilang dari pendekatan multidimensi Rosser? Karena Rosser terlalu terfokus pada pengambilan keputusan di tingkat nasional, dia kurang memperhatikan dampak dari langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil selama ini terhadap kalangan marjinal. Gagalnya koalisi LSM, intelektual populis, dan kelompok-kelompok antiglobalisasi, misalnya, tidak ikut diperhitungkan. Apabila dimensi ini dimasukkan ke dalam analisisnya, kesimpulannya bisa jadi berbeda, yaitu bahwa Indonesia sekarang ini menanggung penderitaan ganda.

Pertama, Indonesia bergerak ke arah chaos, politik uang dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi akibat terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat. Dan kedua, langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil bukannya berhasil meningkatkan efisiensi dan daya saing, tetapi justru merugikan kalangan buruh, petani, dan pengusaha kecil. Dengan demikian, Indonesia menderita akibat negatif dari terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, dan menderita akibat negatif dari langkah-langkah liberalisasi yang diperjuangkan oleh koalisi mobile capitalists.

Kesimpulan

Kedua buku ini menawarkan dua pendekatan yang berbeda. Dengan membaca keduanya, kita bisa memperoleh gambaran yang konkret mengenai proses pengambilan keputusan dari kebijakan liberalisasi di Indonesia. Dengan membaca keduanya secara kritis, kita akan bisa terbantu untuk melihat apa yang harus dilakukan apabila Indonesia mau keluar dari penderitaan ganda yang sekarang sedang dialaminya.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/21/dikbud/dite33.htm

Alexander Irwan Sosiolog, tinggal di Jakarta

Bertepuk Tanganlah Para Pelanggar Hukum

Oleh: Rudy Satrio Mukantardjo


MENCERMATI konflik antara lembaga kepolisian bersama kejaksaan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah sedemikian luas disaksikan masyarakat, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.


Pertama, kasus ini awalnya melibatkan individu-individu, tetapi belakangan melibatkan lembaga.Individu pelanggar hukum berlindung di bawah atap lembaga atau menjadikan lembaga sebagai sarana untuk melindunginya. Bahkan, kemudian, individuindividu pelanggar hukum telah menyeret lembaga untuk berkonflik dengan lembaga lain. Individu pelanggar hukum bermaksud membenarkan tindakannya, mengamankan posisinya atau sarana tunggangan melawan pihak lain.

Hal ini mengakibatkan masyarakat memersepsikan bahwa konflik terjadi antarlembaga, bukan pada persoalan penegakan hukum bagi individu-individu yang terlibat pelanggaran atau pemicu konflik. Kedua,aparat tidak memahami posisinya sebagai penegak hukum. Lembaga-lembaga yang berkonflik adalah lembaga yang oleh undang-undang dinobatkan sebagai penegak hukum sehingga aparatnya disebut sebagai aparat penegak hukum.

Hal ini tentu membawa konsekuensi. Saya mengambil contoh lembaga kepolisian dan aparat polisinya yang oleh Satjipto Rahardjo diposisikan sebagai hukum yang hidup. Sebab,melalui polisilah janji-janji dan tujuan-tujuan hukum untuk mengamankan dan melindungi masyarakat menjadi kenyataan. Hal tersebut tecermin dari perincian tugas pokok kepolisian sebagaimana diatur Pasal 13 dan 14 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 13 menyebut, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; serta (3) memberikan perlindungan, pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat. Adapun Pasal 14 menyebutkan beberapa penjelasan detail mengenai pelaksanaan tugas-tugas pokok tersebut. Apabila memperhatikan perincian itu, maka mencapai dan memelihara ketertiban merupakan tugas pokok kepolisian.

Pencapaian tugas pokok tersebut hanya boleh dijalankan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu pembatas itu adalah hukum. Polisi diberi tugas untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku. Kenapa kerangka hukum yang berlaku dijadikan sebagai batas pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian? Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai jawaban.

