Kamis, 07 Oktober 2010

Nasionalisme Ekonomi


Oleh: Gita Wirjawan



Pada masa Yunani kuno, ada kepercayaan bahwa manusia dilahirkan dengan naluri thymos, yakni kebutuhan akan pengakuan atau penghargaan yang sering kali diwujudkan dengan semangat membela kelompok, klan, suku bangsa, atau kota.

Sifat naluriah ini tampak pula dalam suatu konsep yang kerap disebut nasionalisme ekonomi.

Setiap negara tentu selalu mengedepankan kepentingan nasional, dan karena itu konsep nasionalisme ekonomi bisa ditemukan di negara mana pun, bahkan di AS yang dianggap selalu berorientasi ”pasar bebas”. Slogan ”buy American” atau panggilan untuk mengonsumsi produk-produk AS, misalnya, adalah salah satu contohnya. Upaya mendorong konsumsi produk nasional ini juga banyak dilakukan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia.

Istilah nasionalisme ekonomi memiliki beragam interpretasi, dan interpretasi ini ikut membentuk pilihan-pilihan kebijakan ekonomi nasional. Karena itu, penting memahami definisi dan interpretasi ini lebih mendalam agar kebijakan ekonomi yang muncul dari definisi tersebut adalah kebijakan yang mengedepankan kepentingan nasional.

Untuk memastikan bahwa nasionalisme ekonomi di Indonesia bisa benar-benar mencapai kepentingan nasional, semangat nasionalisme ekonomi ini perlu diterapkan serta disikapi secara bijak dan pada porsinya. Penerapan nasionalisme ekonomi yang kurang tepat justru bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya tidak sejalan dengan upaya membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Struktur kepemilikan

Salah satu penerapan semangat nasionalisme ekonomi yang kurang tepat adalah besarnya fokus pada struktur kepemilikan suatu investasi dibandingkan sejauh mana investasi bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Banyak sektor penting di Indonesia bersifat padat modal.

Dana yang dibutuhkan untuk memulai usaha di sektor tersebut nilainya mencapai miliaran dollar AS per tahun. Namun, kesediaan pendanaan di dalam negeri terbatas. Ditutupnya sejumlah sektor yang sesungguhnya membutuhkan pendanaan dari luar negeri menghambat berkembangnya sektor-sektor ini, dan pada akhirnya menghambat penciptaan nilai di Indonesia, baik dalam bentuk ketersediaan barang dan jasa yang lebih baik maupun inovasi dan teknologi baru, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya.

Apabila kesenjangan akan kebutuhan modal di sektor-sektor penting ini dibebankan kepada modal swasta yang jumlahnya di Indonesia juga terbatas, ini secara tidak langsung akan mendorong aliran dana investasi ke sektor lain yang lebih ramah modal asing meskipun sektor tersebut bukan sektor kunci pertumbuhan ekonomi. Ini pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap produktivitas marginal modal yang ada. Bahkan, berdampak pula pada kurang optimumnya struktur kepemilikan di sektor-sektor penting itu.

Penerapan nasionalisme ekonomi juga menjadi kurang pada tempatnya bila kewajiban bagi perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan domestik diartikan sebagai kemitraan dengan BUMN, di mana BUMN dipandang sebagai kendaraan bagi kesejahteraan sosial karena dimiliki oleh negara. Nasionalisme ekonomi jadi salah kaprah ketika sebuah entitas nasional maupun milik negara dipaksa terlibat dalam suatu proyek meski kapasitasnya tak memenuhi kualifikasi teknis yang disyaratkan sehingga menghasilkan produk yang kurang optimal.

Terkadang penyikapan nasionalisme ekonomi hadir pula dalam bentuk pembatasan pilihan lokasi penanaman modal. Kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi di beberapa wilayah memang membutuhkan upaya khusus agar bisa lebih merata. Namun, upaya pemerataan kesejahteraan tidak dapat tercapai dengan memaksakan dibangunnya suatu proyek di wilayah tertentu di Indonesia.

Manfaat ekonomi

Keputusan pemilihan proyek dan penanaman modal harus didasarkan pada besarnya manfaat ekonomi dari proyek dan kesesuaian proyek dengan kebutuhan wilayah tertentu. Hasil akhir yang diharapkan adalah pemerataan ekonomi dan kesejahteraan di seluruh wilayah Nusantara, bukan persamaan jumlah bandar udara, jumlah pabrik, maupun panjang jalan.

Dampak nasionalisme ekonomi yang salah kaprah sangat besar. Agar roadmap strategi investasi dapat dieksekusi dengan efektif—dari fase quick wins yang mengoptimalisasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur keras dan lunak, fase industrialisasi, sampai fase ekonomi berbasis pengetahuan—Indonesia harus memperbesar kue ekonominya terlebih dahulu.

Dan hal tersebut membutuhkan kerja sama seluruh pihak, termasuk dengan pihak swasta nasional dan asing. Terlebih lagi mengingat sebagian besar target investasi Rp 2.000 triliun per tahun diharapkan dari mereka.

Saat ini, Indonesia sedang menjajaki berbagai cara untuk menggandengkan modal publik dan swasta, baik asing maupun domestik. Salah satunya adalah restrukturisasi kemitraan antara pemerintah dan swasta (PPP). Kepastian mengenai alokasi risiko dan penguatan peran pemerintah akan memancing selera investor untuk terlibat dalam proyek PPP dalam skala besar.

Contoh lainnya adalah pemberian insentif fiskal secara selektif. Ketika ditargetkan kepada investor yang tepat dan pada sektor yang tepat pula, potensi potongan pajak dari insentif tersebut dapat di-offset dengan manfaat ekonomi yang lebih besar setelah proyek tersebut berjalan seperti dari peningkatan volume ekspor atau lapangan pekerjaan baru yang tercipta.

Salah satu contoh lagi adalah matchmaking para investor, yang sering difasilitasi Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan berbagai lembaga dan asosiasi industri nasional dan daerah lainnya melalui kerja sama dengan pemerintah. Komitmen untuk memperluas fungsi fasilitas dan jejaring usaha bertujuan membangun hubungan bisnis yang berkelanjutan.

Sepintas, upaya ini seperti mengabaikan kepentingan nasional karena mendahulukan kepentingan penanam modal, terutama penanaman modal asing. Akan tetapi, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jika dirancang dengan baik, upaya ini akan membawa arus dana yang dibutuhkan serta manfaat jangka panjang yang besar bagi rakyat.

Penyikapan nasionalisme ekonomi yang pada porsinya bukanlah debat mengenai liberalisasi ekonomi versus proteksionisme ekonomi. Penyikapan yang dilakukan adalah bagaimana penerapan nasionalisme ekonomi bisa berfokus pada manfaat ekonomi secara menyeluruh.

Investasi yang menciptakan lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan pajak, standar hidup, memberikan transfer teknologi dan pengetahuan, serta mendorong perkembangan sektor turunan lainnya harus menjadi beberapa faktor yang diperhitungkan, di atas pertimbangan asal modal maupun struktur kepemilikan modal.

Pada akhirnya, definisi dan interpretasi nasionalisme ekonomi yang harus dipertimbangkan adalah yang sejalan dengan semangat pro-poor, pro-growth, dan pro-jobs untuk mencapai PDB Indonesia 1 triliun dollar AS pada 2014, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan angka kemiskinan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/07/04310355/nasionalisme.ekonomi


GITA WIRJAWAN Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...