Selasa, 17 Februari 2009

Memimpin Frustrasi Rakyat

Oleh: Rocky Gerung

Siapa kini yang sanggup memimpin frustrasi rakyat? Pers lebih tergiur mengamati bahasa tubuh presiden. Para pakar lebih tergoda mengolok-olok model komunikasi politik pemerintah. Tokoh LSM berhenti berpromosi HAM karena kurang biaya. Universitas lebih suka menerima riset pesanan birokrasi dan dunia bisnis ketimbang mengukur kedalaman demokrasi dan keadilan. Parlemen amat gembira memagari diri dari gangguan rakyat. Dalam kondisi itu, politik ”arus bawah” mengalir deras.

Isu ”arus bawah” kini tidak memiliki nama, kecuali ia hanya akibat dari harapan yang hampir putus terhadap perubahan. Untuk sementara harapan itu bisa disambung melalui kebijakan ”politik uang” yang bernama BLT (bantuan langsung tunai), sekadar untuk menunda instabilitas politik. Karena itu, kita berhasil memelihara stabilitas politik yang semu selama satu triwulan lalu.

Menabung risiko

Namun, sebelum tahun yang lalu berakhir, gelombang PHK sudah mulai, bahkan merata ke seluruh provinsi. PHK berarti frustrasi ekonomi bagi kelas menengah. Dan, ini adalah kondisi politik yang tidak dapat disubsidi karena ia menyangkut defisit harga diri para penganggur.

Seorang penganggur bukan saja tidak punya pekerjaan, tetapi juga tidak punya harga diri. Menurut rumus sosiologi, huru-hara adalah fasilitas sosial bagi ekspresi politik harga diri! Sekali pintu itu terbuka, dendam-dendam politik lama akan berhamburan menuju pintu yang sama. Begitulah rawannya kondisi transisi demokrasi kita kini. Tetapi siapa peduli?

Kabinet yang baru tentu bersiap untuk meredam teori ini. Tetapi, samakah kepentingan politik di antara anggota kabinet sehingga suatu dirigisme ekonomi dapat dijalankan secara koheren, yaitu dengan asumsi yang satu dan dalam arah yang sama? Misalnya, apakah bidang ”kesra” (yang berparadigma subsidi) akan dikelola secara ”moneteristik” sama seperti bidang ”ekuin” (yang berparadigma efisiensi)? Atau apakah paradigma bidang ”ekuin” sendiri dapat dikendalikan secara disipliner oleh Menko Perekonomian tanpa halangan politik dari menteri-menteri teknisnya yang berbendera partai? Bukankah hasil reshuffle kabinet adalah amat politis ketimbang keahlian sehingga political utility seorang menteri mendahului intellectual capability-nya? Dapatkah Menko Perekonomian mengabaikan itu?

Tentu saja problem ini akhirnya memerlukan kata akhir presiden. Tetapi hingga kini demarkasi antara wilayah ”teknokrasi” dan ”politik” belum dapat ditetapkan presiden sebagai kepala kabinet. Padahal, garis inilah yang akan menentukan iklim investasi jangka panjang, kepastian pemberantasan korupsi, sekaligus dasar dari suatu sistem pemerintahan presidensial yang efektif.

Dunia bisnis yang rasional tentu ingin menghormati politik, untuk jaminan investasi jangka panjang. Tetapi bila demarkasi itu tidak tegas, dunia bisnis akan mengeksploitasi politik demi keuntungan jangka pendek. Ini pasti berakibat memperdalam pelembagaan korupsi dan memperlebar dendam ketidakadilan. Suatu langkah mundur reformasi!

Garis demarkasi yang tidak tegas juga mengaburkan teori legitimasi pemilu langsung karena presiden terus bekerja dalam teori parlementarian semu. Dalam sistem presidensial yang efektif, seorang presiden memerlukan hanya satu teori, satu asumsi, dan satu risiko. Sebaliknya, presiden yang menggabung-gabungkan teori, menumpuk-numpuk asumsi, niscaya sedang menabung banyak risiko.

Instabilitas politik

Suatu skenario tentang instabilitas politik sudah harus dibayangkan oleh presiden, mengingat periode ”bulan madu” presiden dengan publik sudah selesai. Sebenarnya, hanya karena ketiadaan figur oposisilah maka kita masih menikmati ujung eforia politik pascapemilu, yaitu harapan terhadap perubahan. Selebihnya sebetulnya, ”politik arus bawah” sudah berakumulasi bukan lagi akibat putusnya harapan, tetapi justru karena memburuknya kualitas hidup. Yang ”ada” memburuk, apalagi yang ”akan”!

Sambungan antara politik ”arus bawah” dan kepentingan ”kelas menengah” amat mudah dibuat dalam situasi di mana kebijakan ekonomi justru memerosotkan daya beli mereka. Sinyal pasar uang, kurs, dan suku bunga terlalu pendek jangkauannya untuk meyakinkan psikologi para penganggur tentang bakal kembalinya pekerjaan mereka. Bahkan sebaliknya, persepsi terhadap indikator-indikator ekonomi yang membaik sekalipun akan segera diterjemahkan sebagai bertumpuknya keuntungan di tingkat elite. Jalan pikiran ini adalah juga ”jalan pikiran ekonomis” bagi mereka yang terjepit.

Hal yang berbahaya adalah menganggap daya tahan masyarakat amat kuat dalam menjalani kesulitan ekonomi di masa transisi ini. Percobaan politik yang dilakukan pemerintah melalui kenaikan harga BBM ”sekali pukul” Oktober lalu, tanpa menimbulkan gejolak politik, adalah harga yang dibayar publik untuk memperoleh sebuah kabinet baru yang hanya ahli menyelesaikan masalah dan bersih dari pertimbangan-pertimbangan politis. Tetapi, karena bukan itu yang terjadi, masuk akal bila kini angka popularitas presiden turun. Kemanakah arus delegitimasi itu bermuara? Masalahnya kembali pada fakta, kita tidak memiliki pemimpin oposisi.

Bahaya dari kondisi politik semacam ini adalah, frustrasi rakyat lebih cepat bermuara ke dalam politik destruktif ketimbang mengalir menjadi politik alternatif. Inilah bahaya laten bagi presiden yang menggantungkan legitimasi formil pada konfigurasi politik parlementarian dalam kondisi di mana lembaga oposisi tidak bekerja. Siapa yang akan memimpin frustrasi rakyat? Rakyat akan mencari pemimpinnya sendiri. Itu benar, tetapi setelah destruksi terjadi.


URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/17/opini/2370708.htm

Rocky Gerung Pengajar Filsafat FIB UI

Diterjang Liberalisasi, Dibelit Ekonomi Rente

Oleh: Alexander Irwan

PENGOTAK-ngOTAKAN ilmu pengetahuan sudah berawal pada abad ke-18 dan menjadi mapan sebelum Perang Dunia II (Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu Sosial, LKiS, 1997). Pengotakan tersebut dimulai ketika ilmu eksak, kebenaran bisa diuji, memisahkan diri dengan filsafat, yang dianggap spekulatif, tidak bisa diuji kebenarannya. Ilmu itu pada gilirannya mengalami keretakan internal ke dalam macam-macam divisi karena adanya ketegangan antara pendekatan nomothetis, yang mengandalkan hukum-hukum universal, dan pendekatan ideosinkratis, keunikan-keunikan berdasarkan ruang dan waktu.

Sekat-sekat akademis ilmu-ilmu sosial tersebut mulai runtuh sesudah Perang Dunia Kedua. Dampaknya terlihat, misalnya, menjadi populernya disiplin, seperti politik ekonomi, studi kawasan dengan studi kawasan terkenal, seperti studi Amerika Latin, Asia Timur, multicultural studies, women studies, atau world system perspective. Pendekatan-pendekatan lintas batas ilmu pengetahuan tersebut bukan saja tidak mengakui ketersekatan ilmu, tetapi keterpisahan itu menjadi tidak relevan.

Pendekatan multidimensional

Kenapa saya membuka resensi buku Andrew Rosser, The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market, and Power, dan buku Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, dengan ulasan singkat mengenai masalah rontoknya sekat-sekat disiplin ilmu sosial setelah Perang Dunia II? Ulasan tersebut menjadi penting di sini karena pendekatan yang ditawarkan Rosser, pendekatan multidimensional yang bersifat historis, merupakan bagian dari proses keterbukaan pendekatan ilmiah tersebut. Pendekatan multidimensional biasanya tidak hanya mendobrak ketersekatan ilmu, tetapi juga tidak lagi menganut pengotakan gagasan, struktur, dan individu ke dalam pendekatan teoretis yang bertentangan. Karena diakui adanya pluralitas determinasi, maka tidak lagi dipersoalkan variabel mana yang lebih unggul sebagai determinan, karena tujuannya adalah memahami hubungan antarvariabel untuk mencapai pemahaman historis sebuah entitas dalam kekompleksannya.

Pada satu waktu dan tempat, variable A kelihatan menonjol, tetapi di lain tempat dan waktu peran variabel H lebih tampak. Menurut Rosser:

"The view taken here is that the New Order is best understood as a 'multidimensional' entity in that it responded, not just to instrumental, structural, or state-centered dynamics but to all three depending on the particular historical circumstances that prevailed" (Rosser, 2002, hlm 30). (Pendekatan yang diambil di sini adalah bahwa Orde Baru paling tepat kalau dipahami sebagai sebuah entitas "multidimensional" yang bereaksi tidak hanya terhadap dinamika-dinamika instrumental, struktural, atau berporos pada negara, tetapi terhadap ketiga-tiganya tergantung pada konteks kesejarahannya)

Dengan pendekatan historis multidimensional tersebut, Rosser memperlakukan Pendekatan Tingkah Laku, Pendekatan Kepentingan Negara, Pendekatan Pascanegara, dan Pendekatan Kelas sebagai kacamata-kacamata yang membantu mengungkap kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan publik.

Determinasi gagasan

Dalam melihat penyusunan kebijakan publik di Indonesia, Mallarangeng dengan jelas juga memetakan posisi pendekatannya dibanding dengan berbagai pendekatan lain, seperti "Teori Koalisi Politik dan Kepentingan Ekonomi", "Teori Otonomi Negara", dan "Teori Pilihan Rasional". Akan tetapi, pendekatan Mallarangeng ternyata berseberangan dengan pendekatan multidimensional yang ditawarkan Rosser.

Kalau Rosser menggunakan pendekatan kepluralan determinasi untuk melihat kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan politik dan ekonomi yang berkenaan dengan proses liberalisasi, Mallarangeng justru ingin memapankan "gagasan" sebagai determinan yang paling menentukan dalam penentuan kebijakan publik. Jadi, seperti jingle Coca Cola: di mana saja dan kapan saja, gagasan menjadi determinasi utama.

Menurut Mallarangeng, "... saya tidak ingin menyandarkan studi ini pada apa yang disebut sebagai faktor-faktor struktural -misalnya "logika" kapitalisme, mobilitas modal, dan kapitalisme global-dalam menjelaskan perubahan kebijakan... Saya menempatkan cendekiawan, penulis, pembentuk opini, aktivis, dan ekonom pada posisi yang lebih menentukan, sebagai pelaku yang menciptakan kondisi atau melahirkan tekanan bagi terjadinya perubahan kebijakan." (Mallarangeng, 2002, hlm 32) "... masih menjadi tanda tanya besar apakah dua negara (Brasil dan Argentina, tambahan penulis) dengan kondisi struktural yang sama akan mengambil kebijakan yang serupa... Dengan kata lain, jika berbagai prasyarat struktural sudah terpenuhi, kunci perbedaan arah kebijakan terletak pada gagasan dan cara gagasan itu disampaikan serta dirumuskan oleh para pengambil keputusan." (Mallarangeng, 2002, hlm 16-17)

Upaya Mallarangeng memapankan "gagasan" sebagai determinan utama yang paling berperan, mengingatkan penulis pada mendiang Terry Hopkins, yang merupakan teoretikus dan metodolog yang ada di belakang Immanuel Wallerstein dan perspektif sistem dunianya. Pada tahun 1989, dia mengatakan bahwa sampai saat itu masih banyak orang, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa Marxisme sudah tidak relevan lagi, yang ternyata karyanya merupakan jawaban kepada Marx.

Ternyata diktum Terry masih juga berlaku, bahkan sampai di era milenium baru ini. Masih ingat perdebatan mengenai base and superstructure yang tak habis-habisnya, yaitu apakah hubungan produksi dan struktur kepemilikan modal itu mendeterminasi aktor dan gagasan, atau aktor dan gagasan itu bisa, pertama, bersifat independen dari struktur, dan kedua, apakah bisa mempengaruhi struktur ekonomi? Karya Rizal, diterbitkan tahun 2002, yang berargumen bahwa "gagasan" adalah determinan yang paling berperan dalam penyusunan dan perubahan kebijakan publik bisa dipandang sebagai jawaban terhadap kekakuan sebagian pendekatan Marxis yang dengan fanatik menganut determinasi struktur.

Kenapa Mallarangeng masih berupaya untuk mencari determinan utama yang paling berperan? Kalaupun mau memahami peran gagasan dalam penentuan kebijakan publik, upaya itu tidak perlu dilakukan dengan jalan memapankan gagasan sebagai determinan utama. Coba kita ikuti nalar Mallarangeng (hlm 24-25) dalam pembentukan "komunitas epistemis liberal" yang menduduki posisi yang sangat penting dalam argumennya. "Komunitas epistemis liberal" sendiri dipahami oleh Mallarangeng sebagai jaringan individu lintas negara, masyarakat, maupun kelas yang anggotanya bisa ditemukan di kantor pemerintah, universitas, media massa, dan lembaga penelitian kebijakan.

Kelompok ini mempunyai keyakinan atau kepercayaan bersama atas perlu dan cocoknya penerapan kebijakan-kebijakan liberal di Indonesia, dan dengan demikian menjadi "perantara" pengejawantahan "gagasan" liberal menjadi kebijakan. Kalaupun kita terima bahwa "komunitas epistemis liberal" ini mempunyai visi yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang ada, sehingga mereka bukan sekadar wayang yang dikendalikan dan didikte oleh kepentingan kelas dan negara, itu tidak berarti bahwa "gagasan" kemudian menjadi determinan utama. Menjadi salah satu determinan sudah pasti. Tetapi, belum ada argumennya kenapa serta-merta gagasan menjadi determinan utama.

Gagasan, lembaga sosial, dan subyektivitas

Banyak studi yang sudah dilakukan mengenai peran gagasan, misalnya studi-studi yang berkenaan dengan masalah diskursus. Salah satunya dilakukan oleh Chris Weedon, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, 1987, hlm 40-41, seorang feminis, yang bahkan sejak pertengahan dekade 1980-an sudah memperingatkan bahwa diskursus itu tidak hanya "beroperasi" di tingkat bahasa/gagasan, tapi juga pada tingkat proses dan lembaga sosial, serta pada tingkat subyektivitas. Weedon sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk memapankan diskursus sebagai determinan utama. Untuk apa menyempitkan cakrawala pemikiran seperti itu? Yang ingin dia lihat adalah bagaimana diskursus beroperasi di tingkat bahasa/ gagasan, di tingkat proses dan lembaga sosial, dan di tingkat subyektivitas.

Jadi, kalau mau memakai pendekatan Weedon untuk membantu memahami subyektivitas Soeharto, misalnya, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menempatkan gagasan Soeharto sebagai determinan utama dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Tujuannya adalah memahami bagaimana gagasan Soeharto mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi, politik, budaya, dan subyektivitas dirinya, berinteraksi dengan proses-proses dan lembaga-lembaga sosial yang ada untuk membentuk sebuah tatanan hubungan kekuasaan.

Ketika melakukan analisis berdasarkan pendekatan masing-masing, Mallarangeng yang berupaya memapankan gagasan sebagai determinan utama ternyata lebih konsisten dibanding dengan Rosser. Menurut Mallarangeng, proses deregulasi melemah setelah mencapai puncaknya pada tahun 1989, dan pada periode 1990-1992 terjadi ketidakpastian arah kebijakan ekonomi. Dia konsisten ketika menyebut bahwa melemahnya deregulasi tersebut disebabkan oleh "kegagalan intelektual", yaitu bahwa "koalisi liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para pengkritik mereka" (hlm 232), yaitu berkenaan dengan munculnya konglomerat (etnis Tionghoa) yang memperbesar kesenjangan ekonomi. Dengan cukup detail Mallarangeng kemudian menggambarkan bagaimana pertempuran gagasan deregulasi dan gagasan antideregulasi, dimotori oleh intelektual populis dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), di wacana publik (219-232). Bahkan, dia mengungkapkan bagaimana Dorodjatun, sebagai bagian dari teknokrat kelompok "epistemis liberal", berkhianat dengan berbicara kepada publik bahwa kalau proses deregulasi berjalan terus, Indonesia akan terjerembab ke dalam perekonomian kapitalis liberal.

Akan tetapi, sebetulnya posisi yang diambil Dorodjatun itu tidaklah aneh, bahkan mungkin dia memang tidak pas untuk dimasukkan ke dalam kelompok "epistemis liberal". Meskipun dia dikenal sebagai generasi terakhir Mafia Berkeley, dia sebetulnya sudah menyimpang dari jalur liberalisme ekonomi yang dianut kelompok teknokrat tersebut.

Dalam sebuah diskusi Senat Mahasiswa di FISIP UI, dia secara bercanda mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia waktu itu berhenti mengirimkan ekonom mudanya ke Berkeley setelah melihat hasil dari generasi terakhirnya (maksudnya dirinya sendiri) menjadi melenceng. Maka, kalau dulu Hadi Soesastro mengajar pengantar ekonomi di FISIP UI memakai textbook Samuelson, Dorodjatun lebih menyukai textbook Todaro.

Kembali ke pendekatan Weedon, pertempuran di tingkat bahasa/gagasan dan di tingkat subyektivitas, sayang sekali Mallarangeng tidak sampai mengonstruksi subyektivitas seorang Dorodjatun, misalnya. Apabila Mallarangeng juga memperlakukan proses dan lembaga sosial sebagai variabel yang sejajar dengan gagasan, akan lebih dapat mengungkapkan multidimensionalitas pengambilan kebijakan di Indonesia. Tampaknya upaya untuk menjaga konsistensi pendekatannya bahwa gagasan adalah determinasi utama, menyebabkan kemunculan konglomerat etnis Tionghoa dan kepentingan bisnis keluarga Soeharto, keduanya berhubungan erat dengan logika modal dan negara yang mau dihindari sebagai determinan oleh Mallarangeng, diperlakukan sebagai anak tiri. Mereka diperkenalkan kepada para tamu, tetapi disuruh berdiri di pojok dan tidak diberi ruang untuk ikut ngerumpi. Pokoknya, pembaca sekadar diberi tahu bahwa ada kemunculan dominasi pengusaha etnis Tionghoa dan keluarga Soeharto, tetapi penentu utama arah kebijakan publik adalah tetap gagasan.

Penderitaan ganda

Pendekatan multidimensional Rosser ternyata kurang bisa terjaga konsistensinya. Singkatnya, pendekatan multi-dimensionalnya ternyata masih kurang multidimensi. Akibatnya, kekompleksan dampak proses liberalisasi di Indonesia juga tidak semua terungkap dengan baik.

Tidak seperti Mallarangeng, Rosser berpendapat bahwa proses liberalisasi di Indonesia bukanlah masalah unggulnya "rasionalitas ekonomi", yang menurut Mallarangeng adalah gagasan yang diwakili oleh kelompok teknokrat "epistemis liberal", atas gagasan kelompok kepentingan sosial dan politik. Menurut Rosser, hal itu merupakan masalah berhasil tidaknya koalisi kepentingan "mobile capitalists", lembaga internasional pemberi utang, penanam modal internasional di pasar modal, footloose manufacturing-perusahaan multinasional yang mudah pindah tempat, dan pendukungnya seperti IMF dan Bank Dunia, memenangkan perebutan kekuasaan dalam pengambilan kebijakan melawan koalisi kepentingan kalangan politiko-birokrat dan konglomerat yang antiliberalisasi. Kesimpulan yang ditarik oleh Rosser adalah:

"Indonesia is unlikely to converge on the neoliberal model. Whilst the crisis has clearly unleashed powerful structural pressures for reform, prospects for reform are limited by the fact that the country lacks one of the main prerequisites for the existence of liberal market: a strong domestic coalition of interests that supports market reform." (hlm ix-x) (Indonesia tampaknya tidak akan mengikuti model neoliberal. Sementara krisis dengan jelas telah menimbulkan tekanan-tekanan struktural yang sangat kuat untuk melakukan reformasi, prospek untuk reformasi dibatasi oleh kenyataan bahwa negara ini tidak memiliki prasyarat utama bagi keberadaan pasar liberal: sebuah koalisi kepentingan domestik yang kuat yang mendukung reformasi pasar).

Menurut Rosser (hlm 4), dengan keunggulan koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, maka Indonesia bukannya sedang mengarah ke pasar liberal dan demokrasi liberal, tetapi justru sedang bergerak ke arah chaos, politik uang, dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi.

Apa yang kurang dari pendekatan multidimensi Rosser? Memang betul bahwa koalisi kalangan mobile capitalists gagal merebut kekuasaan negara dari tangan aparat partai politik dan klien-klien bisnis mereka (hlm 195), tetapi itu tidak berarti bahwa langkah-langkah liberalisasi yang sudah berhasil digolkan di Indonesia tidak mempunyai dampak yang berarti.

Ambil saja satu contoh, yaitu dalam bidang liberalisasi, tarif impor yang dilakukan dalam konteks WTO, AFTA, dan APEC, yang juga didukung oleh tekanan-tekanan dari IMF. Dalam hal buruh misalnya, dengan diturunkannya berbagai tarif impor sampai ke titik minimal, bahkan maunya sampai ke titik nol, berbagai investor yang terbebani oleh biaya ekonomi tinggi dan berbagai ketidakpastian hukum-ini akibat koalisi politiko-birokrat dan konglomerat tetap berada di atas angin-dan politik di Indonesia, sudah merelokasi produksi mereka di negara Asia Tenggara lainnya.

Buat mereka, lebih murah berproduksi di negara Asia Tenggara lainnya kemudian mengimpor produknya ke Indonesia, dan ini menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia. Menguatnya gerakan buruh di Indonesia, yang berdampak pada kenaikan upah buruh, ternyata disertai dengan kegagalan negara untuk mewujudkan iklim investasi yang kompetitif. Demikian pula dengan nasib petani tebu dan pabrik gula yang menderita melihat gulanya kalah bersaing dengan gula impor yang bea masuknya diturunkan sampai mendekati nol persen. Di samping itu, para retailer kecil di daerah juga terancam dengan liberalisasi izin investasi modal asing yang menyebabkan retailer asing boleh beroperasi di tingkat provinsi dan kabupaten.

Apa yang hilang dari pendekatan multidimensi Rosser? Karena Rosser terlalu terfokus pada pengambilan keputusan di tingkat nasional, dia kurang memperhatikan dampak dari langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil selama ini terhadap kalangan marjinal. Gagalnya koalisi LSM, intelektual populis, dan kelompok-kelompok antiglobalisasi, misalnya, tidak ikut diperhitungkan. Apabila dimensi ini dimasukkan ke dalam analisisnya, kesimpulannya bisa jadi berbeda, yaitu bahwa Indonesia sekarang ini menanggung penderitaan ganda.

Pertama, Indonesia bergerak ke arah chaos, politik uang dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi akibat terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat. Dan kedua, langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil bukannya berhasil meningkatkan efisiensi dan daya saing, tetapi justru merugikan kalangan buruh, petani, dan pengusaha kecil. Dengan demikian, Indonesia menderita akibat negatif dari terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, dan menderita akibat negatif dari langkah-langkah liberalisasi yang diperjuangkan oleh koalisi mobile capitalists.

Kesimpulan

Kedua buku ini menawarkan dua pendekatan yang berbeda. Dengan membaca keduanya, kita bisa memperoleh gambaran yang konkret mengenai proses pengambilan keputusan dari kebijakan liberalisasi di Indonesia. Dengan membaca keduanya secara kritis, kita akan bisa terbantu untuk melihat apa yang harus dilakukan apabila Indonesia mau keluar dari penderitaan ganda yang sekarang sedang dialaminya.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/21/dikbud/dite33.htm

Alexander Irwan Sosiolog, tinggal di Jakarta

Menghadapi Ancaman Pengangguran

Oleh: Iman Sugema

Saat ini Indonesia belum sepenuhnya bangkit dari krisis moneter yang melanda 11 tahun lalu. Tingkat pengangguran saat ini masih lebih tinggi, yaitu sekitar 8,46%,dibandingkan 11 tahun lalu sekitar 6,42%.

Kemiskinan masih sekitar 15,4%, jauh di atas kondisi sebelum krisis yang hanya 9%. Dengan indikator sosial yang buram tersebut,kini kita menghadapi sebuah ancaman baru yang merupakan perpaduan antara krisis keuangan global dan ketidaksiapan Indonesia dalam melakukan mitigasi. Sampai bulan akhir Desember,data resmi menunjukkan bahwa telah terjadi PHK terhadap sekitar 90.000 pekerja. Tentu hal ini masih sangat underestimate karena belum memasukan PHK yang terjadi di sektor informal dan pertanian yang memang sulit untuk dideteksi.

Beberapa asosiasi pengusaha bahkan pernah memperkirakan krisis kali ini akan membuat angka pengangguran naik sekitar 1,2 juta sampai 2,5 juta orang. Sebuah gambaran yang terlalu mengerikan bagi sebagian besar para pencari kerja. Ada beberapa indikasi yang mengakibatkan kita menjadi jeri karena krisis kali ini mungkin memiliki implikasi sosial yang jauh lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Kalau Anda sempat jalan-jalan ke sentrasentra UKM dan industri kecil seperti Bandung Selatan, Yogyakarta, dan Jepara,Anda akan mendapatkan banyak keluhan dari para pengusaha di sana. Ternyata perusahaan garmen, kerajinan, dan mebel di sana banyak yang sudah menghentikan kegiatannya sejak Oktober yang lalu.

Karena sifatnya adalah usaha informal, perihal perumahan karyawan dan PHK permanen di dalamnya tidak tercatat di Dinas Ketenagakerjaan. Rontoknya UKM berorientasi ekspor ternyata sudah terjadi lebih dahulu dibandingkan perusahaan besar. Anda juga bisa dengan mudah melihat kesulitan yang dihadapi para petani perkebunan di sepanjang pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Karena harga berbagai komoditas mengalami penurunan,para petani ini tidak lagi mengurus lagi kebun mereka. Buruh kebun tidak lagi bisa bekerja. Buruh telah di-PHK secara tidak formal.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek lanjutannya. Beberapa produsen kendaraan bermotor seperti Kanzen dan produsen elektronik seperti Vitron telah mengalami penurunan penjualan dengan kisaran 30–50%. Penurunan daya beli di sektor yang berorientasi ekspor telah mengakibatkan penjualan barang yang tidak diekspor sekalipun menjadi turun secara tajam. Industriindustri yang berorientasi domestik juga telah terimbas krisis. Akibatnya, mereka pun harus melakukan PHK.

Penurunan daya beli sekarang ini telah merambah segmen atas maupun menengah bawah. Daya beli di segmen atas tergerus oleh menurunnya harga-harga aset, terutama karena merosotnya harga saham selama beberapa bulan terakhir. Segmen menengah bawah mengalami penurunan daya beli, terutama karena turunnya harga komoditas serta terjadinya PHK secara mendadak. Pada gilirannya hal ini lambat laun akan menurunkan permintaan agregat yang ujungnya adalah PHK.

Lantas bagaimana cara mengatasinya? Pemerintah saat ini tengah mengajukan paket stimulus baru yang angkanya terus-menerus berubah,dari Rp50 triliun turun menjadi Rp27,5 triliun. Angka finalnya harus kita tunggu melalui kesepakatan dengan DPR. Berapa pun besarnya,yang harus menjadi fokus perhatian kita sekarang adalah bagaimana menggunakan uang yang sedikit tersebut supaya bisa meringankan beban pengangguran. Intinya, stimulus harus dirancang untuk menyediakan lapangan kerja secara sementara. Yang sudah pasti stimulus tersebut akan digunakan untuk pembebasan PPN dan bea masuk.

Artinya,stimulus dirancang untuk meringankan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Ini disebut dengan tax saving. Ada pengalaman menarik mengenai hal ini di Amerika. Stimulus yang sama sudah diterapkan lebih dahulu di negeri tersebut. Menariknya, perusahaan yang diberi stimulus pajak ternyata tetap bangkrut atau minimal melakukanPHKsecarabesar-besaran. Tampaknya paket stimulus seperti ini tak bisa juga diandalkan di negeri kita.

Masalahnya adalah merosotnya daya beli masyarakat yang berakibat pada kemerosotan permintaan domestik. Menghadapihalsepertiini,perusahaan pasti tidak akan bisa meningkatkan produksi walaupun diberi berbagai paket stimulus. Masalahnya ada di demand side, tetapi kemudian stimulus dilakukan di supply side. Obatnya tidak sesuai dengan penyakitnya. Dengan melemahnya permintaan rumah tangga, obat Keynesian tampaknya merupakan satu-satunya alternatif.

Solusinya relatif sederhana, yakni memperbesar belanja pemerintah untuk menggantikan belanja rumah tangga yang sedang menurun. Artinya, stimulus ekonomi harus berupa direct spendingdan bukan berupa insentif pajak ataupun berbagai bentuk keringanan fiskal lain. Namun, dalam praktiknya, solusi Keynesian ini lebih sulit dari yang kita bayangkan. Barang yang dibeli pemerintah biasanya berbeda dengan belanja rumah tangga. Artinya,kalau struktur belanja pemerintah tidak disesuaikan, bisa-bisa justru stimulus ini salah alamat.

Contohnya adalah belanja pemerintah atas barang impor yang justru sangat berpotensi untuk memperparah balance of payment. Selain itu, kita juga mesti berhatihati dengan penggunaan belanja pemerintah ini. Alokasi belanja harus diutamakan untuk barang-barang yang sedang terpuruk permintaannya. Tak semua barang menghadapi masalah penurunan permintaan. Ada jenis-jenis barang yang di waktu krisis justru mengalami peningkatan permintaan.

Barang-barang tersebut terutama adalah dari jenis lower end. Dalam keadaan krisis, masyarakat biasanya melakukan penghematan dengan cara membeli barang yang kualitasnya lebih rendah. Yang biasanya membeli barang bermerek ternama kemudian membeli merek apa pun asal fungsinya sama. Sebagai penutup, dalam situasi krisis kita harus selalu ingat bahwa sumber daya keuangan pemerintah sangatlah terbatas. Karena itu,paket stimulus apa pun yang direncanakan harus betul-betul bisa efektif dalam pelaksanaannya.

Diperlukan kehatihatian dan kecerdasan tersendiri untuk merancang paket stimulus yang efektif. Pesan saya,jangan cuma copy paste dari kebijakan yang dilakukan di negara-negara maju.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/208199/

Iman Sugema
Senior Economist, InterCAFE, Institut Pertanian Bogor

Senin, 16 Februari 2009

Integrated Risk Management

A. B. Susanto*

Berikut ini ada realita mutakhir yang menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Ketika harga avtur naik, dua operator maskapai penerbangan segera mengurangi jumlah dan penerbangan tujuan Yogyakarta. Namun, ada maskapai penerbangan lain yang justru melakukan tindakan sebaliknya: akan menambah jumlah penerbangan ke dan dari Yogyakarta. Bagi dua operator pertama, kenaikan harga avtur ini ternyata ditangkap sebagai sebuah ancaman, sementara sebuah operator maskapai penerbangan lainnya menganggapnya sebagai peluang. Sebuah pelajaran yang berharga bahwa ternyata resiko, ketidakpastian, dan kerugian adalah tiga hal berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan begitu saja.

Banyak yang salah kaprah, resiko bisnis dianggap sama dengan resiko finansial dan dianggap sama pula dengan kerugian. Padahal resiko finansial hanyalah salah satu komponen resiko bisnis, selain resiko proyek, resiko operasional, resiko pasar dan resiko yang berkaitan dengan regulasi.

Resiko pada hakekatnya adalah kejadian yang memiliki dampak negatif terhadap sasaran dan strategi perusahaan. Manajemen resiko terintegrasi merupakan suatu proses dimana berbagai resiko diidentifikasi, diukur dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya resiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur. Melalui pengelolaan resiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian-kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.

Ironisnya, acap pengelolaan resiko hanya terfokus pada resiko yang berhubungan dengan kegiatan operasional, yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan uang (resiko finansial). Pendekatan ini tentu saja kurang lengkap, karena tidak mengcover keseluruhan resiko yang melekat pada bisnis yang digeluti. Memang, setiap industri memiliki penekanan sendiri-sendiri terhadap resiko yang akan dikendalikannya. Dalam manajemen resiko terintegrasi, resiko yang dominan dijadikan sebagai acuan utama. Sebagai misal, di industri keuangan dan perbankan, manajemen resiko lebih ditekankan pada aspek finansial tanpa mengabaikan aspek resiko lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana teknis pengelolaan resiko terintegrasi? Pada ghalibnya, proses bermula dari analisa secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisa kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap resiko yang ada, baik dari aspek operasional, pasar, finansial, proyek, maupun regulasi. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah identifikasi melalui pertanyaan what, when, where, why, how berkaitan dengan kecenderungan dari munculnya resiko. Tentu saja proses ini tidak cukup dilakukan hanya sekali tembak saja. Semakin lengkap data yang dikumpulkan dalam proses identifikasi ini akan makin memudahkan dalam mencari solusi bagi pengendalian setiap resiko yang muncul.

Namun demikian identifikasi saja tidaklah cukup. Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi resiko dengan baik sehingga tahu benar resiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, namun salah dalam melakukan antisipasi. Mengapa demikian? Tidak jarang ketidakmampuan dalam menentukan mau mulai dari mana penyelesaian masalah yang timbul menyebabkan keputusasaan. Oleh karena itu diperlukan adanya proses analisis dan evaluasi. Proses ini membantu memahami kemungkinan terjadinya resiko beserta dampak dari setiap resiko bila nantinya benar-benar terjadi, serta mengetahui apakah suatu resiko dapat diterima atau tidak.

Permasalahan yang sering muncul adalah dalam menentukan prioritas penanganan dan penentuan batas toleransi apabila resiko terebut tidak dapat dikelola seluruhnya. Batas toleransi ini akan menentukan seberapa jauh suatu resiko dapat diterima (acceptable). Di sini kebijakan manajemen dan pimpinan perusahaan memegang peranan penting dalam mengambil keputusan. Tentu saja tidak cukup hanya mengandalkan gut feeling semata karena terkait dengan pencapaian sasaran perusahaan. Dalam pengelolaan resiko bisnis, manajemen perusahaan dihadapkan pada beberapa pilihan: menghindari resiko, mengurangi resiko, atau mentransfer resiko yang diidentifikasi akan muncul.

Untuk jenis resiko yang kemungkinan terjadinya tinggi dan dampaknya besar, pilihan yang dapat diambil ialah menghindari resiko. Artinya manajemen perusahaan menetapkan bahwa perusahaan akan menghindari setiap aktivitas yang beresiko tinggi tersebut. Dilain pihak untuk jenis resiko yang kemungkinannya terjadinya rendah dan dampaknya kecil, manajemen dapat saja menerimanya dalam batas-batas toleransi yang telah ditetapkan. Untuk resiko yang kemungkinan timbulnya kecil namun dampaknya besar, biasanya perusahaan melakukan tranfer dari resiko yang dihadapinya ke pihak lain, misalnya dengan asuransi, namun perusahaan tetap bertanggung jawab untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya resiko tersebut.

Tentu saja kebijakan pengelolaan resiko harus didahului dengan analisa yang menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama berhubungan dengan cost & benefit yang akan didapat dan ditanggung perusahaan. Di sini fungsi dari perencanaan, pengawasan, dan kontrol terhadap kebijakan yang akan diambil terhadap suatu resiko akan sangat menentukan.

Sebenarnya apa saja yang menjadi faktor utama dalam penerapan manajemen resiko terintegrasi di suatu organisasi, terutama bila dikaitkan dengan kinerja perusahaan? Kepemimpinan tidak dapat dipungkiri berperan sebagai penggerak yang memberikan arah dan pedoman bagi seluruh anggota organisasi. Dengan demikian komitmen dari pemimpin (leadership commitment) sangat menentukan dalam sukses tidaknya pengelolaan resiko. Selain itu dibutuhkan risk management culture yang kuat sebagai pengikat bagi seluruh anggota organisasi agar dapat menyatu, seiring sejalan mencapai tujuan. Dalam implementasinya, penerimaan dari anggota organisasi saja tidaklah cukup, lebih dari itu dibutuhkan keterlibatan mendalam (deep employee involvement) dari setiap anggota organisasi yang membuahkan rasa handarbeni. Selain itu integrasi antara perencanaan dan implementasi juga tidak kalah vitalnya.

Manajemen perubahan, komunikasi, dan pembelajaran berperan sebagai penopang pengelolaan resiko terintegrasi. Pemimpin organisasi harus menyadarkan arti krisis atau bahkan bilamana perlu menciptakan suatu situasi krisis sehubungan dengan pentingnya dilakukan implementasi manajemen resiko untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi. Dalam tahap demi tahap perubahan dibutuhkan panduan yang baik agar tidak mengalami kemunduran (set back). Jelas, komunikasi tidak boleh putus, baik antar lini dalam organisasi maupun dalam satuan waktu. Patut diingat pula bahwa proses komunikasi dalam manajemen resiko dilakukan tidak hanya terbatas di dalam organisasi (inward), akan tetapi juga outward kepada partner dan stakeholder lain yang terkait.

Yang tidak kalah pentingnya dalam pengelolaan resiko terintegrasi adalah aspek pengendalian. Para pemimpin organisasi dituntut untuk menaruh perhatian serius dalam hal ini karena pengendalian seringkali menjadi titik terlemah dalam praktek pengelolaan resiko. Pengendalian yang berjalan dengan baik, ditunjang oleh pembelajaran membuat manajemen resiko terintegrasi sebagai proses dengan penyempurnaan yang terus menerus. Sebagai imbalannya adalah peningkatan kinerja organisasi secara signifikan.



*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Mindset

A. B. Susanto*

Inilah salah satu isu terpenting yang acap dihadapi organisasi: anggotanya tidak mampu menyatukan pikiran mereka agar berfikir dan bertindak sebagai pemimpin-pemimpin strategis (strategic leaders). Padahal menurut Hughes, karyawan yang berfikir dan bertindak sebagai pemimpin-pemimpin strategis (strategic leaders), secara individu atau sebagai kelompok, merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keberhasilan jangka panjang sebuah perusahaan.

Para eksekutif senior memang sudah selayaknya mempunyai mindset sebagai seorang strategic leader. Tetapi itu tidaklah memadai. Karyawan pun seharusnya juga mempunyai mindset strategis. Para karyawan tidak hanya dituntut untuk melaksanakan sebuah peran fungsional belaka, tetapi juga peran strategis dalam organisasi. Seorang eksekutif bertanggungjawab agar para karyawan memahami strategi organisasi dan juga bagaimana peran dan tanggungjawab mereka berkaitan dengan pelaksanaan strategi itu. Bukankah seorang karyawan harus mempraktekkan strategi yang telah ditetapkan dalam aktivitas sehari-hari mereka?

Penyusunan dan implementasi strategi dapat menuai kesuksesan jika dalam lingkungan organisasi terjadi sebuah pembicaraan strategis yang berkelanjutan antara berbagai level, dari level atas sampai ke bawah. Diskusi strategis ini diharapkan juga bergulir antar bagian secara horisontal. Tentu ini harus didukung kepemimpinan yang kuat, sehingga karyawan memiliki visi yang sama dan sepakat terhadap prioritas yang dianggap penting.

Mindset strategis akan membantu organisasi meningkatkan daya saing karena membuka peluang kuat bagi organisasi untuk memiliki human capabilities dan human organizational abilities.

Mindset yang salah juga sering menjadi sandungan bagi usaha perubahan yang bersifat transformasional. Jika para pemimpin tidak memiliki mindset yang dibutuhkan bagi proses perubahan yang sedang berlangsung, ini pertanda lampu merah bagi keberhasilan upaya perubahan keyakinan, pandangan, asumsi mereka tentang orang, organisasi, dan perubahan dapat menghalangi mereka untuk secara tepat merasakan dan memahami dinamika yang mereka hadapi. Konsekuensinya, mereka merespon dengan taktik dan strategi keliru. Mereka membuat keputusan yang salah, melewatkan tugas yang penting, dan memicu resistensi karyawan.

Ketidaksadaran bahwa asumsi-asumsi mereka ini salah merupakan masalah yang gawat. Karena pemimpin memiliki otoritas dan kekuasaan, ketidaksadaran terhadap kesalahan-kesalahan asumsi ini dapat memiliki dampak negatif yang jauh.

Mindset Dalam Organisasi
Menurut Argyris, sejatinya organisasi bisnis maupun non bisnis memiliki dua mindset yang dominan. Pertama, apa yang disebut dengan mindset produktif. Organisasi yang memiliki mindset ini selalu mendorong proses belajar untuk memperoleh pengetahuan baru yang bermanfaat. Kedua, apa yang disebut dengan mindset defensif. Organisasi yang memiliki mindset ini memandang pengetahuan hanya akan bermanfaat bila tidak bersifat mengancam atau mengecewakan individu atau departemen tertentu dalam organisasi.

Kita juga mengenal mindset perintah dan kendali (command and control mindset) masih jamak digunakan dalam organisasi. Dalam mindset ini karyawan menggunakan tangannya, dan pemimpin menggunakan fikirannya. Keduanya tetap ‘dibuat’ terpisah agar tidak mengganggu produktivitas. Pemimpin menetapkan tujuan dan membuat rencana, karyawan yang melaksanakan. Pemimpinlah yang bertanggungjawab terhadap kinerja organisasi. Mereka yang seharusnya memecahkan masalah-masalah yang besar, seperti menangani keluhan pelanggan utama, menyalurkan dan mengendalikan informasi, membuat keputusan. Pendek kata pemimpin adalah pusat organisasi.

Pemimpin dengan mindsetini mengatasi masalah motivasi dan kinerja melalui berbagai teknik perintah dan kendali: intimidasi, disiplin, dan mengandalkan otoritas, membuat model komitmen dengan jam kerja yang panjang, dan melangkah masuk untuk memperbaiki sesuatu dan memecahkan masalah.

Beda lagi dengan “pemimpin berbasis kinerja” (performance-based leaders) yang membantu orang lain dengan mindset “saya memiliki tempat ini”. Mereka melakukan ini dengan menciptakan lingkungan agar karyawan berfikir dan bertindak seperti pemilik. Seorang pemilik melakukan apapun yang diperlukan untuk memuaskan pelanggan dan menjalankan bisnis sehingga menjadi lebih baik di masa datang. Pemimpin dengan ownership sebagai mindset akan melihat setiap masalah atau inisiatif sebagai kesempatan kepemilikan (ownership opportunity).



Transformasi Mindset
Sementra itu Andrew Spanyi menyodorkan cara yang efektif untuk mentransformasikan apa yang disebutnya sebagai The Traditional Functional Mindset melalui Enterprise Business Process (EBM) dan mempraktekkan Enterprise Business Process Management (EBPM).

EBM memfasilitasi ekspresi yang singkat tapi jelas mengenai tujuan dan arah strategi. Bahasa yang relatif sederhana dari proses bisnis ini memungkinkan pemimpin untuk menghindari penggunaan jargon-jargon yang berlebihan dan membuat tujuan dan arah strategi lebih mudah dipahami oleh semua lapisan dalam organisasi.

Juga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dan saling ketergantungan antar kelompok dalam organisasi sehingga setiap kelompok dapat lebih saling memahami satu dengan yang lainnya dalam proses bisnis yang pada akhirnya dapat menciptakan nilai bagi pelanggan dan pemegang saham.

Manajemen Krisis

A. B. Susanto*

Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis di Jakarta. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis.

Kejadian buruk dan krisis yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam – seperti banjir yang melanda Jakarta – , musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis, berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan, membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen. Penanganan yang segera ini kita kenal sebagai manajemen krisis (crisis management).

Saat ini, manajemen krisis dinobatkan sebagai new corporate discipline. Manajemen krisis adalah respon pertama perusahaan terhadap sebuah kejadian yang dapat merubah jalannya operasi bisnis yang telah berjalan normal. Pendekatan yang dikelola dengan baik untuk kejadian itu terbukti secara signifikan sangat membantu meyakinkan para pekerja, pelanggan, mitra, investor, dan masyarakat luas akan kemampuan organisasi melewati masa krisis.

Menurut Gartner.com, diperkirakan hanya 85% dari perusahaan-perusahaan Global 2000 yang membuat rencana penanganan krisis dan hanya 15% saja yang menyusun rencana bisnis yang lengkap ! Fakta ini menunjukkan masih banyak bisnis yang belum memperhitungkan beragam krisis yang mungkin terjadi dalam perencanaan bisnis mereka.

Terdapat enam aspek yang mesti kita perhatikan jika kita ingin menyusun rencana bisnis yang lengkap. Yaitu tindakan untuk menghadapi situasi darurat (emergency response), skenario untuk pemulihan dari bencana (disaster recovery), skenario untuk pemulihan bisnis (business recovery), strategi untuk memulai bisnis kembali (business resumption), menyusun rencana-rencana kemungkinan (contingency planning), dan manajemen krisis (crisis management). Manajemen krisis mencakup kelima butir sebelumnya.

Khusus untuk penanganan krisis karena bencana, perlu dilengkapi emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP).

Pada hakekatnya dalam setiap penanganan krisis, perusahaan perlu membentuk tim khusus. Tugas utama tim manajemen krisis ini terutama adalah mendukung para karyawan perusahaan selama masa krisis terjadi. Kemudian menentukan dampak dari krisis yang terjadi terhadap operasi bisnis yang berjalan normal, dan menjalin hubungan yang baik dengan media untuk mendapatkan informasi tentang krisis yang terjadi. Sekaligus menginformasikan kepada pihak-pihak yang terkait terhadap aksi-aksi yang diambil perusahaan sehubungan dengan krisis yan terjadi.

Agar dapat melewati masa krisis, organisasi membutuhkan seorang pemimpin yang cakap dan handal. Kisah kepemimpinan melalui krisis yang paling terkenal adalah kisah perjalanan Shackleton bersama 27 anak buahnya ke Benua Antartika tahun 1914 dengan misi menjelajahi benua tersebut. Walaupun pada akhirnya misi ini gagal karena kapal mereka tertahan bongkahan es, namun kepemimpinan Shackleton ini menjadi legenda akan keberhasilan pemimpin mengatasi krisis yang terjadi.

Mengutip Shackleton’s Way : Leadership Lessons From The Antarctic Explorer terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemimpin dalam menghadapi krisis dalam organisasinya. Pertama, penugasan segera, tawarkan rencana kegiatan, mintalah dukungan dari semua orang, dan tunjukkan bahwa organisasi mampu menghadapi krisis yang terjadi ini dengan baik. Kedua, lakukan pemantauan berkala terhadap kegiatan yang dilakukan anggota. Tujuannya agar anggota organisasi tidak kehilangan momentum pengendalian krisis, karena memperlakukan krisis sebagai proses bisnis biasa. Ketiga, rangkullah orang-orang yang tidak puas dengan kondisi yang terjadi dan menangkan “hati” mereka. Keempat, gunakan humor dan hal-hal lain untuk mengalihkan ketakutan akibat krisis. Terakhir, ajaklah seluruh anggota organisasi untuk terlibat dalam mencari dan menjalani solusi krisis yang telah disusun bersama.

Satu pelajaran penting dalam kisah Shackleton ini adalah ia (sebagai pemimpin) tidak memerintah anggotanya untuk melakukan hal-hal yang dikendaki, tetapi merangkul dan mengajak seluruh anggota untuk mencari solusi dan keluar dari krisis secara bersama-sama. Tidak perlu menyalahkan seseorang atau pihak lain akan krisis yang dialami. Tetapi carilah jalan keluar yang paling logis dan memuaskan seluruh pihak. Sehingga organisasi dapat keluar dari krisis yang terjadi. Bahkan jika ada krisis yang lain – atau bahkan krisis lanjutan – organisasi akan mampu untuk bertahan dan keluar dengan gemilang.

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Mengasah Kompetensi

Himawan Wijanarko*

Salah satu inti dalam meniti jenjang karir adalah seberapa jauh kita memiliki kompetensi seperti yang dituntut oleh jabatan yang lebih tinggi. Jika ternyata kita memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatan tersebut dan ternyata kompetensi kita memang lebih baik dibandingkan dengan calon-calon yang lain, kemungkinan untuk menduduki jabatan tersebut berda di pelupuk mata. Apalagi jika perusahaan menerapkan Competency-based Human Resouces Management, persyaratan terhadap kompetensi yang harus dimiliki semakin ketat.

Siapakah orang yang dianggap kompeten dalam suatu bidang pekerjaan tertentu ? Yaitu orang yang memiliki kinerja yang sangat bagus (superior performance). Superior performer ini kemudian diidentifikasi karakteristiknya, yang diperkirakan menunjang pencapaian kinerjanya tersebut. Pencapaian kinerja ini diibaratkan sebagai sebuah pulau atoll di tengah samudera, dimana hanya puncaknya saja yang kelihatan di permukaan laut tetapi di bawahnya ada lereng gunung. Nah, lereng gunung yang besar inilah yang digali melalui identifikasi ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri itu dipilah menjadi tiga bagian yaitu knowledge, skills, dan attitude.

Jadi jika anda ingin mengembangkan kompetensi anda, sehingga benar-benar dapat menjadi orang yang kompeten dalam bidang pekerjaan atau keahlian anda, anda harus memperhatikan ketiga aspek tersebut. Anda tidak dapat misalnya, hanya meningkatkan knowledge saja tetapi mengabaikan dua yang lainnya.

Dalam bahasa sehari-hari dikenal istilah hard skills dan soft skills. Hard skills adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kompetensi-kompetensi yang terkait langsung dengan pekerjaan kita. Misalnya keahlian dalam membuat program bagi programmer. Sedangkan soft skills adalah keahlian yang menunjang hard skills tersebut. Soft skills ibaratnya adalah kompetensi yang membukus kompetensi inti yang dimiliki, misalnya interpersonal skills, communication skills, presentation skills, negotiation skills, dan lain-lain.

Hard skills ini selalu dikembangkan, itu sudah menjadi kesadaran semua orang. Tetapi kadang-kadang kita melihat mengapa seseorang yang technical skills-nya sangat tinggi tetapi karirnya sulit berkembang. Justru orang dengan technical skill yang hanya sedikit di atas rata-rata, karirnya dapat melejit lebih cepat. Setelah ditelusuri ternyata social skillsnya lebih baik. Ia dapat mempersuasi dengan meyakinkan, teknik presentasinya bagus sehingga ide-idenya mudah diterima dikalangan internal organisasi khususnya para pimpinan puncak perusahaan, maupun di kalangan eksternal organisasi. Dengan demikian explosurenya menjadi luas dan ide-idenya lebih mungkin untuk terealisasi.

Sebaliknya dengan orang yang technical skills-nya tinggi, tetapi sulit bekerja sama dengan orang lain, tidak dapat mengutarakan ide-idenya dengan jernih dan tidak mampu mempersuasi orang lain untuk mendukung ide-idenya. Sehingga dalam kenyataannya potensi yang telah dimiliki tidak dapat diwujudkan menjadi actual performance.

Harus disadari bahwa organisasi dalam meraih tujuannya selalu melibatkan banyak orang. Suatu pekerjaan adalah merupakan kelanjutan dari pekerjaan sebelumnya dan selalu terkait dengan bagian lain dalam organisasi sehingga membentuk sebuah proses. Kemampuan untuk menjadi bagian dari sebuah proses menjadi sangat penting. Seorang superior performance memiliki kemampuan untuk menggabungkan kemampuan yang dimiliki dalam aliran proses tersebut. Agar dapat masuk dalam aliran proses tersebut dibutuhkan kemampuan bekerja sama dengan pihak lain yang membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu seperti komunikasi, persuasi dan adaptasi. Di sinilah pentingnya mengasah soft skills untuk mendukung hard skills yang dimiliki. Alangkah idealnya jika seiring dengan pengembangan hard skills juga dilakukan pengembangan soft skills.

Berkaitan dengan pengembangan kompetensi dalam kaitannya dengan pengembangan karir, pertama kali yang harus dilakukan adalah mengindentifikasi kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan anda saat ini dan saat mendatang, sesuai dengan jalur karir Anda. Beruntung bagi Anda yang bekerja di perusahaan yang telah menerapkan Compentency-based HRM, kompetensi yang dibutuhkan suadah tertera untuk setiap jabatan, berikut proficiency level-nya. Berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan dalam jalur karir Anda, lakukan rencana pengembangan diri.



* General Manager Strategic Services The Jakarta Consulting Group

PEMBERDAYAAN DIRI

A. B. Susanto *


Keberhasilan karir bermuara pada perjuangan, dan mungkin juga nasib baik. Namun tentu kita tidak dapat menunggu nasib baik menghampiri kita agar karir kita bersinar terang. Kita harus memberdayakan diri kita sedemikian rupa untuk meretas belenggu nasib.

Untuk itu, kita harus mengatasi kelemahan diri, misalnya rasa malas, mudah menyerah, dan hal-hal buruk lainnya, agar mampu bekerja secara berkualitas dan secara proaktif memperlihatkan kualitas pekerjaan secara nyata. Caranya adalah melakukan perubahan sebagai saran pemberdayaan diri.

Kita harus menyadari kekuatan dan kelemahan diri sebagai upaya menumbuhkembangkan keinginan untuk mengubah citra diri yang negatif, dan mengembangkan konsep diri yang lebih positif.

Konsep diri, kata Maxwell Maltz, adalah blue print kita dalam bertingkah laku. Dengan memperbaiki cara pandang terhadap diri kita, keyakinan diri kita akan tumbuh, dan tingkah laku kita akan mengikuti konsep diri yang telah berubah menjadi positif.

Semua langkah ini harus berawal dari pandangan obyektif terhadap segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri seseorang. Kelebihan yang ada dipupuk terus agar dapat menjadi competitive advantage, sementara kekurangan ayang ada harus dirubah. Ingat, tingkat kesuksesan berawal dari kemauan diri untuk menyadari kelemahan dan kemauan melakukan perubahan secara berkualitas.

Di samping itu, sikap proaktif juga menuntun kita untuk mengimplementasikan rencan-rencana pemberdayaan diri ini melalui aktivitas yang bertumpu pada pengembangan diri, baik untuk sasaran jangka pendek maupun jangka panjang.

Pemberdayaan diri melalui perubahan dapat diperlihatkan melalui empat cara berikut ini:

Mengubah situasi
Perubahan merupakan suatu proses yang menggambarkan pergerakan dari suatu kondisi atau posisi ke kondisi atau posisi yang baru. Dalam proses pengembangan diri, kita dapat mengubah situasi menjadi sesuatu yang diinginkan, dan sebagai bentuk perubahan yang perlu dilaksanakan. Perlu diingat bahwa perubahan situasi harus memiliki relevansi dengan upaya pengembangan diri.


Mengubah diri sendiri
Komponen-komponen identitas diri yang dirasakan sebagai hambatan dalam proses pengembangan perlu dimasukkan dalam program perubahan. Dalam artian, perubahan dilakukan terhadap perilaku seseorang pada situasi tertentu : cara menghadapi orang lain, cara berkomunikasi, cara menyelesaikan suatu persoalan, dan sebagainya. Hal itu diperlukan dalam rangka pengembangan strategi dan kerangka kerja positif guna mencapai tingkat profesionalisme yang memadai.


Hiduplah dengan kreativitas
Perubahan di sini difokuskan pada hal-hal yang bersifat teknis, misalnya perangkat pengetahuan, yang menjadi landasan bagi upaya pengembangan kreativitas. Dalam hal ini, perubahan diimplementasikan untuk menemukan jalan terbaik untuk mengatasi permasalahan diri sendiri; misalnya meninggalkan kebiasaan bekerja pada malam hari dan digantikan dengan bekerja pada pagi sampai sore hari, dengan harapan kreativitas kerja meningkat.


Tinggalkan situasi sulit
Sikap proaktif dalam perubahan juga dapat diperlihatkan melalui upaya menghindarkan diri secara langsung dari situasi yang menimbulkan banyak kesulitan, baik yang sudah terjadi maupun yang diprediksikan akan terjadi, dan keluar dari kemelut secara permanen.


Implementasi Perubahan

Setelah mempersiapkan diri untuk melakukan perubahan dan memilih bentuk perubahan yang paling tepat untuk dilakukan, maka pengembangan diri akan lebih bernas dengan adanya implementasi perubahan itu yang dilaksanakan secara optimal. Proses implementasi di sini merupakan faktor penting dan konsekuensi yang harus ditempuh agar dapat melangkah lebih jauh lagi, untuk suatu masa depan yang lebih berkualitas.

Dalam konteks ini, perubahan mengakibatkan timbulnya situasi baru yang dengan sendirinya membutuhkan sarana-sarana pendukung pelaksanaannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan mental dan keluasan pikiran untuk memasuki dunia baru itu.

Dengan tingkat fleksibilitas yang memadai, kita dapat menyingkirkan hambatan-hambatan untuk mengimplementasikan perubahan. Fleksibilitas dan adaptabilitas dapat menjadi jaminan untuk berperan aktif mengelola perubahan dengan baik. Hanya saja, perlu diingat, semakin tinggi perkembangan yang hendak dicapai semakin beraneka ragam pula kondisi yang harus dihadapi.

Untuk itu, asertivitas perlu betul-betul didayagunakan dengan baik, agar ia tidak diombang-ambingkan oleh berbagai hal yang tidak jelas. Atau pun terjebak dalam suatu kesibukan yang sebenarnya tidak berarti. Di sini, perlu diterapkan action skills, yaitu kemampuan untuk merealisasikan suatu keputusan secara cerdik dan melaksankannya secara konsekuen. Dengan demikian kita dapat tampil aktif mempersuasi orang lain melalui sikap hidup positif.

Tentu saja hal itu tidak datang begitu saja. Secara berkesinambungan hal itu dapat dikembangkan melalui pemberdayaan diri sendiri berdasarkan kesadaran akan identitas diri, yang selanjutnya membantu kita untuk terus belajar, membuat diri selalu terlatih, menganalisis situasi dan kondisi sekitarnya, serta mampu mengatasi berbagai permasalahan. Dari situ, tumbuh rasa percaya diri dan optimisme terhadap masa depan, yang menjadi sumber kreativitas yang dapat dieksplorasi terus-menerus.

Dengan demikian, kita tidak menjadi panik dan kehilangan arah dalam menghadapi dan mengimplementasikan perubahan. Ia selalu memperlihatkan keaktifan agar selalu menghadirkan hal-hal yang signifikan. Misalnya, seorang kuper (kurang pergaulan) aktif membangun networking, karena dia meyakini network sangat penting bagi kemajuan karirnya.

Pemberdayaan diri merupakan salah satu kunci pengembangan karir, dan pemberdayaan diri dapat tercapai jika kita berani melakukan perubahan. Melakukan perubahan tidak akan bermakna apapun jika hanya berhenti pada niat, atau rencana-rencana belaka. Niat dan rencana itu harus dimplementasikan, yang membutuhkan dua hal sekaligus : asertifitas dan fleksibilitas.


* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Personality Quotient

A. B. Susanto*


--------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu masa jaman pertengahan di Eropa, terdapat seorang pemuda yang sedang dilanda kegelisahan. Ia sedang berada di dalam pencariannya menuju pemahaman terhadap dirinya. Ia merasa gundah gulana mengenai pekerjaan dan karirnya. Akhirnya, dia pergi mencari seorang tua yang bijaksana, yang diyakininya dapat menunjukkan jalan kepadanya untuk menjawab kegelisahan tersebut.

Orang tua yang bijaksana itu menerima kedatangannya dengan hangat. Ketika itu dia sedang duduk di muka pintu tendanya. Sambil menjamu tamunya dengan segelas teh, orang tua itu menjelaskan rahasia menuju pemahaman diri dan karir .

“Itu merupakan perjalanan yang jauh,” kata orang tua itu,” Tapi kamu pasti dapat menemukannya. Kamu harus mendatangi sebuah desa yang akan saya jelaskan nanti, di sana rahasia itu akan kamu temukan.” Si pemuda kemudian berangkat melakukan perjalanan melewati banyak lembah dan menyeberangi banyak sungai. Pada akhirnya dia sampai juga di desa itu. Katanya dalam hati, ”Ini tempatnya. Pasti ini tempatnya.”

Dia yakin bahwa ini tempatnya. Dia menemukan tiga toko kecil. Ketika dia masuk ke dalam toko-toko tersebut si pemuda sangat kecewa. Di toko yang pertama, dia hanya menemukan gulungan kabel. Di toko yang kedua dia menemukan tak lebih dari beberapa keping kayu. Di toko ketiga, hanya ada beberapa yang bentuknya tidak beraturan.

Letih dan putus asa, dia meninggalkan desa itu dan menemukan tempat istirahat malam itu. Sebuah daerah terbuka yang tidak terlalu jauh dari desa. Ketika malam tiba, bulan purnama menyinari tempat itu dengan cahaya yang lembut. Sesaat sebelum tertidur, terdengarlah olehnya suara indah berasal dari desa. Alat musik apakah yang sanggup melahirkan sebuah harmoni yang sempurna, segera dia berdiri dan berjalan menuju dimana kemungkinan si musisi berada. Dia terpukau ketika menemukan bahwa suara indah itu berasal dari sebuah sitar. Sitar yang sederhana yang terbuat dari kawat, kayu dan kepingan besi yang dia remehkan sebelumnya. Saat itu juga dia menyadari dan mengerti bahwa kebahagian sejati adalah gabungan dan hal-hal yang telah ada di dalam diri kita selama ini.

Pemuda itu pun lantas termenung dan menarik kesimpulan, kebahagiaan sejati bersumber pada realitas yang ada pada dirinya. Realistik dalam mengenal kelebihan dan kekurangan diri, dan mengembangkan semaksimal mungkin apa yang dimiliki.

Apakah moral cerita di atas? Dalam meniti karir terdapat hal yang tidak boleh terlewatkan, harus realistis!. Pertanyaannya sudah realistikkah keinginan kita? Realistik adalah menerima keadaan diri kita, tidak boleh meremehkan apa yang kita punyai. Realistik adalah menyadari kekurangan dan kelebihan kita, dan mengoptimalkan pemanfaatan apa yang kita miliki. Bukan untuk pasrah tanpa melakukan usaha apapun, tetapi justru bagaimana agar apa yang dimiliki dimanfaatkan secara optimal. Inilah salah satu bagian dari PQ, personality quotient.

Kita sering menemui orang yang sebenarnya bakatnya biasa-biasa saja, inteligensi tidaklah istimewa, tetapi dapat meraih kesuksesan dibanding orang-orang yang sebenarnya memiliki bakat istimewa.

Bagaimana kita memahami kepribadian kita? Banyak cara. Mulai dari masukan orang-orang sekitar kita sampai kepada inventori kepribadian yang sangat beragam. Jika kita membahas mengenai personality quotient, berarti kita berbicara bagaimana meng- angka-kan kepribadian dengan metode psikometri. Berbeda dengan inteligensi yang sifatnya prestatif, yang berarti makin tinggi cenderung dianggap makin baik, perlakuan terhadap kepribadian tidaklah demikian. Bukan baik-buruk, tetapi sesuai dan tidak sesuai untuk pekerjaan tertentu.

Misalnya kita bahas DISC, salah satu jenis inventori kepribadian yang populer. Inventori yang sudah dikembangkan dengan berbagai versi ini mengungkap empat faktor, yaitu: dominance, influence, steady, dan compliance. Dominance untuk mengetahui seberapa tegas dalam mengambil keputusan dan powerful. Influence menggambarkan seberapa persuasif dan interaktif. Steady menggambarkan seberapa besar keinginan untuk bekerja dalam lingkungan yang bersahabat. Compliant menggambarkan kebutuhan untuk menghimpun fakta dan bekerja secara detail.

Faktor yang sering terekspresikan akan menjadi corak kepribadian. Misalnya yang unsur D(dominant)nya tinggi cenderung lebih lugas dalam mengambil keputusan. Sebaliknya yang S (steady)nya cenderung lebih sulit mengambil keputusan, menghindari konflik dan menekankan lingkungan yang harmonis. Tentunya masing-masing karakter sangat sesuai untuk jalur karir tertentu.

Menariknya dalam analisa kepribadian ini digambarkan tiga pola perilaku sebagai ekspresi dari karakteristik kepribadian, yaitu: topeng (public self), inti (private self), dan cermin (perceived self). Topeng adalah pola perilaku yang ditunjukkan sebagai penyesuaian terhadap lingkungan berdasarkan persepsi seseorang terhadap perilakunya yang diinginkan oleh lingkungannya. Sementara private self pola perilaku yang ditunjukkan pada saat seseorang menghadapi situasi sulit dan menantang dalam hidupnya, ketika berada di bawah tekanan, stress, dan ketakutan. Sedangkan ”cermin” menggambarkan bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri (citra diri). Ini hanyalah salah satu bentuk inventori kepribadian.

Jadi para pembaca, memahami diri, ‘menempatkan’ dan mengembangkannya seoptimal mungkin merupakan sarana mendaki tangga karir.




--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...