Oleh: Mudrajad Kuncoro
Dipilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 tampaknya mencerminkan tingginya harapan rakyat akan kontinuitas dan perubahan mendasar, khususnya dalam menjawab berbagai agenda yang belum tuntas.
Tanpa terasa 20 Oktober 2010 genap setahun usia pemerintahan SBY-Boediono atau enam tahun sejak 20 Oktober 2004. Sejak awal SBY menekankan pentingnya triple track strategy, yaitu pro-growth, pro-job, dan pro-poor. Seberapa jauh pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi, menekan pengangguran dan kemiskinan?
Dalam buku berjudul Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan (2009), Visi Indonesia 2014, SBY-Boediono mengartikannya sebagai terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Misinya, melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan memperkuat dimensi keadilan di semua bidang.
Untuk mewujudkan visi-misi tersebut, agenda utama pembangunan nasional 2009-2014 meliputi: (1) Pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat; (2) Perbaikan tata kelola pemerintahan; (3) Penegakan pilar demokrasi; (4) Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi; (5) Pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Presiden menjelaskan bahwa RAPBN 2011 diarahkan untuk mencapai 10 sasaran strategis guna mendorong pembangunan yang inklusif dan berkeadilan selama jangka waktu lima tahun ke depan.
Kesepuluh sasaran strategis itu adalah (1) Ekonomi nasional tumbuh makin tinggi; (2) Pengangguran makin menurun dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih baik; (3) Kemiskinan makin menurun; (4) Pendapatan per kapita makin meningkat; (5) Stabilitas ekonomi makin terjaga; (6) Pembiayaan dalam negeri makin kuat dan meningkat; (7) Ketahanan pangan dan air makin meningkat; (8) Ketahanan energi makin meningkat; (9) Daya saing ekonomi nasional makin menguat dan meningkat; (10) Memperkuat upaya pembangunan yang ramah lingkungan.
Agenda yang belum tuntas
Beberapa agenda yang belum tuntas sejak SBY memerintah ternyata tidak sedikit. Paling tidak ada beberapa yang utama yang perlu dibahas.
Pertama, penurunan tingkat kemiskinan yang belum mencapai target. Tingkat kemiskinan memang menurun dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 persen tahun 2008, bahkan menjadi sekitar 13 persen tahun 2010. Jika angka ini dapat dipercaya, rekor kemiskinan tersebut adalah paling rendah, baik besaran maupun persentasenya selama 12 tahun terakhir. Kendati demikian, angka itu masih jauh dari target kemiskinan awal yang hanya 8,2 persen tahun ini.
Kedua, perlunya peningkatan ”kualitas” pertumbuhan ekonomi. Pascakrisis 1998, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, rata-rata hanya sekitar 4,5 persen per tahun. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kinerja pertumbuhan ekonomi pada era Presiden Megawati dan SBY.
Tahun 2008 perekonomian Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 persen. Bahkan pada saat krisis keuangan global, Indonesia tetap mampu tumbuh 4,5 persen tahun 2009. Terbukti krisis keuangan global 2008 berdampak tidak sehebat krisis Asia 1998.
Analisis saya dan kawan-kawan berjudul ”Survey of Recent Development” dalam jurnal internasional terbitan Australian National University, Bulletin of Indonesian Economic Studies, edisi Agustus 2009, membandingkan kedua krisis ini (http://www.mudrajad.com).
Ketahanan ekonomi Indonesia kini jauh lebih kuat dibanding 12 tahun lalu dilihat dari berbagai indikator ekonomi kunci. Hanya tiga pasar yang terguncang akibat krisis 2008, yaitu pasar modal, pasar valas, dan ekspor. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menembus di atas 2.800, tetapi anjlok drastis hingga 1.111. Penyebabnya adalah 67 persen Bursa Efek Indonesia dikuasai oleh para pemain asing. Kurs rupiah yang stabil di level Rp 9.000-Rp 10.000 era SBY sempat melemah terhadap dollar AS hingga hampir mencapai Rp 13.000. Ekspor juga merosot hingga 30 persen selama Januari-April 2009 dibanding tahun sebelumnya.
Ketiga, dampak krisis ekonomi terhadap pengangguran baru terasa pada tahun-tahun pascakrisis 1998. Ini terlihat dari tingkat pengangguran akibat PHK besar-besaran dan banyaknya penutupan usaha yang terus meningkat.
Tahun 1998, pengangguran di Indonesia meningkat menjadi sebesar 5,5 persen. Pada tahun-tahun berikutnya pengangguran terus meningkat sampai menyentuh 10,28 persen pada 2006, turun menjadi 9,9 persen pada 2007, 8,5 persen pada 2008, 7,87 persen pada 2009, dan akhirnya 7,4 persen pada Februari 2010.
Relatif tingginya angka pengangguran mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di bawah 6 persen pascakrisis belum mampu menyerap tambahan tenaga kerja baru dan mengurangi kemiskinan secara substansial. Inilah fenomena jobless growth.
Keempat, perlunya komitmen zero tolerance on corruption diterapkan dari pejabat pusat hingga daerah. Tanda tangan pakta integritas bagi para menteri perlu diperluas untuk semua pejabat Indonesia. Perbaikan tata kelola birokrasi/pemerintahan, reformasi birokrasi, perbaikan sistem pengawasan dan audit, beserta tindakan tegas bagi koruptor harus menjadi prioritas untuk memerangi korupsi yang sudah ”berjemaah dan ber-shaf-shaf”.
Kelima, akselerasi pembangunan infrastruktur. Hasil survei yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia yang berjudul Global Competitiveness Report 2009-2010 menunjukkan bahwa tidak memadainya kualitas infrastruktur di Indonesia menempati masalah mendasar ”Doing Business in Indonesia 2010” setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Kendati agak membaik dibanding tahun sebelumnya, Indonesia masih merupakan yang paling lemah dibanding negara lain di Asia Tenggara dalam hal ketersediaan infrastruktur.
Padahal, peningkatan infrastruktur merupakan program pilihan kedelapan yang ditetapkan Presiden SBY dari 15 program pilihan yang wajib diimplementasikan dalam jangka waktu 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, setelah satu tahun berlalu, mengapa pembangunan infrastruktur relatif berjalan lambat di Indonesia?
Pemerintah SBY tampaknya perlu lebih serius menjalankan agenda untuk mengurai sumbatan permasalahan infrastruktur, yang tidak hanya dipengaruhi minimnya pembiayaan APBN/APBD, tetapi juga masalah mendasar lain (”Debottlenecking Infrastruktur”, Investor Daily, 16/11/2009).
Lanjutkan
Barack Obama (2008), dalam buku yang berjudul Change We Can Believe in, menjabarkan dengan rinci visi dan rencana besarnya untuk memperbarui American Dream, impian dan janji Amerika. Obama mampu meyakinkan bahwa dialah pemimpin yang dapat menyatukan AS, menjawab tantangan besar yang dihadapi AS, dan bagaimana menggerakkan AS ke depan. Ia menumbuhkan harapan akan perubahan apa yang diinginkan warga AS.
Saya yakin rakyat Indonesia pun ketika memilih SBY-Boediono mendambakan banyak perubahan. Semoga perubahan kebijakan pembangunan Indonesia tidak hanya berhenti dalam 100 hari, atau satu tahun, tetapi berkelanjutan selama lima tahun ke depan dan benar-benar mampu membawa rakyat Indonesia menjadi lebih sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Rakyat Indonesia menunggu realisasi janji kampanye, target RPJMN 2009-2014, dan implementasi SBY-Boediono-nomics.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03040298/satu.tahun.sby-nomics
Mudrajad Kuncoro Ketua Jurusan dan Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM
Dipilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 tampaknya mencerminkan tingginya harapan rakyat akan kontinuitas dan perubahan mendasar, khususnya dalam menjawab berbagai agenda yang belum tuntas.
Tanpa terasa 20 Oktober 2010 genap setahun usia pemerintahan SBY-Boediono atau enam tahun sejak 20 Oktober 2004. Sejak awal SBY menekankan pentingnya triple track strategy, yaitu pro-growth, pro-job, dan pro-poor. Seberapa jauh pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi, menekan pengangguran dan kemiskinan?
Dalam buku berjudul Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan (2009), Visi Indonesia 2014, SBY-Boediono mengartikannya sebagai terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Misinya, melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan memperkuat dimensi keadilan di semua bidang.
Untuk mewujudkan visi-misi tersebut, agenda utama pembangunan nasional 2009-2014 meliputi: (1) Pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat; (2) Perbaikan tata kelola pemerintahan; (3) Penegakan pilar demokrasi; (4) Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi; (5) Pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Presiden menjelaskan bahwa RAPBN 2011 diarahkan untuk mencapai 10 sasaran strategis guna mendorong pembangunan yang inklusif dan berkeadilan selama jangka waktu lima tahun ke depan.
Kesepuluh sasaran strategis itu adalah (1) Ekonomi nasional tumbuh makin tinggi; (2) Pengangguran makin menurun dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih baik; (3) Kemiskinan makin menurun; (4) Pendapatan per kapita makin meningkat; (5) Stabilitas ekonomi makin terjaga; (6) Pembiayaan dalam negeri makin kuat dan meningkat; (7) Ketahanan pangan dan air makin meningkat; (8) Ketahanan energi makin meningkat; (9) Daya saing ekonomi nasional makin menguat dan meningkat; (10) Memperkuat upaya pembangunan yang ramah lingkungan.
Agenda yang belum tuntas
Beberapa agenda yang belum tuntas sejak SBY memerintah ternyata tidak sedikit. Paling tidak ada beberapa yang utama yang perlu dibahas.
Pertama, penurunan tingkat kemiskinan yang belum mencapai target. Tingkat kemiskinan memang menurun dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 persen tahun 2008, bahkan menjadi sekitar 13 persen tahun 2010. Jika angka ini dapat dipercaya, rekor kemiskinan tersebut adalah paling rendah, baik besaran maupun persentasenya selama 12 tahun terakhir. Kendati demikian, angka itu masih jauh dari target kemiskinan awal yang hanya 8,2 persen tahun ini.
Kedua, perlunya peningkatan ”kualitas” pertumbuhan ekonomi. Pascakrisis 1998, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, rata-rata hanya sekitar 4,5 persen per tahun. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kinerja pertumbuhan ekonomi pada era Presiden Megawati dan SBY.
Tahun 2008 perekonomian Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 persen. Bahkan pada saat krisis keuangan global, Indonesia tetap mampu tumbuh 4,5 persen tahun 2009. Terbukti krisis keuangan global 2008 berdampak tidak sehebat krisis Asia 1998.
Analisis saya dan kawan-kawan berjudul ”Survey of Recent Development” dalam jurnal internasional terbitan Australian National University, Bulletin of Indonesian Economic Studies, edisi Agustus 2009, membandingkan kedua krisis ini (http://www.mudrajad.com).
Ketahanan ekonomi Indonesia kini jauh lebih kuat dibanding 12 tahun lalu dilihat dari berbagai indikator ekonomi kunci. Hanya tiga pasar yang terguncang akibat krisis 2008, yaitu pasar modal, pasar valas, dan ekspor. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menembus di atas 2.800, tetapi anjlok drastis hingga 1.111. Penyebabnya adalah 67 persen Bursa Efek Indonesia dikuasai oleh para pemain asing. Kurs rupiah yang stabil di level Rp 9.000-Rp 10.000 era SBY sempat melemah terhadap dollar AS hingga hampir mencapai Rp 13.000. Ekspor juga merosot hingga 30 persen selama Januari-April 2009 dibanding tahun sebelumnya.
