Rabu, 14 Januari 2009

Berita Baik di Tengah Krisis Keuangan Global

Oleh: Jeffrey D. Sachs
--------------------------------------------------------------------------------

Pada saat headline media berisikan berita mengenai krisis keuangan dan kekerasan, patut dicatat kreativitas pemerintah di banyak negara dalam memerangi kemiskinan, penyakit, dan kelaparan saat ini. Maksudnya bukan cuma untuk membuat kita merasa lebih nyaman, melainkan juga lebih banyak untuk menghadapi salah satu ancaman terbesar di dunia saat itu, yaitu meluasnya pesimisme bahwa masalah yang kita hadapi saat ini begitu besar sehingga sulit dipecahkan. Keberhasilan tersebut di atas memberikan keyakinan kepada kita untuk meningkatkan upaya bersama kita dalam menghadapi tantangan-tantangan global saat ini.

Pertama-tama salut kepada Meksiko yang memelopori gagasan "bantuan dana tunai" kepada keluarga miskin. Bantuan ini mendorong dan memungkinkan keluarga miskin memiliki dana untuk berinvestasi bagi kesehatan, gizi, dan pendidikan anak-anaknya. "Program Peluang" yang diluncurkan Presiden Meksiko Felipe Calderón itu sekarang sudah meluas dan ditiru di seluruh Amerika Latin. Baru-baru ini, atas prakarsa penyanyi Shakira dan Alejandro Sanz dan gerakan sosial yang mereka pimpin, semua negara di Amerika Latin telah menyatakan komitmennya untuk meningkatkan program pengembangan awal anak di kawasan itu berdasarkan keberhasilan yang telah terbukti sampai saat ini.

Norwegia, di bawah pimpinan Perdana Menteri Jens Stoltenberg, terus mempertahankan tradisi kepemimpinan yang kreatif di bidang sosial dan lingkungan. Pemerintah Norwegia telah membentuk aliansi global untuk mencegah kematian ibu pada saat melahirkan dengan mengucurkan bagi keselamatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru dilahirkan. Pada saat yang sama, Norwegia juga telah melancarkan program yang inovatif senilai US$ 1 miliar bersama Brasil untuk mendorong masyarakat miskin di Amazon menghentikan penggundulan hutan yang tak terkendali. Dengan cerdas Norwegia baru akan mengeluarkan dana itu kepada Brasil jika ia terbukti benar-benar sukses dalam menghentikan penggundulan hutan (dibandingkan dengan rona awal yang disepakati sebelumnya).

Spanyol, di bawah pimpinan Perdana Menteri José Luis Rodríguez Zapatero, telah mengucurkan stimulus guna membantu negara-negara miskin mencapai target Millennium Development Goals (MDG). Spanyol telah membentuk Dana MDG yang baru di Perserikatan Bangsa-Bangsa guna memajukan kerja sama PBB dalam menangani berbagai tantangan MDG.

Pemerintah Spanyol dengan tepat telah mengatakan bahwa upaya mengentaskan angka kemiskinan memerlukan investasi serentak di bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, dan infrastruktur, dan untuk itu Spanyol telah menyediakan dana guna membantu realisasi upaya terpadu ini. Spanyol akan menjadi tuan rumah suatu pertemuan pada Januari 2009 yang akan meluncurkan upaya baru melawan kelaparan global. Sekali lagi Spanyol mengusulkan cara yang praktis dan inovatif untuk bergerak dari bicara menuju tindakan yang konkret, khususnya guna membantu para petani miskin memperoleh peralatan, benih, dan pupuk yang mereka perlukan untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan keamanan pangan.

Perdana Menteri Australia Kevin Rudd juga telah maju ke depan dalam upaya mengatasi masalah global ini dengan mengajukan action plan yang berani mengenai perubahan iklim dan mengusulkan cara yang baru dan praktis guna mencapai target MDG. Australia telah menempatkan dana yang nyata guna meningkatkan produksi pangan sama seperti yang dilakukan Spanyol. Australia juga berdiri di garis depan dalam peningkatan action plan ini untuk masyarakat miskin dan negara-negara yang ekonominya terancam dampak kerusakan lingkungan di kawasan Pasifik.

Upaya-upaya ini telah diimbangi dengan tindakan-tindakan nyata di negara-negara miskin itu sendiri. Malawi, sebuah negara miskin di pedalaman Afrika, di bawah pimpinan Presiden Bingu wa Mutharika, telah berhasil meningkatkan dua kali lipat produksi pangan setiap tahun sejak 2005 melalui upaya perintis dalam menolong petani miskin. Program ini begitu berhasil sehingga ditiru di seluruh Afrika.

Pemerintah Mali, di bawah pimpinan Presiden Amadou Toumani Touré, baru-baru ini telah mengajukan tantangan yang berani kepada masyarakat internasional. Mali ingin sekali meningkatkan investasi di bidang pertanian, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur bagi 166 komunitas miskin di negeri itu. Rencana ini disusun terperinci, mendalam, kredibel, dan berdasarkan keberhasilan yang telah dicapai pemerintah. Negara-negara kaya telah berjanji membantu Mali, dan berkat kreativitasnya, Mali sekarang telah memimpin upaya ini.

Tidak terhitung banyaknya lagi kasus yang bisa disebut di sini. Uni Eropa, misalnya, telah melancarkan program dengan dana sebesar ?1 miliar untuk membantu petani. Gates Foundation, UNICEF, Rotary International, dan pemerintah di banyak negara telah berhasil menurunkan tingkat kematian akibat polio sampai seperseribu tingkat satu generasi yang lalu, sehingga penyakit tersebut sekarang sudah berada di jurang kemusnahan. Upaya serupa telah dilakukan di banyak bidang lainnya--pengendalian infeksi cacing dan lepra, dan sekarang upaya global untuk mengurangi angka kematian akibat malaria hampir ke titik nol menjelang 2015.

Semua keberhasilan ini, dan banyak lagi lainnya, memiliki pola yang serupa. Semua menangani tantangan yang jelas dan serius, misalnya produksi pangan yang rendah atau penyakit tertentu, dan berdasarkan seperangkat solusi yang jelas, seperti peralatan pertanian dan masukan yang dibutuhkan oleh petani atau imunisasi.

Proyek percontohan skala kecil menunjukkan bagaimana keberhasilan bisa dicapai. Tantangan kemudian adalah menyesuaikan tantangan dengan skalanya dalam program yang dilancarkan di seluruh negara atau di seluruh dunia. Dibutuhkan kepemimpinan baik di dalam negara yang membutuhkan bantuan serta di antara negara-negara kaya yang bisa membantu melancarkan dan membiayai solusinya. Akhirnya, jumlah dana yang tidak besar yang diarahkan pada penyelesaian persoalan yang praktis bisa memiliki arti historis.

Berita buruk bisa menggeser berita baik, terutama di saat krisis keuangan dan keresahan politik. Namun, berita baik itu menunjukkan bahwa kita bakal mengalami kekalahan melawan kemiskinan dan kesengsaraan hanya bila kita menyerah, dan tidak mengindahkan kecerdasan dan kemauan baik yang dapat dikerahkan dewasa ini. Dan mungkin tahun depan, Amerika Serikat akan bergabung kembali dengan upaya global ini dengan kekuatan baru dan luar biasa, di bawah pimpinan seorang presiden yang masih muda yang dengan tepat telah mengatakan kepada rakyat Amerika dan dunia bahwa, "Ya, kita bisa."

URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/05/Opini/krn.20090105.15


Jeffrey D. Sachs
Guru Besar Ekonomi dan Direktur Earth Institute pada Columbia University

Rabu, 07 Januari 2009

Change Management

A.B. Susanto* Wagiono Ismangil**


Perbaikan adalah perubahan terencana menuju kepada sesuatu yang lebih baik. Namun perubahan berwajah ganda, dapat berwajah manis yang mengarah kepada perbaikan, tetapi juga dapat berwajah kurang ramah yang mengarah kepada kemunduran. Perubahan harus direncanakan dan dikelola (managing planned change) jika dimanfaatkan sebagai alat pengembangan perusahaan.

Titik awal adalah adanya kesadaran untuk melakukan perubahan (change awareness), yang harus disuntikkan ke segenap jajaran kunci organisasi melalui sebuah change awareness program. Perubahan adalah suatu proses pembelajaran, menggantikan yang lama dengan yang baru. Tanpa kesadaran ini program perubahan akan tersendat, karena rapuhnya landasan komitmen terhadap perubahan. Perlu ditumbuhkan komitmen yang tinggi, serta ‘memanajemeni’ sindrom kecemasan. Ibarat menyeberang jembatan ketemu katak disangka buaya. Baru melangkah sedikit dan menghadapi resistensi dalam bentuk ketidaksetujuan (yang sudah harus diantisipasi sebelumnya) tidak meneruskan tetapi malah menyalahkan perubahannya, atau lebih gawatnya lagi agen perubahannya.

Berikutnya adalah program visioning, yaitu membuka jendela masa depan dengan menciptakan visi yang jelas dan terfokus, yang akan menuntun arah perubahan ke arah yang tepat.

