Kamis, 07 Oktober 2010

Reshuffle (Paradigma) Kabinet

Oleh: Irfan Ridwan Maksum


Setiap wacana reshuffle bergulir, jika diamati sebelumnya terdapat eskalasi tekanan terhadap pemerintah dari para politikus, baik di Senayan maupun yang berada di balik meja partai tertentu. Seakan ada hubungan antara tekanan partai politik terhadap pemerintah dan reshuffle kabinet. Reshuffle di mata para politisi dan pemerintah (eksekutif) akan mengatasi kekisruhan yang terjadi.

Terkadang juga keinginan reshuffle merupakan gertak eksekutif terhadap para politisi yang menekan mengenai soal-soal strategis terkait keberadaannya. Adakalanya reshuffle diingini oleh para politisi, justru ditanggapi dingin oleh eksekutif seperti pada mulanya terhadap Sri Mulyani yang akhirnya diganti juga. Dengan demikian, reshuffle masih berada dalam ranah sumber daya manusia seorang menteri. Mengganti menteri dianggap memecahkan masalah. Tetapi faktanya, kabinet masih lamban.

Status quo paradigma
Out put kinerja kabinet RI seolah selalu dinamis. Menurut saya, itu semua masih subsisten karena sesungguhnya berbagai elemen di dalam masyarakat bisa berjalan sendiri tanpa intervensi sistematis terarah dari negara (baca: kabinet). Dengan kata lain, jika semua menteri tidur, niscaya negara bangsa ini masih bisa berjalan dan bergerak. Itu saja masih digerogoti tikus-tikus koruptor. Lalu buat apa pajak ditarik dari masyarakat, buat apa keuangan negara triliunan rupiah digelontorkan untuk menggerakkan kabinet?

Kondisi tersebut dapat diubah jika contoh dari eksekutif sebagai penguasa (the master) bekerja efektif memengaruhi kabinet. Dengan kata lain, melalui kerja kabinet, kondisi di atas niscaya dapat diubah jika mendapat dorongan contoh dari eksekutif. Hal ini harus bersifat paradigmatik kalau mau efektif. Seperti kita tahu, gerakan paradigmatik berasal dari kegiatan empiris yang dilakukan terus-menerus.

Justru inilah reshuffle yang lebih penting daripada mengganti orang (menteri). Siapa pun menterinya jika paradigmanya tidak berubah, niscaya hasilnya tidak mengalami kemajuan berarti buat bangsa Indonesia. Perubahan paradigma kabinet ini dipengaruhi oleh perubahan paradigma eksekutif.

Ada tiga paradigma yang fatal di benak eksekutif yang bisa kita baca. Pertama, paradigma menunggu. Paradigma ini tampak dari kegiatan eksekutif yang tidak mampu menjadi ikon di mata kabinet dalam menyelesaikan soal-soal yang dihadapi bangsa Indonesia yang sebetulnya membutuhkan penanganan serius dan mudah direncanakan tetapi tidak dilakukan dengan baik. Kedua, paradigma reaktif. Kita bisa tahu dari pernyataan-pernyataan eksekutif di media massa yang terkadang tidak dilandasi oleh konsep yang kuat.

Ketiga, paradigma pragmatis. Pragmatisme ini bertingkat. Mulai dari keluarga, partai, sampai negara. Kepentingan keluarga tampaknya memberi alasan terhadap pemberian grasi terhadap koruptor yang seharusnya menjalani hukuman sampai penuh. Peristiwa pemberian cenderamata pada saat upacara peringatan hari Kemerdekaan RI juga menampakkan hal tersebut. Eksekutif pun masih menjadi dewan pembina partainya sebagai bukti pragmatisme terhadap partainya. Di samping itu, eksekutif condong bersikap inward looking sehingga tidak tahu kita telah tertinggal dari negara tetangga. Eksekutif tidak serius mengacu keberhasilan negara tetangga untuk dicontoh.

Pardigma Shift
Ketiga paradigma tersebut harus diubah. Pertama, dari menunggu menjadi memimpin. Eksekutif harus memiliki ketegasan dan memperlihatkan keberpihakan pilihan kebijakannya (decisive). Eksekutif perlu mengembangkan action plan yang dipantau secara kontinu dan radikal dalam membawa kabinet ke arah kemajuan. Syaratnya, platform yang mengacu Rencana Jangka Panjang Indonesia dan Ideologi negera, diwujudkan secara serius. Kabinet harus dipengaruhi betul oleh platform tersebut melalui tangan eksekutif sendiri.

Kedua, dari paradigma reaktif ke proaktif. Eksekutif harus mampu membuka mata kabinet ke arah tertentu untuk kemajuan bangsa Indonesia. Eksekutif mampu menyeleksi persoalan yang berkembang dan isunya yang terpilah menjadi urutan prioritas. Alat seleksi ini juga dijadikan sebagai cara dalam menanggapi dan mengkaji berbagai persoalan tersebut.

Ketiga, dari pragmatis menjadi visioner. Eksekutif perlu melakukan perubahan radikal dalam segala kegiatannya yang diturunkan dari platform-nya secara kontinu agar betul-betul menjadi sebuah keyakinan di benak kabinet, sehingga memiliki tekad yang sama dalam mewujudkannya. Eksekutif harus tidak sungkan dalam melakukan shared value untuk kabinet. Kita tahu kabinet yang ada adalah warna-warni. Semakin warna-warni semakin harus banyak mengeluarkan energi untuk mengubah pragmatisme ini. Letaknya adalah keberaniannya untuk meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, keluarga, dan partainya.

Ketiga perubahan paradigma ini jika berjalan, niscaya perubahan yang berupa kocok ulang orang (menteri) tidak diperlukan. Syaratnya dari sejak awal pilihan terhadap menteri tertentu sudah melalui proses yang merit.

Perubahan paradigma yang dilakukan secara serius akan berdampak pada output kerja kabinet. Siapa pun menterinya akan mengikuti irama eksekutif. Jika eksekutif tidak berparadigma, tentu berbahaya untuk efektivitas manajemen organisasi negara.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/120240/Reshuffle_Paradigma_Kabinet

Irfan Ridwan Maksum
(Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...