Ketiga, dampak krisis ekonomi terhadap pengangguran baru terasa pada tahun-tahun pascakrisis 1998. Ini terlihat dari tingkat pengangguran akibat PHK besar-besaran dan banyaknya penutupan usaha yang terus meningkat.
Tahun 1998, pengangguran di Indonesia meningkat menjadi sebesar 5,5 persen. Pada tahun-tahun berikutnya pengangguran terus meningkat sampai menyentuh 10,28 persen pada 2006, turun menjadi 9,9 persen pada 2007, 8,5 persen pada 2008, 7,87 persen pada 2009, dan akhirnya 7,4 persen pada Februari 2010.
Relatif tingginya angka pengangguran mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di bawah 6 persen pascakrisis belum mampu menyerap tambahan tenaga kerja baru dan mengurangi kemiskinan secara substansial. Inilah fenomena jobless growth.
Keempat, perlunya komitmen zero tolerance on corruption diterapkan dari pejabat pusat hingga daerah. Tanda tangan pakta integritas bagi para menteri perlu diperluas untuk semua pejabat Indonesia. Perbaikan tata kelola birokrasi/pemerintahan, reformasi birokrasi, perbaikan sistem pengawasan dan audit, beserta tindakan tegas bagi koruptor harus menjadi prioritas untuk memerangi korupsi yang sudah ”berjemaah dan ber-shaf-shaf”.
Kelima, akselerasi pembangunan infrastruktur. Hasil survei yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia yang berjudul Global Competitiveness Report 2009-2010 menunjukkan bahwa tidak memadainya kualitas infrastruktur di Indonesia menempati masalah mendasar ”Doing Business in Indonesia 2010” setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Kendati agak membaik dibanding tahun sebelumnya, Indonesia masih merupakan yang paling lemah dibanding negara lain di Asia Tenggara dalam hal ketersediaan infrastruktur.
Padahal, peningkatan infrastruktur merupakan program pilihan kedelapan yang ditetapkan Presiden SBY dari 15 program pilihan yang wajib diimplementasikan dalam jangka waktu 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, setelah satu tahun berlalu, mengapa pembangunan infrastruktur relatif berjalan lambat di Indonesia?
Pemerintah SBY tampaknya perlu lebih serius menjalankan agenda untuk mengurai sumbatan permasalahan infrastruktur, yang tidak hanya dipengaruhi minimnya pembiayaan APBN/APBD, tetapi juga masalah mendasar lain (”Debottlenecking Infrastruktur”, Investor Daily, 16/11/2009).
Lanjutkan
Barack Obama (2008), dalam buku yang berjudul Change We Can Believe in, menjabarkan dengan rinci visi dan rencana besarnya untuk memperbarui American Dream, impian dan janji Amerika. Obama mampu meyakinkan bahwa dialah pemimpin yang dapat menyatukan AS, menjawab tantangan besar yang dihadapi AS, dan bagaimana menggerakkan AS ke depan. Ia menumbuhkan harapan akan perubahan apa yang diinginkan warga AS.
Saya yakin rakyat Indonesia pun ketika memilih SBY-Boediono mendambakan banyak perubahan. Semoga perubahan kebijakan pembangunan Indonesia tidak hanya berhenti dalam 100 hari, atau satu tahun, tetapi berkelanjutan selama lima tahun ke depan dan benar-benar mampu membawa rakyat Indonesia menjadi lebih sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Rakyat Indonesia menunggu realisasi janji kampanye, target RPJMN 2009-2014, dan implementasi SBY-Boediono-nomics.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03040298/satu.tahun.sby-nomics
Mudrajad Kuncoro Ketua Jurusan dan Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya