Selasa, 19 Oktober 2010

Kepemimpinan yang Menggetarkan

Oleh: J Kristiadi


Dunia takjub dan tergetar menyaksikan keberhasilan Pemerintah Cile membebaskan 33 petambang yang terkurung di perut bumi di kedalaman 700 meter selama sekitar dua bulan. Sukses itu tidak dapat dipisahkan dari kualitas kepemimpinan Sebastian Pinera, Presiden Cile, yang penuh gereget, keyakinan, gigih, deterministik, habis-habisan, dan tuntas di tengah kesangsian berbagai kalangan soal kemampuannya menjadi juru selamat.

Kepemimpinan yang mengesankan jauh dari hiruk-pikuk protokoler dan simbol-simbol kejemawaan birokrat yang membosankan serta tidak mampu membangkitkan optimisme publik. Apa yang dilakukannya dengan sepenuh hati menegaskan kepada dunia mengenai watak kepemimpinan yang diperlukan bagi rakyat yang telah memberikan mandat dan kepercayaan kepadanya. Namun, ke depan, ia dituntut harus membuktikan konsistensinya dan tidak terjebak dalam politik citra serta godaan nikmatnya kekuasaan.

Detak-detak kepemimpinannya juga dirasakan oleh berbagai kalangan di Indonesia. Dalam konteks kekinian merasakan peranan negara semakin samar-samar, nyaris tidak terasakan kehadirannya. Pemerintahan seakan-akan berjalan sendiri tanpa arah yang jelas. Layaknya pesawat terbang tanpa pilot. Persoalan akut bertimbun-timbun, seperti rasa aman masyarakat yang merosot sejalan dengan meningkatnya pembenaran kekerasan atas nama kelompok serta sentimen primordial, masalah otonomi khusus Papua, lalu lintas Ibu Kota yang semakin lumpuh, masalah penanganan haji, perburuhan, tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan kasus Lapindo.

Suasana hati kolektif seperti itulah, tidak bermaksud membandingkan, dengan mudah mengasosiasikan kepemimpinan Presiden Cile dengan kepemimpinan di Indonesia. Efektivitas pemerintahan berbanding terbalik dengan dukungan kepada Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang didukung oleh tiga perempat kekuatan politik di parlemen serta kemenangan dalam pemilu presiden lebih dari 60 persen dalam satu putaran. Kekuatan politik itulah yang sangat signifikan untuk melakukan terobosan-terobosan perbaikan kehidupan masyarakat. Berbeda jauh dengan Sebastian Pinera yang hanya memperoleh kemenangan dalam pilpres awal tahun 2010 sebesar 51,61 persen. Itu pun melalui dua putaran. Dukungan di parlemen pun mungkin tak sebesar dukungan kepada SBY-Boediono.

Namun, kekuatan yang dimiliki pemerintahan SBY-Boediono seakan-akan hanya kalkulasi mati di atas kertas, bukan kekuatan nyata yang dapat mendukung realisasi kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, meskipun dalam merespons berbagai bencana alam dan manusia (seperti Lapindo) SBY cukup sigap, tindak lanjutnya dirasakan tidak tuntas dan menyisakan masalah.

Meskipun harus diakui pula bahwa terdapat faktor-faktor obyektif yang mengakibatkan pemerintah tidak efektif. Faktor-faktor itu antara lain pragmatisme politik yang berlebihan, yang disertai praktik-praktik transaksi kepentingan, serta format relasi antara sistem presidensial dan sistem kepartaian yang belum kompatibel. Faktor lainnya adalah koalisi yang rapuh, desain otonomi daerah yang seragam, struktur dan garis komando pemerintahan yang tidak jelas, tingkat representasi lembaga perwakilan rendah, lembaga-lembaga politik dan pemerintah yang lemah, dan sebagainya.

Namun, justru konstelasi politik seperti itu, ketika otot-otot demokrasi masih lemah, sangat diperlukan kepemimpinan yang asertif agar bangsa ini tidak kehilangan momentum untuk mencapai tingkat percepatan kemajuan seperti yang terjadi di negara-negara sekitarnya. Termasuk jangan sampai kehilangan momentum perkembangan ekonomi yang positif dalam 12 tahun terakhir ini (Faisal Basri, Kompas, 17 Oktober 2010).

Sayangnya, pemerintahan yang mempunyai potensi dukungan yang sangat substansial ini tidak menunjukkan kinerja yang diharapkan. Dalam setahun pemerintahan SBY-Boediono banyak kehilangan waktu untuk melayani pertarungan kepentingan yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda mau mereda.

Bahkan, beberapa tokoh Partai Golkar dengan lantang menyatakan kurang nyaman dalam koalisi. Mereka juga sudah menggulirkan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden 2014. Gejala-gejala tersebut memberikan sinyal bahwa memasuki tahun 2011 pemerintahan akan semakin direpotkan oleh pertarungan jangka pendek dan kepentingan kekuasaan. Kecenderungan dinamika politik seperti itulah yang membuat masyarakat menjadi risau dan mempertanyakan komitmen pemerintah mengatasi berbagai persoalan.

Kegelisahan dan keprihatinan masyarakat mendorong pertemuan beberapa tokoh masyarakat pada awal Oktober lalu di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang mendesak agar pemerintah lebih serius menangani persoalan bangsa, seperti kerusakan lingkungan dan kemiskinan.

Ungkapan kegerahan juga dimanifestasikan dengan rencana demonstrasi besar-besaran pada 20 Oktober 2010. Bahkan, secara sama-samar muncul rumor tentang kemungkinan penggulingan kekuasaan. Kata ”penggulingan” tabu diucapkan dalam tatanan kekuasaan yang beradab. Dalam merespons dinamika politik, sebaiknya pemerintah cukup arif dan tidak terlalu tipis telinga. Inti persoalannya adalah keinginan masyarakat agar pemerintah lebih menunjukkan geregetnya dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa, tidak hanya melalui rapat dan retret, tetapi juga dengan tindakan yang nyata dan dirasakan masyarakat.

Pemerintahan SBY-Boediono masih mempunyai kesempatan empat tahun lagi. Sisa waktu tersebut jangan biarkan pemerintahan dijadikan ajang pertarungan transaksi kepentingan. Presiden harus dapat merebut kepemimpinan agar pemerintahan menjadi efektif. Politik pencitraan harus segera ditinggalkan dan digantikan oleh politik kerja keras, cerdas, dan bergegas.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/19/02543047/kepemimpinan.yang.menggeta


J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...