Oleh: Sunarsip
Dalam sebulan terakhir ini, bursa efek kita mengalami booming yang ditandai dengan melonjaknya IHSG hingga tembus 3.600 poin pada minggu lalu. Ditengarai, melonjaknya kinerja bursa ini didorong oleh masuknya dana-dana jangka pendek (hot money).
Berdasarkan data Bank Indonesia,pada triwulan III 2010, investor asing mencatat transaksi net beli rata-rata Rp225 miliar per hari atau naik signifikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar Rp60 miliar per hari.
Membaiknya faktor fundamental ekonomi kita menjadi salah satu faktor di balik derasnya arus hot money. Namun, pengaruh eksternal juga turut mendorong situasi ini. Perlu diketahui, kondisi perekonomian global saat ini masih diliputi ketidakpastian. Pada pertengahan 2009, sejumlah kalangan sempat optimis krisis global akan cepat pulih.
Optimisme ini dapat dilihat dari beberapa kali IMF menaikkan outlook-nya terhadap pertumbuhan ekonomi global yaitu dari 3,9% pada Oktober 2009 menjadi 4,6%. Namun, optimisme ini kembali terkoyak akibat krisis utang di Eropa pada awal 2010. Akibatnya, outlook ekonomi global kembali terkoreksi.
Perekonomian Eropa saat ini memang tumbuh, tetapi laju pertumbuhannya sangat lambat. Pada triwulan II 2010, Eropa hanya tumbuh 1,0% (qtq) atau 1,9% (y-o-y). Itu pun ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis. Sementara itu, Yunani, Portugal, dan Spanyol masih mengalami perlambatan sebagai dampak dari austerity program. Aktivitas manufaktur juga mulai melambat seperti terindikasi oleh tren penurunan purchasing managers index (PMI).
PMI Composite Output Index untuk Zona Eropa September 2010 berada di level 53,8, atau turun dibandingkan April 2010 yang di level 60,0.
Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Selama September 2010,kondisi ekonomi AS masih kurang menjanjikan. PMI sektor manufaktur dan non-manufaktur terus menurun selama 4 bulan terakhir. Meski tren konsumsi di AS membaik, laju pertumbuhannya masih relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor konsumsi masih tertekan disebabkan oleh tersendatnya ekspansi kredit, meningkatnya pesimisme konsumen, dan tingkat pengangguran yang tinggi (9,6% pada Agustus 2010).
Untuk mendorong pemulihan ekonomi, The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, yaitu 0,25%. The Fed juga melakukan kebijakan quantitative easing dengan membeli obligasi Pemerintah AS. Sehingga tidak mengherankan jika imbal hasil US T-Note bertahan di level rendah. Kebijakan The Fed ini berpotensi memperbesar utang Pemerintah AS. Dan jika kebijakan The Fed ini kurang efektif,bukan tidak mungkin akan terjadi resesi ekonomi dunia lagi (double dip).
Secara umum, perekonomian global memang lesu, khususnya dalam 5 bulan terakhir. The Global PMI Output Index pada September lalu turun menjadi ke level 52,6 dari level57,7 pada April 2010. Hal yang sama juga dialami oleh kinerja ekspor secara global. Bahkan indeks PMI ekspor global pada September lalu adalah yang terendah dalam 14 bulan terakhir.
Dengan berbagai kondisi di atas, tidak mengherankan bila para investor lalu mengalihkan dananya ke emerging market. Sekalipun mungkin mereka "terpaksa" membeli aset yang memiliki risiko cukup tinggi. Hal itu tetap dilakukan, mengingat imbal hasil yang diberikan emerging market relatif lebih tinggi dibandingkan oleh AS dan Eropa, sehingga masih bisa meng-cover faktor risiko.
***
Kondisi eksternal yang kurang mengesankan, ditambah dengan kondisi internal yang baik itulah yang akhirnya mendorong hot money mengalir ke pasar keuangan Indonesia. Tahun ini, ekonomi kita diperkirakan tumbuh 6,0%-6,3% dan pada tahun 2011 mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh sektor konsumsi, ekspor, dan investasi. Dari sisi harga, inflasi masih tetap terkendali sekalipun trennya meningkat.
Sekalipun membaik, tetapi sejatinya hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa fundamental ekonomi kita telah kuat. Sebab, kalau kita cermati dari perkembangan ekonomi kita terdapat banyak fenomena ekonomi yang tidak sinkron dengan capaian kinerja ekonomi ini.
Sebagai misal, pada triwulan II 2010, ekonomi kita tumbuh 6,17%, terutama disumbang oleh sektor jasa. Subsektor pada sektor jasa tumbuh antara 4,76% - 12,91%. Sementara itu, pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan II 2010, sektor pertanian hanya tumbuh 3,08% (yoy) dan sektor manufaktur tumbuh 4,29%.
Sayangnya, peningkatan kinerja sektor jasa tersebut ternyata tidak menimbulkan multiplier effects yang kuat terhadap penyerapan tenaga kerja (employment). Berdasarkan kajian Kementerian Keuangan (2008) disebutkan bahwa pascakrisis, kinerja sektoral ekonomi kita turun drastis dibandingkan dengan sebelum krisis.
Pada 2003-2007, sektor jasa masih mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu 7,81%. Sayangnya, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (employment) di sektor jasa hanya 4,52% atau elastisitasnya hanya 0,58 (lihat tabel).
Fenomena ini bertolak belakang dengan yang terjadi di negara-negara lain, khususnya negara dengan tingkat penghasilan menengah ke atas. Berdasarkan riset McKinsey Global Institute (2010), sektor jasa selain menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian, juga menjadi sumber penyerapan tenaga kerja yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya.
Setidaknya, terdapat dua hal yang dapat dimaknai dari fenomena ini. Pertama, pertumbuhan sektor jasa yang tinggi ini belum ditopang oleh daya saing yang berbasis kompetensi. Pertumbuhan sektor jasa ini bisa jadi sebagian besar merupakan andil dari teknologi, SDM, ataupun modal dari asing.Kedua, rendahnya kinerja sektor pertanian dan manufaktur menunjukkan bahwa pertumbuhan yang terjadi pada kedua sektor ini bukan disebabkan oleh daya saing kompetitif produk-produk yang dihasilkan, melainkan masih bergantung pada keunggulan komparatif.
Kesimpulannya, ekonomi kita saat ini memang membaik. Namun, hal itu hendaknya tidak membuat kita terlalu berpuas diri. Ini mengingat, banyak hal yang perlu dibenahi terkait dengan fundamental kita. Terkait dengan itu, maka derasnya arus hot money saat ini hendak juga disikapi sebagai suatu tren yang sangat sementara.
Mengingat bahwa situasi global saat ini dan ke depan masih belum pasti, hot money diperkirakan masih akan bertahan setidaknya hingga semester I 2010. Oleh karena itu, momentum ini perlu dimanfaatkan para pelaku usaha. Caranya, dengan melakukan aksi-aksi korporasi untuk memanfaatkan dana-dana jangka pendek ini dengan menerbitkan saham atau obligasi agar kita bisa mengoptimalkan hot money ini secara maksimal bagi perekonomian.
URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3166.html
Sunarsip
Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
Dalam sebulan terakhir ini, bursa efek kita mengalami booming yang ditandai dengan melonjaknya IHSG hingga tembus 3.600 poin pada minggu lalu. Ditengarai, melonjaknya kinerja bursa ini didorong oleh masuknya dana-dana jangka pendek (hot money).
Berdasarkan data Bank Indonesia,pada triwulan III 2010, investor asing mencatat transaksi net beli rata-rata Rp225 miliar per hari atau naik signifikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar Rp60 miliar per hari.
Membaiknya faktor fundamental ekonomi kita menjadi salah satu faktor di balik derasnya arus hot money. Namun, pengaruh eksternal juga turut mendorong situasi ini. Perlu diketahui, kondisi perekonomian global saat ini masih diliputi ketidakpastian. Pada pertengahan 2009, sejumlah kalangan sempat optimis krisis global akan cepat pulih.
Optimisme ini dapat dilihat dari beberapa kali IMF menaikkan outlook-nya terhadap pertumbuhan ekonomi global yaitu dari 3,9% pada Oktober 2009 menjadi 4,6%. Namun, optimisme ini kembali terkoyak akibat krisis utang di Eropa pada awal 2010. Akibatnya, outlook ekonomi global kembali terkoreksi.
Perekonomian Eropa saat ini memang tumbuh, tetapi laju pertumbuhannya sangat lambat. Pada triwulan II 2010, Eropa hanya tumbuh 1,0% (qtq) atau 1,9% (y-o-y). Itu pun ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis. Sementara itu, Yunani, Portugal, dan Spanyol masih mengalami perlambatan sebagai dampak dari austerity program. Aktivitas manufaktur juga mulai melambat seperti terindikasi oleh tren penurunan purchasing managers index (PMI).
PMI Composite Output Index untuk Zona Eropa September 2010 berada di level 53,8, atau turun dibandingkan April 2010 yang di level 60,0.
Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Selama September 2010,kondisi ekonomi AS masih kurang menjanjikan. PMI sektor manufaktur dan non-manufaktur terus menurun selama 4 bulan terakhir. Meski tren konsumsi di AS membaik, laju pertumbuhannya masih relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor konsumsi masih tertekan disebabkan oleh tersendatnya ekspansi kredit, meningkatnya pesimisme konsumen, dan tingkat pengangguran yang tinggi (9,6% pada Agustus 2010).
Untuk mendorong pemulihan ekonomi, The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, yaitu 0,25%. The Fed juga melakukan kebijakan quantitative easing dengan membeli obligasi Pemerintah AS. Sehingga tidak mengherankan jika imbal hasil US T-Note bertahan di level rendah. Kebijakan The Fed ini berpotensi memperbesar utang Pemerintah AS. Dan jika kebijakan The Fed ini kurang efektif,bukan tidak mungkin akan terjadi resesi ekonomi dunia lagi (double dip).
Secara umum, perekonomian global memang lesu, khususnya dalam 5 bulan terakhir. The Global PMI Output Index pada September lalu turun menjadi ke level 52,6 dari level57,7 pada April 2010. Hal yang sama juga dialami oleh kinerja ekspor secara global. Bahkan indeks PMI ekspor global pada September lalu adalah yang terendah dalam 14 bulan terakhir.
Dengan berbagai kondisi di atas, tidak mengherankan bila para investor lalu mengalihkan dananya ke emerging market. Sekalipun mungkin mereka "terpaksa" membeli aset yang memiliki risiko cukup tinggi. Hal itu tetap dilakukan, mengingat imbal hasil yang diberikan emerging market relatif lebih tinggi dibandingkan oleh AS dan Eropa, sehingga masih bisa meng-cover faktor risiko.
***
Kondisi eksternal yang kurang mengesankan, ditambah dengan kondisi internal yang baik itulah yang akhirnya mendorong hot money mengalir ke pasar keuangan Indonesia. Tahun ini, ekonomi kita diperkirakan tumbuh 6,0%-6,3% dan pada tahun 2011 mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh sektor konsumsi, ekspor, dan investasi. Dari sisi harga, inflasi masih tetap terkendali sekalipun trennya meningkat.
Sekalipun membaik, tetapi sejatinya hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa fundamental ekonomi kita telah kuat. Sebab, kalau kita cermati dari perkembangan ekonomi kita terdapat banyak fenomena ekonomi yang tidak sinkron dengan capaian kinerja ekonomi ini.
Sebagai misal, pada triwulan II 2010, ekonomi kita tumbuh 6,17%, terutama disumbang oleh sektor jasa. Subsektor pada sektor jasa tumbuh antara 4,76% - 12,91%. Sementara itu, pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan II 2010, sektor pertanian hanya tumbuh 3,08% (yoy) dan sektor manufaktur tumbuh 4,29%.
Sayangnya, peningkatan kinerja sektor jasa tersebut ternyata tidak menimbulkan multiplier effects yang kuat terhadap penyerapan tenaga kerja (employment). Berdasarkan kajian Kementerian Keuangan (2008) disebutkan bahwa pascakrisis, kinerja sektoral ekonomi kita turun drastis dibandingkan dengan sebelum krisis.
Pada 2003-2007, sektor jasa masih mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu 7,81%. Sayangnya, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (employment) di sektor jasa hanya 4,52% atau elastisitasnya hanya 0,58 (lihat tabel).
Fenomena ini bertolak belakang dengan yang terjadi di negara-negara lain, khususnya negara dengan tingkat penghasilan menengah ke atas. Berdasarkan riset McKinsey Global Institute (2010), sektor jasa selain menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian, juga menjadi sumber penyerapan tenaga kerja yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya.
Setidaknya, terdapat dua hal yang dapat dimaknai dari fenomena ini. Pertama, pertumbuhan sektor jasa yang tinggi ini belum ditopang oleh daya saing yang berbasis kompetensi. Pertumbuhan sektor jasa ini bisa jadi sebagian besar merupakan andil dari teknologi, SDM, ataupun modal dari asing.Kedua, rendahnya kinerja sektor pertanian dan manufaktur menunjukkan bahwa pertumbuhan yang terjadi pada kedua sektor ini bukan disebabkan oleh daya saing kompetitif produk-produk yang dihasilkan, melainkan masih bergantung pada keunggulan komparatif.
Kesimpulannya, ekonomi kita saat ini memang membaik. Namun, hal itu hendaknya tidak membuat kita terlalu berpuas diri. Ini mengingat, banyak hal yang perlu dibenahi terkait dengan fundamental kita. Terkait dengan itu, maka derasnya arus hot money saat ini hendak juga disikapi sebagai suatu tren yang sangat sementara.
Mengingat bahwa situasi global saat ini dan ke depan masih belum pasti, hot money diperkirakan masih akan bertahan setidaknya hingga semester I 2010. Oleh karena itu, momentum ini perlu dimanfaatkan para pelaku usaha. Caranya, dengan melakukan aksi-aksi korporasi untuk memanfaatkan dana-dana jangka pendek ini dengan menerbitkan saham atau obligasi agar kita bisa mengoptimalkan hot money ini secara maksimal bagi perekonomian.
URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3166.html
Sunarsip
Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya