A. B. Susanto*
Pada suatu masa jaman pertengahan di Eropa, terdapat seorang pemuda yang sedang dilanda kegelisahan. Ia sedang berada di dalam pencariannya menuju pemahaman terhadap dirinya. Ia merasa gundah gulana mengenai pekerjaan dan karirnya. Akhirnya, dia pergi mencari seorang tua yang bijaksana, yang diyakininya dapat menunjukkan jalan kepadanya untuk menjawab kegelisahan tersebut.
Orang tua yang bijaksana itu menerima kedatangannya dengan hangat. Ketika itu dia sedang duduk di muka pintu tendanya. Sambil menjamu tamunya dengan segelas teh, orang tua itu menjelaskan rahasia menuju pemahaman diri dan karir .
“Itu merupakan perjalanan yang jauh,” kata orang tua itu,” Tapi kamu pasti dapat menemukannya. Kamu harus mendatangi sebuah desa yang akan saya jelaskan nanti, di sana rahasia itu akan kamu temukan.” Si pemuda kemudian berangkat melakukan perjalanan melewati banyak lembah dan menyeberangi banyak sungai. Pada akhirnya dia sampai juga di desa itu. Katanya dalam hati, ”Ini tempatnya. Pasti ini tempatnya.”
Dia yakin bahwa ini tempatnya. Dia menemukan tiga toko kecil. Ketika dia masuk ke dalam toko-toko tersebut si pemuda sangat kecewa. Di toko yang pertama, dia hanya menemukan gulungan kabel. Di toko yang kedua dia menemukan tak lebih dari beberapa keping kayu. Di toko ketiga, hanya ada beberapa yang bentuknya tidak beraturan.
Letih dan putus asa, dia meninggalkan desa itu dan menemukan tempat istirahat malam itu. Sebuah daerah terbuka yang tidak terlalu jauh dari desa. Ketika malam tiba, bulan purnama menyinari tempat itu dengan cahaya yang lembut. Sesaat sebelum tertidur, terdengarlah olehnya suara indah berasal dari desa. Alat musik apakah yang sanggup melahirkan sebuah harmoni yang sempurna, segera dia berdiri dan berjalan menuju dimana kemungkinan si musisi berada. Dia terpukau ketika menemukan bahwa suara indah itu berasal dari sebuah sitar. Sitar yang sederhana yang terbuat dari kawat, kayu dan kepingan besi yang dia remehkan sebelumnya. Saat itu juga dia menyadari dan mengerti bahwa kebahagian sejati adalah gabungan dan hal-hal yang telah ada di dalam diri kita selama ini.
Pemuda itu pun lantas termenung dan menarik kesimpulan, kebahagiaan sejati bersumber pada realitas yang ada pada dirinya. Realistik dalam mengenal kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan semaksimal mungkin apa yang dimiliki.
Apakah moral cerita di atas? Dalam meniti karir terdapat hal yang tidak boleh terlewatkan, harus realistis!. Pertanyaannya sudah realistikkah keinginan kita? Realistik adalah menerima keadaan diri kita, tidak boleh meremehkan apa yang kita punyai. Realistik adalah menyadari kekurangan dan kelebihan kita, dan mengoptimalkan pemanfaatan apa yang kita miliki. Bukan untuk pasrah tanpa melakukan usaha apapun, tetapi justru bagaimana agar apa yang dimiliki dimanfaatkan secara optimal. Inilah salah satu bagian dari PQ, personality quotient.
Kita sering menemui orang yang sebenarnya bakatnya biasa-biasa saja, inteligensi tidaklah istimewa, tetapi dapat meraih kesuksesan dibanding orang-orang yang sebenarnya memiliki bakat istimewa.
Bagaimana kita memahami kepribadian kita? Banyak cara. Mulai dari masukan orang-orang sekitar kita sampai kepada inventori kepribadian yang sangat beragam. Jika kita membahas mengenai personality quotient, berarti kita berbicara bagaimana meng- angka-kan kepribadian dengan metode psikometri. Berbeda dengan inteligensi yang sifatnya prestatif, yang berarti makin tinggi cenderung dianggap makin baik, perlakuan terhadap kepribadian tidaklah demikian. Bukan baik-buruk, tetapi sesuai dan tidak sesuai untuk pekerjaan tertentu.
