Jumat, 31 Desember 2010

Kerja Masa Depan

Oleh:Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Pentingnya pendidikan memang tidak perlu diperdebatkan. Kita tahu bahwa hampir semua orang tua berusaha untuk mencari sekolah terbaik bagi anak-anak mereka. Tujuannya tentu untuk mempersiapkan masa depan. Kita berharap sekolah akan membantu memberi arah agar individu bisa lebih siap memasuki dunia kerja. Namun, kita sadar betapa dunia kerja semakin lama semakin kompleks, semakin bervariasi. Seorang kepala sekolah sebuah sekolah di Jakarta, mengatakan bahwa manajemen sekolah perlu menegakkan disiplin keras, tidak hanya disiplin waktu namun sampai ke cara berpakaian siswa. Setiap anak harus menjaga agar baju atasan selalu rapi dan dimasukkan. Apa hubungannya disiplin sekolah dengan mempersiapkan siswa untuk pekerjaan di masa depan? Sang kepala sekolah mengatakan, “Kami menjaga komunikasi intensif, memperkuat dan mengembangkan cara pandang global, nilai, karakter, keyakinan dan cara menilai dari anak didik kita. Ini semua demi persiapan mereka menghadapi masa depan, karena kita para pendidik dan orang tua tidak pernah bisa tahu apa bentuknya masa depan.”

Ya, dua puluh tahun lalu, kita tidak pernah berpikir akan ada pekerjaan seperti computer programmer, network engineer, wedding organizer atau financial consultant. Nandan M. Nilekani managing director Infosys Technologies bahkan memperkirakan akan terciptanya 20.000 jabatan baru di tahun 2015! Bagaimana kita yang sudah “nyemplung” di dunia kerja mempersiapkan hal ini? Sekolah seperti apa yang perlu kita cari? Training apa yang perlu kita ikuti? Bagaimana sekolah mempersiapkan lulusan “siap pakai”, sementara jenis pekerjaan di masa depan belum jelas bentuk dan variasinya?

Kalau sebelum ini, kita mengkhawatirkan bahwa dengan globalisasi, tenaga asing akan menguasai pekerjaan pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan orang lokal, sekarang kita perlu melihat ancaman dalam pekerjaannya sendiri. Apakah dalam model bisnis di masa depan pekerjaan saya masih perlu dikerjakan secara manual? Inovasi perbankan telah menciptakan ATM sehingga orang tidak perlu lagi repot antri di bank untuk menarik, mentransfer, bahkan menyetor uang. Bagaimana kalau kita bekerja di bidang seperti “investment banking’ yang tiba-tiba punah dalam setahun? Apa yang akan terjadi bila mahasiswa memilih bidang yang populer dan tiba-tiba terjadi surplus pada tenaga kerja, karena pekerjaannya menyusut? Kita juga perlu mempertanyakan, apakah industri tempat kita bekerja masih diperlukan masyarakat? Apakah kehadiran saya di kantor memang memberikan konstribusi yang signifikan?

Siaga dalam Bekerja

Kita memang tidak hidup di generasi orang tua kita di mana pendidikan dan pekerjaan seperti garis linear, bisa diprediksikan dan mantab. Bukankan kita sadar bahwa pendidikan pertanian di negara kita menghasilkan sarjana ahli pertanian dan perikanan yang handal tetapi kemudian bekerja sebagai bankir, analis ‘finance’ atau pekerjaan yang sama sekali bertolak belakang dengan pendidikannya misalnya manajer marketing susu formula? Terlepas dari tanggung jawab berprofesinya dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang menjanjikan, dari sini sebetulnya kita bisa memahami bahwa kemampuan belajar dan beradaptasi adalah kunci keberhasilan di masa depan.

Seorang jagoan IT direkrut sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Bawahan yang trampil dan akuntabel membuat manajer ini bisa sedikit bersantai dan tinggal me-’manage’ anak buah saja. Tanpa disadari, dalam perkembangannya, manajemen merasa bahwa manajer ini sudah tidak mampu membuat terobosan-terobosan baru dalam ‘knowledge management’ dan teknologi informasi, sehingga terpaksa menggantikannya dengan seseorang yang dianggap lebih ahli dan kreatif. Kemampuan teknis yang kita rasakan cukup dalam waktu singkat bisa tidak memadai lagi. Manajer ini lupa bahwa kita tidak bisa puas dengan apa yang sudah kita miliki. Banyak hal baru yang perlu dipelajari. Bukan hanya paham, tapi juga harus mendalam. Bukan hanya terkait keahlian teknis, tapi juga kreativitas, wawasan dan interpersonal. Ini tentu membangkitkan kewaspadaan kita agar selalu bisa cair beradaptasi, fleksibel dan siap menerima perubahan dengan cepat. “Careers will come and go, as do businesses and industries View a job as a temporary gig and learn how to springboard to the next emerging opportunities and needs” demikian ungkap seorang futuris.

Ubah Paradigma terhadap Pekerjaan

Dulu kita sering terpukau dengan titel pekerjaan, seperti dokter, insiyur, banker, manager, bahkan direktur. Namun dalam dunia kerja yang kompleks ini, kita tahu titel pekerjaan menjadi tidak terlalu berarti lagi. Kita perlu melihat pekerjaan sebagai ‘set of skills’ yang diaplikasikan dengan kombinasi yang berbeda-beda terhadap situasi kerja yang berbeda. Seorang dokter perlu memilih apakah ia akan menjadi ahli jamur, parasit ataupun hal yang lebih spesifik lagi. Seorang insinyur juga perlu memilih bidang automotif, mekatronik atau bidang spesifik lainnya. Bila kita bekerja di sebuah perusahaan besar, kita lebih baik mulai melihat tugas kita sebagai proyek-proyek atau kontrak-kontrak yang harus tuntas dan bernilai tambah.

Tidak peduli pada bagian lain, alias ‘cilo’-ing, sebenarnya adalah sikap bunuh diri yang sudah tidak bisa diterapkan lagi. Dengan melakukan networking secara kontinu, di dalam maupun di luar perusahaan, kita justru mendapat kesempatan untuk membuka wawasan dan melihat kesempatan untuk perbaikan. Kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak semata menjalankan tugas sesuai job description karena pedoman kerja itu juga bisa menjebak kita memandang pekerjaannya sebagai tugas dan bukan ajang ‘value creating’ yang fresh, unik dan bisa berkembang sesuai dengan tantangan dan tuntutan pasar. Gejala mengejar jabatan dan merasa lega ketika mencapainya justru sekarang sudah dianggap sebagai paradigma kuno, bahkan merupakan awal dari stagnasi karir. Jabatan perlu disikapi secara entrepreneurial untuk menciptakan kesempatan lebih lanjut.

Pesta Sisa Anggaran Jelang Tutup Tahun

Oleh: Tole Sutrisno

Jelang tutup tahun 2010 ada indikasi departemen-departemen pemerintah meningkatkan intensitas kegiatan. Tujuannya adalah menggunakan anggaran tersisa. Supaya tidak terbebani kewajiban untuk mengembalikan ke kas negara.

Bagi departemen atau kementerian yang masih memiliki sisa anggaran cukup banyak muncul fenomena program dadakan di bulan Desember. Sayangnya program-program itu hanya sekadar menghabiskan anggaran. Fenomena ini harus jadi perhatian serius pemerintah supaya tidak ada "pemubaziran" anggaran.

Dalam sebuah sidang kabinet yang dilakukan di Istana Bogor Oktober lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta kepada seluruh kementerian, lembaga, dan departemen pemerintah untuk mengefisienkan pembelanjaan anggaran negara.

Permintaan itu mensiratkan bahwa presiden tidak mau ada pemborosan anggaran. Ibarat pepatah "tak ada asap kalau tak ada api", pernyataan dan permintaan presiden tentunya mengandung banyak makna.

Secara semiotik makna pertama yang bisa ditangkap dari pernyataan presiden adalah ada kemungkinan SBY mencium adanya "pemubaziran" anggaran menjelang akhir tahun. Terkait anggaran yang tersisa. Analisa yang bisa dikemukakan adalah tingkat kegiatan yang dilakukan "personel" departemen cenderung meningkat ketika memasuki bulan November dan Desember.

Satu contoh kasus. Penulis kebetulan mempunyai saudara yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah kementerian. Selama bulan November dan Desember saudara penulis super sibuk mengikuti pimpinannya melakukan kunjungan ke beberapa wilayah di luar kota. Bahkan, ketika ke Batam, kunjungan dilanjutkan ke Singapura, hanya untuk sekadar pelesir dan beli oleh-oleh.

Ketika ditanya mengenai intensitas dinas keluar kota yang banyak di bulan November dan Desember, saudara penulis dengan enteng mengatakan, "untuk menghabiskan anggaran, supaya tidak mengembalikan ke kas negara. Karena kalau tahun ini anggaran sisa, tahun berikutnya anggaran untuk kementerian bisa dikurangi".

Jika dalam sekali kunjungan dinas ke daerah bisa menghabiskan anggaran minimal Rp 100 juta bisa dibayangkan berapa anggaran yang tersedot untuk minimal 6 kegiatan dalam sebulan. Padahal, itu baru yang dilakukan satu direktorat. Belum direktorat lainnya.

Makna kedua yang bisa dianalisis dari pernyataan SBY di depan para menterinya adalah sebuah bentuk kegelisahan. Sebagai presiden, SBY sudah memberi contoh bagaimana memperlakukan anggaran negara yang tersisa.

Misalnya SBY menyampaikan lembaga kepresidenan sejak tahun 2005 sampai 2009 selalu mengembalikan anggaran yang tersisa. Mulai dari yang paling rendah Rp 50 miliar sampai yang paling tinggi Rp 80 miliar per tahun.

Namun, langkah efisiensi dan keterbukaan yang dilakukan pihak kepresidenan ternyata kurang mendapat respons dari kementerian-kementerian. Kita sangat jarang mendengar seorang menteri mengatakan kepada publik bahwa di kementerian atau departemen yang dipimpinnya masih ada sisa anggaran dan dikembalikan ke kas negara.

Justru yang sering muncul adalah pernyataan bahwa kementerian sudah menjalankan program-program yang bisa menyerap seluruh anggaran dari pemerintah. Adanya pemahaman bahwa setiap anggaran yang dialokasikan dari kas negara harus dihabiskan memunculkan pratik-praktik "pemubaziran" pada akhir tahun ketika mengetahui anggaran yang dialokasikan pemerintah masih tersisa.

Prinsip efisiensi anggaran yang sering ditekankan SBY kepada para bawahannya seperti angin lalu karena adanya prinsip penghabisan anggaran. Padahal, kalau prinsip efisiensi ini dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga daerah negara akan menghemat anggaran puluhan triliun.

Anggaran yang tersisa itu bisa dialihkan ke lembaga lain yang selama ini mengandalkan pembiayaan dari utang. Misalnya pengadaan alutsista TNI yang selama ini ditutup dengan kredit ekspor.

Dari efisiensi yang bisa menghemat anggaran sampai puluhan triliun rupiah alokasikan bisa dialihkan untuk menutup utang pengadaan alutsista TNI. Selain itu sisa anggaran hasil dari efisiensi juga bisa digunakan untuk mendukung program-program untuk rakyat (PUR).

Transparansi Anggaran

Untuk mendukung program efisiensi dan menghindari praktik "pemubaziran" atau pemborosan anggaran pemerintah perlu menerapkan adanya transparansi di tingkat kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Setiap penggunaan anggaran harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik (rakyat) dan pemerintah (negara).

Setiap anggaran yang dikeluarkan harus digunakan untuk program yang jelas dari segi manfaat dan jangkauannya. Jangan sampai posting anggaran hanya untuk memenuhi prinsip "penghabisan" atau sekadar mengklopkan jumlah yang dialokasikan dari negara.

Untuk mendukung transparansi dan proyeksi anggaran di tahun berikutnya kementerian maupun lembaga lainnya harus bersikap fair. Kalau sisa ya harus dikatakan jumlahnya berapa dan dikembalikan ke negara. Kalau pun kurang ya harus dikatakan supaya pada tahun anggaran berikutnya bisa diproyeksikan.

Seperti yang dilakukan Kementerian Perekonomian sudah sepatutnya diikuti kementerian dan lembaga lain. Akhir November lalu Kementerian Perekonomian menyatakan terjadi penghematan Rp 11 miliar atau 10 persen dari APBN yang sudah ditetapkan.

Melalui efisiensi seharusnya kementerian dan lembaga pemerintah lainnya mampu melakukan penghematan. Efisiensi bisa dilakukan dengan mengurangi perjalanan dinas yang tidak perlu, penghematan alat tulis kantor, dan mengurangi belanja barang yang asas manfaatnya tidak ada.

Kalau efisiensi di semua tingkat kementerian dan lembaga pemerintahan itu dikonversi tentunya akan terjadi penghematan yang sangat luar biasa dan nilainya bisa mencapai puluhan triliunan rupiah. Menurut perkiraan Kementerian Keuangan kalau terjadi penghematan di semua kementerian dan lembaga pemerintahan nilai anggaran yang bisa disisihkan mencapai Rp 60 triliunan.

Ini jumlah yang sangat besar dan mempunyai banyak manfaat.

*) Tole Sutrisno adalah Direktur Operasional Developing Countries Studies Centre (DCSC) Indonesia.

Sumber:http://www.detiknews.com/read/2010/12/30/082131/1535622/103/pesta-sisa-anggaran-jelang-tutup-tahun

TKI Dicueki, TKI Dimobilisasi

Oleh: Ardi Winangun
Pemain ke-12 atau suporter dalam sepakbola ternyata terbukti mampu mendorong sebuah tim sepakbola memenangi sebuah pertandingan. Berangkat dari fakta tersebut, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia, dalam pertandingan putaran pertama final AFF Cup 2010, di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia, memobilisasi seluruh para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berada di Negeri Jiran itu untuk berduyun-duyun ke Stadion Bukit Jalil mendukung tim sepakbola nasional Indonesia melawan tim sepakbola nasional Malaysia.

Langkah untuk memobilisasi para TKI yang dilakukan KBRI adalah dengan menerjunkan petugas KBRI ke kantong-kantong para TKI dan mengajak mereka untuk mendukung tim nasional Indonesia dengan memberi potongan tiket bahkan memberi tiket secara gratis kepada para TKI.

Pentingnya dukungan para pemain ke-12 dalam tim nasional Indonesia yang posisinya ditempati para TKI itu sudah terbukti dalam semifinal AFF 2004. Ribuan TKI yang datang ke Stadion Bukit Jalil mampu mendongkrak semangat tim nasional Indonesia yang tertinggal 1-0, kemudian berubah menjadi unggul 1-4. Dukungan para TKI itulah yang mampu menyemangati Kurniawan D. Julianto, Charis Julianto, Ilham Jaya Kusuma, dan Boaz Salosa, mencetak gol ke gawang tim nasional Malaysia.

Jumlah yang dibutuhkan pemain ke-12 yang jumlahnya mencapai ribuan, bukan suatu hal yang susah untuk dimobilisasi oleh KBRI. Jatah dari FAM atau PSSI-nya Malaysia sebanyak 15.000 kursi, suatu kuota yang kecil. Bila FAM rela memberi jatah kursi kepada supporter Indonesia hingga 50%, dengan kapasitas Stadion Bukit Jalil yang mencapai 100.000 hingga 120.000, itu juga bukan hal yang sulit untuk dipenuhi, sebab jumlah TKI yang berada di Negeri Jiran itu mencapai kisaran 1.000.000 orang.

Namun apa yang dilakukan oleh KBRI terhadap para TKI ini seperti belah bambu, suatu
ketika diangkat atau dibutuhkan, satu saat yang lain dicuekin bahkan dibiarkan ketika mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan. Banyak sudah cerita dan fakta perlakuan kasar, siksaan, bahkan sampai pembunuhan terhadap para TKI di Malaysia, namun KBRI bersikap pasif bahkan membiarkan apa yang terjadi.

Dari tidak adanya perlindungan dan bantuan hukum tersebut Pemerintah Malaysia selama
November 2010 pernah mengusir TKI sebanyak 1.132 orang. Dari data yang ada, pada tahun 2009 pengusiran TKI mencapai 32.000 orang, tahun 2008 sebanyak 35.143 orang dan tahun 2007 sebanyak 34.652 orang. Terhadap pengusiran ini mengapa KBRI tidak melakukan apa yang dilakukan ketika hendak memobilisasi mereka untuk mendukung tim nasional Indonesia, dengan memberi berbagai kemudahan dan fasilitas.

Bila pertandingan sepakbola mampu memberi perhatian kepada para TKI di Malaysia, tentu kita berharap tim nasional Indonesia suatu ketika juga mengadakan pertandingan di Arab Saudi, dan negara tujuan para TKI lainnya, sehingga KBRI di sana juga melakukan mobilisasi para TKI. Dengan adanya pertandingan sepakbola, nasib mereka bisa menjadi lebih diperhatikan.

Nasib TKI di Saudi Arabia mungkin sama bahkan lebih parah dengan nasib para TKI yang
berada di Malaysia. Berdasar data dari Migrant Care, jumlah TKI yang bermasalah pada
tahun 2008 sebanyak 45.626 orang. Tahun 2009 sekitar 44.569 orang dan selama Januari-Oktober 2010 mencapai 25.064 orang. Dari data itu, korban terbanyak bekerja di Arab Saudi, berkisar 48,29% hingga 54,10%. Para TKI itu mengalami berbagai nasib yang mengenaskan dari, seperti gaji tidak dibayar, kekerasan seksual, dianiaya sampai tewas, serta dianiaya hingga mengalami cacat fisik.

Bahkan berita yang terakhir diberitakan di media massa, ada sekitar 300 TKI yang
menggelandang hidupnya di kolong jembatan layang di kawasan Kandara, Jeddah. Berita
adanya TKI yang menggelandang di Arab Saudi ternyata tidak hanya di Jeddah, namun
juga di Makkah.

Mereka memilih menjadi gelandangan sebab mereka diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil oleh majikannya, seperti masalah gaji kurang, beban pekerjaan tak sesuai kontrak, korban kekerasan majikan, baik penyiksaan maupun kekerasan seksual. Dan yang lebih menyulitkan ketika mereka tak lagi memegang kartu identitas karena paspor ada di tangan majikan.

Semua hal di atas menunjukan adanya ketidakseriusan dan ketidakpedulian dari KBRI di
Arab Saudi. Berbagai kasus penyiksaan yang berujung pada kematian dan tidak dibayar
gajinya, seolah-olah sebuah cerita yang tak kunjung selesai. Selesai kasus yang satu
muncul kasus yang lainnya.

Pemerintah Indonesia mungkin hanya mengambil keuntungan dan aji mumpung dari keberadaan TKI. Desakan penghentian pengiriman TKI sepertinya tidak akan didengar oleh pemerintah Indonesia, sebab dengan dihentikannya pengiriman para TKI maka devisa negara akan menurun. Pada tahun 2006 para TKI yang bekerja di luar negeri selama setahun menyumbangkan devisa kepada negara sebesar Rp 60 triliun. Dengan devisa itu mampu memberi makan kepada sekitar 30 juta orang di Indonesia. Apa yang dihasilkan para tenaga kerja itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab jumlahnya kedua terbesar setelah peringkat utama dari sektor minyak bumi dan gas (migas).

Dengan paparan di atas, terlihat bahwa pemerintah Indonesia hanya mengambil madu dari para TKI. Pemerintah hanya mengambil keuntungan devisa dari pahlawan devisa, sebutan untuk TKI, dan dimobilisasi ketika ada kepentingan nasional di negara tersebut. Namun ketika madu itu diraih, pemerintah tidak mengambil pusing atau cuek kepada para TKI ketika mereka diberi racun oleh para juragan di mana mereka mengadu nasib di luar negeri. Mengapa KBRI tidak melakukan mobilisasi kesejahteraan dan perlindungan kepada para TKI?

*) Ardi Winangun adalah pengurus Presidium Nasional Masika ICMI.
Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/12/29/075300/1534729/103/tki-dicueki-tki-dimobilisasi

Berkaca pada IPM Aceh

Oleh: Ivan A Hadar


Rakyat Aceh terkenal tangguh dalam melawan ketidakadilan. Betapa tidak. Perang Aceh melawan penjajah berlangsung selama 30 tahun. Bahkan sejarah mencatat, setelah gugurnya Tengku Umar pada 1904, perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912.


Bahkan di beberapa daerah tertentu, masih muncul perlawanan hingga menjelang Perang Dunia II tahun 1939.Bung Karno pernah mengatakan,“.... melalui perjuangan rakyat Aceh, seluruh wilayah Republik Indonesia dapat direbut kembali.” Aceh, demikian Wakil Gubernur Muhammad Nazar pernah menulis, memiliki sumber daya manusia paling unggul di kawasan Asia Tenggara.Namun,perang dan konflik telah mengakibatkan SDM Aceh hancur berantakan (Serambi Aceh, 12/9/2009).

Tahun-tahun panjang perjuangan militer dan politik disertai dengan perubahan kondisi ekonomi dan bencana alam yang terus-menerus telah mengakibatkan Aceh menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Akan tetapi,sejak tsunami Desember 2004, disertai dengan kesepakatan damai pada bulan Agustus 2005,rakyat Aceh dengan dukungan dari berbagai penjuru dunia telah mencapai perkembangan luar biasa dalam mengonsolidasikan perdamaian, menyembuhkan luka-luka konflik dan bencana, serta mulai membangun kembali sumber daya manusianya. Pada 22 Desember ini, diluncurkan Laporan Pembangunan Manusia (LPM) Aceh 2010.

Ini adalah LPM tingkat provinsi pertama di Indonesia, yang ditulis berdasarkan permintaan Pemerintah Provinsi Aceh dengan dukungan UNDP. Tema utamanya adalah pemberdayaan masyarakat, dalam arti bukan sekadar berupa partisipasi masyarakat dalam perencanaan, tetapi juga keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Cara seperti ini, diyakini paling efektif untuk menjaga perdamaian, meningkatkan pelayanan publik dan mempromosikan kesejahteraan rakyat Aceh. Cara ini juga merupakan cara yang lebih tepat untuk memastikan bahwa kebutuhan kelompok yang kurang beruntung dan terpinggirkan, seperti kaum miskin dan perempuan, akan tertangani dengan lebih baik.

Menguat Signifikan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh melangkah maju berbarengan dengan angka nasional hingga tahun 2007 untuk kemudian menurun secara tajam pada tahun 2008. Hal ini terutama karena penurunan belanja pribadi, yang menggambarkan penurunan berbagai program pemulihan pascatsunami yang pada waktu itu, untuk sementara, menciptakan lapangan pekerjaan berlimpah.

Dibandingkan dengan daerahdaerah lain di Indonesia,IPM Aceh mengalami peningkatan lebih lambat dalam beberapa tahun terakhir dengan menduduki peringkat ke- 29 dari 33 provinsi pada 2008. Tingkat kemiskinan turun menjadi 22% dibandingkan dengan rata-rata Indonesia sebesar 14%. Meskipun demikian, peringkat Aceh terkait Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) meningkat dari peringkat ke-20 dari 26 provinsi pada tahun 1996 menjadi peringkat ke- 17 dari 33 provinsi pada tahun 2008. Pada tahun 2005, sekitar satu dari empat rumah tangga masih tinggal di rumah berkualitas rendah dengan pelayanan dasar yang buruk.

Kualitas perumahan sebagian besar tergantung pada ketersediaan infrastruktur dasar yang pada umumnya menjadi tanggung jawab lembaga pemerintah. Terkait pendidikan, Aceh menunjukkan kinerja paling baik di antara provinsi lainnya di Indonesia. Meskipun demikian, kualitas fasilitas pengajaran dan sekolah masih tidak merata.Sementara itu, meskipun perkembangan besar telah dicapai selama 40 tahun terakhir, indikator kesehatan menunjukkan bahwa Aceh masih menduduki peringkat perempat terbawah dari semua provinsi. Harapan hidup lebih rendah,anakanak bergizi buruk dan angka kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi.

Meskipun ukuran PDRB per kapita menyatakan bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, pengeluaran per kapita menunjukkan bahwa masyarakat Aceh berada di antara yang termiskin. Penerimaan bantuan terbesar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi setelah tsunami memberikan dorongan sementara bagi perekonomian, tetapi sebagian besar program tersebut kini telah berakhir. Produktivitas kerja di sektor pertanian telah meningkat secara bertahap selama beberapa tahun, tetapi angka partisipasi tenaga kerja di Aceh jauh di bawah ratarata nasional.Enam dari 10 pekerja di Aceh bekerja di sektor informal.

Sektor ini memainkan peran penting di Aceh dalam memberikan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran terbuka. Salah satu faktor penghambat pertumbuhan lapangan kerja sektor formal di Aceh adalah u p a h minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi, yang merupakan upah minimum tertinggi di Indonesia, yang sebagian mencerminkan laju inflasi di tahun-tahun pascatsunami.

Penguatan Masyarakat

Berdasarkan analisis informasi yang ada, LPM Aceh 2010 ini merekomendasikan enam tujuan utama guna memajukan pembangunan manusia di provinsi ini. Pertama, instrumen yang paling efektif untuk meningkatkan pembangunan manusia adalah memberdayakan masyarakat untuk mengambil keputusan bersama secara mandiri tentang apa yang perlu dilakukan. Pemberdayaan ini tidak hanya berarti mempromosikan partisipasi dalam rapat umum untuk mendiskusikan berbagai prioritas dan rencana, tetapi juga mengalihkan sumber daya fiskal bagi kelompok-kelompok yang diakui dan mendelegasikan wewenang untuk menentukan cara bagaimana menggunakan sumber daya tersebut.

Kedua, meskipun beberapa indikator menunjukkan kemajuan dalam pembangunan manusia di Aceh, penting untuk memastikan bahwa semua orang memperoleh manfaat dari kemajuan yang dicapai. Semua program pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap penanganan kebutuhan kelompok-kelompok sosial tertentu yang mungkin telah diabaikan atau yang tidak mampu untuk mendapatkan bantuan yang mereka perlukan karena satu dan lain alasan. Ketiga, pelayanan sosial dasar sekarang dapat diakses secara fisik oleh sebagian besar masyarakat di seluruh provinsi.Tantangan utama di masa mendatang adalah peningkatan kualitas pelayanan ini, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.

Keempat, tujuan utama lainnya di Aceh adalah untuk mengurangi angka pengangguran yang tinggi dan kekurangan lapangan kerja sebagai sarana untuk menurunkan kemiskinan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kelima, meskipun tsunami merupakan peristiwa langka, jenis bencana alam lainnya sering terjadi di Aceh dan secara kumulatif menyebabkan kerugian dan kesulitan besar. Karena strategi dan agenda seringkali saling melengkapi maka upaya-upaya mitigasi bencana harus digabungkan dengan lembaga lain yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Langkah-langkah pengarusutamaan berbagai tindakan untuk mengurangi bencana alam sebaiknya diperkuat dalam program pemerintah dan lembaga donor, khususnya di sektor kehutanan, pertanian,dan perikanan.

Keenam, peningkatan yang sangat besar dalam sumber daya fiskal yang mengalir ke Aceh sebagai hasil dari Kesepakatan Damai dan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) menekankan keharusan untuk meminimalkan penyalahgunaan dan memastikan sumber daya yang disalurkan untuk berbagai program dan pelayanan yang lebih efektif dalam memajukan pembangunan manusia. Selain itu, otonomi khusus memberikan Aceh tiga sistem hukum yang diterapkan secara paralel sejak tahun 2001, yaitu hukum tata negara Indonesia, sistem adat tradisional, dan hukum syariah. Hal ini sering menimbulkan kebingungan karena lingkup yurisdiksi yang dicakup oleh setiap sistem mengalami tumpang tindih dan kadang-kadang menimbulkan interpretasi yang berbeda.

Beberapa hambatan mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengajukan tuntutan dan karena itu, tidak memperoleh keadilan. Banyak orang tidak mengetahui opsi-opsi hukum, mereka tunduk pada tekanan sosial yang ada sehingga mereka terpaksa mengandalkan sepenuhnya pada adat untuk menyelesaikan sengketa, dan mereka yang berada di daerah perdesaan seringkali jauh dari pengadilan. Karena persepsi yang luastentangpenyuapan dan korupsi dalam sistem hukum formal, masyarakat memiliki keyakinan yang lebih besar pada pengadilan syariah. Pengadilan syariah ini telah menjadi semakin aktif untuk sejumlah isu-isu hak perempuan, termasuk pemberian perwalian anak kepada perempuan setelah perceraian, pemberian bagian yang sama atas harta gono-gini pada saat perceraian,dan perlindungan hak waris perempuan.

Langkah-langkah untuk memberdayakan organisasi berbasis masyarakat dapat membantu meningkatkan akses keadilan melalui kampanye untuk meningkatkan kesadaran hak-hak hukum masyarakat, pemantauan keputusan pengadilan syariah dan peraturan adat, serta pemantauan kinerja polisi agama (wilayatul hisbah). Mengamati ketangguhan rakyat Aceh dalam memperjuangkan keadilan, kita patut optimistis bahwa berbagai kesenjangan yang masih eksis saat ini akan teratasi secepatnya. Hal ini berjalan paralel dengan meningkatnya IPM rakyat Aceh.Semoga!(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/371962/



Ivan A Hadar
Koordinator Nasional Target MDGs

Kamis, 30 Desember 2010

Bioetanol Padat yang Praktis

Oleh: Nawa Tunggal


Kemudahan mendistribusikan bahan bakar padat menjadi inspirasi Soelaiman Budi Sunarto ketika ingin meracik bioetanol padat. Pendiri Koperasi Serba Usaha Agromakmur, Karanganyar, Jawa Tengah, ini terus menginovasi temuan-temuannya berkait energi untuk masyarakat pedesaan.

Setiap kali saya menemukan cara baru untuk menghasilkan bahan bakar alternatif, tidak pernah berniat untuk mengajukan patennya. Ini supaya masyarakat mana pun mudah membuatnya,” kata Budi, Kamis (16/12) di Jakarta.

Sejak tahun 1998, Budi menggeluti usaha di pedesaan untuk memproduksi apa pun sebisa mungkin. Bioetanol hanya salah satunya. Selain itu, Budi juga memproduksi jamur tiram dengan isi polybag khas racikan dia, hingga dikenal lebih banyak menghasilkan jamur dibandingkan yang lainnya.

Budi juga menciptakan alat pembentuk gas metana untuk sumber energi ramah lingkungan dari sampah organik. Alat itu dinamai albakos, singkatan dari alat biogas konsumsi sampah.

Ia juga memberikan nama kompor ”Bahenol” untuk ciptaan kompor berbahan bakar hemat etanol. Baru-baru ini Budi memaparkan temuan barunya, bioetanol padat. Ia sendiri lupa kapan memperoleh inspirasi itu secara pasti. ”Inspirasinya sudah sejak lama,” ujar Budi.

Tanpa jelaga

Bioetanol yang dimaksudkan Budi adalah etanol atau alkohol. Budi memproduksinya dengan proses fermentasi bahan-bahan organik mengandung glukosa.

Di pedesaan, Budi mudah menjumpai limbah organik dari hasil pertanian. Seperti sekam padi juga mengandung glukosa. Begitu pula limbah sayur-mayur bisa dijadikan bahan organik untuk fermentasi menghasilkan bioetanol.

”Limbah pertanian air kelapa menjadi salah satu bahan baku paling baik. Tetapi, selama ini yang terbaik untuk membuat alkohol tetap dari tetes tebu,” kata Budi.

Budi juga memproduksi mikroorganisme yang dipakai untuk fermentasi bahan organik. Selama ini Budi juga mendidik generasi muda untuk banyak memproduksi bioetanol.

Cita-citanya di kemudian hari, akan terdapat pompa-pompa bahan bakar bioetanol di mana pun juga. Tidak sulit untuk mewujudkannya karena bahan bakunya tersedia melimpah di sekitar kita.

Bioetanol memiliki titik nyala rendah sekitar 13 derajat celsius sehingga sangat mudah terbakar. Untuk bahan baku bioetanol padat, Budi menggunakan kadar 80 persen. Kadar ini merupakan hasil penyulingan tahap pertama.

Alkohol memiliki titik didih 78 derajat celsius. Melalui pemanasan, alkohol mudah dipisahkan dengan kadar air yang memiliki titik didih sampai 100 derajat celsius.

”Pendistribusian bioetanol cair tergolong susah. Misalnya, setiap kali saya membawa hasil uji coba bioetanol ke Jakarta untuk dianalisis laboratorium, selalu saja ditahan di bandara keberangkatan di Solo,” kata Budi.

Sekarang, lanjut Budi, ketika membawa bioetanol padat dari Solo ke Jakarta tidak lagi terhambat di bandara. Tidak diizinkannya membawa bioetanol cair di dalam pesawat ini juga bagian dari inspirasi Budi untuk menciptakan bioetanol padat.

Pendistribusian bioetanol padat tidak membutuhkan wadah seperti bioetanol cair yang tidak boleh bocor. Kemasan bioetanol padat menjadi tidak merepotkan dibandingkan bioetanol cair. ”Ketika dipakai untuk bahan bakar kompor, bioetanol padat tidak mengeluarkan jelaga,” katanya.

Bagaimana bioetanol dipadatkan?

Limbah minyak bumi

Sebetulnya, bioetanol padat bukanlah diperoleh dari proses pemadatan atau pembekuan bioetanol cair. Bioetanol padat adalah penyertaan bahan bakar cair bioetanol ke dalam bahan padat residu minyak bumi yang dikenal sebagai stearit acid.

Stearit acid merupakan bahan baku parafin atau lilin. Stearit acid juga dikenal sebagai palm wax. Harga di pasaran Rp 17.000 sampai Rp 20.000 per kilogram.

”Cara membuatnya, padatan stearit acid dipanaskan terlebih dahulu sampai mencair,” ujar Budi.

Kemudian disiapkan setengah liter bioetanol untuk campuran stearit acid 1 kilogram. Hanya diaduk sebentar, kemudian campuran harus segera didinginkan.

Pendinginannya di wadah paralon dengan ukuran 3 dim. Ini supaya ketika dingin dan memadat kembali, akan membentuk tabung atau silinder paralon. ”Saya mempersiapkan potongan paralon 3 dim itu masing-masing sepanjang 30 sentimeter,” kata Budi.

Untuk 1 kilogram stearit acid dan setengah liter bioetanol tersebut, Budi memperoleh dua selongsong bioetanol padat. Ia kemudian memotongnya dengan panjang 2 sentimeter, hingga diperoleh 20 potong.

Ketika dinyalakan di kompor, satu potong bioetanol itu mampu bertahan menyala hingga dua jam. Budi membuat perbandingan dengan kompor minyak tanah. Dengan minyak tanah satu liter, ternyata juga mampu menyala selama dua jam.

Jika dihitung biaya produksinya, satu potong bioetanol padat berukuran 2 sentimeter itu sekitar Rp 4.000. Adapun minyak tanah Rp 7.000 per liter, ”Bioetanol padat ini jauh lebih murah,” kata Budi.

Budi telah menunjukkan hasil nyata yang bisa diuji kembali oleh para ahlinya. Bagi dia, inovasi tidak harus melalui riset dengan biaya tinggi. Inovasi yang sederhana dan mudah diterapkan justru lebih bernilai bagi masyarakat.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/24/04303550/bioetanol.padat.yang.prakt

Nawa Tunggal
Kompas

Kepemimpinan Terbelenggu

Oleh: Airlangga Pribadi


Salah satu kaidah utama dalam fiqh siyasah adalah tasharruful iman ’alarra’iyah manutun bil mashlahah, atau kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat. Demikian kuliah KH Abdurrahman Wahid tentang esensi politik lebih dari dua tahun sebelum Sang Kiai berpulang ke Rahmatullah.

Menurut Gus Dur, ada dua keberanian yang harus dimiliki pemimpin untuk mewujudkan prinsip ini. Pertama, seorang pemimpin harus mampu menjaga jarak dan tak terbelenggu motif-motif politik sempit dari elite politik maupun privat. Kedua, pemimpin harus berani memajukan kepentingan-kepentingan strategis bangsa apa pun risikonya. Dua hal ini penting agar pemimpin fokus pada kebijakan berorientasi kesejahteraan rakyat.

Dari evaluasi kepemimpinan politik di Indonesia selama tahun 2010, pada awal tahun 2010 segenap potensi politik yang terakumulasi memperlihatkan terbukanya kesempatan bagi hadirnya kepemimpinan yang kuat dan melayani publik. Kemenangan pasangan SBY-Boediono dalam pemilu presiden langsung satu putaran disertai kemenangan Partai Demokrat sebagai partai pengusung pada Pemilu Legislatif 2009 adalah bentuk kemenangan solid. Apalagi keberhasilan ini diikuti bergabungnya beberapa partai besar dalam koalisi pemerintahan. Dalam sistem presidensial yang bertujuan membangun kelembagaan eksekutif yang kuat dalam tatanan politik stabil tanpa determinasi transaksi politik yang bertele-tele, kepemimpinan SBY-Boediono punya potensi amat besar mencapai tujuan tersebut.

Selanjutnya yang hadir adalah antiklimaks politik. Setelah kasus Bank Century yang membuat koalisi pemerintah sempat terserak dan memunculkan tekanan opini publik yang masif kepada pemerintah, kita menyaksikan bergulirnya transaksi politik dan penyanderaan kepemimpinan nasional oleh kekuatan-kekuatan politik di internal koalisi. Skandal Century yang sempat membuat bumi politik Indonesia gonjang-ganjing berakhir dengan kompromi politik di internal koalisi pemerintahan dengan terbentuknya Sekretariat Gabungan (Setgab).

Fenomena Setgab yang terbentuk pascakasus Bank Century ini kontras dengan tujuan dari bekerjanya pemerintahan dalam sistem presidensial. Mengingat sistem presidensial yang mengidealkan terbangunnya pemerintahan kuat dan stabil bertujuan meminimalkan desakan kepentingan politik elite, susah meletakkan posisi Setgab dalam sistem presidensial.

Jika Setgab diletakkan pada wilayah eksekutif, akan muncul pertanyaan, siapa yang lebih berperan dalam mengendalikan roda pemerintahan: kabinet di bawah pimpinan presiden ataukah Setgab di bawah pimpinan ketua harian Aburizal Bakrie. Hal ini memunculkan pertanyaan turunan pula, masih kuatkah otoritas presiden dan hak prerogatif yang ia miliki ketika muncul lembaga Setgab yang tidak dipimpin oleh presiden. Padahal, dalam logika presidensial, bukankah wapres yang harusnya berwenang mengelola hal-hal signifikan dalam pemerintahan di samping presiden.

Sementara, jika Setgab diletakkan dalam ranah legislatif, bukankah fenomena Setgab menunjukkan tak efektifnya lobi-lobi di internal fraksi-fraksi koalisi pemerintahan hingga perlu dibangun Setgab. Selanjutnya, dengan terpilihnya Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai ketua harian—bukan Ketua DPP Partai Demokrat maupun ketua Fraksi Partai Demokrat—ini memperlihatkan Fraksi Partai Demokrat gagal mengonsolidasi dukungan fraksi-fraksi di internal koalisi di bawah kepemimpinannya.

Menilai fenomena politik ini, tidaklah berlebihan ketika muncul kesimpulan kepemimpinan nasional tengah terbelenggu oleh kepentingan elite-elite politik di internal koalisi pemerintahan.

Politik diplomasi bimbang

Harapan akan kepemimpinan yang kuat dan melayani rakyat juga kita harapkan muncul dalam politik diplomasi Indonesia dalam berhubungan dengan dunia internasional. Kita masih ingat rumusan indah Muhammad Hatta, ketika ia memunculkan tesis tentang politik bebas-aktif Indonesia sebagai mendayung di antara dua karang, atau gagasan Soekarno, yaitu internasionalisme tak dapat hidup subur kalau tak berakar di bumi nasionalisme.

Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Kedua prinsip ini warisan dari para pendiri Republik, pesan bagi politik diplomasi kita agar mampu memainkan peran yang elegan dan elok untuk memajukan kepentingan nasional dalam pergaulan di dunia internasional.