Pertama, sebagai pemberi landasan hukum pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian. Kedua, sebagai dasar pembenar pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian. Ketiga, sebagai perlindungan hukum bagi kepolisian saat melaksanakan tugas pokok dan kewenangan dari sangkaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Keempat, lantaran sifat dan hakikat pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian berindikasi pada pengurangan atau mungkin penghilangan HAM seseorang,hukum memberikan batas-batas agar HAM seseorang tidak terlanggar dan tidak terjadi tindakan penyalahgunaan kewenangan atau kesewenang-wenangan.

Kepolisian di dalam sistem hukum kita (sistem peradilan pidana) merupakan aparat penegak hukum, mendampingi aparat penegak hukum lain (kejaksaan, kehakiman, dan lembaga pemasyarakatan). Apa makna suatu lembaga atau individu dinobatkan sebagai aparat penegak hukum?

Sangat menarik memperhatikan Pasal 19 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (1) Pasal 19 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi HAM.

Adapun ayat (2) menyatakan, dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Di sini dapat disarikan beberapa hal terkait cara bertindak Polri yang harus berdasarkan norma hukum. Pertama, aparat penegak hukum bukan aparat penegak undang-undang.

Dipergunakannya istilah hukum, bukan undangundang, bermakna bahwa yang ditegakkan oleh kepolisian (polisi) dan oleh aparat penegak hukum lainnya bukanlah undang-undang (hukum yang tertulis) semata,melainkan hukum (mencakup hukum tertulis dan tidak tertulis).Ini berarti, kepolisian (polisi) dituntut tidak hanya menegakkan undangundang atau hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif,melainkan juga hukum tidak tertulis.

Kedua, sebagai konsekuensi penyebutan sebagai aparat penegak hukum,polisi tidak hanya melihat dirinya mempunyai kewenangan sebagaimana diamanatkan undangundang. Polisi juga harus memperhatikan dan melindungi hak–hak dan kepentingan hukum yang dimiliki para pencari keadilan,yaitu pihak korban (keluarga korban).Begitu pula polisi harus memperhatikan hak-hak dan kepentingan hukum tersangka pelaku tindak pidana.

Tindakan itu harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sepenuhnya, tidak sebagian-sebagian. Sebagai contoh, aparat kepolisian melakukan perbuatan–tindakan penangkapan, maka keseluruhan tata cara yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana harus dipenuhi atau dilaksanakan. Mulai dari tata cara penangkapan hingga pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh orang yang ditangkap.

Dengan kata lain, sebagai konsekuensi aparat penegak hukum, polisi tidak boleh hanya menegakkan hukum yang berlaku bagi korban, melainkan juga hukum bagi tersangka pelaku tindak pidana. Aparat penegak hukum tidak dapat milah-milah dan milih-milih, mana bukti yang sekiranya menguatkan satu pihak dan melemahkan pihak lain. Inilah pelaksanaan konkret asas praduga tidak bersalah.

Ketiga, lembaga penegak hukum yang berkonflik telah memunculkan karakteristik khas atau aslinya, yaitu hanya berprinsip mengutamakan kepentingan lembaga dan cara melindungi aparatnya dibandingkan kepentingan penegakan hukum dan kepentingan nasional. Lantaran tiap lembaga lebih mementingkan kepentingan lembaganya,posisi para pelanggar hukum yang telah menjadi pemicu konflik antarpenegak hukum justru diuntungkan.

Perhatian dan tenaga para penegak hukum terkuras untuk semata- mata mengurusi persoalan konflik antarlembaga. Perhatian mereka lepas dari para pelanggar hukum pemicu konflik. Karena itu,konflik ini harus diselesaikan secara bersama-sama antarlembaga penegak hukum. Mereka seharusnya tidak mencari jalan keluar sendiri-sendiri, yang pada akhirnya malah menemukan jalan sesat.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/282757/38/



RUDY SATRIYO MUKANTARDJO
Dosen Hukum Pidana FHUI

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...