Misalnya kita bahas DISC, salah satu jenis inventori kepribadian yang populer. Inventori yang sudah dikembangkan dengan berbagai versi ini mengungkap empat faktor, yaitu: dominance, influence, steady, dan compliance. Dominance untuk mengetahui seberapa tegas dalam mengambil keputusan dan powerful. Influence menggambarkan seberapa persuasif dan interaktif. Steady menggambarkan seberapa besar keinginan untuk bekerja dalam lingkungan yang bersahabat. Compliant menggambarkan kebutuhan untuk menghimpun fakta dan bekerja secara detail.
Faktor yang sering terekspresikan akan menjadi corak kepribadian. Misalnya yang unsur D(dominant)nya tinggi cenderung lebih lugas dalam mengambil keputusan. Sebaliknya yang S (steady)nya cenderung lebih sulit mengambil keputusan, menghindari konflik dan menekankan lingkungan yang harmonis. Tentunya masing-masing karakter sangat sesuai untuk jalur karir tertentu.
Menariknya dalam analisa kepribadian ini digambarkan tiga pola perilaku sebagai ekspresi dari karakteristik kepribadian, yaitu: topeng (public self), inti (private self), dan cermin (perceived self). Topeng adalah pola perilaku yang ditunjukkan sebagai penyesuaian terhadap lingkungan berdasarkan persepsi seseorang terhadap perilakunya yang diinginkan oleh lingkungannya. Sementara private self pola perilaku yang ditunjukkan pada saat seseorang menghadapi situasi sulit dan menantang dalam hidupnya, ketika berada di bawah tekanan, stress, dan ketakutan. Sedangkan ”cermin” menggambarkan bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri (citra diri). Ini hanyalah salah satu bentuk inventori kepribadian.
Jadi para pembaca, memahami diri, ‘menempatkan’ dan mengembangkannya seoptimal mungkin merupakan sarana mendaki tangga karir.
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Pada suatu masa jaman pertengahan di Eropa, terdapat seorang pemuda yang sedang dilanda kegelisahan. Ia sedang berada di dalam pencariannya menuju pemahaman terhadap dirinya. Ia merasa gundah gulana mengenai pekerjaan dan karirnya. Akhirnya, dia pergi mencari seorang tua yang bijaksana, yang diyakininya dapat menunjukkan jalan kepadanya untuk menjawab kegelisahan tersebut.
Orang tua yang bijaksana itu menerima kedatangannya dengan hangat. Ketika itu dia sedang duduk di muka pintu tendanya. Sambil menjamu tamunya dengan segelas teh, orang tua itu menjelaskan rahasia menuju pemahaman diri dan karir .
“Itu merupakan perjalanan yang jauh,” kata orang tua itu,” Tapi kamu pasti dapat menemukannya. Kamu harus mendatangi sebuah desa yang akan saya jelaskan nanti, di sana rahasia itu akan kamu temukan.” Si pemuda kemudian berangkat melakukan perjalanan melewati banyak lembah dan menyeberangi banyak sungai. Pada akhirnya dia sampai juga di desa itu. Katanya dalam hati, ”Ini tempatnya. Pasti ini tempatnya.”
Dia yakin bahwa ini tempatnya. Dia menemukan tiga toko kecil. Ketika dia masuk ke dalam toko-toko tersebut si pemuda sangat kecewa. Di toko yang pertama, dia hanya menemukan gulungan kabel. Di toko yang kedua dia menemukan tak lebih dari beberapa keping kayu. Di toko ketiga, hanya ada beberapa yang bentuknya tidak beraturan.
Letih dan putus asa, dia meninggalkan desa itu dan menemukan tempat istirahat malam itu. Sebuah daerah terbuka yang tidak terlalu jauh dari desa. Ketika malam tiba, bulan purnama menyinari tempat itu dengan cahaya yang lembut. Sesaat sebelum tertidur, terdengarlah olehnya suara indah berasal dari desa. Alat musik apakah yang sanggup melahirkan sebuah harmoni yang sempurna, segera dia berdiri dan berjalan menuju dimana kemungkinan si musisi berada. Dia terpukau ketika menemukan bahwa suara indah itu berasal dari sebuah sitar. Sitar yang sederhana yang terbuat dari kawat, kayu dan kepingan besi yang dia remehkan sebelumnya. Saat itu juga dia menyadari dan mengerti bahwa kebahagian sejati adalah gabungan dan hal-hal yang telah ada di dalam diri kita selama ini.
Pemuda itu pun lantas termenung dan menarik kesimpulan, kebahagiaan sejati bersumber pada realitas yang ada pada dirinya. Realistik dalam mengenal kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan semaksimal mungkin apa yang dimiliki.
Apakah moral cerita di atas? Dalam meniti karir terdapat hal yang tidak boleh terlewatkan, harus realistis!. Pertanyaannya sudah realistikkah keinginan kita? Realistik adalah menerima keadaan diri kita, tidak boleh meremehkan apa yang kita punyai. Realistik adalah menyadari kekurangan dan kelebihan kita, dan mengoptimalkan pemanfaatan apa yang kita miliki. Bukan untuk pasrah tanpa melakukan usaha apapun, tetapi justru bagaimana agar apa yang dimiliki dimanfaatkan secara optimal. Inilah salah satu bagian dari PQ, personality quotient.
Kita sering menemui orang yang sebenarnya bakatnya biasa-biasa saja, inteligensi tidaklah istimewa, tetapi dapat meraih kesuksesan dibanding orang-orang yang sebenarnya memiliki bakat istimewa.
Bagaimana kita memahami kepribadian kita? Banyak cara. Mulai dari masukan orang-orang sekitar kita sampai kepada inventori kepribadian yang sangat beragam. Jika kita membahas mengenai personality quotient, berarti kita berbicara bagaimana meng- angka-kan kepribadian dengan metode psikometri. Berbeda dengan inteligensi yang sifatnya prestatif, yang berarti makin tinggi cenderung dianggap makin baik, perlakuan terhadap kepribadian tidaklah demikian. Bukan baik-buruk, tetapi sesuai dan tidak sesuai untuk pekerjaan tertentu.
Misalnya kita bahas DISC, salah satu jenis inventori kepribadian yang populer. Inventori yang sudah dikembangkan dengan berbagai versi ini mengungkap empat faktor, yaitu: dominance, influence, steady, dan compliance. Dominance untuk mengetahui seberapa tegas dalam mengambil keputusan dan powerful. Influence menggambarkan seberapa persuasif dan interaktif. Steady menggambarkan seberapa besar keinginan untuk bekerja dalam lingkungan yang bersahabat. Compliant menggambarkan kebutuhan untuk menghimpun fakta dan bekerja secara detail.
Faktor yang sering terekspresikan akan menjadi corak kepribadian. Misalnya yang unsur D(dominant)nya tinggi cenderung lebih lugas dalam mengambil keputusan. Sebaliknya yang S (steady)nya cenderung lebih sulit mengambil keputusan, menghindari konflik dan menekankan lingkungan yang harmonis. Tentunya masing-masing karakter sangat sesuai untuk jalur karir tertentu.
Menariknya dalam analisa kepribadian ini digambarkan tiga pola perilaku sebagai ekspresi dari karakteristik kepribadian, yaitu: topeng (public self), inti (private self), dan cermin (perceived self). Topeng adalah pola perilaku yang ditunjukkan sebagai penyesuaian terhadap lingkungan berdasarkan persepsi seseorang terhadap perilakunya yang diinginkan oleh lingkungannya. Sementara private self pola perilaku yang ditunjukkan pada saat seseorang menghadapi situasi sulit dan menantang dalam hidupnya, ketika berada di bawah tekanan, stress, dan ketakutan. Sedangkan ”cermin” menggambarkan bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri (citra diri). Ini hanyalah salah satu bentuk inventori kepribadian.
Jadi para pembaca, memahami diri, ‘menempatkan’ dan mengembangkannya seoptimal mungkin merupakan sarana mendaki tangga karir.
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
Sumber : http://www.jakartaconsulting.com/art-13-17.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya