Jumat, 29 Oktober 2010

Lowongan Management Trainee

Medco Agro (PT Api Metra Palma)


DIBUTUHKAN SEGERA

MEDCO AGRO, Unit Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit dari MEDCO Group, sedang melakukan ekspansi di Kalimantan , Lampung dan Papua membutuhkan profesional yang self starter, result oriented, untuk posisi sebagai :
Management Trainee
(Kalimantan Tengah, Lampung, Papua, dan Sumut)
Requirements:
  • Candidate must possess at least a Bachelor's Degree in Engineering (Mechanical), Engineering (Civil), Engineering (Electrical/Electronic), Engineering (Environmental/Health/Safety), Engineering (Industrial), Agriculture/Aquaculture/Forestry, Geology/Geodesi, Social Science/Sociology or equivalent.
  • Fresh graduates/Entry level applicants are encouraged to apply.


Hadiri Walk in Interview dan proses seleksi di Kota:

Yogyakarta (3-4 Nov 2010 di GOR UN), Medan (12-13 Nov 2010 di Ged. Uniplaza-Intiland), Bandung (9-10 Des 2010 di Landmark Braga).


Please send your application within 2(two) weeks enclosing your CV, write the position code on the upper left side of the envelope or in the email subject and mail it to:


Employment Specialist
Human Resources & General Services
The Energy Building, Fl.20. SCBD Lot 11A
Jl. Jend. Sudirman Kav 52-53 JKT 12190

E-mail : agro.hrd@gmail.com



If you are JobStreet Member, "click here to Apply" button below
" Only short-listed candidates will be invited via e-mail/phone for Test and Interview "

LOWONGAN ASISTEN AGRONOMI

GAWI PLANTATION

Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan produsen minyak kelapa sawit/CPO yang sedang berkembang pesat dan terafiliasi dengan WINGS GROUP, dengan lahan tersebar di Kalimantan, membutuhkan tenaga profesional yang berdedikasi tinggi untuk posisi jabatan :


ASISTEN AGRONOMI
(KALSEL /KALTIM)

Persyaratan umum :
  • Pendidikan minimal D3 (Pertanian, kehutanan atau Teknologi Pertanian)
  • Fresh Graduate atau pengalaman 1‐2 Tahun
  • IPK minimal 2,75
  • Bersedia ditempatkan di Wilayah : Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur.
  • Memiliki jiwa kepemimpinan, mampu bekerja secara team/mandiri dan mampu
  • berkomunikasi dengan baik.

Bagi anda yang memiliki kriteria sebagaimana tersebut diatas, dapat segera mengirimkan Surat Lamaran, Daftar Riwayat Hidup (CV), foto terbaru 4x6 cm, dan dokumen lain yang mendukung , ke alamat email :


GAWI PLANTATION
Gedung GRHA GAWI, Lt. 2
Jl. Setiabudi Selatan Kav. 10
Atau melalui alamat email :
hrd@wingsagro.com


Ekonomi Bebas Korupsi?

Oleh: Anggito Abimanyu



Baru-baru ini, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyelenggarakan seminar dengan tema 'Ekonomi Bebas Korupsi' di kampus UGM. Para pembicara adalah mereka yang kompeten dari sisi keilmuan, penegakan hukum, pengamat, dan praktisi di bidang korupsi. Ada pembicara dari KPK, ICW, LSM, pemerintah, swasta, politisi, dan dari kalangan kampus sendiri. Seperti lazimnya, diskusi berlangsung hangat, penuh dengan kegelisahan, kritik, dan setumpuk harapan agar ekonomi dapat segera dibersihkan dari penyakit korupsi.

Pertanyaan mendasar yang dilontarkan adalah "apakah ekonomi dapat bebas dari korupsi tanpa politik dan hukum?" Jawabannya tidak, ekonomi bebas korupsi tidak bisa terjadi tanpa perubahan sistem, tatanan dan kelembagaan politik, serta penegakan hukum yang juga bebas korupsi. Apa artinya? Institusi politik dan hukum harus ditata sedemikian rupa sehingga tidak ada celah terjadinya money politic jabatan publik dan anggaran, intervensi politik dalam kebijakan ekonomi, kesewenang-wenangan hukum, serta politisasi kebijakan ekonomi. Kalau politik dan hukum tidak bersih, niscaya ekonomi bisa terhindar dari korupsi sebagai imbasnya.

Dalam seminar tersebut, diperbincangkan kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa KIB I dan 1 tahun KIB II, political will, dan upaya-upaya pemberantasannya. Reformasi birokrasi dibicarakan panjang lebar. Sayangnya, para pembicara sepakat bahwa upaya pemberantasan korupsi melalui institusi KPK hingga reformasi birokrasi di tingkat eksekutif akhir-akhir ini mengalami kemandekan.


Reformasi Birokrasi Kunci
Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, melalui media massa beberapa waktu lalu memberikan indikasi terjadinya keterlambatan dalam pelaksanaan program reformasi birokrasi di tubuh pemerintah. Aparat keamanan dan penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM yang seharusnya menuntaskan reformasi birokrasi di tahun 2010 mengalami keterlambatan. Anggaran reformasi birokrasi tahun 2010 sebesar Rp 14 triliun berpotensi menganggur.

Pemerintah KIB I sudah mencanangkan program reformasi birokrasi, mulai dari bidang keuangan (2009-2010) Kemenkeu, BPK, MA, Sekneg, Menko bidang keamanan dan penengakan hukum (2010), meliputi Polri, TNI, Kejaksaan, Kemenkumham, PAN-RB dan bidang lainnya (2011-2012). Pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan kepemimpinan, khususnya selama KIB II. Praktis hingga kini, hanya BPK dan Kemenkeu yang sudah memiliki cetak biru dan pelaksanaan yang jelas mengenai reformasi birokrasi. Kemenkeu memulai RB dari penataan organisasi, menyusun penilaian organisasi dengan metode balanced scorecard (BSC), rekrutmen pegawai baru (CPNS) secara profesional dan transparan, penetapan indikator kinerja utama, mutasi dengan sistem open bid (terbuka), hingga penetapan renumerasi berdasarkan peringkat pekerjaan. Kemenkeu bahkan selalu menyampaikan ke publik hasil evaluasi pihak independen untuk dikritisi dan mendapat masukan serta evaluasi, khususnya terhadap institusi yang bersentuhan dengan publik, seperti pajak, bea cukai, dan penganggaran. Meskipun belum bebas dari korupsi, RB di Kemenkeu sudah mampu membuat sebagian besar pejabat dan karyawan menghindar, bahkan memerangi korupsi di lingkungannya sendiri. Sayangnya, karena Kemenkeu melayani instansi lainnya yang belum melakukan RB, dampak nasionalnya belum signifikan. Apalagi karena RB belum menyentuh DPR, perbaikan proses penganggaran belum menyentuh akar masalahnya.

Mulai dari pejabat negara
Tiga tahun yang lalu, sebenarnya sudah dimulai upaya reformasi pejabat negara yang berujung pada standar renumerasi. Rencananya dimulai secara serentak pada pejabat negara di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, reformasi pejabat negara tidak kunjung mendapatkan titik temu dan kandas ditengah jalan. Bisa dibayangkan reformasi pejabat negara sampai di tingkat menteri kabinet saja tidak kunjung tuntas, maka reformasi di kementerian akan terlanda budaya "ewuh pekewuh". UKP4 sudah memulai dengan penilaian indikator kinerja utama (IKU), tetapi hanya sebatas penilaian pencapaian kuantitatif pada diri menteri atau kementerian. IKU hanyalah sebagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi.

Pengaturan hubungan keuangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk aparat pengawas di tingkat pusat dan daerah, belum diatur secara tegas sehingga sering menimbulkan masalah 'tata kelola' dan juga benturan serta ketidakseimbangan hubungan kerja. Penyelewengan perencanaan dan penggunaan anggaran sering terjadi karena hubungan mereka yang terlalu cozy dan nyaman, jauh dari fungsi saling mengontrol.

Ekonomi bebas korupsi harus dimulai dari perubahan mindset para pejabat negara dengan teladan kepemimpinannya. Bukan kepemimpinan orang ke orang yang lebih penting meskipun harus diakui bahwa membangun sistem yang baik harus dipimpin oleh orang. Pembangun sistem jauh lebih penting siapa pun pemimpinnya. Setelah 65 tahun merdeka, masih banyak orang meragukan bahwa ekonomi Indonesia dapat membebaskan dari korupsi. Sekecil apa pun, saat ini sudah ada beberapa instansi di pusat dan daerah yang sukses dalam menjalankan reformasi birokrasi dan membebaskan diri dari korupsi. Tidak ada salahnya mencontoh mereka yang telah berhasil merancang dan melaksanakannya.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/121657/Ekonomi_Bebas_Korupsi

Anggito Abimanyu
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Koridor ekonomi perlu dukungan konektivitas

Oleh: Bambang Susantono



Pemerintah RI dan Jepang bersepakat membangun enam koridor ekonomi (KE) yakni koridor timur Sumatra dan utara Jawa Barat, pantura Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan koridor timur Jawa-Bali-Nusa Tenggara.

KE dikembangkan guna mendapat tatanan praktis penggabungan pola pembangunan yang kewilayahan dengan sektoral. Misalnya, untuk meningkatkan keunggulan batu bara sebagai komoditas andalan di Sumatra, perlu dikembangkan kawasan terkait yang didukung keandalan infrastruktur. Pusat-pusat produksi dan distribusi terhubung melalui jejaring infrastruktur yang membentuk koridor pengembangan wilayah.

KE tidak baru. KE bisa didefinisikan sebagai "wilayah yang ditargetkan sebagai pemacu pengembangan dengan pembangunan infrastruktur untuk menciptakan dan memperkuat basis ekonomi yang terintegrasi dan berdaya saing agar tercapai pembangunan berkelanjutan".

Dalam KE terdapat pusat kegiatan dan pertumbuhan berupa hubs dan nodes. Hubs merupakan pusat akumulasi finansial, nodes pusat pengembangan komoditas. Nodes juga bisa berupa kawasan industri (KI) atau kawasan ekonomi khusus (KEK). Hubs dan nodes dihubungkan jejaring infrastruktur.

Untuk merancang rencana induk KE ini dilakukan serangkaian analisis, diawali penataan ruang dan pengembangan wilayah. Jenis komoditas yang menjadi kekayaan dari suatu daerah juga dianalisis berdasarkan kondisi dari perkembangan pasar berikut kondisi permintaan yang berlaku dengan mempertimbangkan tren internasional.

Lalu dilakukan analisis potensi Indonesia untuk mengisi pasar berikut dengan perencanaan infrastruktur yang perlu disediakan dalam meningkatkan kemampuan daya saingnya. Intinya, KE jadi pedoman dalam rencana pengembangan investasi di satu wilayah.

Beberapa negara telah menerapkan pola pendekatan KE dalam me-ngembangkan ekonomi lokal dan re-gional serta meningkatkan produk komoditas andalan di koridor tertentu a.l. Delhi-Mumbai di India, Iskandar Development Region di Malaysia, serta Greater Mekong yang meliputi Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Provinsi Yunnan di China.

Dalam Delhi Mumbai Corridor terdapat hubs New Delhi dan Mumbai dengan nodes a.l. Tughlakabad Delhi, Meerut-Muzaffarnagar, dan Dighi, serta pelabuhan Jawarhalal Nehru di Mumbai. Koridor ini meliputi sembilan wilayah investasi dan 15 KI dengan panjang 1.483 km dan lebar 150 km. Melalui koridor ini diharapkan terwujud investasi US$450 miliar.

Bagi Indonesia, pembangunan KE dimulai dengan mengembangkan koridor timur Sumatra dan utara Jabar sebagai percontohan dan merupakan komitmen tahap awal dari kesepakatan RI-Jepang. KE ini diharapkan dapat mendongkrak PDRB kawasan itu dari US$74 miliar pada 2008 jadi US$154 miliar pada 2020 dan US$273 miliar pada 2030. Komoditas andalan utama KE ini a.l. kelapa sawit, karet, batu bara. Terkait dengan pengembangan koridor timur Sumatra dan utara Jabar, juga akan dibentuk KEK dan KI pada koridor sepanjang 1.700 km dan lebar 100 km.

Untuk memfasilitasi KE ini, idealnya perlu 44 proyek infrastruktur dengan investasi US$52,9 miliar. Infrastruktur yang diperlukan a.l. rel KA senilai US$17,1 miliar, jalan tol US$18,1 miliar, serta bandara, pelabuhan, dan fasilitas logistik darat US$4,3 miliar.

Pengembangan KE terkait erat dengan rencana perkuatan konektivitas nasional. Perkuatan konektivitas nasional ingin dicapai melalui tiga tataran yaitu di dalam pulau, antarpulau, dan konektivitas internasional ataupun regional.

Ada empat pilar utama yang diperkuat dalam konsep konektivitas yakni sistem transportasi nasional, sistem logistik nasional, information and communication technologies, serta pembangunan regional.

Pengembangan koridor dan penguatan konektivitas menekankan pentingnya jejaring transportasi sebagai penunjang kelancaran arus barang dan jasa yang menjalankan aktivitas di hubs and nodes sepanjang koridor.

Meskipun koridor ekonomi seolah hanya menekankan pada aspek pengembangan regional di dalam pulau, perlu juga dipertimbangkan interaksi antarpulau dan keterhubungan/akses secara internasional.

Apalagi jika kita bicara dalam konteks negara kepulauan di mana pengembangan outlet distribusi berupa pelabuhan serta pembangunan jalur penyeberangan antarpulau jadi faktor utama dalam penguatan konektivitas.

Peran swasta

Berangkat dari kondisi itu, pembangunan sejumlah infrastruktur transportasi guna mendukung pengembangan wilayah di sepanjang KE perlu dipercepat.

Namun, dengan memperhatikan kondisi kapasitas fiskal pemerintah, pembangunan infrastruktur perlu didorong dengan melibatkan keikutsertaan sektor swasta.

Terdapat paling tidak tiga cara untuk membuka peluang swasta berpartisipasi dalam membangun infrastruktur transportasi.

Pertama, melalui pola public private partnership (PPP) sebagaimana merujuk pada Peraturan Presiden 67/2005 jo Perpres 13/2010 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres itu dalam proses penyempurnaan demi memperluas kesempatan swasta menyediakan infrastruktur tanpa mengabaikan good governance.

Sejumlah upaya telah dilakukan untuk memacu peran swasta dalam membangun infrastruktur a. l. dengan membentuk PT Sarana Multi Infrastruktur dan Indonesia Infrastructure Financing Facilites serta PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia.

Dalam Perpres 13/2010 juga dimungkinkan dukungan pemerintah dalam bentuk fiskal bagi pembangunan infrastruktur oleh badan usaha, misalnya dengan menyediakan pembangunan sebagian infrastruktur oleh pemerintah untuk meningkatkan kelayakan proyek atau melalui penyediaan dukungan nonfiskal melalui peraturan yang memfasilitasi pembangunan infrastruktur, seperti rencana penerbitan perpres tentang penjaminan proyek infrastruktur.

Kedua, melalui pembangunan infrastruktur yang bersifat khusus, seperti pelabuhan khusus, jalur KA khusus, dan bandara khusus.

Dalam hal ini pembangunan bisa dilakukan melalui izin dari Kemenhub dan instansi terkait untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur, mengingat kebutuhan infrastruktur ini diperuntukkan bagi kepentingan sendiri.

Kerangka hukum yang menjadi acuan dalam pembangunan ini mengacu kepada undang-undang sektor seperti UU tentang KA, UU tentang Penerbangan dan UU tentang Pelayaran.

Ketiga, infrastruktur dibangun sebagai bagian dari pengembangan kawasan, seperti pembangunan pelabuhan di dalam KEK.

Kerangka hukum dari pelaksanaan penyediaan infrastruktur ini akan mengacu kepada peraturan perundangan tentang KEK. Pembangunan pelabuhan di KEK berhak mendapat berbagai insentif yang tersedia bagi KEK seperti pengecualian dari ketentuan batas kepemilikan asing yang diatur dalam daftar negatif investasi ataupun insentif fiskal.

URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3182.html

Bambang Susantono
Wakil Menteri Perhubungan

Sabtu, 23 Oktober 2010

Memimpin Perubahan

A.B. Susanto*


Bagaimana sebenarnya pola kepemimpinan yang tepat untuk menuntun organisasi dalam menghadapi berbagai aspek perubahan yang dialami? Bagaimana pola kepemimpinan dapat menuntun organisasi lebih bersikap proaktif dan memiliki ketajaman yang relatif tinggi? Lebih baik lagi jika bukan sekedar menanggapi dan memanfaatkan berbagai perubahan yang ada, tetapi mengantisipasinya dengan baik.

Seorang dapat diibaratkan seorang nahkoda kapal yang sedang menempuh perjalanan di lautan luas, dengan berbagai tantangan dan cobaan. Dalam perjalanannya, sang nahkoda senantiasa dihadapkan pada pilihan keputusan-keputusan strategis, dalam kondisi normal, kondisi kritis karena diserang badai, atau dalam kondisi stagnan, tatkala seluruh bentuk kehidupan kelihatannya menghilang dan tidak memberikan arti apa-apa. Dalam perjalanannya, sang nahkoda berada dalam wadah yang tidak pasti tetapi secara ironis justru membutuhkan ketepatan "kepastian" dalam setiap keputusan atau setiap langkah agar kapalnya selamat dan dapat mencapai tempat tujuan dengan cepat.

Sang nahkoda harus dapat membentuk rasa "kebersamaan" dan rasa memiliki terhadap kapal, maupun keterlibatan dalam pencapaian tujuan. Kebersamaan ini hanya dapat dimunculkan jika kita memiliki sikap dan melihat eksistensi kita sebagai pemimpin justru sebagai bagian dari kumpulan eksistensi setiap anggota perusahaan, dan bukan sebaliknya. Kita dapat memicu perkembangan rasa percaya melalui kemantapan kapabilitas atau kompetensi yang dimiliki, serta dilengkapi dengan kerendahan hati untuk menyatakan bahwa proses yang sedang dilaksanakan merupakan "milik bersama". Konsekuensinya, para pemimpin harus dapat menempatkan diri sebagai "inisiator perubahan", "pelayan perubahan", dan secara aktif menunjukkan partisipasi langsung dalam proses pelaksanaan perubahan.

Dalam menjalani perubahan yang penuh tantangan, rasa antusias perlu dihadirkan dari awal perencanaan proses perubahan dan memainkan peran yang sangat penting. Pemimpin perubahan yang telah dibekali rasa antusias berkesinambungan masih akan menghadapi berbagai tantangan perubahan lainnya, akan tetapi, secara moral dan psikis ia telah didukung oleh kemauan dan semangat dari dirinya sendiri. Hanya dengan memiliki antusias yang ditunjukkan secara nyata, seorang pemimpin dapat meminta dukungan rasa antusias yang sama dari para anggotanya.

Unsur "kesinambungan" harus diperhatikan dalam menghidupkan rasa antusias, jangan sampai seorang pemimpin kehilangan semangat di tengah-tengah berlangsungnya proses perubahan.



Kewaspadaan dan Keberanian Mendobrak

Dalam mengelola perubahan, seorang pemimpin juga perlu memiliki "kerendahan hati", dalam artian tidak terlena oleh kesuksesan yang telah diraih dan senantiasa waspada terhadap berbagai perubahan situasi dan perkembangan-perkembangan yang akan mempengaruhi daya tahan dan masa depan perusahaan. Kebanggaan yang berlebihan justru seringkali menjadi elemen pemicu munculnya potensi kelemahan perusahaan justru ketika perusahaan berada di puncak.

Dalam kondisi yang dianggap "mapan" juga terdapat potensi destruksi yang harus dicermati. Keberanian untuk mendobrak kemapanan benar-benar kita butuhkan dan perlu kita implementasikan. Ingatlah bahwa kita eksis tidak untuk mengingat masa lalu dan hanya untuk mempertahankan apa yang sudah dicapai, tetapi untuk memberikan jalan kehidupan yang baru bagi perusahaan di masa mendatang.

Konsekuensi menjadi pemimpin adalah juga untuk sewaktu-waktu diperlukan mampu dan mau berperan sebagai panglima perang dengan membawa "pedang" yang secara tepat dan mungkin secara radikal harus kita manfaatkan untuk memotong keterikatan dengan tradisi dan kebiasaan yang ada untuk memperoleh kemenangan selanjutnya. Attitude seperti ini juga dibutuhkan dalam menghadapi perubahan yang tidak "nampak" dan terjadi secara perlahan-lahan, sehingga kondisi kemapanan kelihatannya tidak terusik.

Agar dapat dilaksanakan dengan efisien, perubahan memerlukan himpunan energi yang relatif besar. Kekuatan positif ini hanya dapat ditimbulkan jika pemimpin perubahan dapat menghimpun kekuatan dari seluruh jajaran anggotanya. Dengan kata lain, perubahan membutuhkan dukungan penuh dari para "penduduk" perusahaan. Sehingga, peran pemimpin dalam memanajemeni perubahan juga mencakup peran sebagai "bos", di mana karisma, kekuatan pribadi dan kepercayaan diri harus hadir.

Keyakinan diri perlu ditumbuhkan, agar di dalam diri para pengikut kita tidak terdapat keraguan dalam melangkah, karena merasa memiliki seorang pemimpin yang handal dan memiliki kredibilitas yang tidak diragukan. Tentu saja pengembangan diri agar dapat ’menggerakkan’ pengikut berkaitan erat dengan berbagai faktor dan hanya dapat diperoleh jika kita sendiri sudah memiliki "keyakinan diri sendiri", bahwa apa yang kita laksanakan adalah benar dan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi.

Dalam mengelola perubahan, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai manusia biasa akan lebih mudah merasa tidak mampu dan lebih mudah merasa tertekan dan ingin melepaskan diri apabila dihadapkan dalam kondisi krisis. Kita dapat mempersiapkan bekal untuk memantapkan diri dalam berbagai kondisi dengan terlebih dahulu memiliki kemampuan dan integritas diri yang jelas.

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Sumber: http://www.jakartaconsulting.com/art-09-04.htm


BUDAYA PERUSAHAAN DAN KUALITAS

Apakah rahasia keunggulan bersaing Toyota dari kacamata karyawan pesaingnya? Inilah yang dikemukakan seorang karyawan General Motor. Menurutnya keunggulan kompetitif Toyota yang utama adalah Budaya Perusahaan. Temuan ini menarik karena disampaikan bukan oleh manajer puncak, tetapi seseorang yang berada shop floor. Juga bukan oleh para akademisi yang menjelaskan dengan berbagai istilah abstrak.

Sebagai orang produksi selama ini yang tergambar dibenaknya mengenai rahasia keunggulan kompetitif Toyota adalah apa yang sering dilontarkan oleh banyak orang, seperti sistem produksi ramping (lean production system) yang dilandasi oleh just-in-time dan Jidoka (tidak meloloskan produk cacat kepada operasi berikutnya) serta prakondisi pembakuan kerja dan Heijunka (level scheduling). Tetapi dalam pengamatannya dia menemukan rahasia lain yaitu budaya perusahaan, yang menciptakan lingkungan yang kondusif dan memberikan key drivers untuk sistem produksi. Tanpa budaya perusahaan yang mendukung, sistem ini akan mudah ambruk dan tidak berkembang. Budaya perusahaan adalah soft side, sebagai pendukung hard side (struktural, sistem produksi, teknologi, dan desain) untuk memacu kualitas.

Hard side inilah yang sering diperbincangkan dalam percaturan mengenai kualitas. Buku, kuliah, seminar, pelatihan banyak sekali memberi perhatian kepada hard side, tanpa banyak mengalokasikan perhatian secara memadai kepada soft-side, budaya perusahaan. Hal ini juga sering diabaikan di negara kita, sehingga pengetahuan yang cukup memadai mengenai hard side, tidak menjamin kesuksesannya adalam menerapkan manajemen kualitas. Perusahaan-perusahaan Jepang sejak awal, ketika mengadopsi sistem kualitas selalu mempertimbangkan budaya setempat.

Mendapatkan insight mengenai budaya tidaklah mudah karena orang hanya melihat tampilan yang nampak (dalam khasanah budaya perusahaan disebut sebagai artefak), tetapi tidak dapat melihat kedalamannya. Jika kita berkunjung ke berbagai sudut akan tampak kata-kata pajangan yang menampilkan nilai-nilai mereka. Tetapi masalahnya adalah sejauh mana kata-kata diterapkan dalam lingkungan kerja sehari-hari.

Inilah kelebihan mereka, yang sangat menghayati keyakinan dan nilai-nilai bersama. Segala tindakannya mengarah kepada kepuasaan pelanggan yang dibuktikan dengan fokusnya yang ketat terhadap kualitas, yang cerminan ketujuh nilai dasarnya, yaitu customer first, competition and cooperation within our industry, respect for the value of people, mutual trust between employees and management, challenge and courage, applied creativity, and cost consciousness.

Dalama bidang produksi, budaya ini tampak pada saat kita melihat bagaimana anggota tim dalam shop floor, karena merekalah yang mengeksekusi rencana perusahaan dan secara langsung mengintrepetasikan budaya perusahaan sekaligus menerapkan dalam pekerjaan sehari-hari.

Bagaimana persepsi mereka terhadap masalah akan menciptakan problem solving environment yang merupakan cerminan dari nilai-nilai ini. Bagi mereka masalah adalah sebuah kesempatan untuk berkembang dan manager yang buruk adalah orang yang selalu menyatakan no problems. Masalah yang dijumpai ditelusuri dengan mencari akar permasalahan, dieksplorasi melalui pertanyaaan apa yang telah terjadi (what) dan mencari tahu mengapa terjadi (why) dan bukan mencari siapa yang bersalah (who). Bandingkan dengan situasi kebanyakan yang berada di lingkungan perusahaan-perusahaan kita. Masalah adalah sesuatu yang buruk, pertanda manager yang jelek, dan kemudian mencari siapa yang bersalah dan bukan mencari apa yang salah dan mengapa terjadi. Jika perlu malah mencari kambing hitam.

Sebagai aplikasi dari nilai-nilai ini, fokus segala upaya perusahaan diletakkan pada kualitas dan customer driven. Kesuksesan jangka panjang dicapai melalui penciptaan lingkungan, dimana anggota tim mempunyai keyakinan dan nilai-nilai bersama. Gaya manajemen yang diterapkan adalah keterlibatan langsung pihak manajemen yang ditandai oleh seringnya kunjungan kepada shop floor. Harapannya agar dapat melihat masalah di tangan pertama. Tentu saja gaya manajemen ini harus didukung hubungan yang mesra antara pekerja dan manajemen yang sifatnya kooperatif dan perasaan senasib. Kelihatan kok ideal sekali? Tetapi itulah yang terjadi. Dilakukan pula perlakuan kesetaraan diantara anggota organisasi untuk mendukungnya, seperti pakaian seragam dan kafetaria bersama.

Sistem penghargaan merupakan faktor penting dalam budaya perusahaan. Di Toyota penghargaan difokuskan kepada kerja sama, dan proses dianggap sama pentingnya dengan hasil. Sehingga nuansa yang tampak dalam sistem penghargaan adalah team environment. Bandingkan dengan kebanyakan perusahaan di sini yang berfokus pada individu dan hasil, yang bernuansa loner environment.

Dalam berkomunikasi bertumpu pada struktur yang terbuka dengan sesedikit mungkin hambatan sehingga menciptakan lingkungan information sharing dengan budaya konsesus. Bukankah salah satu contoh proses inovatif yang penting dan berhubungan dengan orientasi mutu adalah pengurangan pengambilan keputusan yang salah.

Budaya perusahaan sebagai soft-side selayaknya mendapat perhatian yang seimbang dalam upaya membentuk organisasi yang berorientasi mutu. Budaya yang quality-oriented ini merupakan suatu perjalanan, proses, dan juga cara berpikir.

Selain masalah budaya perusahaan, leadership mesti ikut jadi pertimbangan. Perlu kehadiran pola leadership yang memberi peluang pemberdayaan dan kondusif terhadap timbulnya partisipasi dan inisiatif lini bawah.

Sumber:http://www.jakartaconsulting.com/art-04-10.htm

Manajemen Krisis

A. B. Susanto*

Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis di Jakarta. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis.

Kejadian buruk dan krisis yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam – seperti banjir yang melanda Jakarta – , musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis, berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan, membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen. Penanganan yang segera ini kita kenal sebagai manajemen krisis (crisis management).

Saat ini, manajemen krisis dinobatkan sebagai new corporate discipline. Manajemen krisis adalah respon pertama perusahaan terhadap sebuah kejadian yang dapat merubah jalannya operasi bisnis yang telah berjalan normal. Pendekatan yang dikelola dengan baik untuk kejadian itu terbukti secara signifikan sangat membantu meyakinkan para pekerja, pelanggan, mitra, investor, dan masyarakat luas akan kemampuan organisasi melewati masa krisis.

Menurut Gartner.com, diperkirakan hanya 85% dari perusahaan-perusahaan Global 2000 yang membuat rencana penanganan krisis dan hanya 15% saja yang menyusun rencana bisnis yang lengkap ! Fakta ini menunjukkan masih banyak bisnis yang belum memperhitungkan beragam krisis yang mungkin terjadi dalam perencanaan bisnis mereka.

Terdapat enam aspek yang mesti kita perhatikan jika kita ingin menyusun rencana bisnis yang lengkap. Yaitu tindakan untuk menghadapi situasi darurat (emergency response), skenario untuk pemulihan dari bencana (disaster recovery), skenario untuk pemulihan bisnis (business recovery), strategi untuk memulai bisnis kembali (business resumption), menyusun rencana-rencana kemungkinan (contingency planning), dan manajemen krisis (crisis management). Manajemen krisis mencakup kelima butir sebelumnya.

Khusus untuk penanganan krisis karena bencana, perlu dilengkapi emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP).

Pada hakekatnya dalam setiap penanganan krisis, perusahaan perlu membentuk tim khusus. Tugas utama tim manajemen krisis ini terutama adalah mendukung para karyawan perusahaan selama masa krisis terjadi. Kemudian menentukan dampak dari krisis yang terjadi terhadap operasi bisnis yang berjalan normal, dan menjalin hubungan yang baik dengan media untuk mendapatkan informasi tentang krisis yang terjadi. Sekaligus menginformasikan kepada pihak-pihak yang terkait terhadap aksi-aksi yang diambil perusahaan sehubungan dengan krisis yan terjadi.

Agar dapat melewati masa krisis, organisasi membutuhkan seorang pemimpin yang cakap dan handal. Kisah kepemimpinan melalui krisis yang paling terkenal adalah kisah perjalanan Shackleton bersama 27 anak buahnya ke Benua Antartika tahun 1914 dengan misi menjelajahi benua tersebut. Walaupun pada akhirnya misi ini gagal karena kapal mereka tertahan bongkahan es, namun kepemimpinan Shackleton ini menjadi legenda akan keberhasilan pemimpin mengatasi krisis yang terjadi.

Mengutip Shackleton’s Way : Leadership Lessons From The Antarctic Explorer terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemimpin dalam menghadapi krisis dalam organisasinya. Pertama, penugasan segera, tawarkan rencana kegiatan, mintalah dukungan dari semua orang, dan tunjukkan bahwa organisasi mampu menghadapi krisis yang terjadi ini dengan baik. Kedua, lakukan pemantauan berkala terhadap kegiatan yang dilakukan anggota. Tujuannya agar anggota organisasi tidak kehilangan momentum pengendalian krisis, karena memperlakukan krisis sebagai proses bisnis biasa. Ketiga, rangkullah orang-orang yang tidak puas dengan kondisi yang terjadi dan menangkan “hati” mereka. Keempat, gunakan humor dan hal-hal lain untuk mengalihkan ketakutan akibat krisis. Terakhir, ajaklah seluruh anggota organisasi untuk terlibat dalam mencari dan menjalani solusi krisis yang telah disusun bersama.

Satu pelajaran penting dalam kisah Shackleton ini adalah ia (sebagai pemimpin) tidak memerintah anggotanya untuk melakukan hal-hal yang dikendaki, tetapi merangkul dan mengajak seluruh anggota untuk mencari solusi dan keluar dari krisis secara bersama-sama. Tidak perlu menyalahkan seseorang atau pihak lain akan krisis yang dialami. Tetapi carilah jalan keluar yang paling logis dan memuaskan seluruh pihak. Sehingga organisasi dapat keluar dari krisis yang terjadi. Bahkan jika ada krisis yang lain – atau bahkan krisis lanjutan – organisasi akan mampu untuk bertahan dan keluar dengan gemilang.




*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Sumber: http://www.jakartaconsulting.com/art-11-02.htm

Karir dan Metamorfosis Kehidupan

Himawan Wijanarko*


Karir ibarat sebuah perjalanan, sebuah urutan dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, dari satu tugas ke tugas yang lain, dari satu jabatan ke jabatan yang lain. Lintasan yang telah dilalui merupakan esensi dari perjalanan karir.

Perjalanan karir tak lepas dari skenario yang lebih besar: perjalanan hidup. Perjalanan karir adalah bagian dari perjalanan hidup. Titik-titik kritis dalam pembentukan karir, acap tak ditentukan oleh masalah internal dalam pekerjaan itu sendiri, namun ditentukan oleh keputusan-keputusan strategis dalam hidupnya. Seorang ibu yang mempunyai karir kemilau, dapat saja mengorbankan karir demi mendampingi anaknya yang mengalami autisme. Baginya membesarkan anaknya dengan limpahan kasih sayang jauh lebih bernilai daripada gemerlap dunia karir. Ini adalah sebuah pilihan hidup, yang diputuskan berdasarkan visi dan tujuan hidup seseorang. Tatkala seseorang sudah cukup lama menyusuri lorong karir, akan terbersit seungkap tanya: dimanakah ujung lorong ini. Dan jawabnya bukan diperoleh dari lingkup pekerjaannya, tetapi berada pada lingkup yang lebih luas: apakah tujuan hidupnya.

Metamorfosis dalam Kehidupan
Dalam lintasan perjalanan hidup, terdapat tonggak-tonggak kehidupan. Ada tahapan-tahapan yang berubah. Dalam perkembangan psikologis kita kenal masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Terdapat berbagai perspektif untuk memilah dan mengklasifikasikan tahapan-tahapan ini.

Pentahapan yang diikuti perubahan pada setiap tahapnya ini, dapat diandaikan dengan proses metamorfosis pada lintasan kehidupan kupu-kupu. Agar sampai pada tahap kehidupan kupu-kupu, sebutir telur kupu-kupu melewati sebuah proses yang cukup panjang dan perubahan secara bertahap yang kita kenal sebagai metamorfosis. Dari sebutir telur kemudian berubah menjadi seekor ulat yang rakus, yang dilanjutkan oleh terbentuknya kepompong sebelum menjadi kupu-kupu. Mari kita dalami masing-masing fase kehidupan kupu-kupu sebagai perlambang upaya pencarian kesempurnaan hidup.

Telur : Ketergantungan dan Ketidakberdayaan
Telur melambangkan ketergantungan dan ketidakberdayaan. Butiran-butiran telur yang keluar dari rahim sang kupu-kupu, tergeletak tak berdaya di dedaunan yang dipilih oleh sang bunda untuk meletakkannya. Sang bunda dengan segala penuh kasih sayang memilihkan tempat yang dianggap paling aman dan nyaman bagi sang telur. Telur hanya bersifat pasif, nasibnya sangat tergantung kepada pihak lain dan lingkungannya.

Demikian pula dalam kehidupan kita ketika kita dilahirkan kita dalam kondisi tidak berdaya, pasif, dan ”kelangsungan” hidup kita tergantung kasih sayang pihak lain, dalam hal ini orang tua kita. Kita hanya pasif dan sangat tergantung kepada orang-orang yang mengasuh kita.

Ulat : Hidup untuk Makan
Tatkala telur pecah dan menjadi ulat, mulai ada aktivitas dan bersikap aktif untuk mencari makan. Sayang sekali aktivitasnya terbatas dan menjadi parasit bagi tetumbuhan yang didiaminya. Aktivitasnya adalah makan, makan dan makan. Gerakannya lambat, makannya banyak. Dedaunan yang menjadi makanannya berlubang-lubang dan menjadi rusak. Dedaunan yang rusak akan mengganggu proses metabolisme tumbuhan. Aktivitasnya ini merugikan pihak lain yang sebenarnya justru menghidupinya dan merusak lingkungan.

Fase ulat (larva) ini merupakan pencerminan dari sikap hedonik yang bertujuan hanya menyenangkan diri sendiri tanpa mengindahkan kepentingan pihak lain. Menjadi parasit bagi pihak yang menghidupinya, mengeksploitasi pihak lain tanpa memberi timbal balik. Juga berdampak destruktif bagi lingkungan sekitarnya. Warna tubuhnya juga menyesuaikan diri dengan dedaunan, terutama menyamarkan keberadaannya untuk mengamankan dari para predator.

Kepompong : Komtemplasi
Setelah melewati fase kehidupan menjadi ulat, fase berikutnya adalah fase menjadi kepompong. Ulat membungkus dirinya dengan tabung yang menjadi tabir bagi dirinya dalam berhubungan dengan lingkungannya. Tabung ini sekaligus sebagai kamuflase dari para predator. Sang ulat bersembunyi di bawah sehelai daun dan ”bertapa”. Ulat berhenti makan daun yang merugikan pihak lain dan membatasi komunikasinya dengan pihak luar.

Dalam kehidupan kita, inilah fase kontemplasi. Tatkala kita mulai merenungi perjalanan hidup kita, dan mencoba menjaga jarak dengan kesenangan. Merenungi sebuah makna mengenai jati dirinya. Esensi hidupnya. Sebuah langkah untuk menjadi kupu-kupu yang menebarkan keindahan dan manfaat bagi sesama. Sebauh upaya mencari kearifan.

Kupu-kupu : Keindahan dan Manfaat
Kehidupan kupu-kupu merupakan fenomena yang sangat menarik. Seekor kupu-kupu akan menebarkan pesona keindahan. Dalam upayanya mencari makan (madu), kupu-kupu masih memberi manfaat kepada bunga yang dihisap madunya. Kupu-kupu berjasa dalam menebarkan serbuk sari sehingga terjadi perkawinan.

Intinya dalam mengambil manfaat dari pihak lain, kupu-kupu juga memberi manfaat. Sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme. Jadi kupu-kupu tidak hanya sekedar mengeksploitasi sumber daya secara sepihak tetapi juga memberi manfaat kepada pihak lain dan lingkungan.

Kupu-kupu yang memiliki sayap yang indah melambangkan harmonisasi dengan alam sehingga tercipta keindahan. Juga melambangkan penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pihak lain yang diajak bekerja sama karena menyesuaikan dengan warna-warni bunga.

Kupu-kupu ternyata adalah pekerja keras. Dibalik kelembutan dan keindahannya, dalam upayanya mencari makan seekor kupu-kupu terbang sejauh 60 mil. Tekad kerja kerasnya terbungkus oleh kelembutan, keindahan, dan care terhadap pihak lain.

Perjalanan hidup sang kupu-kupu sangat layak untuk kita renungkan dalam rangka mencari kearifan sebagai navigator dalam perjalanan hidup, yang tentu saja sangat berpengaruh dalam perjalanan karir.

*The Jakarta Consulting Group



Sumber :http://www.jakartaconsulting.com/art-15-42.htm
Himawan Wijanarko*


Dalam sambutannya pada acara pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia 2007, SBY menekankan pentingnya mengembangkan ekonomi gelombang keempat yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Penekanannya pada aspek budaya dan warisan budaya (heritage) dan lingkungan. Produk kerajinan dan seni budaya jika dikembangkan dengan baik tentu akan memberikan kontribusi yang besar pada ekonomi nasional.

Soal industri kreatif ini, kita bisa belajar dari Inggris. Inggris berpengalaman memetakan industri kreatif pada tahun 1998 dan 2003. Hasilnya dijadikan dasar untuk membuat serangkaian strategi dan kebijakan, yang selanjutnya mendorong perkembangan industri ini menjadi sektor kedua terbesar di Inggris setelah jasa keuangan. Industri kreatif versi Inggris ini mencakup industri periklanan, arsitektur, kesenian, kerajinan, desain, fashion, software komputer, dan entertainment.

Menurut Caves, creative economy memiliki beberapa karakteristik. Pertama, menekankan pentingnya orisinalitas, keterampilan teknis dan harmoni produk yang dihasilkan. Kedua, diperlukannya input ketrampilan yang beragam, khususnya dalam menghasilkan produk yang kompleks. Ketiga, produk yang dihasilkan dibedakan berdasarkan kualitas dan keunikan. Setiap produk merupakan hasil dari kombinasi input yang khas (distinct combination), yang hasil akhirnya adalah produk dengan variasi pilihan yang beragam. Keempat, pelaku utama industri ini dinilai berdasarkan keterampilan, orisinalitas ide, dan kecakapan (proficiency) dalam menciptakan produk yang menuntut kreativitas tinggi. Dan kelima, terdapat perlindungan hak cipta terhadap sebagian produk yang dihasilkan.

Pemerintah Inggris mendukung Indonesia Creative Economy Road Map 2010, melakukan pemetaan potensi ekonomi sektor industri ini di Indonesia. Mereka yakin dengan sumber daya alam Indonesia yang berlimpah, berkembangnya industri manufaktur, pangsa pasar domestik yang potensial, serta kuatnya tradisi yang demokratis dan artistik akan mampu membawa bangsa ini menjadi salah satu kekuatan industri kreatif dunia. Penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa industri manufaktur yang berhubungan dengan bidang kreatif di Indonesia bernilai sekitar US$ 88 milyar atau sekitar 33.5% dari PDB Indonesia yang juga berarti 6 kali lebih besar dari industri minyak dan gas bumi. Jika orang luar yang telah berpengalaman yakin, mengapa kita tidak memiliki keyakinan yang sama?

Industri kreatif kita yang paling siap adalah industri kerajinan, mulai dari batik sampai perhiasan. Kerajinan perhiasan misalnya, berlangsung sejak jaman kerajaan. Coba Anda perhatikan pakaian adat dari berbagai daerah, tampak bertabur perhiasan, bukan hanya cincin, anting, atau gelang, tetapi juga tusuk konde, keris, dan berbagai bentuk perhiasan lain.
Jika kita melihatnya sebagai industri kreatif, yang memiliki nilai ekonomi tertinggi adalah industri perhiasan emas, terutama yang bertahta batu mulia. Akar historis yang kuat ini berlanjut hingga saat ini, industri dan perdagangan perhiasan nasional menguasai mayoritas pasar dalam negeri. Industri kreatif ini bersifat padat karya serta kompetitif karena didukung ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja yang terampil. Potensi pasar perhiasan emas dalam negeri menempatkan Indonesia pada posisi ketujuh dunia.
Seorang rekan pengusaha perhiasan berkisah, karyawannya beberapa kali menyabet penghargaan di Italia. Padahal pendidikannya STM. Para pengrajin di industri ini juga cukup beruntung, karena penghasilannya sekitar 3 juta rupiah per bulan, jauh di atas UMR. Inilah industri kreatif yang diangankan.
Sayang industri ini sedang dirundung masalah. Beberapa pabrik perhiasan relokasi, investor asing yang menunda investasinya, kalangan menengah lebih suka membeli perhiasan di negara tetangga, tambang rakyat (intan) lebih senang menjual bahan baku perhiasan kepada pihak asing, dan realisasi ekspor rendah. Apa pasal? Coba anda tengok sistem perpajakannya. Jika pengusaha mau membuat perhiasan bertahta intan, bahan baku intannya kena PPN 10 persen, bea masuk 5 persen, dan PPn BM (pajak barang mewah) 75 persen. Total pajak yang ditanggung 90 persen. Di negara tetangga seperti Malaysia pajaknya 0 persen. Inikah potret kebijakan industri kreatif yang menjadi masa depan ekonomi kita?


* GM Strategic Services The Jakarta Consulting Group
Pernah dimuat di Majalah Trust


Sumber:http://www.jakartaconsulting.com/art-01-51.htm

Personality Quotient

A. B. Susanto*



Pada suatu masa jaman pertengahan di Eropa, terdapat seorang pemuda yang sedang dilanda kegelisahan. Ia sedang berada di dalam pencariannya menuju pemahaman terhadap dirinya. Ia merasa gundah gulana mengenai pekerjaan dan karirnya. Akhirnya, dia pergi mencari seorang tua yang bijaksana, yang diyakininya dapat menunjukkan jalan kepadanya untuk menjawab kegelisahan tersebut.

Orang tua yang bijaksana itu menerima kedatangannya dengan hangat. Ketika itu dia sedang duduk di muka pintu tendanya. Sambil menjamu tamunya dengan segelas teh, orang tua itu menjelaskan rahasia menuju pemahaman diri dan karir .

“Itu merupakan perjalanan yang jauh,” kata orang tua itu,” Tapi kamu pasti dapat menemukannya. Kamu harus mendatangi sebuah desa yang akan saya jelaskan nanti, di sana rahasia itu akan kamu temukan.” Si pemuda kemudian berangkat melakukan perjalanan melewati banyak lembah dan menyeberangi banyak sungai. Pada akhirnya dia sampai juga di desa itu. Katanya dalam hati, ”Ini tempatnya. Pasti ini tempatnya.”

Dia yakin bahwa ini tempatnya. Dia menemukan tiga toko kecil. Ketika dia masuk ke dalam toko-toko tersebut si pemuda sangat kecewa. Di toko yang pertama, dia hanya menemukan gulungan kabel. Di toko yang kedua dia menemukan tak lebih dari beberapa keping kayu. Di toko ketiga, hanya ada beberapa yang bentuknya tidak beraturan.

Letih dan putus asa, dia meninggalkan desa itu dan menemukan tempat istirahat malam itu. Sebuah daerah terbuka yang tidak terlalu jauh dari desa. Ketika malam tiba, bulan purnama menyinari tempat itu dengan cahaya yang lembut. Sesaat sebelum tertidur, terdengarlah olehnya suara indah berasal dari desa. Alat musik apakah yang sanggup melahirkan sebuah harmoni yang sempurna, segera dia berdiri dan berjalan menuju dimana kemungkinan si musisi berada. Dia terpukau ketika menemukan bahwa suara indah itu berasal dari sebuah sitar. Sitar yang sederhana yang terbuat dari kawat, kayu dan kepingan besi yang dia remehkan sebelumnya. Saat itu juga dia menyadari dan mengerti bahwa kebahagian sejati adalah gabungan dan hal-hal yang telah ada di dalam diri kita selama ini.

Pemuda itu pun lantas termenung dan menarik kesimpulan, kebahagiaan sejati bersumber pada realitas yang ada pada dirinya. Realistik dalam mengenal kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan semaksimal mungkin apa yang dimiliki.

Apakah moral cerita di atas? Dalam meniti karir terdapat hal yang tidak boleh terlewatkan, harus realistis!. Pertanyaannya sudah realistikkah keinginan kita? Realistik adalah menerima keadaan diri kita, tidak boleh meremehkan apa yang kita punyai. Realistik adalah menyadari kekurangan dan kelebihan kita, dan mengoptimalkan pemanfaatan apa yang kita miliki. Bukan untuk pasrah tanpa melakukan usaha apapun, tetapi justru bagaimana agar apa yang dimiliki dimanfaatkan secara optimal. Inilah salah satu bagian dari PQ, personality quotient.

Kita sering menemui orang yang sebenarnya bakatnya biasa-biasa saja, inteligensi tidaklah istimewa, tetapi dapat meraih kesuksesan dibanding orang-orang yang sebenarnya memiliki bakat istimewa.

Bagaimana kita memahami kepribadian kita? Banyak cara. Mulai dari masukan orang-orang sekitar kita sampai kepada inventori kepribadian yang sangat beragam. Jika kita membahas mengenai personality quotient, berarti kita berbicara bagaimana meng- angka-kan kepribadian dengan metode psikometri. Berbeda dengan inteligensi yang sifatnya prestatif, yang berarti makin tinggi cenderung dianggap makin baik, perlakuan terhadap kepribadian tidaklah demikian. Bukan baik-buruk, tetapi sesuai dan tidak sesuai untuk pekerjaan tertentu.

Misalnya kita bahas DISC, salah satu jenis inventori kepribadian yang populer. Inventori yang sudah dikembangkan dengan berbagai versi ini mengungkap empat faktor, yaitu: dominance, influence, steady, dan compliance. Dominance untuk mengetahui seberapa tegas dalam mengambil keputusan dan powerful. Influence menggambarkan seberapa persuasif dan interaktif. Steady menggambarkan seberapa besar keinginan untuk bekerja dalam lingkungan yang bersahabat. Compliant menggambarkan kebutuhan untuk menghimpun fakta dan bekerja secara detail.

Faktor yang sering terekspresikan akan menjadi corak kepribadian. Misalnya yang unsur D(dominant)nya tinggi cenderung lebih lugas dalam mengambil keputusan. Sebaliknya yang S (steady)nya cenderung lebih sulit mengambil keputusan, menghindari konflik dan menekankan lingkungan yang harmonis. Tentunya masing-masing karakter sangat sesuai untuk jalur karir tertentu.

Menariknya dalam analisa kepribadian ini digambarkan tiga pola perilaku sebagai ekspresi dari karakteristik kepribadian, yaitu: topeng (public self), inti (private self), dan cermin (perceived self). Topeng adalah pola perilaku yang ditunjukkan sebagai penyesuaian terhadap lingkungan berdasarkan persepsi seseorang terhadap perilakunya yang diinginkan oleh lingkungannya. Sementara private self pola perilaku yang ditunjukkan pada saat seseorang menghadapi situasi sulit dan menantang dalam hidupnya, ketika berada di bawah tekanan, stress, dan ketakutan. Sedangkan ”cermin” menggambarkan bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri (citra diri). Ini hanyalah salah satu bentuk inventori kepribadian.

Jadi para pembaca, memahami diri, ‘menempatkan’ dan mengembangkannya seoptimal mungkin merupakan sarana mendaki tangga karir.


*Managing Partner The Jakarta Consulting Group


Sumber : http://www.jakartaconsulting.com/art-13-17.htm

Kinerja Ekonomi di Tahun Keenam

Oleh: Hendri Saparini


Kinerja satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tengah marak didiskusikan. Semestinya, evaluasi akan lebih tepat bila disebut sebagai evaluasi kinerja enam tahun pemerintahan SBY. Meskipun ada perubahan kabinet, penentu politik pembangunan ekonomi selama enam tahun terakhir tetap berada di tangan Presiden SBY.

Selain itu, tentu terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara periode satu dan enam tahun karena pemahaman terhadap permasalahan seorang pemimpin niscaya akan sangat berbeda saat baru menyelesaikan satu tahun kepemimpinan dengan setelah enam tahun memegang kekuasaan. Oleh karena itu, sangat wajar jika tuntutan masyarakat terhadap kecepatan Presiden SBY dalam menyelesaikan persoalan akan jauh lebih besar pada tahun keenam ini.

Jika evaluasi dilakukan dalam konteks enam tahun kepemimpinan Presiden SBY, laporan survei Kompas (18/10) menjadi sangat menarik. Dilaporkan bahwa tren tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Presiden SBY di bidang ekonomi ternyata cenderung turun secara persisten sejak paruh kedua tahun keenam dibandingkan dengan tahun pertama.

Semakin mengejutkan lagi karena saat ini indikator-indikator makroekonomi justru menunjukkan pencapaian target yang baik. Pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2010 ditargetkan tumbuh 5,5 persen, pada semester I-2010 telah tumbuh 6,2 persen. Indeks harga saham gabungan melejit dari 2.502 pada 20 Oktober 2009 menjadi 3.578 pada tanggal yang sama tahun 2010. Stabilitas makroekonomi bahkan dinilai telah melompat 17 level sehingga dalam satu tahun terakhir indeks daya saing Indonesia naik kelas 10 tingkat.

Namun, mengapa masyarakat tidak menilai pencapaian tersebut sebagai sebuah keberhasilan pemerintah? Pertama karena besaran makroekonomi memang bukan ukuran satu-satunya dalam keberhasilan ekonomi. Kedua karena sebagian besar masyarakat tidak merasakan adanya perbaikan kesejahteraan ekonomi. Selain itu, juga tidak ada indikasi bahwa pemerintah akan melakukan koreksi kebijakan ekonomi sehingga lebih memprioritaskan kepentingan nasional. Lalu, mengada-adakah penilaian masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY?

Tak memiliki roh

Mari kita kaji beberapa kebijakan era Presiden SBY. Jumlah belanja APBN terus menggelembung hingga lebih dari seribu triliun rupiah, tetapi dibarengi dengan inefisiensi, maraknya percaloan, banyaknya kebocoran, penyimpangan, dan lain-lain. Sementara anggaran yang telah meningkat hampir tiga kali lipat itu tidak memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sebanding.

Jika APBN 2010 adalah anggaran tahun keenam, semestinya Presiden SBY telah mengetahui kelemahan-kelemahan Kabinet Indonesia Bersatu I, kemudian memperbaikinya. Realisasi anggaran yang lambat dan tertumpuk di belakang, misalnya, bukan masalah baru, melainkan telah terjadi sejak APBN 2005. Namun, masalah itu terus berlanjut dan bahkan kinerja APBN 2010 lebih buruk dibanding tahun sebelumnya. Tentu wajar jika masyarakat kecewa, apalagi ramai diberitakan bahwa kementerian dan lembaga berlomba-lomba mengejar ”kinerja anggaran” dengan hanya fokus pada upaya menghabiskan jatah anggaran.

Padahal, harapan masyarakat terhadap perbaikan kinerja APBN lebih substansial, yakni dilakukannya koreksi terhadap politik anggaran nasional yang saat ini semakin tidak memiliki roh. APBN bahkan dinilai sebatas kumpulan angka penerimaan dan angka pengeluaran. Tidak heran apabila pembahasan anggaran antara legislatif dan eksekutif menjadi sangat dangkal dan sering kali perdebatan hanya sebatas besaran angka, bukan pada konsekuensi kebijakan dan dampaknya terhadap ekonomi.

Pemerintahan SBY dinilai tidak mampu menjaga stabilitas harga berbagai kebutuhan dasar. Padahal, kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar menjadi kunci dalam menilai keberhasilan pemerintah. Saat ini, harga berbagai kebutuhan dasar justru cenderung meningkat sehingga daya beli masyarakat bawah terus merosot. Selama enam tahun, Presiden SBY belum melakukan koreksi terhadap kebijakan liberal yang telah mengakibatkan harga pangan serta biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal. Tentu bukan waktu pendek sehingga wajar jika masyarakat tidak lagi sabar menunggu perubahan.

Keberpihakan

Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan SBY juga terkait dengan arah kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada kepentingan nasional. Salah satu contohnya adalah kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Rumah tangga dan para pengusaha menolak kenaikan dan rencana kenaikan tahun 2011 karena akan menekan daya saing dan daya beli. Padahal, telah menjadi pemahaman umum bahwa masalah utama TDL adalah pasokan energi sehingga tidak salah apabila masyarakat berharap Presiden SBY segera memprioritaskan pemanfaatan energi alam untuk kepentingan nasional, termasuk produksi listrik. Sayangnya, Presiden SBY yang juga Ketua Dewan Energi Nasional tidak kunjung membuat keputusan yang diinginkan masyarakat.

Baru-baru ini ketidakpercayaan masyarakat pada keberpihakan kebijakan ekonomi pemerintahan SBY untuk kepentingan nasional makin bertambah. Masyarakat mempertanyakan izin kebijakan impor barang jadi oleh produsen yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 39/M-DAG/PER/10/2010. Kebijakan ini tentu akan mendorong impor produk jadi dan mempersempit ruang bagi pembangunan industri nasional yang kompetitif. Alasan pemerintah bahwa produsen tidak akan serta-merta beralih menjadi pedagang terlalu gegabah mengingat insentif lain, seperti dukungan supporting industry, infrastruktur, kebijakan tarif bea masuk, sangat minimal untuk membuat produsen tetap bertahan.

Kebijakan lain yang tidak pro terhadap pembangunan industri nasional terindikasi dari usulan Menteri Kesehatan agar kepemilikan asing pada industri farmasi diizinkan hingga 100 persen. Rencana Menkes ini tidak sejalan dengan Permenkes No 1010/ 2008, yang dibuat untuk mendorong agar obat-obatan yang dijual di Indonesia dapat diproduksi di dalam negeri. Indonesia adalah pasar terbesar keempat bagi industri obat dunia. Tentu investor asing sangat ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar utama produk obat mereka tanpa harus membangun industri di Indonesia. Rencana tersebut tidak mendukung pembangunan industri farmasi nasional yang semestinya menjadi prioritas pemerintah.

Presiden SBY adalah pemilik amanah yang menentukan politik pembangunan ekonomi selama lima tahun ke depan. Keberhasilan Presiden SBY dalam menjalankan amanah tentu sangat menentukan penilaian masyarakat. Setelah enam tahun, sangat wajar jika masyarakat melakukan penilaian kritis, baik terhadap kualitas kepemimpinan Presiden SBY maupun arah kebijakan ekonominya.

Seandainya di tahun keenam Presiden SBY mengubah arah ekonomi agar sejalan dengan harapan masyarakat serta mengubah haluan ekonomi sehingga menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas, dukungan masyarakat akan membanjir tanpa harus melakukan berbagai rekayasa pencitraan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03075511/kinerja.ekonomi.di.tahun.k


Hendri Saparini Ekonom ECONIT

Satu Tahun SBY-nomics

Oleh: Mudrajad Kuncoro



Dipilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 tampaknya mencerminkan tingginya harapan rakyat akan kontinuitas dan perubahan mendasar, khususnya dalam menjawab berbagai agenda yang belum tuntas.

Tanpa terasa 20 Oktober 2010 genap setahun usia pemerintahan SBY-Boediono atau enam tahun sejak 20 Oktober 2004. Sejak awal SBY menekankan pentingnya triple track strategy, yaitu pro-growth, pro-job, dan pro-poor. Seberapa jauh pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi, menekan pengangguran dan kemiskinan?

Dalam buku berjudul Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan (2009), Visi Indonesia 2014, SBY-Boediono mengartikannya sebagai terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Misinya, melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera, memperkuat pilar-pilar demokrasi, dan memperkuat dimensi keadilan di semua bidang.

Untuk mewujudkan visi-misi tersebut, agenda utama pembangunan nasional 2009-2014 meliputi: (1) Pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat; (2) Perbaikan tata kelola pemerintahan; (3) Penegakan pilar demokrasi; (4) Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi; (5) Pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

Presiden menjelaskan bahwa RAPBN 2011 diarahkan untuk mencapai 10 sasaran strategis guna mendorong pembangunan yang inklusif dan berkeadilan selama jangka waktu lima tahun ke depan.

Kesepuluh sasaran strategis itu adalah (1) Ekonomi nasional tumbuh makin tinggi; (2) Pengangguran makin menurun dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih baik; (3) Kemiskinan makin menurun; (4) Pendapatan per kapita makin meningkat; (5) Stabilitas ekonomi makin terjaga; (6) Pembiayaan dalam negeri makin kuat dan meningkat; (7) Ketahanan pangan dan air makin meningkat; (8) Ketahanan energi makin meningkat; (9) Daya saing ekonomi nasional makin menguat dan meningkat; (10) Memperkuat upaya pembangunan yang ramah lingkungan.

Agenda yang belum tuntas

Beberapa agenda yang belum tuntas sejak SBY memerintah ternyata tidak sedikit. Paling tidak ada beberapa yang utama yang perlu dibahas.

Pertama, penurunan tingkat kemiskinan yang belum mencapai target. Tingkat kemiskinan memang menurun dari 17,7 persen pada tahun 2006 menjadi 15,4 persen tahun 2008, bahkan menjadi sekitar 13 persen tahun 2010. Jika angka ini dapat dipercaya, rekor kemiskinan tersebut adalah paling rendah, baik besaran maupun persentasenya selama 12 tahun terakhir. Kendati demikian, angka itu masih jauh dari target kemiskinan awal yang hanya 8,2 persen tahun ini.

Kedua, perlunya peningkatan ”kualitas” pertumbuhan ekonomi. Pascakrisis 1998, Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, rata-rata hanya sekitar 4,5 persen per tahun. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kinerja pertumbuhan ekonomi pada era Presiden Megawati dan SBY.

Tahun 2008 perekonomian Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan 6,1 persen. Bahkan pada saat krisis keuangan global, Indonesia tetap mampu tumbuh 4,5 persen tahun 2009. Terbukti krisis keuangan global 2008 berdampak tidak sehebat krisis Asia 1998.

Analisis saya dan kawan-kawan berjudul ”Survey of Recent Development” dalam jurnal internasional terbitan Australian National University, Bulletin of Indonesian Economic Studies, edisi Agustus 2009, membandingkan kedua krisis ini (http://www.mudrajad.com).

Ketahanan ekonomi Indonesia kini jauh lebih kuat dibanding 12 tahun lalu dilihat dari berbagai indikator ekonomi kunci. Hanya tiga pasar yang terguncang akibat krisis 2008, yaitu pasar modal, pasar valas, dan ekspor. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menembus di atas 2.800, tetapi anjlok drastis hingga 1.111. Penyebabnya adalah 67 persen Bursa Efek Indonesia dikuasai oleh para pemain asing. Kurs rupiah yang stabil di level Rp 9.000-Rp 10.000 era SBY sempat melemah terhadap dollar AS hingga hampir mencapai Rp 13.000. Ekspor juga merosot hingga 30 persen selama Januari-April 2009 dibanding tahun sebelumnya.

Ketiga, dampak krisis ekonomi terhadap pengangguran baru terasa pada tahun-tahun pascakrisis 1998. Ini terlihat dari tingkat pengangguran akibat PHK besar-besaran dan banyaknya penutupan usaha yang terus meningkat.

Tahun 1998, pengangguran di Indonesia meningkat menjadi sebesar 5,5 persen. Pada tahun-tahun berikutnya pengangguran terus meningkat sampai menyentuh 10,28 persen pada 2006, turun menjadi 9,9 persen pada 2007, 8,5 persen pada 2008, 7,87 persen pada 2009, dan akhirnya 7,4 persen pada Februari 2010.

Relatif tingginya angka pengangguran mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang di bawah 6 persen pascakrisis belum mampu menyerap tambahan tenaga kerja baru dan mengurangi kemiskinan secara substansial. Inilah fenomena jobless growth.

Keempat, perlunya komitmen zero tolerance on corruption diterapkan dari pejabat pusat hingga daerah. Tanda tangan pakta integritas bagi para menteri perlu diperluas untuk semua pejabat Indonesia. Perbaikan tata kelola birokrasi/pemerintahan, reformasi birokrasi, perbaikan sistem pengawasan dan audit, beserta tindakan tegas bagi koruptor harus menjadi prioritas untuk memerangi korupsi yang sudah ”berjemaah dan ber-shaf-shaf”.

Kelima, akselerasi pembangunan infrastruktur. Hasil survei yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia yang berjudul Global Competitiveness Report 2009-2010 menunjukkan bahwa tidak memadainya kualitas infrastruktur di Indonesia menempati masalah mendasar ”Doing Business in Indonesia 2010” setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien. Kendati agak membaik dibanding tahun sebelumnya, Indonesia masih merupakan yang paling lemah dibanding negara lain di Asia Tenggara dalam hal ketersediaan infrastruktur.

Padahal, peningkatan infrastruktur merupakan program pilihan kedelapan yang ditetapkan Presiden SBY dari 15 program pilihan yang wajib diimplementasikan dalam jangka waktu 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, setelah satu tahun berlalu, mengapa pembangunan infrastruktur relatif berjalan lambat di Indonesia?

Pemerintah SBY tampaknya perlu lebih serius menjalankan agenda untuk mengurai sumbatan permasalahan infrastruktur, yang tidak hanya dipengaruhi minimnya pembiayaan APBN/APBD, tetapi juga masalah mendasar lain (”Debottlenecking Infrastruktur”, Investor Daily, 16/11/2009).

Lanjutkan

Barack Obama (2008), dalam buku yang berjudul Change We Can Believe in, menjabarkan dengan rinci visi dan rencana besarnya untuk memperbarui American Dream, impian dan janji Amerika. Obama mampu meyakinkan bahwa dialah pemimpin yang dapat menyatukan AS, menjawab tantangan besar yang dihadapi AS, dan bagaimana menggerakkan AS ke depan. Ia menumbuhkan harapan akan perubahan apa yang diinginkan warga AS.

Saya yakin rakyat Indonesia pun ketika memilih SBY-Boediono mendambakan banyak perubahan. Semoga perubahan kebijakan pembangunan Indonesia tidak hanya berhenti dalam 100 hari, atau satu tahun, tetapi berkelanjutan selama lima tahun ke depan dan benar-benar mampu membawa rakyat Indonesia menjadi lebih sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Rakyat Indonesia menunggu realisasi janji kampanye, target RPJMN 2009-2014, dan implementasi SBY-Boediono-nomics.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03040298/satu.tahun.sby-nomics


Mudrajad Kuncoro Ketua Jurusan dan Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM

Jumat, 22 Oktober 2010

Haruskah Impor Beras

Oleh: Khudori



Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal. Kita punya laut amat luas, tetapi isi laut yang melimpah tidak membuat nelayan kaya. Nelayan tetap dalam wajahnya yang lama: miskin dan tak berdaya. Beras adalah ironi lain. Pemerintah mengklaim produksi beras melimpah ruah, bahkan ada surplus 5,6 juta ton pada akhir tahun. Meskipun akhirnya surplus produksi direvisi hanya 2,04 juta ton, intinya produksi beras berlebih. Anehnya, pemerintah berencana mengimpor beras 300.000 ton dari Vietnam atau Thailand. Kalau memang kita kembali swasembada beras, mengapa harus impor? Kalau memang kita surplus beras, mengapa pula harus impor?

Pemerintah beralasan bahwa impor beras untuk memperkuat cadangan pemerintah. Saat ini, cadangan pemerintah di Bulog 1,195 juta ton beras jauh dari posisi aman sebesar 1,5 juta ton. Di luar itu, di Bulog juga ada iron stock sebesar 500 ribu ton. Sebetulnya, impor beras tidak diperlukan apabila penyerapan gabah/beras oleh Bulog mencapai target. Sampai awal Oktober ini, Bulog baru menyerap 1,8 juta ton dari target 3,2 juta ton (56 persen) beras. Kinerja Bulog kali ini memang mengecewakan. Sebab, tahun 2008 dan 2009 penyerapan Bulog masing-masing mencapai 3,21 juta ton dan 3,63 juta ton beras.

Memang masih terbuka peluang bagi Bulog untuk menyerap gabah/beras di musim paceklik (Oktober-Desember). Namun, bisa dipastikan Bulog kesulitan menyerap gabah/beras pada saat itu. Karena pada saat paceklik, kualitas beras akan lebih baik dan harganya tinggi, lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP) Rp 4.500/kg.

Padahal, menurut Inpres No 7/2009 tentang Perberasan, Bulog harus membeli gabah/beras sesuai HPP. Memang terbuka peluang bagi Bulog untuk membeli melalui jalur komersial. Namun, pembelian jalur komersial ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, cadangan beras pemerintah akan aman. Tapi di sisi lain, jika Bulog terlalu agresif membeli lewat jalur komersial, harga beras akan terdongkrak naik. Jika itu terjadi, peluang Bulog merugi cukup besar. Bagi Bulog, ini buah simalakama yang tidak mungkin untuk ditelan.

Jika keputusan impor itu lebih menguntungkan petani luar negeri, tentu publik tidak bisa serta-merta menuding Bulog tidak peduli petani domestik. Sejak Mei 2003, Bulog telah berubah menjadi 'makhluk' bisnis baru setelah mengalami "setengah privatisasi", yakni berubah status dari LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) menjadi Perum. Dengan status barunya itu, prestasi Perum Bulog pertama-tama tidak lagi diukur dari keberhasilannya dalam menstabilkan harga beras, menyerap beras/gabah petani, dan menjaga stok pangan nasional, tetapi dari kemampuannya memupuk laba.

Memang Perum Bulog masih diberi tugas pelayanan publik mengelola stok beras pemerintah dan menstabilkan harga gabah/beras. Tapi, bagi Perum Bulog, keputusan impor adalah peluang dan sebuah rasionalitas bisnis. Saat ini, harga beras Vietnam dan Thailand dengan pecahan 25 persen sekitar US$380 per metrik ton atau setara Rp 4.000/kg saat tiba di Indonesia. Harga ini jauh lebih murah daripada harga beras domestik: Rp 6.000-Rp 7.000/kg. Jadi, untungnya menggiurkan. Jika pun ada gugatan mengapa tugas pelayanan publik dikorbankan, ini bukan hal aneh dari kacamata "dwifungsi" Perum Bulog. Sudah nature, menggabungkan dua fungsi dalam satu lembaga, antara tujuan berbisnis dan fungsi sosial, akan menimbulkan komplikasi dan konflik kepentingan. Keduanya tidak mungkin dipersatukan karena dalam implementasinya fungsi sosial sering kali lebih bersifat sekunder. Karena sifatnya sekunder, misi sosial sering kali menjadi kambing hitam kegagalan, terutama jika lembaga yang bersangkutan tidak mampu memupuk keuntungan memadai. Inilah awal kemalangan dan penderitaan petani.

Impor beras, apalagi di tengah produksi berlebih, memiliki mata rantai dampak negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumber daya domestik, dan yang lain. Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi, karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis. Sepanjang 'wajah banci' Perum Bulog belum berubah, pertarungan bisnis versus tugas sosial ini akan selalu berulang. Jika kita tidak ingin itu terjadi dan terus berulang, 'kelamin' Perum Bulog harus didesain ulang.

Dalam jangka pendek, satu-satunya opsi yang tersisa untuk membatalkan impor beras adalah menugasi Bulog menyerap gabah/beras semaksimal mungkin pada musim paceklik hingga akhir tahun. Ini tugas negara yang diserahkan kepada Bulog. Karena harga gabah/beras pasti di atas HPP, jika di kemudian hari Bulog merugi karena tugas ini, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab negara. Jika penyerapan Bulog hingga akhir tahun bisa mencapai 2 juta-2,2 juta ton setara beras, impor tidak lagi diperlukan. Agar tidak terjadi moral hazard, terutama dalam anggaran, Bulog harus diawasi ketat di lapangan. Pemerintah dan DPR bisa membuat terobosan untuk melempengkan jalan ini.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/121186/Haruskah_Impor_Beras

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Bila Tak Sejahtera, untuk Apa Demokrasi?

Oleh: Amich Alhumami



Telah menjadi keyakinan universal, demokrasi merupakan alternatif terbaik sistem politik yang dapat mengantarkan masyarakat mencapai kesejahteraan.


Demokrasi akan melahirkan sebuah tatanan pemerintahan yang lebih kuat atas dasar legitimasi populis dari rakyat, yang diperlukan sebagai prasyarat dasar bagi proses pembangunan.Keyakinan ini bahkan sudah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik, yang menurut pengalaman di banyak negara memang tak terbantahkan.

Saksikan, gerakan demokratisasi telah menjadi gejala mondial dan merupakan pencapaian tertinggi ketika satu demi satu sebuah negara dengan sistem politik otoriter/totaliter berguguran dan berganti dengan sistem politik demokratis. Namun, impian ideal yang dijanjikan dapat terwujud di bawah sistem politik demokrasi ternyata tak mudah direalisasikan.

Semula diyakini, dengan membangun sistem demokrasi yang tangguh,partisipasi politik akan berkembang luas dan terbuka, pembangunan ekonomi dapat tumbuh yang akan mengantarkan pada keadilan, dan berbagai konflik sosial dapat diatasi tanpa disertai kekerasan. Sayang ide-ide memesona yang terkandung dalam konsep demokrasi ternyata menyisakan sejumlah persoalan serius dan kompleks, yang berpotensi menciptakan instabilitas politik.

Sebab, demokrasi tak mampu menjawab berbagai persoalan yang ada di masyarakat secara tuntas dan menyeluruh. Tak heran, bila demokrasi melahirkan banyak kekecewaan bahkan frustrasi sosial di kalangan masyarakat. Stein Ringen dalam What Democracy is For: On Freedom and Moral Government(2007) menegaskan bahwa praktik demokrasi memang tak sepenuhnya dapat sejalan dengan gagasan ideal sebagaimana konsep dan cita-cita demokrasi yang dirumuskan oleh para filosof sosial dan pemikir politik.

Pada tataran filosofis, demokrasi bertujuan untuk menciptakan kebebasan politik dan penghargaan pada hakhak sipil yang berorientasi pada peningkatan kualitas hidup bagi setiap individu dan secara kolektif dapat mendorong pencapaian kesejahteraan umum. Dalam pertarungan ideologiideologi politik besar dunia, demokrasi muncul sebagai pemenang; ia menjadi pemain tunggal dalam percaturan global.

Menjelang pergantian milenium, satu demi satu negara yang semula menganut sistem politik otoritarianisme bahkan totalitarianisme mulai berpindah ke sistem politik demokrasi.Namun, praktik demokrasi di banyak negara berkembang belum mencapai kualitas berdasarkan standar yang berlaku umum. Banyak negara yang sudah menempuh jalur demokrasi sebagai pilihan sistem politik,namun sangat sedikit negara yang mampu mendemonstrasikan kinerja sistem demokrasi yang berkualitas.

Demokrasi Indonesia

Dalam konteks Indonesia, gerakan reformasi yang bertujuan membangun sistem politik demokratis tak berjalan mulus dan menemui kendala serius baik yang bersifat kultural maupun struktural.Tampak jelas betapa agenda reformasi tak dapat direalisasikan dengan baik,sementara gerakan reformasi menemui jalan buntu bahkan telah berbelok arah tanpa panduan yang jelas.

Jika diidentifikasi, kekecewaan dan frustrasi sosial akibat kegagalan gerakan reformasi dalam membangun demokrasi meliputi beberapa hal pokok: ekonomi, politik, dan sosial yang saling bertalitemali dan membawa implikasi luas dalam kehidupan masyarakat. Pertama,dalam konteks ekonomi, kekecewaan muncul karena demokrasi dianggap tak mampu membuka jalan bagi pembangunan ekonomi yang berkeadilan.

Indikasi paling nyata adalah: (1) Kesenjangan ekonomi yang terus melebar dan tak dapat dieliminasi. (2) Disparitas penghasilan antargolongan dan antarkelompok masyarakat makin mencolok. (3) Angka pengangguran tetap tinggi yang bertendensi meningkat bilamana terjadi gejolak ekonomi. (4) Ketidakadilan sosial menjadi fenomena umum yang sulit diatasi. (5) Lingkaran kemiskinan sangat kronis yang akar-akarnya sulit diputus.

Fenomena ini semakin mengentalkan perbedaan struktur kelas di dalam masyarakat dan sangat potensial memicu lahirnya destabilisasi sosial yang mengancam proses d e m o - kratisasi. Kedua,sejumlah persoalan krusial di atas makin diperparah oleh wabah korupsi yang kian merajalela laksana gurita di kalangan pejabat publik: politisi dan birokrat. Yang menyedihkan,praktik korupsi berlangsung secara amat intensif dalam skala yang makin luas dan ganas baik di pusat maupun di daerah.

Perilaku korup secara nyata telah menjadi kendala utama bagi upaya restrukturisasi sistem politik dan menghambat proses demokratisasi. Praktik suap yang acap mewarnai proses politik di parlemen dalam menentukan kebijakan- kebijakan strategis, atau politik uang yang sudah menjadi bagian integral dalam setiap pemilu legislatif/presiden dan pemilihan kepala daerah (gubernur, wali kota,bupati),secara nyata merupakan penghalang utama bagi upaya membangun sistem politik demokrasi yang sehat.

Ketiga, dalam konteks politik, sistem demokrasi yang belum terkonsolidasi secara mantap telah memunculkan instabilitas politik. Indikasi paling nyata atas fenomena ini adalah sistem kepartaian yang sangat rapuh,antara lain,tercermin dalam banyaknya jumlah partai sehingga mengaburkan fungsi utama keberadaan sebuah partai politik. Partai politik hanya sekadar menjadi kendaraan politik bagi sekelompok kecil elite-elite nasional untuk meraih kekuasaan.

Tak heran, bila gejala demikian semakin menyuburkan potensi konflik antarelite politik.Perbedaan kepentingan berjangka pendek dan bersifat pragmatis, seperti perebutan jabatan eksekutif atau pengisian pos-pos strategis di birokrasi pemerintahan dan BUMN telah menjadi sumber utama pertikaian antarpartai politik.

Keempat,dalam konteks sosial, tingkat kohesi masyarakat tampak kian melemah akibat kian menguatnya kompetisi komunalitas, baik yang disebabkan oleh alasan ekonomi maupun politik, yang sering melahirkan konflik sosial di tingkat akar-rumput.Yang lebih memprihatinkan lagi, setiap kali terjadi konflik horizontal selalu disertai dengan kekerasan yang kental beraroma amis darah. Konflik horizontal ini antara lain menjelma dalam bentuk kerusuhan dan aksi kekerasan dengan aneka macam motif yang bersifat primordial: etnik dan agama.

Kemakmuran

Gerakan reformasi telah melewati lebih dari satu dekade,namun bangunan sistem politik demokratis tampaknya belum membawa dampak nyata bagi perbaikan kualitas hidup masyarakat. Tampak jelas, elemen-elemen sistem demokrasi tak berfungsi normal dan tak bekerja secara efektif. Lembaga-lembaga politik yang menjadi pilar utama demokrasi telah mengalami disfungsi yang akut.

Masa transisi memakan waktu sangat lama,namun tetap saja bangsa ini tak kunjung mampu keluar dari kemelut dan masih tetap berjibaku dengan persoalan yang amat kompleks. Semula kita percaya penuh kepada elite-elite politik untuk merealisasikan agenda-agenda besar reformasi dan sekaligus memandu masa transisi agar proses transformasi politik dapat berjalan baik dan lancar.Namun, kita kecewa ketika menyaksikan ternyata mereka telah membajak demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan semata.

Para elite politik yang menempati pos-pos strategis, baik di eksekutif maupun legislatif, yang memiliki akses ke proses perumusan kebijakan publik dengan mudah merekayasa suatu keputusan politik berdasarkan kepentingan individual, kelompok, dan golongan mereka sendiri.Tak terhitung lagi betapa banyak produk kebijakan negara yang berkaitan langsung dengan kepentingan publik yang tak sejalan dengan aspirasi masyarakat.

Jika diringkas, kinerja demokrasi yang rendah itu disebabkan oleh dua hal pokok: (1) Kelemahan sistem demokrasi lantaran tak memenuhi semua persyaratan yang diperlukan.(2) Warga negara mengabaikan dan kurang memahami apa yang disebut democratic citizenship sehingga tak dapat menjalankan partisipasi publik dalam seluruh proses politik dengan baik. Jika tak berbuah kesejahteraan, lalu untuk apa demokrasi?(*)
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/03061345/sampai.di.mana.reformasi.b



Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology,

Rabu, 20 Oktober 2010

Ayo Bercocok Tanam di Bulan!

Mungkin benar, bahwa tak ada kehidupan di Bulan. Namun, bukan berarti satelit Bumi ini tak bisa jadi koloni manusia.

Selain jaraknya relatif dekat dengan Bumi, manusia juga tak harus kelaparan di sana.

Kini, ilmuwan sedang mengembangkan prototipe 'greenhouse' atau rumah kaca untuk bercocok tanam yang bisa jadi kunci untuk menumbuhkan bahan makanan segar dan sehat di Bulan, atau bahkan di Mars.

Proyek yang dikerjakan peneliti di Pusat Pengendalian Lingkungan Agrikultur (CEAC) University of Arizona adalah bagaimana menumbuhkan tanaman tanpa media tanah.

Bahan makanan seperti kentang, kacang, tomat, cabe, dan sayur-sayuran bisa tumbuh di media air alias hidroponik.

Apa bedanya dengan pertanian hodroponik di Bumi?

Tim ini membangun prototipe rumah kaca Bulan di Laboratorium Iklim Ekstrem CEAC -- yang direpresentasikan dengan struktur beberapa tabung.

Tabung-tabung ini akan dikubur di bawah permukaan Bulan. Tujuannya, melindungi tanaman dan astronot dari jilatan api Matahari yang mematikan, micrometeorites dan sinar kosmik. Juga melindungi tanaman dari radiasi mematikan.

Ini jelas beda dengan rumah kaca konvensinal yang terpampang untuk menerima sinar matahari dan panas.

Canggihnya, modul rumah kaca yang dilapisi membran bisa ditempatkan di disk selebar 4 kaki untuk memudahkan perjalanan antar planet.

Juga akan dilengkapi dengan lampu uap sodium khusus yang didinginkan dengan air, dan amplop panjang yang berisi benih dan kecambah tanaman hidroponik.

"Kita bisa menyebarkan modul dan membuat air mengalir ke lampu hanya dalam waktu sepuluh menit," kata Phil Sadler, direktur Sadler Machine Co -- yang mendesain dan membangin rumah kaca Bulan.

"Hanya sekitar 30 hari kemudian, Anda akan memiliki sayuran segar yang siap dimakan," kata dia, seperti dimuat situs Space.com, Selasa 19 Oktober 2010 malam.

Modul ini bergantung pada komponen robot untuk bercocok tanam sistem organik ini.

Namun, "kami ingin sistem ini bisa beroperasi sendiri," kata Murat Kacira, profesor teknik pertanian dan biosistem di Universitas Arizona.

Para ilmuwan juga sedang merancang sistem yang memungkinkan operator dari Bumi melakukan intervensi.

Beberapa ide dalam proyek ini diilhami gudang bibit yang berada di Kutub Utara.

***

Aspek penting lain dari desain rumah kaca adalah penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien -- yang pastinya jadi isu krusial saat manusia berada di permukaan Bulan atau planet lain.

Karbon dioksida dimasukkan dalam prototipe rumah kaca tangki bertekanan. Tapi, astronot juga bisa menyumbang CO2 dengan cara yang sederhana: bernafas.

Sementara, air untuk menumbuhkan tanaman bisa diambil dari ekstraksi urin astronot.

Juga lampu berpendingin air, bisa digantikan kabel serat optik yang akan menyalurkan sinar matahari ke permukaan Bulan -- ke tanaman.

Kalaupun menciptakan koloni tumbuh-tumbuhan di Bulan dirasa terlalu muluk, ide juga bisa diterapkan di Bumi -- di perkotaan yang padat yang bahkan tak tersisa tanah untuk bercocok tanam.

(Space.com/hs)
Sumber : www.vivanews.com

Selasa, 19 Oktober 2010

Kepemimpinan yang Menggetarkan

Oleh: J Kristiadi


Dunia takjub dan tergetar menyaksikan keberhasilan Pemerintah Cile membebaskan 33 petambang yang terkurung di perut bumi di kedalaman 700 meter selama sekitar dua bulan. Sukses itu tidak dapat dipisahkan dari kualitas kepemimpinan Sebastian Pinera, Presiden Cile, yang penuh gereget, keyakinan, gigih, deterministik, habis-habisan, dan tuntas di tengah kesangsian berbagai kalangan soal kemampuannya menjadi juru selamat.

Kepemimpinan yang mengesankan jauh dari hiruk-pikuk protokoler dan simbol-simbol kejemawaan birokrat yang membosankan serta tidak mampu membangkitkan optimisme publik. Apa yang dilakukannya dengan sepenuh hati menegaskan kepada dunia mengenai watak kepemimpinan yang diperlukan bagi rakyat yang telah memberikan mandat dan kepercayaan kepadanya. Namun, ke depan, ia dituntut harus membuktikan konsistensinya dan tidak terjebak dalam politik citra serta godaan nikmatnya kekuasaan.

Detak-detak kepemimpinannya juga dirasakan oleh berbagai kalangan di Indonesia. Dalam konteks kekinian merasakan peranan negara semakin samar-samar, nyaris tidak terasakan kehadirannya. Pemerintahan seakan-akan berjalan sendiri tanpa arah yang jelas. Layaknya pesawat terbang tanpa pilot. Persoalan akut bertimbun-timbun, seperti rasa aman masyarakat yang merosot sejalan dengan meningkatnya pembenaran kekerasan atas nama kelompok serta sentimen primordial, masalah otonomi khusus Papua, lalu lintas Ibu Kota yang semakin lumpuh, masalah penanganan haji, perburuhan, tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan kasus Lapindo.

Suasana hati kolektif seperti itulah, tidak bermaksud membandingkan, dengan mudah mengasosiasikan kepemimpinan Presiden Cile dengan kepemimpinan di Indonesia. Efektivitas pemerintahan berbanding terbalik dengan dukungan kepada Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang didukung oleh tiga perempat kekuatan politik di parlemen serta kemenangan dalam pemilu presiden lebih dari 60 persen dalam satu putaran. Kekuatan politik itulah yang sangat signifikan untuk melakukan terobosan-terobosan perbaikan kehidupan masyarakat. Berbeda jauh dengan Sebastian Pinera yang hanya memperoleh kemenangan dalam pilpres awal tahun 2010 sebesar 51,61 persen. Itu pun melalui dua putaran. Dukungan di parlemen pun mungkin tak sebesar dukungan kepada SBY-Boediono.

Namun, kekuatan yang dimiliki pemerintahan SBY-Boediono seakan-akan hanya kalkulasi mati di atas kertas, bukan kekuatan nyata yang dapat mendukung realisasi kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu, meskipun dalam merespons berbagai bencana alam dan manusia (seperti Lapindo) SBY cukup sigap, tindak lanjutnya dirasakan tidak tuntas dan menyisakan masalah.

Meskipun harus diakui pula bahwa terdapat faktor-faktor obyektif yang mengakibatkan pemerintah tidak efektif. Faktor-faktor itu antara lain pragmatisme politik yang berlebihan, yang disertai praktik-praktik transaksi kepentingan, serta format relasi antara sistem presidensial dan sistem kepartaian yang belum kompatibel. Faktor lainnya adalah koalisi yang rapuh, desain otonomi daerah yang seragam, struktur dan garis komando pemerintahan yang tidak jelas, tingkat representasi lembaga perwakilan rendah, lembaga-lembaga politik dan pemerintah yang lemah, dan sebagainya.

Namun, justru konstelasi politik seperti itu, ketika otot-otot demokrasi masih lemah, sangat diperlukan kepemimpinan yang asertif agar bangsa ini tidak kehilangan momentum untuk mencapai tingkat percepatan kemajuan seperti yang terjadi di negara-negara sekitarnya. Termasuk jangan sampai kehilangan momentum perkembangan ekonomi yang positif dalam 12 tahun terakhir ini (Faisal Basri, Kompas, 17 Oktober 2010).

Sayangnya, pemerintahan yang mempunyai potensi dukungan yang sangat substansial ini tidak menunjukkan kinerja yang diharapkan. Dalam setahun pemerintahan SBY-Boediono banyak kehilangan waktu untuk melayani pertarungan kepentingan yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda mau mereda.

Bahkan, beberapa tokoh Partai Golkar dengan lantang menyatakan kurang nyaman dalam koalisi. Mereka juga sudah menggulirkan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden 2014. Gejala-gejala tersebut memberikan sinyal bahwa memasuki tahun 2011 pemerintahan akan semakin direpotkan oleh pertarungan jangka pendek dan kepentingan kekuasaan. Kecenderungan dinamika politik seperti itulah yang membuat masyarakat menjadi risau dan mempertanyakan komitmen pemerintah mengatasi berbagai persoalan.

Kegelisahan dan keprihatinan masyarakat mendorong pertemuan beberapa tokoh masyarakat pada awal Oktober lalu di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang mendesak agar pemerintah lebih serius menangani persoalan bangsa, seperti kerusakan lingkungan dan kemiskinan.

Ungkapan kegerahan juga dimanifestasikan dengan rencana demonstrasi besar-besaran pada 20 Oktober 2010. Bahkan, secara sama-samar muncul rumor tentang kemungkinan penggulingan kekuasaan. Kata ”penggulingan” tabu diucapkan dalam tatanan kekuasaan yang beradab. Dalam merespons dinamika politik, sebaiknya pemerintah cukup arif dan tidak terlalu tipis telinga. Inti persoalannya adalah keinginan masyarakat agar pemerintah lebih menunjukkan geregetnya dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa, tidak hanya melalui rapat dan retret, tetapi juga dengan tindakan yang nyata dan dirasakan masyarakat.

Pemerintahan SBY-Boediono masih mempunyai kesempatan empat tahun lagi. Sisa waktu tersebut jangan biarkan pemerintahan dijadikan ajang pertarungan transaksi kepentingan. Presiden harus dapat merebut kepemimpinan agar pemerintahan menjadi efektif. Politik pencitraan harus segera ditinggalkan dan digantikan oleh politik kerja keras, cerdas, dan bergegas.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/19/02543047/kepemimpinan.yang.menggeta


J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS

Hot money, prospek global, & fundamental kita

Oleh: Sunarsip


Dalam sebulan terakhir ini, bursa efek kita mengalami booming yang ditandai dengan melonjaknya IHSG hingga tembus 3.600 poin pada minggu lalu. Ditengarai, melonjaknya kinerja bursa ini didorong oleh masuknya dana-dana jangka pendek (hot money).

Berdasarkan data Bank Indonesia,pada triwulan III 2010, investor asing mencatat transaksi net beli rata-rata Rp225 miliar per hari atau naik signifikan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar Rp60 miliar per hari.

Membaiknya faktor fundamental ekonomi kita menjadi salah satu faktor di balik derasnya arus hot money. Namun, pengaruh eksternal juga turut mendorong situasi ini. Perlu diketahui, kondisi perekonomian global saat ini masih diliputi ketidakpastian. Pada pertengahan 2009, sejumlah kalangan sempat optimis krisis global akan cepat pulih.

Optimisme ini dapat dilihat dari beberapa kali IMF menaikkan outlook-nya terhadap pertumbuhan ekonomi global yaitu dari 3,9% pada Oktober 2009 menjadi 4,6%. Namun, optimisme ini kembali terkoyak akibat krisis utang di Eropa pada awal 2010. Akibatnya, outlook ekonomi global kembali terkoreksi.

Perekonomian Eropa saat ini memang tumbuh, tetapi laju pertumbuhannya sangat lambat. Pada triwulan II 2010, Eropa hanya tumbuh 1,0% (qtq) atau 1,9% (y-o-y). Itu pun ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis. Sementara itu, Yunani, Portugal, dan Spanyol masih mengalami perlambatan sebagai dampak dari austerity program. Aktivitas manufaktur juga mulai melambat seperti terindikasi oleh tren penurunan purchasing managers index (PMI).

PMI Composite Output Index untuk Zona Eropa September 2010 berada di level 53,8, atau turun dibandingkan April 2010 yang di level 60,0.

Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Selama September 2010,kondisi ekonomi AS masih kurang menjanjikan. PMI sektor manufaktur dan non-manufaktur terus menurun selama 4 bulan terakhir. Meski tren konsumsi di AS membaik, laju pertumbuhannya masih relatif kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor konsumsi masih tertekan disebabkan oleh tersendatnya ekspansi kredit, meningkatnya pesimisme konsumen, dan tingkat pengangguran yang tinggi (9,6% pada Agustus 2010).

Untuk mendorong pemulihan ekonomi, The Fed mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, yaitu 0,25%. The Fed juga melakukan kebijakan quantitative easing dengan membeli obligasi Pemerintah AS. Sehingga tidak mengherankan jika imbal hasil US T-Note bertahan di level rendah. Kebijakan The Fed ini berpotensi memperbesar utang Pemerintah AS. Dan jika kebijakan The Fed ini kurang efektif,bukan tidak mungkin akan terjadi resesi ekonomi dunia lagi (double dip).

Secara umum, perekonomian global memang lesu, khususnya dalam 5 bulan terakhir. The Global PMI Output Index pada September lalu turun menjadi ke level 52,6 dari level57,7 pada April 2010. Hal yang sama juga dialami oleh kinerja ekspor secara global. Bahkan indeks PMI ekspor global pada September lalu adalah yang terendah dalam 14 bulan terakhir.

Dengan berbagai kondisi di atas, tidak mengherankan bila para investor lalu mengalihkan dananya ke emerging market. Sekalipun mungkin mereka "terpaksa" membeli aset yang memiliki risiko cukup tinggi. Hal itu tetap dilakukan, mengingat imbal hasil yang diberikan emerging market relatif lebih tinggi dibandingkan oleh AS dan Eropa, sehingga masih bisa meng-cover faktor risiko.

***

Kondisi eksternal yang kurang mengesankan, ditambah dengan kondisi internal yang baik itulah yang akhirnya mendorong hot money mengalir ke pasar keuangan Indonesia. Tahun ini, ekonomi kita diperkirakan tumbuh 6,0%-6,3% dan pada tahun 2011 mencapai kisaran 6,0%-6,5%. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh sektor konsumsi, ekspor, dan investasi. Dari sisi harga, inflasi masih tetap terkendali sekalipun trennya meningkat.

Sekalipun membaik, tetapi sejatinya hal ini tidak bisa disimpulkan bahwa fundamental ekonomi kita telah kuat. Sebab, kalau kita cermati dari perkembangan ekonomi kita terdapat banyak fenomena ekonomi yang tidak sinkron dengan capaian kinerja ekonomi ini.

Sebagai misal, pada triwulan II 2010, ekonomi kita tumbuh 6,17%, terutama disumbang oleh sektor jasa. Subsektor pada sektor jasa tumbuh antara 4,76% - 12,91%. Sementara itu, pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan II 2010, sektor pertanian hanya tumbuh 3,08% (yoy) dan sektor manufaktur tumbuh 4,29%.

Sayangnya, peningkatan kinerja sektor jasa tersebut ternyata tidak menimbulkan multiplier effects yang kuat terhadap penyerapan tenaga kerja (employment). Berdasarkan kajian Kementerian Keuangan (2008) disebutkan bahwa pascakrisis, kinerja sektoral ekonomi kita turun drastis dibandingkan dengan sebelum krisis.

Pada 2003-2007, sektor jasa masih mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu 7,81%. Sayangnya, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (employment) di sektor jasa hanya 4,52% atau elastisitasnya hanya 0,58 (lihat tabel).

Fenomena ini bertolak belakang dengan yang terjadi di negara-negara lain, khususnya negara dengan tingkat penghasilan menengah ke atas. Berdasarkan riset McKinsey Global Institute (2010), sektor jasa selain menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian, juga menjadi sumber penyerapan tenaga kerja yang paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya.

Setidaknya, terdapat dua hal yang dapat dimaknai dari fenomena ini. Pertama, pertumbuhan sektor jasa yang tinggi ini belum ditopang oleh daya saing yang berbasis kompetensi. Pertumbuhan sektor jasa ini bisa jadi sebagian besar merupakan andil dari teknologi, SDM, ataupun modal dari asing.Kedua, rendahnya kinerja sektor pertanian dan manufaktur menunjukkan bahwa pertumbuhan yang terjadi pada kedua sektor ini bukan disebabkan oleh daya saing kompetitif produk-produk yang dihasilkan, melainkan masih bergantung pada keunggulan komparatif.

Kesimpulannya, ekonomi kita saat ini memang membaik. Namun, hal itu hendaknya tidak membuat kita terlalu berpuas diri. Ini mengingat, banyak hal yang perlu dibenahi terkait dengan fundamental kita. Terkait dengan itu, maka derasnya arus hot money saat ini hendak juga disikapi sebagai suatu tren yang sangat sementara.

Mengingat bahwa situasi global saat ini dan ke depan masih belum pasti, hot money diperkirakan masih akan bertahan setidaknya hingga semester I 2010. Oleh karena itu, momentum ini perlu dimanfaatkan para pelaku usaha. Caranya, dengan melakukan aksi-aksi korporasi untuk memanfaatkan dana-dana jangka pendek ini dengan menerbitkan saham atau obligasi agar kita bisa mengoptimalkan hot money ini secara maksimal bagi perekonomian.

URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3166.html


Sunarsip
Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Senin, 18 Oktober 2010

TKI dan Sawit Malaysia

Oleh: Transtoto Handahari


Dalam pernyataan yang dikeluarkan, di tengah ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia beberapa waktu lalu, tersirat kekhawatiran pemerintah bahwa ketegangan hubungan RI-Malaysia akan berimbas ke tenaga kerja Indonesia di sana.

Menurut data resmi, dari lebih 2 juta TKI yang bekerja di Malaysia, 78 persen bekerja di perkebunan. Terbesar bekerja di ladang sawit, sisanya di kebun karet, cokelat, dan kehutanan. Jumlah TKI di atas belum termasuk TKI ilegal yang bisa mencapai separuhnya.

Malaysia, sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua dunia setelah Indonesia mengandalkan pula hasil karet dan cokelat, jelas-jelas sangat menggantungkan diri pada peran TKI. Lapangan pekerjaan kasar di perkebunan sangat tidak diminati oleh masyarakat lapis bawah Malaysia sekalipun. Artinya, TKI kebun bisa saja menjadi ”mesiu” efektif Indonesia menghadapi arogansi Malaysia.

Kemilau sawit

Sawit (Elaeis sp) memang sedang menjadi primadona. Negeri tropis Indonesia dan Malaysia dengan jenis tanah podsol pada umumnya dan curah hujan 1.000-2.500 milimeter per tahun menjadikan negeri ini ladang yang amat produktif untuk sawit. Devisa yang diraup Indonesia saat ini sekitar 14 miliar dollar AS per tahun, padahal luas kebun sawit baru 7,2 juta hektar. Hasil produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia yang mencapai lebih dari 19 juta ton per tahun menempatkan Indonesia sebagai penghasil minyak CPO terbesar di dunia (44,5 persen).

Malaysia dengan keterbatasan lahan dan tenaga kerja ternyata mampu mendudukkan dirinya sebagai penghasil CPO nomor dua dunia setelah Indonesia. Namun, penghasil 17,35 juta ton CPO (41,3 persen) tersebut hanya mampu berproduksi lantaran dukungan sepenuhnya dari TKI.

Tahun 2050, permintaan global untuk minyak goreng diperkirakan mencapai 240 juta ton, hampir dua kali konsumsi tahun 2008. Produksi dan konsumsi minyak nabati dunia periode 2008-2012 saja diperkirakan 132 juta ton, sedangkan produksinya hanya 108 juta ton sehingga perlu pasokan baru sebesar 24 juta ton. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dunia diperlukan penambahan areal perkebunan kelapa sawit sebesar 12 juta hektar. Indonesia berpeluang besar memenuhi kebutuhan dunia tersebut. Namun, bagi Malaysia akan sangat terkendala untuk bersaing dengan Indonesia.

Malangnya, saat ini kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama akibat serangan ”green gun” dari sebagian lembaga swadaya masyarakat yang seakan memiliki misi menghambat pengembangan sawit Indonesia. Akibatnya, muncul keputusan sepihak dari perusahaan-perusahaan multinasional yang merugikan Indonesia. Gangguan ini tidak dialami kebun-kebun sawit Malaysia.

Hambatan lainnya, karena Indonesia dianggap ”tidak mampu” dibandingkan Malaysia dalam mempraktikkan produksi minyak sawit yang berkelanjutan (sustainable palm oil production’) oleh dunia internasional sehingga para pengusaha Indonesia seperti dipaksa ”harus” bekerja sama dengan Malaysia dalam mengelola kebun sawit. Malaysia berpeluang menguasai perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

TKI di Malaysia

TKI menduduki jumlah pekerja terbesar di Malaysia. Sebagian bekerja di rumah tangga dan bangunan (20 persen) dan sisanya (80 persen) di perkebunan dan kehutanan. Sektor perkebunan merupakan andalan perekonomian Malaysia yang hampir sepenuhnya ditopang oleh tenaga kerja asal Indonesia. Tanpa pekerja Indonesia, sektor perkebunan akan ambruk.

Sebagai gambaran, Sabah, Malaysia Timur, dengan luas 76.115 kilometer persegi merupakan kantong TKI yang sangat diminati calon pekerja Indonesia karena faktor geografis (jarak), agama, dan bahasa yang memudahkan mereka berkomunikasi.

Jumlah TKI resmi di Sabah mencapai 538.180 orang, TKI ilegal menurut catatan Imigresen Sabah 329.388 orang, belum termasuk WNI ilegal yang keluar masuk Sabah dari Nunukan melalui ”jalan-jalan tikus” di Kalabakan, Tawau. Mereka diperkirakan berjumlah 182.746 orang tahun 2008. Dari kebun sawit di Sabah yang hanya sekitar 1,3 juta hektar, disumbangkan

97 persen PDB dan ekspor CPO merupakan 35 persen ekspor Sabah secara keseluruhan.

Yang berjasa dari proses produksi sawit tersebut adalah para TKI dengan jumlah 90 persen dari total pekerja perkebunan di Sabah. Selain TKI, terdapat pekerja dari Filipina, sementara pekerja dari negara lain seperti India, Banglades, Vietnam, dan Timor Leste, sebagaimana sering digembar-gemborkan Pemerintah Malaysia, belum tampak.

Upah rendah

Malaysia, di samping memiliki keterbatasan luas lahan sawit untuk bersaing dengan Indonesia, sebenarnya juga cemas terkait kebutuhan tenaga kerja kasar di lapangan. Seperti yang disebut di atas, nyaris hanya dipenuhi oleh tenaga kerja asal Indonesia.

Ironisnya, meskipun tingkat upah kotor pekerja perkebunan relatif rendah, rata-rata hanya 500 ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp 1,25 juta dan tertinggi 700 RM, TKI tetap saja berebut bekerja di sana. Pekerja lapangan terbesar berasal dari Bugis dan Toraja, disusul NTB dan NTT, serta sisanya dari Banyumas yang dikenal ahli petik buah sawit.

Menjadi PRT pun gajinya juga hanya berkisar 350-500 RM atau sekitar Rp 1 juta per bulan, masih ditambah dengan bonus penghinaan (Rudhito Widagdo, KJRI Sabah, 2010).

Memang, kemudian menjadi mengherankan, mengapa hanya untuk meraih upah sedemikian rendah para TKI rela hidup sulit di kebun-kebun di negeri orang, dengan risiko tersia-sia dan bahkan hilang tak tentu jejaknya. Pemerintah selayaknya melihat keadaan nyata ini sebagai salah satu faktor yang dapat menekan kesemena-menaan Malaysia terhadap bangsa kita.

Kesempatan membuka kebun sawit yang lebih luas harus segera dirancang di atas lahan-lahan telantar ataupun menanami lahan hutan yang rusak. Kebijakan pengembangan kebun dan hutan tanaman yang ramah lingkungan di dalam negeri akan membuka lapangan kerja yang amat luas dan sekaligus mengembalikan para TKI untuk bekerja di negeri sendiri.

Di samping meningkatkan devisa, kebijakan tersebut akan meningkatkan martabat bangsa ini sekaligus memberikan pelajaran yang telak bagi keangkuhan negeri tetangga itu.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/10/09/04134820/tki..dan.sawit..malaysia


TRANSTOTO HANDADHARI Ketua Umum Yayasan GreenNET Indonesia

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...