Jumat, 22 Oktober 2010

Bila Tak Sejahtera, untuk Apa Demokrasi?

Oleh: Amich Alhumami



Telah menjadi keyakinan universal, demokrasi merupakan alternatif terbaik sistem politik yang dapat mengantarkan masyarakat mencapai kesejahteraan.


Demokrasi akan melahirkan sebuah tatanan pemerintahan yang lebih kuat atas dasar legitimasi populis dari rakyat, yang diperlukan sebagai prasyarat dasar bagi proses pembangunan.Keyakinan ini bahkan sudah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik, yang menurut pengalaman di banyak negara memang tak terbantahkan.

Saksikan, gerakan demokratisasi telah menjadi gejala mondial dan merupakan pencapaian tertinggi ketika satu demi satu sebuah negara dengan sistem politik otoriter/totaliter berguguran dan berganti dengan sistem politik demokratis. Namun, impian ideal yang dijanjikan dapat terwujud di bawah sistem politik demokrasi ternyata tak mudah direalisasikan.

Semula diyakini, dengan membangun sistem demokrasi yang tangguh,partisipasi politik akan berkembang luas dan terbuka, pembangunan ekonomi dapat tumbuh yang akan mengantarkan pada keadilan, dan berbagai konflik sosial dapat diatasi tanpa disertai kekerasan. Sayang ide-ide memesona yang terkandung dalam konsep demokrasi ternyata menyisakan sejumlah persoalan serius dan kompleks, yang berpotensi menciptakan instabilitas politik.

Sebab, demokrasi tak mampu menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat secara tuntas dan menyeluruh. Tak heran, bila demokrasi melahirkan banyak kekecewaan bahkan frustrasi sosial di kalangan masyarakat. Stein Ringen dalam What Democracy is For: On Freedom and Moral Government(2007) menegaskan bahwa praktik demokrasi memang tak sepenuhnya dapat sejalan dengan gagasan ideal sebagaimana konsep dan cita-cita demokrasi yang dirumuskan oleh para filosof sosial dan pemikir politik.

Pada tataran filosofis, demokrasi bertujuan untuk menciptakan kebebasan politik dan penghargaan pada hakhak sipil yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup bagi setiap individu dan secara kolektif dapat mendorong pencapaian kesejahteraan umum. Dalam pertarungan ideologiideologi politik besar dunia, demokrasi muncul sebagai pemenang; ia menjadi pemain tunggal dalam percaturan global.

Menjelang pergantian milenium, satu demi satu negara yang semula menganut sistem politik otoritarianisme bahkan totalitarianisme mulai berpindah ke sistem politik demokrasi.Namun, praktik demokrasi di banyak negara berkembang belum mencapai kualitas berdasarkan standar yang berlaku umum. Banyak negara yang sudah menempuh jalur demokrasi sebagai pilihan sistem politik,namun sangat sedikit negara yang mampu mendemonstrasikan kinerja sistem demokrasi yang berkualitas.

Demokrasi Indonesia

Dalam konteks Indonesia, gerakan reformasi yang bertujuan membangun sistem politik demokratis tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik yang bersifat kultural maupun struktural.Tampak jelas betapa agenda reformasi tak dapat direalisasikan dengan baik,sementara gerakan reformasi menemui jalan buntu bahkan telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas.

Jika diidentifikasi, kekecewaan dan frustrasi sosial akibat kegagalan gerakan reformasi dalam membangun demokrasi meliputi beberapa hal pokok: ekonomi, politik, dan sosial yang saling bertalitemali dan membawa implikasi luas dalam kehidupan masyarakat. Pertama,dalam konteks ekonomi, kekecewaan muncul karena demokrasi dianggap tak mampu membuka jalan bagi pembangunan ekonomi yang berkeadilan.

Indikasi paling nyata adalah: (1) Kesenjangan ekonomi yang terus melebar dan tak dapat dieliminasi. (2) Disparitas penghasilan antargolongan dan antarkelompok masyarakat makin mencolok. (3) Angka pengangguran tetap tinggi yang bertendensi meningkat bilamana terjadi gejolak ekonomi. (4) Ketidakadilan sosial menjadi fenomena umum yang sulit diatasi. (5) Lingkaran kemiskinan sangat kronis yang akar-akarnya sulit diputus.

Fenomena ini semakin mengentalkan perbedaan struktur kelas di dalam masyarakat dan sangat potensial memicu lahirnya destabilisasi sosial yang mengancam proses d e m o - kratisasi. Kedua,sejumlah persoalan krusial di atas makin diperparah oleh wabah korupsi yang kian merajalela laksana gurita di kalangan pejabat publik: politisi dan birokrat. Yang menyedihkan,praktik korupsi berlangsung secara amat intensif dalam skala yang makin luas dan ganas baik di pusat maupun di daerah.

Perilaku korup secara nyata telah menjadi kendala utama bagi upaya restrukturisasi sistem politik dan menghambat proses demokratisasi. Praktik suap yang acap mewarnai proses politik di parlemen dalam menentukan kebijakan- kebijakan strategis, atau politik uang yang sudah menjadi bagian integral dalam setiap pemilu legislatif/presiden dan pemilihan kepala daerah (gubernur, wali kota,bupati),secara nyata merupakan penghalang utama bagi upaya membangun sistem politik demokrasi yang sehat.

Ketiga, dalam konteks politik, sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi secara mantap telah memunculkan instabilitas politik. Indikasi paling nyata atas fenomena ini adalah sistem kepartaian yang sangat rapuh,antara lain,tercermin dalam banyaknya jumlah partai sehingga mengaburkan fungsi utama keberadaan sebuah partai politik. Partai politik hanya sekadar menjadi kendaraan politik bagi sekelompok kecil elite-elite nasional untuk meraih kekuasaan.

Tak heran, bila gejala demikian semakin menyuburkan potensi konflik antarelite politik.Perbedaan kepentingan berjangka pendek dan bersifat pragmatis, seperti perebutan jabatan eksekutif atau pengisian pos-pos strategis di birokrasi pemerintahan dan BUMN telah menjadi sumber utama pertikaian antarpartai politik.

Keempat,dalam konteks sosial, tingkat kohesi masyarakat tampak kian melemah akibat kian menguatnya kompetisi komunalitas, baik yang disebabkan oleh alasan ekonomi maupun politik, yang sering melahirkan konflik sosial di tingkat akar-rumput.Yang lebih memprihatinkan lagi, setiap kali terjadi konflik horizontal selalu disertai dengan kekerasan yang kental beraroma amis darah. Konflik horizontal ini antara lain menjelma dalam bentuk kerusuhan dan aksi kekerasan dengan aneka macam motif yang bersifat primordial: etnik dan agama.

Kemakmuran

Gerakan reformasi telah melewati lebih dari satu dekade,namun bangunan sistem politik demokratis tampaknya belum membawa dampak nyata bagi perbaikan kualitas hidup masyarakat. Tampak jelas, elemen-elemen sistem demokrasi tak berfungsi normal dan tak bekerja secara efektif. Lembaga-lembaga politik yang menjadi pilar utama demokrasi telah mengalami disfungsi yang akut.

Masa transisi memakan waktu sangat lama,namun tetap saja bangsa ini tak kunjung mampu keluar dari kemelut dan masih tetap berjibaku dengan persoalan yang amat kompleks. Semula kita percaya penuh kepada elite-elite politik untuk merealisasikan agenda-agenda besar reformasi dan sekaligus memandu masa transisi agar proses transformasi politik dapat berjalan baik dan lancar.Namun, kita kecewa ketika menyaksikan ternyata mereka telah membajak demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan semata.

Para elite politik yang menempati pos-pos strategis, baik di eksekutif maupun legislatif, yang memiliki akses ke proses perumusan kebijakan publik dengan mudah merekayasa suatu keputusan politik berdasarkan kepentingan individual, kelompok, dan golongan mereka sendiri.Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat.

Jika diringkas, kinerja demokrasi yang rendah itu disebabkan oleh dua hal pokok: (1) Kelemahan sistem demokrasi lantaran tak memenuhi semua persyaratan yang diperlukan.(2) Warga negara mengabaikan dan kurang memahami apa yang disebut democratic citizenship sehingga tak dapat menjalankan partisipasi publik dalam seluruh proses politik dengan baik. Jika tak berbuah kesejahteraan, lalu untuk apa demokrasi?(*)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03061345/sampai.di.mana.reformasi.b



Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...