Namun, apa yang terjadi dalam interaksi kita dengan negeri jiran Malaysia dalam kasus perbatasan, kita terbelenggu logika diplomasi pemerintahan Malaysia yang menekankan isu perbatasan dan membuat kita lupa kepentingan nasional terkait nasib warga kita (aparat keamanan) yang mendapat perlakuan tidak terhormat di penjara Malaysia.

Selanjutnya terkait penistaan di luar batas perikemanusiaan yang dialami para buruh migran di Arab Saudi, pemerintah tidak kunjung melakukan tekanan diplomatik kepada Kerajaan Arab Saudi sebagai bentuk hadirnya kepemimpinan nasional untuk melindungi nasib warganya. Atas nama prinsip diplomasi ”thousand friends, zero enemies” kepemimpinan nasional kita terbelenggu dari tujuan luhur memerhatikan nasib warganya.

Belenggu kepentingan privat

Hadirnya kepemimpinan nasional yang berkomitmen pada kemaslahatan rakyat, di dalamnya hadir prasyarat kemampuan pemimpin untuk mengutamakan kebaikan bersama di atas kepentingan umum. Res-Publica (kehendak publik) harus lebih tinggi dari Res-Privata (kehendak privat). Menjelang akhir 2010, kita dikejutkan oleh langkah ekonomi-politik pemerintah menjual BUMN industri strategis PT Krakatau Steel. Apabila pemerintah menyadari kepemimpinan nasional bertanggung jawab mengawal kebaikan bersama di atas kepentingan privat, sudah seharusnya mereka berpikir seribu kali untuk menjual kepemilikan negara atas industri strategis ini kepada pihak swasta. Bukankah dengan menjual aset strategis dan menguntungkan ini, pilar industri nasional kita hancur dan keuntungan yang didistribusikan kepada rakyat berkurang drastis.

Berkaca pada beberapa peristiwa politik tahun ini, sungguh 2010 adalah tahun bencana politik bagi kita semua, ketika kepemimpinan Republik bertubi-tubi terbelenggu kepentingan elite politik maupun privat serta tak mampu mengidentifikasi dan bertindak mengawal kepentingan bersama warga Indonesia. Kepemimpinan nasional terbelenggu dalam konteks hubungan lembaga eksekutif dan legislatif, politik diplomasi internasional, dan arus gelombang pasang globalisasi.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/23/03071761/kepemimpinan..terbelenggu.


Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga

Pelajaran dari Vaclav Havel

Oleh: Mochtar Buchori


Vaclav Havel yang lahir pada 5 Oktober 1936 di Praha, Cekoslowakia, adalah seorang pemimpin politik Cekoslowakia—sekarang Republik Ceko—paling berpengaruh. Dikenal sebagai pendiri Charta 77, organisasi antikomunisme di Cekoslowakia, tahun 1989 dia menjadi Presiden Cekoslowakia setelah membimbing rakyat negara itu melawan rezim komunis Uni Soviet tanpa meneteskan darah. Revolusi Beludru, demikian gerakan ala Havel yang menandai kejatuhan komunisme di Cekoslowakia.

Setelah dua tahun ia menjadi Presiden Cekoslowakia, negara itu pecah menjadi dua secara damai pula: Republik Ceko dan Republik Slowakia. Havel tidak setuju dengan perpisahan ini dan kemudian turun sebagai presiden tahun 1992. Tahun 1993 ketika berdiri Republik Ceko, dia kembali terpilih sebagai presiden sampai tahun 2003 hingga beralih ke tangan Vaclav Klaus.

Sebelum menjadi pemimpin politik, Vaclav Havel sudah terkenal di kalangan rakyat sebagai penulis puisi, esai, dan seorang dramawan. Karya-karyanya banyak bicara tentang pengasingan sosial. Tentu saja ini juga menjelaskan perjalanannya ke dunia politik sebab lewat karya, ia menunjukkan sikap tegas: mengecam sistem komunis yang totaliter.

Sikap kepengarangan demikian membuatnya mengalami tekanan, bahkan dipaksa keluar dari dunia teater. Lalu dari sini pula ia merintis karier politik lewat Civic Forum atau gerakan rakyat. Gerakan tersebut merupakan tulang punggung Revolusi Cekoslowakia, sebuah gerakan tidak berdarah tadi. Sejarah diubah dengan cara tersembunyi dan halus antara lain lewat kongres, pesta, dan seni pertunjukan.

Membangkitkan spirit

Melihat alur hidupnya, secara singkat dapat dikatakan bahwa Havel tidak membangun kariernya sebagai politikus dan diplomat sejak awal. Namun, hidupnya memang dimulai dengan peminggiran yang menyakitkan. Ayahnya adalah pengusaha kaya yang hartanya diambil alih negara ketika rezim komunis berkuasa tahun 1948.

Di tengah belenggu politik rezim komunis, kreativitas kesastrawanan Havel tetap bergejolak membawa pesan-pesan perlawanan. Bahkan kelak, ketika menjadi pemimpin politik, Havel tetap merasa dirinya sebagai sastrawan.

Lalu, apa yang ia lihat dari Cekoslowakia dan bagaimana ia mengambil peran penting dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat? Menurut pendapat Havel, pendudukan Uni Soviet terhadap Cekoslowakia telah memorakporandakan susunan negara Republik Cekoslowakia sendiri.

Salah satu contohnya, Universitas Praha yang sebelum Perang Dunia Kedua terkenal sebagai salah satu universitas terbaik di Eropa menurun kualitasnya karena pendudukan tersebut. Kampus ini kehilangan integritas intelektualnya.

Keadaan ekonomi juga sangat merosot. Sistem produksi diubah oleh rezim komunis Cekoslowakia atas nama Pemerintah Uni Soviet. Akibatnya, persediaan bahan pokok makanan berubah dan tidak lagi mencukupi kebutuhan rakyat. Banyak kemunduran ekonomi lain yang diderita rakyat karena penjajahan politik ini.

Pada waktu itu, antara tahun 1960 dan 1990, tidak terbayangkan bahwa negara-negara yang dikuasai sistem komunis akan bangkit. Namun, ternyata terjadilah apa yang tidak terbayangkan. Dimulai dengan kebangkitan rakyat Cekoslowakia, seluruh Eropa Tengah pun bergerak hingga akhirnya komunis jatuh antara lain ditandai dengan fenomena diruntuhkannya Tembok Berlin pada 1991.

Saya tidak mengatakan semua perubahan itu terjadi karena Havel seorang. Namun, Havel telah berhasil melihat inti keadaan rakyat Cekoslowakia untuk kemudian menggulirkan gerakan rakyat atau Civic Forum dari sana. Menurut Havel, rakyat Cekoslowakia sudah kecapekan dan frustrasi. Kehidupan kebudayaan dan spiritual lumpuh. Maka, perjalanannya terutama ditekankan pada upaya membangkitkan identitas budaya dan spiritual rakyat.

Dalam kondisi rakyat demikian, Havel tidak membakar amarah yang berbuntut pada perlawanan fisik dan mungkin berdarah. Dalam sebuah pidatonya Havel mengatakan bahwa salah satu rahasianya: dia mengajak seluruh rakyat Cekoslowakia bertanggung jawab atas bencana—pendudukan Uni Soviet—yang telah terjadi.

Ia meyakinkan bahwa salahlah kalau rakyat hanya menumpahkan dosa kepada para pemimpin yang berkolaborasi dengan Uni Soviet. Seluruh bangsa harus memikul tanggung jawab atas situasi itu.

Dengan pendirian demikian, Havel terus mendorong rakyat agar integritasnya kembali tegak hingga kemampuan kultural mereka dapat dimanfaatkan secara penuh. Harus dicatat bahwa Havel dan kawan-kawan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengubah gerakan moral menjadi gerakan politik.

Keadaan kita

Saya pernah mendengar orang menyamakan perubahan Indonesia dari Orde Baru tahun 1998 mirip dengan proses yang terjadi di Cekoslowakia. Entah tepat atau tidak penyamaan ini, saya melihat hal lain yang justru memprihatinkan saat ini: setelah kita melewati masa-masa penuh ketertutupan dan tekanan.

Mungkin kita memang tidak separah keadaan rakyat Cekoslowakia pada waktu sebelum gerakan rakyat yang disokong para cendekiawan, seniman, dan pemuka agama itu berjalan. Akan tetapi, tidak terlalu meleset kalau dikatakan bahwa rakyat Indonesia saat ini pun sudah kecapekan. Suara-suara keputusasaan dapat kita lihat di mana-mana.

Empat kali kepemimpinan berganti—di mana yang terakhir sedang menjalani periode kedua—masih banyak hal mengecewakan rakyat. Secara umum pentas politik masih dipenuhi petualang egoistis, wajah dunia pendidikan masih memprihatinkan, penegakan hukum pun setali tiga uang.

Ada saat kita menaruh harap pada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi kemudian juga kecewa. Integritas Kejaksaan dan Polri sedang atau masih sangat diragukan oleh masyarakat. Banyak hal lain bisa disebut untuk menggambarkan betapa kuat alasan rakyat merasa capek.

Ironis, masyarakat kita berada dalam masa capek justru setelah perubahan besar terjadi dengan keruntuhan kekuasaan Soeharto. Namun, saya tidak ingin mengajak bangsa ini pesimistis.

Seperti Havel, saya juga ingin mengatakan bahwa kita semua harus mengambil tanggung jawab. Seraya menghayati dan mengambil peran yang bertanggung jawab di bidang masing-masing, patutlah kita tetap optimistis karena selalu muncul tanda-tanda baru yang memberikan harapan. Saya lihat bahwa banyak anak muda berprestasi di berbagai bidang dan menyadari kekeliruan para pemimpinnya.

Harapan itu juga ada pada rakyat yang tegas menghadapi sikap negara seperti dalam masalah keistimewaan Yogyakarta. Masih pula ada anak-anak muda di lembaga swadaya berbagai bidang yang secara konsisten berupaya memperbaiki keadaan tanpa bergantung pada pemerintah. Sikap rakyat banyak sebenarnya jelas dan terang, hanya para pemimpin yang tampaknya tak mampu atau enggan membacanya.

Lalu, di balik rasa capek menyaksikan berbagai polemik hukum dan politik tak berkesudahan serta masalah yang menyebabkan kesejahteraan rakyat makin sulit dicapai, rakyat kita juga bergembira atas prestasi tim sepak bola nasional di ajang Piala AFF seraya tetap kritis pada karut-marut organisasinya: PSSI.

Dan orang tua seperti saya, meski bukan sumber harapan, hanya akan berusaha tetap terjaga mengingatkan dan menjaga harapan itu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04251549/pelajaran.dari.vaclav.have


Mochtar Buchori Pengamat Pendidikan

Pertanian di Tengah Ancaman Bencana

Oleh: Hermas E Prabowo



Tahun 2010 adalah tahun yang sulit buat petani. Bencana alam datang bertubi-tubi, mulai dari letusan gunung berapi, banjir, gempa, hingga tsunami. Perubahan iklim yang ekstrem, yang membuat hujan turun hampir sepanjang tahun. Serangan hama dan penyakit tanaman pun bermunculan.

Dampaknya, produktivitas hampir semua tanaman pangan menurun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, produksi padi tahun ini tumbuh 2,46 persen dibandingkan 2009. Ini berarti 0,74 persen di bawah target 66,68 juta ton gabah kering giling.

Adapun jagung, dari target 19,8 juta ton, realisasi produksi hanya 17,8 juta ton. Produksi kedelai turun 7,13 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara produksi gula turun 400.000 ton dibandingkan tahun 2009.

Perubahan iklim, kata Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini, membuat sebagian tanaman sayuran busuk. Sementara petani bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, banyak yang gagal panen.

Kemerosotan produksi juga menimpa peternak sapi perah.

Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia Dedi Setiadi, produksi susu peternak tahun ini turun 100 ton per hari. ”Ini terjadi karena kualitas rumput kurang bagus akibat terlalu banyak kadar air,” ujarnya.

Kondisi serupa juga dialami pekebun kelapa sawit, kakao, dan karet.

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Sleman, Boyolali, Klaten, dan Magelang, sekitar 3.000 sapi perah dan potong mati terkena dampak erupsi Gunung Merapi.

Bangsa ini tak berharap terjadi bencana, tetapi bencana alam tak bisa dielakkan. Kini, terpulang pada upaya untuk meminimalisasi kerugian.

Desain besar

Sayangnya, kata Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria, pemerintah belum memiliki desain besar pembangunan pertanian di tengah bencana. Terkait bencana vulkanik, misalnya, hingga saat ini belum ada riset yang menunjukkan manfaat limbah Merapi bagi pertanian.

Sistem pengelolaan bencana pun belum ada.

Jepang telah membangun sistem pembuangan lahar dingin melalui jalur khusus langsung dibuang ke laut sehingga tidak merugikan masyarakat.

Sementara di negeri ini, sistem deteksi dini pun belum optimal. Andai ada mekanisme deteksi dini dan petunjuk pelaksanaan yang jelas dalam evakuasi ternak, seperti sapi dan kambing di Merapi, kematian 3.000 sapi bisa dihindarkan.

Sebenarnya pada beberapa sisi, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sudah dilakukan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, misalnya, telah menghasilkan benih padi varietas unggul yang tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas.

Namun, itu tidak cukup. Harus dipastikan, varietas yang dikembangkan itu benar-benar dimanfaatkan petani sebagai respons atas iklim yang berubah.

Kepala Balitbang Pertanian Kementerian Pertanian Haryono meyakini pengembangan pertanian ke depan bertumpu pada riset. ”Anggaran memadai. Alokasi dana riset di kementerian 10-12 persen,” katanya.

Namun, secara nasional anggaran riset relatif kecil, hanya 0,02 persen, dari total anggaran. Apalagi, ke depan tantangan tak hanya peningkatan produktivitas tanaman, tetapi juga bagaimana produktivitas tinggi bisa dicapai di tengah bencana dan gangguan iklim yang kian nyata.

Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan, untuk mendorong peningkatan produksi, pemerintah fokus pada pemanfaatan lahan pertanian marjinal, selain memberikan benih unggul spesifik lokasi, dan bantuan pupuk.

Penanganan dampak bencana tak bisa diseragamkan, tetapi spesifik berdasarkan jenis bencana dan komoditas yang akan dikembangkan.

Untuk tanaman musiman, misalnya, petani membutuhkan ketepatan ramalan iklim dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Informasi tentang iklim ini harus sampai kepada petani sehingga mereka bisa mengantisipasi sedari dini.

Adapun untuk padi, petani membutuhkan varietas yang tepat untuk kondisi setempat. Benih dari varietas itu harus tersedia kapan pun dibutuhkan.

Selain itu, menurut Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Nur Gaybita, dalam kondisi iklim basah seperti saat ini, petani padi butuh sarana pengeringan.

Padahal, menurut pengamat perberasan Husein Sawit, saat ini hanya 30 persen penggilingan di Indonesia yang punya sarana pengeringan modern.

Untuk jagung, tantangan terbesar adalah mendorong industri perbenihan jagung nasional menghasilkan benih yang tahan kondisi basah dan kering.

Sementara kedelai, butuh benih yang mampu mencapai produktivitas di atas 3 ton per hektar serta tahan hama dan penyakit.

Oleh karena itu, sudah saatnya desain besar pembangunan pertanian di tengah bencana dirancang. Kalau lima tahun lalu fokus program dan riset hanya meningkatkan produksi, kini sekaligus diarahkan pada peningkatan produktivitas dan adaptasi pada perubahan iklim.

Tantangan kian berat. Tetapi, bila semua pihak bekerja cerdas dan sungguh-sungguh, negeri ini pasti bisa membangun pertanian yang unggul, sekalipun didera bencana.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/24/03400053/pertanian.di.tengah.ancama

Hermas E Prabowo
Kompas

Bantuan dan Kemiskinan

Oleh: Wolfgang Fengler


Kita hidup dalam sebuah realitas baru berkaitan dengan dana bantuan. Lihatlah: dari tahun 1960 hingga 2008 negara kaya telah menyalurkan dana bantuan sebanyak 3,2 triliun dollar AS kepada negara miskin. Bantuan saat ini sudah merupakan industri dan nilainya 200 miliar dollar AS.

Meski terjadi perselisihan dan pergolakan, industri dana bantuan pada intinya tak banyak berubah dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dengan banyaknya tekanan baru pada sistem pemberian bantuan, kini perubahan fundamental mendesak dilakukan.

Delivering Aid Differently terbitan Brookings Institution Press (2010) dikeluarkan pada saat masa depan bantuan asing sangat diperdebatkan. Di satu sisi, para ahli bantuan asing, seperti Peter Singer dan Jeffrey Sachs. menilai bahwa anggaran bantuan luar negeri perlu diperbesar dan keduanya beranggapan bahwa kemiskinan ekstrem tetap ada karena kurangnya kemurahan hati para donor. Pesan mereka: dana bantuan itu sangat membantu, tapi jumlahnya masih kurang.

Di sisi lain, para kritikus, seperti William Easterly dan Dambisa Moyo, berargumentasi bahwa dengan melepaskan pemerintah sebagai penerima dari akuntabilitas kepada rakyatnya, maka bantuan telah menghambat kemajuan negara miskin. Di antara kedua pendapat yang bertolak belakang ini, praktisi bantuan dana berpendapat bahwa bantuan asing dapat menolong jika saja dilakukan dengan benar.

Lantas, bagaimana kita harus bersikap jika para ahli saja tak sependapat? Jika bantuan pembangunan benar-benar tak efektif, mengapa nilai bantuan meningkat begitu pesat dalam dasawarsa terakhir? Mengapa begitu banyak aktor baru yang kini turut menyalurkan dana bantuan, seperti Singapura yang bertekad menggunakan sumber dayanya secara efisien?

Tiga pergeseran

Meski semua pihak berargumen kuat, kami percaya bahwa perkembangan yang terjadi dalam dasawarsa terakhir telah mengubah tatanan industri dana bantuan secara drastis dan argumen lama sudah tak lagi relevan. Kini paradoks utama bantuan asing adalah meski arusnya meningkat dan pemainnya lebih banyak, kepentingannya relatif menurun di kebanyakan negara. Bentuk tatanan baru ini ditandai dengan tiga pergeseran penting.

Pertama, pertumbuhan yang kuat di banyak negara berkembang, termasuk di Afrika sejak tahun 2000 telah memberikan definisi baru bagi dana bantuan. Banyak negara, terutama di Asia Timur, yang telah memenuhi impian dari bantuan pembangunan, yakni membuat bantuan nyaris tak dibutuhkan lagi.

Selama bertahun-tahun, investasi langsung asing telah jauh melampaui bantuan asing. ”Dunia Ketiga” sebagai sebuah blok homogen negara-negara miskin di Selatan sudah tidak ada. Banyak negara yang sebelumnya miskin, terutama di Asia, kini lebih kaya dan juga menjadi negara donor.

Kedua, kancah donor telah berubah drastis dalam satu dasawarsa terakhir, dan tampaknya kecenderungan ini akan terus menguat pada tahun-tahun mendatang. Para pemain baru—LSM internasional, lembaga, yayasan, serta perusahaan swasta—mengemban proporsi volume bantuan yang semakin besar. Filantropi swasta dari negara maju ke negara berkembang kini mencapai 60 miliar dollar AS setiap tahunnya.

Para pemain baru ini menyalurkan bantuan dengan energi dan pendekatan baru. Meskipun volume bantuan meningkat, ukuran rata-rata suatu proyek telah menyusut, termasuk juga yang didanai pemain lama. Proyek-proyek kecil ini memang memberi manfaat bagi masyarakat terpencil, tapi juga meningkatkan fragmentasi bantuan yang melipatgandakan biaya administrasi dan mempersulit koordinasi donor oleh pemerintah penerima bantuan.

Pada tahun 2007, misalnya, donor resmi mengirimkan lebih dari 30.000 misi untuk mengelola proyek bantuan mereka. Akibat lemahnya pemantauan, proyek yang berhasil tak disadari keberadaannya dan tak dapat ditiru atau ditingkatkan skalanya.

Ketiga, inovasi—terutama di bidang teknologi informasi—telah mulai mengubah tatanan bantuan pembangunan. Transfer pengetahuan adalah sama pentingnya dengan bantuan keuangan, tapi penggabungan keduanya dapat menjadi sangat transformatif. Kami percaya bahwa informasi, yakni komoditas termahal pada abad ke-21, harus menjadi bagian inti dari model penyampaian bantuan.

Regulasi bantuan

Negara penerima bantuan dapat menyokong pendekatan satu atap dalam meregulasikan bantuan untuk mengurangi kebingungan dan inefisiensi. Pertukaran informasi satu atap ini akan memudahkan perbandingan keunggulan masing-masing provider dan menginformasikan apa yang dilakukan masing-masing pemain.

Koordinasi yang transparan dapat membantu meningkatkan skala proyek, membuat arus bantuan lebih terpola, membagi tenaga kerja secara lebih efisien, dan merendahkan biaya transaksi. Ini akan bermuara pada pembagian tenaga kerja yang lebih baik secara geografis dan turut meningkatkan persaingan antara lembaga-lembaga bantuan dan persaingan ini pun berpotensi mendorong efisiensi. Model pembangunan yang dinamis seperti ini akan lebih efektif untuk menghasilkan pengetahuan dan menyalurkannya ke dalam sistem nasional.

Cara membangun kapasitas pun perlu dipikirkan ulang. Model lama di mana ahli dari luar negeri didatangkan untuk memberikan petuah resep kebijakan harus diganti dengan pertukaran pengetahuan berkesinambungan dengan talenta lokal. Afrika juga bisa belajar dari mereka yang telah berhasil mengelola transisi ekonomi di Selatan.

Bantuan asing dapat membuahkan hasil, tetapi perlu disampaikan dengan cara yang berbeda demi menciptakan dampak yang langgeng pada abad ke-21. Sebuah konsensus baru dapat dibangun dengan keterbukaan informasi dan desentralisasi koordinasi. Jaringan koordinator bantuan dan badan-badan bantuan dapat berbagi informasi di seluruh dunia dengan sistem pengelolaan data yang seragam. Dengan perubahan-perubahan ini, dana bantuan dapat membantu masyarakat miskin dengan cara yang lebih efisien dan adil, dan akan mencapai hasil pembangunan yang lebih besar.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/27/04492388/bantuan.dan.kemiskinan


Wolfgang Fengler Ekonom Utama Bank Dunia

Partai dan Pemburu Rente

Oleh: AA GN Ari Dwipayana

Karakter pengelolaan dana partai 11 tahun terakhir belum sepenuhnya bergeser dari praktik pengelolaan dana partai di era Orde Baru.

Studi Cornelis Lay (1994) memberikan catatan menarik tentang karakter pengelolaan dana partai pada masa Orde Baru yang sepenuhnya bersifat personal. Kontrol atas dana, khususnya di Golkar, dilakukan segelintir orang di lingkaran kekuasaan. Para pengendali dana politik ini sama sekali lepas dari kendali kelembagaan partai. Kini, saat politik kepartaian telah bergeser radikal ke sistem multipartai-kompetitif, karakter yang serba personal itu belum sepenuhnya berubah.

Ini bisa dilihat dari beberapa indikasi. Pertama, karakter hubungan donatur dengan parpol dan kandidat masih bersifat personal dibandingkan institusional. Tak pernah ada pernyataan terbuka dari lembaga penyedia dana politik ke publik. Kontrol atas dana lebih banyak dilakukan kandidat atau lingkaran terdekat sehingga aktor yang dipercaya mengendalikan dana lebih didasarkan ikatan personal dengan elite di partai atau para kandidat.

Kedua, bendahara partai tak punya kontrol penuh atas dana yang masuk ke partai. Bendahara mungkin hanya punya akses pada dana yang bersumber dari bantuan resmi, baik dana subsidi kepada partai atau sumbangan kader partai. Selebihnya, dana politik dikendalikan secara personal oleh lingkaran kecil elite partai. Pengelolaannya sama sekali tak transparan, tak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik atau konstituen pendukung.

Ketiga, elite puncak partai secara personal jadi sumber dana tak terbatas sekaligus mengendalikan proses penyebaran dana politik. Dalam konteks ini, relasi kekuasaan yang terbangun dalam partai akan sebangun dengan struktur distribusi sumber dana. Elite partai yang mengontrol sumber dana akan memiliki posisi tawar lebih besar dalam mengendalikan arah dan posisi politik yang diambil oleh partai.

Belanja partai

Menguatnya ketergantungan pada para pengendali dana dalam partai tak bisa dilepaskan dari fenomena kian besarnya belanja partai 11 tahun terakhir. Belum bisa diperoleh data meyakinkan berkaitan berapa besar pengeluaran partai, baik untuk belanja pengorganisasian partai maupun belanja kampanye dalam pemilu pasca-Orde Baru. Bisa dibayangkan besarnya belanja untuk menggerakkan mesin partai di 33 provinsi dan 490-an kabupaten/ kota. Belum lagi ada momen-momen konsolidasi nasional yang harus dilakukan, seperti rapat kerja atau munas/kongres yang harus mendatangkan fungsionaris partai dari kabupaten/kota.

Walaupun belum bisa diketahui besarannya, belanja partai di Indonesia bisa dibagi jadi dua kategori besar. Pertama, belanja pengorganisasi partai, meliputi biaya yang dikeluarkan partai untuk membiayai aktivitas rutin. Aktivitas rutin meliputi rapat-rapat partai, biaya operasional kantor dan kesekretariatan partai, munas atau kongres partai, dan kunjungan fungsionaris partai ke cabang-cabang partai. Selain itu, ada pula aktivitas yang dilakukan pada momen-momen tertentu, tetapi diorganisasi partai secara kelembagaan, seperti ulang tahun partai, aksi sosial, bantuan bencana alam, dan lain-lain.

Kategori kedua, belanja kampanye yang merupakan bentuk pengeluaran partai dalam proses elektoral, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif. Dalam setiap prosesi elektoral, partai harus menghadapi suasana politik kian kompetitif. Bukan hanya jumlah partai kian banyak, proses pemilihan dilakukan dalam arena yang lebih sempit (distrik), bersifat multilayer dan diselenggarakan dengan cara lebih terbuka (free election).

Kian besarnya belanja partai satu dasawarsa terakhir menimbulkan implikasi luas pada kian meningkatnya upaya partai memperoleh dana. Setidaknya ada dua sumber utama penggalangan dana partai. Pertama, dana nonbudgeter, yang digalang kader-kader partai di eksekutif, legislatif, maupun BUMN. Studi Dodi Ambardi (2009) memperlihatkan, parpol yang saat pemilu bersaing, berikutnya memiliki perilaku yang sama, yakni muncul sebagai partai kartel. Kartelisasi terjadi ketika muncul situasi di mana parpol kian bergantung pada negara dalam hal memenuhi kebutuhan finansialnya.

Namun, sumber dana yang diperoleh dari negara digalang dalam bentuk dana nonbudgeter. Dana diperoleh dari beragam sumber dalam negara. Partai yang bisa mengakses tentu saja yang punya akses politik ke sumber dana negara, terutama posisi dalam kementerian, BUMN, dan parlemen. Jenis kekuasaan politik di tiga posisi memungkinkan kader partai menjalankan politik perburuan rente.

Sumber dana kedua berasal dari sumbangan para pemilik modal besar. Kehadiran kekuatan bisnis dalam proses pembiayaan partai sejalan rekonfigurasi dalam struktur ekonomi Indonesia ketika para konglomerat kroni pemegang kekuasaan monopoli di masa Orde Baru mulai runtuh. Sejak Pemilu 1999, hubungan antara kelompok bisnis dan politik jadi berubah, dari hubungan yang didominasi satu kekuatan politik jadi pola hubungan transaktif.

Dalam pola hubungan transaktif, kekuatan politik dan bisnis berada dalam proses tawar-menawar berdasarkan prinsip mutualisme. Kekuatan bisnis memiliki sumber dana, sedangkan kekuatan politik punya otoritas dan akses pada kebijakan. Dalam pola hubungan ini, titik temu keduanya akan terjadi di arena elektoral; baik pemilu legislatif, pilkada, maupun pilpres. Kebutuhan kekuatan politik untuk membiayai aktivitas elektoralnya akan dipenuhi oleh kekuatan bisnis dengan investasi politiknya.

Reformasi pembiayaan

Dengan demikian, salah satu agenda pembicaraan yang tak bisa ditunda adalah menyehatkan proses demokrasi lewat berbagai bentuk reformasi pembiayaan partai. Ada tiga area reformasi pembiayaan partai yang perlu didorong. Pertama, reformasi sumber pendanaan (party income).

Ini bukan perbincangan sederhana karena terkait pilihan model bagaimana partai akan didorong membiayai aktivitasnya: (1) apakah dilakukan secara mandiri lewat model iuran anggota atau aktivitas ekonomi yang berorientasi profit milik partai semacam badan usaha milik partai; ataukah, (2) dikembangkan model pembiayaan partai oleh dana publik sehingga nantinya setiap partai mendapat peningkatan dana subsidi dari negara dan wajib diaudit BPK; atau pilihan (3) dimungkinkan model donasi, terutama dari kelompok kepentingan dan kelompok bisnis, yang diikuti penerapan aturan main ketat dalam pembatasan sumbangan dan larangan untuk menerima sumbangan dari sumber tertentu.

Kedua, reformasi pengelolaan keuangan partai yang transparan dan akuntabel. Tema ini menyangkut perbincangan bagaimana pengelolaan partai harus dilakukan? Apa standar pengelolaan dana partai yang wajib diterapkan oleh semua partai? Bagaimana menerapkan aturan pemisahan rekening dana partai dengan dana kampanye? Siapa yang mengelola? Siapa yang harus mengontrol pengelolaan keuangan partai? Seperti apa kontrol dilakukan? Bagaimana memastikan berjalannya pertanggungjawaban kepada publik atas dana partai dan dana kampanye?

Reformasi yang ketiga, reformasi pengeluaran partai (party expenditure). Tema ini juga sangat penting karena terkait bagaimana membuat biaya politik jadi lebih murah? Apakah perlu ada pembatasan total jumlah pengeluaran/belanja kampanye bagi partai ataupun kandidat? Bagaimana mengatur biaya kampanye lewat media agar bisa lebih murah dan kompetitif? Perlukah diberikan subsidi negara dalam kampanye media sehingga setiap partai punya ruang sama dalam kampanye di media, tanpa ada dominasi partai yang punya basis finansial yang kuat? Mungkin juga sangat berhubungan dengan bagaimana meredesain sistem pemilu yang lebih sederhana.

Pertanyaan yang muncul dalam ketiga agenda reformasi pembiayaan merupakan pijakan melangkah ke arah demokrasi yang sehat dan menyejahterakan. Tanpa itu, kita selalu dihantui oleh aksi para pemburu rente.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/27/04483786/partai.dan.pemburu.rente


AA GN Ari Dwipayana Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UG

Berpolitik dengan Keyakinan

Oleh: Christofel Nalenan

“Berpolitik dengan Keyakinan” adalah kata-kata yang dikatakan oleh sosiolog Robertus Robert saat peluncuran buku mengenai Sri Mulyani pada November lalu. Kata-kata itu merasuk ke pemikiran saya dan membuat saya gelisah. Berpolitik dengan keyakinan itulah yang hilang pada demokrasi Indonesia saat ini. Demokrasi Indonesia menjadi hambar karena tidak ada keyakinan di dalamnya, demokrasi direduksi hanya sebagai persoalan transaksi politik, di mana pragmatisme menggantikan ideologi.

Memudarnya faktor keyakinan atau ideologi dari politik Indonesia bagi saya sangat mengkhawatirkan, karena Indonesia dibangun oleh orang-orang yang memiliki ideologi kuat, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan. Ideologi yang membuat para pendiri bangsa ini setia kepada cita-cita Indonesia merdeka, walau nyawa menjadi taruhannya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, saya yakin, tidak akan pernah terjadi jika para pemimpin Indonesia pada saat itu tidak mendasarkan diri pada keyakinan.

Pada 1945 tingkat melek huruf di Indonesia baru mencapai 5 persen, dan kepulauan Indonesia masih terbagi-bagi di bawah beberapa kerajaan. Jika saat itu dilakukan survei di seluruh Indonesia, bisa dipastikan masyarakat yang mendukung kemerdekaan Indonesia adalah minoritas. Tetapi para pemimpin Indonesia berpolitik berdasar keyakinan. Sehingga, walau terjadi sedikit perpecahan antara Bung Karno-Bung Hatta dengan kelompok pemuda yang dipimpin oleh Wikana dan Chaerul Saleh mengenai kapan proklamasi akan dibacakan, proklamasi kemerdekaan tetap terjadi. Para pemimpin Indonesia percaya dan yakin bahwa, walau memiliki banyak keterbatasan, Indonesia yang bersatu dan merdeka akan memiliki masa depan yang lebih baik dibanding jika masih dalam penjajahan.

Demokrasi saat ini, dengan memudarnya ideologi, menurut saya benar-benar berada di persimpangan. Demokrasi kehilangan roh penggeraknya karena orang-orang berpolitik hanya demi pragmatisme, yaitu apa yang akan didapat dalam jangka pendek untuk pribadi atau kelompok. Jika politik di Indonesia terus berjalan seperti ini, demokrasi sebagai sistem politik tidak akan berjalan, dan Indonesia bisa kembali melangkah ke sistem politik yang otoritarian seperti yang terjadi selama 32 tahun di bawah rezim militer Orde Baru.

Fenomena relawan SMI
Walau makin gelisah dengan jalannya demokrasi di Indonesia, karena semakin kuatnya politik transaksional di Indonesia, harapan bahwa demokrasi bisa menjadi lebih baik saya rasakan tetap ada. Dari pengamatan saya, saya menyaksikan pergerakan kelompok relawan untuk Sri Mulyani Indrawati, mantan Menteri Keuangan RI yang harus menyingkir karena praktek politik transaksional. Kelompok relawan ini berpolitik dengan keyakinan, awalnya dari rasa gelisah melihat Sri Mulyani diserang dari segala penjuru saat kasus Bank Century merebak. Serangan tidak hanya berasal dari para politikus, tapi juga dari media arus utama.

Kegelisahan mereka tuangkan dalam diskusi di sosial media, seperti Facebook dan Twitter. Dari diskusi tersebut mereka menjadi yakin bahwa Sri Mulyani tidak bersalah, dan mereka mulai berkumpul, membuat organisasi, dan bergerak mendukung Sri Mulyani. Dukungan sendiri tidak hanya ditujukan pada Sri Mulyani secara pribadi, tetapi juga pada akal sehat publik yang sudah dijungkirbalikkan oleh propaganda media arus utama.

Setelah Sri Mulyani tersingkir, gerakan mereka justru semakin kuat, mereka menjadi relawan bagi Sri Mulyani menuju kursi Presiden Indonesia pada 2014. Banyak orang berkata sinis terhadap gerakan para relawan ini, dengan mengatakan Sri Mulyani tidak dikenal publik dan itu dibuktikan dengan tidak masuknya nama Sri Mulyani dalam survei-survei politik yang menguji popularitas tokoh-tokoh masyarakat. Tetapi gerakan relawan untuk Sri Mulyani tetap berjalan dan melakukan aktivitas, mereka setiap saat mengadakan diskusi, menerbitkan buku, mencetak atribut, dan lain sebagainya. Semua itu mereka lakukan tanpa pamrih, bahkan sering kali para relawan harus berkorban merogoh kocek sendiri untuk melakukan kegiatan.

Bagaimana kerelaan itu dapat mereka lakukan? Hal itu terjadi karena mereka berpolitik dengan keyakinan, bukan karena pragmatisme, apalagi survei politik yang acap kali memecah warga negara menjadi mayoritas dan minoritas. Para relawan hanya mendasarkan diri pada keyakinan bahwa Sri Mulyani adalah sosok yang tegas, memiliki integritas, dan anti terhadap praktek-praktek curang saat menjadi pejabat negara.

Sosok seperti Sri Mulyani-lah yang menurut mereka layak menjadi Presiden Indonesia untuk 2014. Jangan tanya mereka soal apakah Sri Mulyani bersedia menjadi presiden atau apa partai politik yang akan mendukung Sri Mulyani pada 2014. Bagi para relawan, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah faktor yang kesekian, faktor utama bagi mereka adalah bagaimana dukungan mereka terhadap Sri Mulyani bisa menyalakan akal sehat publik yang semakin redup oleh praktek politik transaksional.

Harapan saya, ke depannya, gerakan relawan Sri Mulyani yang berpolitik demi keyakinan akan semakin kuat, dan juga akan diikuti relawan-relawan dari tokoh-tokoh lain yang juga berpolitik dengan keyakinan, karena demokrasi butuh mereka sebagai roh penggerak. Tanpa orang-orang yang berpolitik dengan keyakinan, saya yakin demokrasi di era reformasi ini akan segera menjadi sejarah, seperti yang terjadi dengan praktek demokrasi Indonesia pada tahun 1950-1957 di era parlementer.

URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/12/24/Opini/krn.20101224.221975

Christofel Nalenan
PENELITI DI KAMAR RISET PUBLIK

Ketika Hukum Mencederai Keadilan

Oleh: Amin Mudzakkir

Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak selalu seiring sejalan. Di negeri ini hukum dianggap sering kali mencederai keadilan. Tidak hanya orang baik yang berlindung di balik hukum, tetapi juga orang jahat.

Korupsi adalah perbuatan jahat, tetapi dalam hukum ia bisa menjadi legal. Sebaliknya, memberantas korupsi adalah perbuatan baik, tetapi dalam hukum ia bisa menjadi ilegal karena hukum bisa menjamin legalitas properti para koruptor.

Pada satu sisi kita mengakui adanya hukum sebagai legalitas, tetapi pada sisi yang lain kita juga mempertanyakan legalitas tersebut dalam hubungannya dengan hukum sebagai nilai.

Di sini kita melihat banyak paradoks. Berpijak pada argumen-argumen tentang keadilan yang disampaikan Andre Comte-Sponville dalam bukunya, A Small Treatise on the Great Virtue terbitan Henry Holt and Company, New York (2001), artikel ini akan melihat bagaimana paradoks antara hukum dan keadilan itu terjadi, sebuah isu yang telah menarik perhatian para filsuf sejak zaman Yunani kuno hingga zaman kita sekarang.

Keadilan yang disahkan

Sebelum masuk ke dalam diskusi lebih lanjut, ada baiknya kita jernihkan terlebih dulu batasan antara hukum dan keadilan. Kalau mengikuti argumen-argumen Andre Comte-Sponville, cukup jelas dikemukakan bahwa hukum adalah keadilan yang dilegalkan, artinya disahkan, oleh institusi politik yang berwenang untuk melakukan itu.

Pada titik ini kita akan berhubungan dengan negara, sebuah institusi modern yang mengadakan kontrak sosial dengan warganya untuk menjalankan hukum. Dalam diskursus keadilan, Sponville terlihat menekankan sisi institusi.

Istilah kontrak sosial sendiri bisa ditemukan dalam Spinoza, Locke, Rousseau, Kant, hingga Rawls. Dari sekian nama itu, menarik untuk melihat pendapat Kant. Menurut Kant, kontrak sosial adalah ”aturan dan bukan asal-usul konstitusi negara, bukan prinsip fondasinya, tetapi prinsip administrasinya”. Oleh karena itu, yang ditekankan oleh Kant dalam teori kontrak sosialnya adalah apa yang seharusnya dilakukan, sebuah panggilan etis, bukan pada pertanyaan-pertanyaan intelektual mengenai apa itu negara. Dengan ungkapan lain bisa dikatakan bahwa Kant menaungi teori kontrak sosialnya dengan pandangan filsafatnya mengenai rasio praktis, yaitu kemampuan akal budi manusia untuk mengetahui baik dan buruknya suatu tindakan.

Berbasis pada Kant, Rawls mengembangkan pandangannya tentang keadilan. Berbeda dengan hukum sebagai legalitas, Rawls berpendapat bahwa keadilan terletak pada kesadaran manusia dalam hal kejujuran. Untuk mencapai itu, manusia harus berangkat dari posisi aslinya di tengah masyarakat—Rawl menyebut posisi itu sebagai veil of ignorance—agar terhindar dari kepentingan diri sendiri, posisi kelas, atau status sosialnya. Pendapat Kant ini hampir sama dengan Pascal yang menyatakan bahwa diri itu selalu tidak adil, selalu menyimpan kepentingan.

Dari pendapat-pendapat tadi, bisa disimpulkan sementara mengenai batasan antara hukum dan keadilan, meski dalam praktiknya kedua hal tersebut sulit dipisahkan. Keadilan adalah sebuah ide kebajikan yang luhur, pembicaraan tentangnya lebih dekat dengan diskursus etis atau moral.

Sementara itu, pembicaraan tentang hukum lebih dekat dengan diskursus politis, tentang kekuasaan, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur diri dan posisi diri dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, keadilan dalam hukum adalah sebuah permintaan sosial, diputuskan oleh suara terbanyak, bukan lagi sebagai sebuah kebajikan.

Positivisme yudisial

Oleh karena diputuskan oleh suara terbanyak, hukum bisa jadi tidak memenuhi rasa keadilan semua orang. Di sini kita akan berhadapan dengan diskursus positivisme yudisial. Pertanyaannya, bagaimana keadilan bisa terpenuhi jika hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menempatkan hukum di atas pandangan politik dan moralnya?

Menanggapi pertanyaan seperti ini, Pascal secara sinis pernah melontarkan pendapat, ”keadilan adalah apa yang didirikan; dan semua hukum yang didirikan akan dianggap adil tanpa pengujian, sejak mereka didirikan”.

Dalam praktiknya, hukum sebagai legalitas lebih penting daripada hukum sebagai nilai. Ini terkait dengan kebutuhan kita terhadap institusi politik, katakanlah sebuah republik. Tanpa adanya hukum, sulit membayangkan sebuah republik bisa ditegakkan.

Dalam perkembangannya, sebuah republik akan menciptakan sistem yudisial yang menjadi otoritas dalam sistem hukum. Kata Hobbes, autocritas, non veritas, facit legem, otoritas, bukan kebenaran, membuat hukum. Ini adalah sebuah kenyataan demokrasi, hukum dibuat oleh orang-orang dengan suara terbanyak, bukan orang-orang adil atau orang-orang pandai. Dalam hal ini, demokrasi tidak bisa menjembatani problem dalam kenyataan itu.

Untuk mengatasi problem di atas, barangkali berguna menengok konsep Rousseau tentang keinginan umum meskipun itu meragukan. Tidak ada yang menjamin bahwa keinginan umum selalu adil. Jadi, validitasnya tak bisa tergantung pada menjadi adilnya, meskipun satu pendapat mengatakan bahwa keadilan adalah keinginan umum. Karena sirkularitas definisinya, konsep keinginan umum seperti tidak berguna atau bahkan tidak bermakna. Singkat kata, hukum adalah hukum, apakah ia adil atau tidak.

Lalu, jika hukum sebagai legalitas mempunyai banyak kelemahan, apakah keadilan tidak lepas dari hal yang sama? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena, sebagai sebuah diskursus, keadilan juga mempunyai banyak sisi dan interpretasi. Oleh karena itu, Pascal mengatakan bahwa keadilan adalah subyek pertengkaran, bukan sesuatu yang disepakati taken for granted oleh semua orang. Lebih lanjut Pascal bahkan menolak memberikan kekuatan pada keadilan karena kekuatan dalam dirinya sendiri adil. Yang kita perlukan, kata Pascal, bukan membuat adil menjadi kuat, tetapi membuat apa yang kuat menjadi adil.

Pertanyaan lebih lanjut, siapa orang yang adil itu? Apakah individu yang patuh pada hukum adalah orang yang adil? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak mudah. Sejak hukum dikatakan tidak sama dengan keadilan, orang yang patuh pada hukum tidak bisa dikatakan orang yang adil. Akan tetapi, jika mengikuti Kant, jawabannya barangkali telah ditemukan: orang yang adil adalah orang yang patuh pada hukum moral.

Masalahnya, jika hukum moral itu benar-benar ada dan jika kita mengetahui itu apa, kita akan kurang membutuhkan orang adil karena setiap orang adil akan berbeda pendapat terhadap apa yang disebut sebagai keadilan. Kant, misalnya, setuju hukuman mati, sebuah posisi yang ditarik dari pengertiannya mengenai keadilan. Akan tetapi, kita juga tahu bahwa banyak orang yang tidak setuju dengan hukuman mati itu, dan mereka adalah orang yang adil.

Melihat perdebatan di atas, cukup terang bagi kita sekarang bahwa hukum dan keadilan bukan diskursus yang mudah dipecahkan, jika yang dimaksud dengan pemecahan di sini adalah jawaban-jawaban praktis untuk merekonsiliasi keduanya dalam suatu tindakan. Bagi Andre Comte-Sponville, keadilan tidak lahir dari kehampaan, tetapi bagian dari sejarah. Keadilan adalah soal kebudayaan, seperti juga hukum, sehingga baik keadilan maupun hukum adalah bagian dari masyarakat.

Sampai di sini persoalan belum selesai karena kita sebenarnya baru saja memasuki wilayah lain: politik. Dalam wilayah ini persoalan bisa jadi jauh lebih rumit, tetapi itulah tantangannya. Mengutip Pascal, ”Kita harus mengombinasikan keadilan dan kekuatan” dan itu adalah tujuan dari politik.

Tercederai

Kiranya berguna bagi kita mengambil inspirasi dari perdebatan di atas untuk merefleksikan apa yang sedang terjadi dengan kondisi hukum dan keadilan di Indonesia sekarang. Kasus Gayus, misalnya, beserta persoalan mafia pajak yang mengitarinya telah menyita perhatian kita semua.

Rasa keadilan rasanya tercederai, terutama setelah diketahui bahwa hukum dalam praktiknya tidak lebih dari permainan orang-orang yang mempunyai uang dan kekuatan. Akan tetapi, bagaimanapun juga kita tidak bisa menolak keberadaan hukum sebagai legalitas karena tanpa itu, kita akan meraba-raba dalam gelap mencari keadilan.

Yang perlu kita lakukan adalah menekan terus-menerus institusi politik agar bekerja serius menuntaskan kasus-kasus hukum tersebut. Mengikuti pernyataan Alain yang dikutip oleh Andre Comte-Sponville dalam bukunya, ”Keadilan akan terwujud jika bertindak dengan keadilan”

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/28/04254811/ketika.hukum.mencederai.ke

.

Amin Mudzakkir Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI

Konsolidasi Demokrasi Indonesia

Oleh: Juwono Sudarsono



Setiap akhir tahun berbagai kalangan di dunia menerbitkan survei kemajuan demokrasi di beberapa negara maju maupun negara berkembang.


Masing-masing survei membuat kajian berdasarkan selera ukuran dan indikator masing-masing.Ada yang mengedepankan “keterbukaan politik” seperti kemerdekaan pers, kebebasan berserikat, penghormatan pada golongan minoritas (suku, agama, dan ras). Ada juga yang mendasarkan pada besaran “golongan menengah” masingmasing negara. Survei bisnis dan ekonomi umumnya mengacu pada kemampuan pengelolaan utang publik maupun utang swasta serta kemampuan pengendalian fiskal negara. Indonesia telah lama disebut sebagai “negara demokrasi terbesar ketiga”, setelah India dan Amerika Serikat, sedikitnya menurut hasil Bali Democracy Forum yang diselenggarakan 9-10 Desember 2010.Namun,beberapa kalangan mempertanyakan tolok ukur yang dipakai untuk pemeringkatan seperti itu.

Terutama kalangan aktivis yang menekankan pentingnya demokrasi ekonomi,sosial,dan budaya sebagai sandaran matra demokrasi dalam arti luas. Karena tolok ukur yang berbeda, muncul berbagai interpretasi tentang makna keberhasilan demokrasi di negara-negara seperti India, China,Brasil,dan Indonesia. *** Kalau ditinjau dari tolok ukur hak asasi manusia (HAM) dalam lima matra yang utuh (kebebasan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), tidak ada negara maju maupun berkembang yang sempurna menjalankan demokrasi. Di India dan China, misalnya, yang masing-masing berpenduduk 1,1 dan 1,3 miliar manusia, hanya 300-350 juta orang yang memenuhi tolok ukur HAM secara utuh.

Jumlah orang India yang mampu secara ekonomi dan sosial menikmati “demokrasi ” hanyalah 300 juta yang menduduki “kelas menengah” India dengan pendapatan per kapita antara USD3.000-6.000 per tahun. Selebihnya, sekitar 700 juta manusia, belum terjangkau hak ekonomi, sosial, dan budaya. India pemeringkat pertama demokrasi dunia kalau diukur hanya dari 2 matra HAM,yaitu kebebasan sipil dan kebebasan politik.Dari segi hak ekonomi, sosial, dan budaya, lebih dari 700 orang India terjerat dalam kenistaan yang menyedihkan.Demokrasi “gaya Westminster” tidak bersendikan keadilan dan kewajaran sosial, ekonomi, dan budaya. “Kelas menengah” di China juga hanya berkisar 300- 350 juta orang yang sudah menikmati “kenaikan kelas” ekonomi selama 30 tahun kemajuan pesat China sejak 1979.

Tetapi, rakyat China yang di pedalaman dan hidup jauh dari pusatpusat ekonomi China di sepanjang kota-kota pantai selatan masih bergelut dengan perusakan lingkungan, penurunan kesehatan,dan kemiskinan yang amat mencengkam. Mukjizat“Konsensus Beijing” tidak bersendikan lima matra HAM yang utuh. Mukjizat Brasil yang kerap dipuja- puja kalangan media negara maju juga tidak kalah memprihatinkan. Ketimpangan ekonomi antara kaya dan miskin,antara kota industri dan hutan di pedalaman, pembunuhan terhadap kaum miskin kota.

Di sejumlah negara Eropa Barat sekarang sedang dikaji sampai di mana demokrasi Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia bisa luput dari menjeratnya utang negara yang dialami Yunani, Spanyol, dan Irlandia.Pengelolaan uang negara jadi ukuran penting demokrasi yang sejati karena jaminan sosial ekonomi dari negara terancam beban pengetatan fiskal. Di Amerika Serikat (AS), jawara demokrasi negara paling kaya di dunia,utang negaranya bahkan sudah mencapai 66% dari pendapat domestik bruto. Dana talangan pemerintah sebesar USD850 miliar lebih dipakai dan dinikmati oleh 13 bank swasta terbesar yang asetnya mencapai USD10,5 triliun.

AS mungkin demokrasi politik kedua terbesar di dunia; tetapi AS adalah suatu oligarki perbankan/keuangan di Wall Street, yang juga menguasai komisi-komisi ekonomi dan keuangan di DPR dan Senat AS. Reformasi layanan kesehatan untuk 30 juta orang AS tersendat oleh DPR dan Senat Amerika yang dikuasai lobi-lobi industri obat dan kesehatan yang amat kuat.

*** Terlepas dari debat demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mancanegara, bagaimana demokrasi Indonesia? Jika ditinjau dari segi lima matra HAM secara utuh (sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya), potret demokrasi Indonesia tidak terlalu jelek, tetapi juga belum terlalu bagus. Dari 237 juta orang Indonesia, hanya sekitar 45- 50 juta “kelas menengah Indonesia” yang hidup layak dalam arti memiliki hunian layak untuk manusia, akses pada layanan publik yang memadai, cukup sandang pangan, serta terjangkau listrik dan air minum.Kelas menengah Indonesia ini pendapatannya sekitar USD3.000- 7.500 setahun. Umumnya orang profesional atau semiprofesional di kota-kota besar (Jakarta, Surabaya,Medan,Makassar, Semarang,Palembang, dan sebagian kota madya yang memiliki infrastruktur yang memadai).

Dalam pertemuan Kabinet Indonesia Bersatu II dan para gubernur se-Indonesia pada April 2010, Presiden SBY menekankan pentingnya kebangkitan kelas menengah Indonesia untuk ”memajukan kualitas demokrasi Indonesia.” Kelas menengah Indonesia ini adalah andalan memajukan hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara utuh dan tak terpisahkan. Mereka kini diandalkan sebagai motor penggerak Indonesia yang lebih adil dan sejahtera dari Sabang sampai Merauke.Kelas menengah yang 45-50 juta inilah yang menjadi sasaran bidik industri media massa hiburan, televisi,dan aneka ragam “talkshow”. Mereka orang-orang mapan yang naik ke dunia gemerlap “di atas garis kenikmatan”.

Mereka harus diingatkan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia ke bawah dengan mengurangi ketimpangan ekonomi,menutup celah sosial dan budaya yang masih mencengkam lebih dari separuh penduduk Indonesia, termasuk 57 juta kelompok usia 15-35 tahun yang rentan kerawanan sosial politik. Kelas menengah Indonesia ini harus menghindar diri dari “perangkap negara menengah” di mana anggota masyarakat yang telah naik ke kelas menengah menjadi puas diri dan tidak peduli pada mereka yang masih tertinggal.

Dan kelas menengah Indonesia harus berlomba untuk lebih baik daripada kelas menengah India,China,Brasil,bahkan kelas menengah AS sekalipun. Jika berhasil, barulah kita pantas menyatakan diri sebagai negara demokrasi yang berkualitas.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/372138/



Juwono Sudarsono
Mantan Menneg LH, Mendikbud, Menhan

Lowongan Asisten Laporan (Asl)

PT Herfinta Farm & Plant


Perusahaan yang bergerak di bidang Perkebunan & Pengolahan Kelapa Sawit membutuhkan tenaga kerja ahli dan professional untuk ditempatkan pada posisi :

Asisten Laporan (Asl)
(Sumatera Utara - Medan)

Requirements:
  • Pria, berusia maks 40 tahun
  • Pendidikan Min S1 Pertanian
  • Lebih disukai yang belum berkeluarga
  • Mampu mengoperasikan komputer dengan menggunakan Microsoft Office
  • Berpengalaman dibidangnya min 3 tahun
  • Jujur, disiplin, dan bertanggung jawab
  • Memiliki jiwa kepemimpinan
  • Berbadan sehat Jasmani dan rohani, bebas dari penyakit bawaan kronis
  • Bersedia di tempatkan diluar kota dan siap melakukan perjalanan Dinas
  • Siap bekerja di bawah tekanan

Surat lamaran lengkap dengan foto copy ijazah terakhir, CV, foto copy KTP, pasphoto terbaru 4x6 2 lembar, foto copy SIM A (7) & referensi kerja dikirim ke :

Jl. Kapt. Maulana Lubis No. 9, Medan

Lowongan Asisten Kepala

PT Fajar Baizury & Brothers



Kesempatan Berkarir

PT. Fajar Baizury & Brothers, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, mencari professional yang ahli dan berpengalaman di bidangnya, memiliki integritas yang kuat serta mempunyai motivasi yang tinggi dalam berprestasi untuk menempati beberapa posisi:

Asisten Kepala
(Aceh - NAGAN RAYA)

Responsibilities:
Membantu Administratur Kebun dalam mengawasi kegiatan tanaman baik dalam
pemakaian material hingga pencapaian target produksi

Requirements:
  • Pria
  • Usia maksimal 40 tahun
  • Minimal D3/S1 Agronomi
  • Pengalaman minimal 4 tahun di posisi yang sama
  • Telah dan atau sedang melakukan pekerjaan pembukaan lahan serta penanaman kelapa sawit dengan luas kebun > 1.000 Ha per tahun atau secara komulatif mencapai >1.500 Ha
  • Memahami manajemen operasional perkebunan dan sumber daya manusia;
  • Dapat bekerja dalam tim dan merupakan personel yang berkarakter lapangan
  • Pernah mengelola area bibitan dapat dijadikan sebagai nilai tambah


    Kirimkan CV , Surat Lamaran disertai dengan pas foto terbaru ke alamat e-mail berikut ini:


recruitment@fbg.co.id or melati@fbg.co.id

Lowongan Asisten Lapangan

PT Triputra Agro Persada



Triputra Agro Persada merupakan salah satu anak perusahaan dari Triputra Group yang fokus dibidang perkebunan kelapa sawit dan karet berskala nasional. Saat ini Triputra Agro Persada sudah memiliki luas lahan (landbank) seluas 200.000 ha dan beberapa pabrik pengolahan CPO (minyak kelapa sawit mentah). Lahan yang dikembangkan tersebar di wilayah Propinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat yang didukung oleh 6.000 karyawan. Sehubungan dengan program ekspansi dan perkembangan yang pesat tersebut, maka kami mengajak para tenaga-tenaga muda berpotensi dan berorientasi masa depan untuk berkembang bersama kami sebagai:

Asisten Lapangan
(Kalimantan)


Requirements:
  • Pendidikan Minimal S1.
  • Usia maksimal 30 tahun.
  • Memiliki pengalaman di posisi yang sama (Asisten Lapangan) di perusahaan perkebunan kelapa sawit min. 2 tahun.
  • Memiliki kemampuan komunikasi, kepemimpinan, dan interpersonal yang baik.
  • Bersedia Ditempatkan di Perkebunan yang Tersebar di Kalimantan


    Kirimkan CV Lengkap & Foto anda ke :

hr.recruitment@tap-agri.com
visit our website www.tap-agri.com

TRIPUTRA AGRO PERSADA GROUP
RECRUITMENT & DEVELOPMENT DEPARTMENT
The East Building 23th Floor
Lingkar Mega Kuningan Street Kav. E 3.2 No.1
Kuningan - South Jakarta 12950

Lowongan Tea Buyer Trainee

L Elink Schuurman (Three) B.V


L. Elink Schuurman was founded in 1796 in Rotterdam, has been operating in Indonesia for over 30 years, and not so long ago we operate our newest office in Sri Lanka. We are one of the largest buyer/exporter Indonesian tea and currently looking for a potential individual to join our team.
Tea Buyer Trainee
(Banten)

Requirements:
  • Male
  • 25 years of age
  • S1 degree (Agricultural Engineering more preferable)
  • Fluent in English is a must


    Please send your application letter and CV/Resume + current photo in no more than 2 pages to:


Ruko CBD - BIDEX, G-17 3rd fl. BSD City
Jl. Pahlawan Seribu, Serpong
Tangerang Selatan - 15321

Rabu, 15 Desember 2010

LOWONGAN ASISTEN KEBUN - AKB

SALIM IVOMAS PRATAMA, PT



BERGABUNGLAH BERSAMA KAMI



Perusahaan kami yang tergabung dalam Indofood-Group, bergerak dalam bidang Agribisnis berupa perkebunan, pengolahan kelapa sawit, serta memproduksi dan memasarkan minyak goreng, margarin dan lemak nabati, membutuhkan tenaga-tenaga yang ulet, dinamis dan menyukai tantangan, untuk bergabung bersama kami dengan posisi :


ASISTEN KEBUN - AKB
Penempatan : Sumatera / Kalimantan


Persyaratan :

  • Pria, usia max. 28 tahun
  • Lulus Ujian Negara / PTS dengan IPK min. 2,75
  • Pendidikan : D-3/S-1 Pertanian (Agronomi/ Budidaya Perkebunan, Ilmu Tanah, Ilmu
  • Hama & Penyakit Tanaman, Sosek. Pertanian)
  • Memiliki kemampuan memimpin
  • Memiliki daya juang yang tinggi dan good interpersonal skills

Jika anda merasa sesuai dengan kualifikasi di atas, silahkan kirimkan lamaran lengkap anda
Ke alamat berikut :

Human Resources Department
PT. Salim Ivomas Pratama
Sudirman Plaza, Indofood Tower Lt. 11
Jl. Jend. Sudirman Kav. 76-78
Jakarta 12910
Atau melalui email ke :
HR.recruitment@simp.co.id


(Mohon menuliskan kode lowongan di kanan atas amplop atau sebagai judul/ subyek email anda)

Senin, 13 Desember 2010

Dasar Pembentukan Bangsa

Oleh: Daoed Joesoef


Polemik tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka pembentukan undang-undang yang (akan) mengatur keistimewaan tersebut mudah-mudahan mengingatkan kita pada suatu masalah krusial yang selama ini tidak kita sadari, yaitu kerapuhan dari dasar pembentukan Indonesia, bangsa kita.

Rapuh karena entitas nasional ini mencakup, bahkan membawahi, puluhan entitas etnik yang sudah lama dan lebih dahulu menempati wilayah nasional. Mereka bukanlah kelompok-kelompok liar, rata-rata punya bahasa sendiri, berseni budaya relatif mapan, serta mengenal pemerintahan yang ditopang oleh seperangkat aturan hidup bersama yang dipatuhi, yang oleh Profesor Van Vollenhoven disebut adatrecht atau hukum adat.

Di antara mereka bahkan ada yang sudah tidak lagi berbudaya lisan, sudah menciptakan huruf, lalu menghasilkan khazanah buah pikiran tertulis, berupa sekaligus pengetahuan ekstragenetik dan ekstrasomatik. Ada karya tulis, disebut Serat Centhini, yang memuat aneka ragam pengetahuan, dari pembuatan makanan dan minuman, obat-obatan, peralatan, hingga kehidupan seksual. Begitu rupa sampai Sir Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, menyebutnya The Javanese Encyclopedia.

Dengan kata lain, Indonesia, selaku bangsa, entitas nasional, berfundamen rapuh karena punya tidak hanya satu sejarah tunggal, tetapi beberapa kemungkinan sejarah pendahulu yang setiap saat bisa reaktif oleh situasi dan kondisi tertentu.

Bung Karno yang menyadari sepenuhnya kehadiran aneka ragam kelompok etnik tersebut berusaha mencari suatu dasar yang ideal dan dapat diterima untuk pembentukan bangsa yang dimimpikannya. Mengingat nama ”Indonesia” lahir dari otak ilmuwan, maka dia mencari dasar di komunitas ilmiah pula.

Dia menemukan ide pembentukan bangsa yang dipaparkan filosof Ernest Renan di Amphitheatre Sorbonne, 11 Maret 1882 pukul 14.00. Paparan ilmiah itu berjudul ”Qu’est qu’une nation?” (apakah yang dimaksudkan dengan bangsa?). Inti jawaban pertanyaan itu adalah La nation c’est la volonte d’etre ensemble (bangsa adalah tekad untuk hidup bersama).

Yang tersirat dan tersurat

Namun, setelah ide ini diambil, baik Bung Karno maupun kita semua sepeninggal dia, mengabaikan begitu saja apa yang ”tersirat” di balik apa yang ”tersurat” dari kalimat ”bangsa adalah tekad untuk hidup bersama”. Pengabaian inilah yang merupakan sebab kedua dari kerapuhan dasar pembentukan bangsa kita. Yang tersirat itu adalah bahwa pengertian ”bangsa” bukanlah suatu pengertian deskriptif. Suatu bangsa bukanlah satu fakta. Ia menggambarkan status nascendi yang permanen, abadi. Dari naturnya ia selalu in potentia, tidak pernah in actu.

Jadi, istilah ”bangsa” bukan menyatakan keadaan, tetapi suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha. Berarti kita harus terus-menerus berusaha mengukuhkan—memenuhi aspirasi semua entitas etnik yang dipersatukan—berupa kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia.

Kita memang telah berbuat ke arah itu dengan melakukan usaha pembangunan. Berhubung kita abai akan apa yang tersirat di balik definisi bangsa tadi, pembangunan selama ini tidak pernah menyentuh dasar dari pembentukan bangsa. Kita anggap itu sudah terjamin. Tujuan pembangunan lalu kita arahkan untuk mengisi, menyempurnakan, kemerdekaan bangsa, yaitu ”bangunan” yang bertengger di atas dasar tadi. Inilah sebab ketiga dari kerapuhan dasar pembentukan bangsa. Rapuh karena dilupakan begitu saja oleh usaha pembangunan, padahal ia memerlukan sentuhan konstruktif yang relevan dan konsisten demi pengukuhan tekad untuk hidup bersama.

Pembangunan nasional selama ini diredusir menurut penalaran ilmu ekonomi dengan paradigma pertumbuhan dan menganut pola top-down dari atas hingga sering kali mengabaikan partisipasi dari bawah. Pertumbuhan diukur dari (kenaikan) produk nasional bruto dan belakangan dikoreksi dengan pemerataan yang diukur dengan Indeks Gini. Orang yang kehidupannya akan dimakmurkan diabstraksi dari ruang tempat dia berada. Karena pembangunan tidak berpembawaan partisipatif, ia tumbuh menjadi sejenis spectator development di mana baik orang maupun daerah tempatnya berada hanya menjadi ”penonton” belaka.

Tidak heran kalau ada gerakan lokal untuk memisah dari kesatuan nasional karena kecewa, merasa tidak lebih bahagia. Maka kita harus segera mencari suatu pendekatan baru dari pembangunan nasional yang diperlakukan sebagai suatu gerakan komunitas di mana prosesnya berupa pembelajaran partisipatif. Belajar untuk mengukuhkan dasar pembentukan bangsa dan sekaligus memakmurkan kemerdekaan yang diperjuangkan setelah bangsa ini terbentuk. Pendekatan partisipatif dari bawah ke atas hingga pembangunan berkembang menjadi participatory development.

Teori M

Mengingat Indonesia selaku bangsa punya beberapa kemungkinan sejarah, maka pembangunan nasional yang kondusif dan relevan perlu ditangani secara inter dan pluridisipliner. Berarti dalam memikirkan pembangunan yang ideal itu, kita pinjam pikiran konseptual Stephen Hawking, perlu menyusun Teori M. Ini bukan suatu teori dalam arti yang biasa. Ia berupa serumpun teori, masing-masing tepat hanya untuk menangani sebagian atau setahap situasi. Perbedaan teori yang kelihatan dalam Teori M ini dapat dianggap sebagai aspek teori mendasar yang sama.

Artinya, kita tidak perlu bersikukuh bahwa ilmu ekonomilah yang selalu menentukan gerak pembangunan. Harus diakui bahwa mungkin di satu daerah tertentu ilmu antropologi kultural atau sosiologi yang dapat menggugah local genius untuk membangun daerah setempat. Kita juga tidak perlu berkutat pada pendapatan sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Sudah saatnya kita mencari ukuran lain karena tujuan pembangunan selayaknya bukan lagi kesejahteraan, tetapi kebahagiaan. Bukankah Bung Hatta—sang ekonom, pejuang, humanis, dan idealis—dahulu sering mengatakan, ”Kita ingin membangun dunia di mana setiap orang berbahagia.”

Orang sedang berkuasa hendaknya jangan melupakan sejarah. Sikap ini pasti membuat sendi dasar pembentukan bangsa menjadi semakin rapuh. Dahulu Bung Karno telah berhasil melenyapkan bukti kesejarahan nasional dengan meruntuhkan Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur. Kini Presiden SBY mau menggugat lagi monumen sejarah perjuangan bangsa dengan mempertanyakan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Stop. Jangan lakukan itu dengan dalih apa pun, termasuk demokrasi. Sadarilah bahwa dasar pembentukan bangsa kita yang sudah rapuh itu kini sudah dipenuhi oleh koloni rayap.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/12/11/04584960/dasar.pembentukan.bangsa


Daoed Joesoef Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...