Terdapat tiga kaidah perubahan. Kaidah pertama adalah Law of Native. Perubahan yang dilakukan harus melibatkan seluruh organisasi. Segenap impian yang terkemas dalam visi organisasi harus meresap ke dalam sanubari anggota organisasi dan membuahkan komitmen. Kaidah kedua adalah Law of Chaos. Sesuatu yang harus disadari, bahwa dalam setiap perubahan pasti timbul kekacauan. Organisasi harus menerima fakta ini dan memiliki strategi yang tepat untuk mengelola kondisi tersebut. Berikutnya adalah Law of Eden. Kegiatan perubahan membutuhkan peran teladan positif yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi.

Secara garis besar perubahan mempunyai tiga tahap. Tahap pertama adalah persiapan perubahan,ketika perusahaan melakukan evaluasi mendalam mengenai kondisi internal dan eksternal. Diperlukan peran konsultan sebagai change strategist, yang dapat melihat permasalahan secara obyektif untuk menentukan bentuk perubahan, mengembangkan strategi perubahan, serta kerangka kerja pelaksanaan aktifitas perubahan. Strategi yang ditetapkan mengikutsertakan contingency plan dan menyisakan ruang fleksibilitas.

Tahap kedua adalah implementasi, yang harus disertai kemantapan dan kecepatan untuk mendorong dimulainya aktifitas perubahan. Aktifitas perubahan berlangsung dalam situasi dan kondisi yang juga berubah, sehingga dibutuhkan kecepatan dan fleksibilitas dalam derajat tertentu. Implementasi perubahan memerlukan komitmen yang tinggi karena seringkali terdapat ketidakjelasan hasil dalam masa-masa tertentu. Perusahaan perlu menyeimbangkan antara fokus pada hal-hal yang bersifat teknisdengan budaya perusahaan. Budaya perusahaan memegang peran penting dalam proses perubahan dan mencegah terjadinya pseudo change, yang hanya menyentuh permukaan dan bersifat temporer.

Implementasi perubahan perlu dilaksanakan dalam jangka waktu yang tepat, karena jika berlangsung dalam jangka waktu yang terlalu lama, hasil yang disasarkan tidak tercapai atau tidak sesuai lagi untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Sebaliknya perubahan yang terlalu banyak dalam waktu yang terlalu singkat akan menimbulkan kekacauan arah bagi para pelaku aktifitas perubahan, serta menurunkan peluang keberhasilan.

Tahap terakhir adalah pengelolaan hasil perubahan. Justru tantangan yang lebih besar akan dihadapi perusahaan dalam masa ini. Bagaimana mempersiapkan seluruh sumber daya perusahaan untuk memanfaatkan hasil perubahan bukanlah suatu pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Elemen utama yang juga diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan mengelola masa pasca perubahan adalah trust.

Ketiga tahap dalam proses perubahan terkait erat dan keberhasilan proses perubahan memerlukan hasil optimal dari ketiga tahap secara keseluruhan. Proses perubahan tidak akan sukses dilaksanakan apabila tahap persiapannya sudah tidak jelas.

Dan yang tidak boleh terlewatkan adalah memelihara momentum perubahan. Ibarat pesawat harus segera tinggal landas ketika momentumnya sudah tiba, terlepas tujuannya dekat atau jauh, yang terpenting tujuan dan kerangka waktunya jelas. Jika terlambat, pesawat tidak akan pernah mengudara dan tidak akan sampai tujuan.
--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
**Senior Consultant The Jakarta Consulting Group
dapat berwajah manis yang mengarah kepada perbaikan, tetapi juga dapat berwajah kurang ramah yang mengarah kepada kemunduran. Perubahan harus direncanakan dan dikelola (managing planned change) jika dimanfaatkan sebagai alat pengembangan perusahaan.

Titik awal adalah adanya kesadaran untuk melakukan perubahan (change awareness), yang harus disuntikkan ke segenap jajaran kunci organisasi melalui sebuah change awareness program. Perubahan adalah suatu proses pembelajaran, menggantikan yang lama dengan yang baru. Tanpa kesadaran ini program perubahan akan tersendat, karena rapuhnya landasan komitmen terhadap perubahan. Perlu ditumbuhkan komitmen yang tinggi, serta ‘memanajemeni’ sindrom kecemasan. Ibarat menyeberang jembatan ketemu katak disangka buaya. Baru melangkah sedikit dan menghadapi resistensi dalam bentuk ketidaksetujuan (yang sudah harus diantisipasi sebelumnya) tidak meneruskan tetapi malah menyalahkan perubahannya, atau lebih gawatnya lagi agen perubahannya.

Berikutnya adalah program visioning, yaitu membuka jendela masa depan dengan menciptakan visi yang jelas dan terfokus, yang akan menuntun arah perubahan ke arah yang tepat.

Terdapat tiga kaidah perubahan. Kaidah pertama adalah Law of Native. Perubahan yang dilakukan harus melibatkan seluruh organisasi. Segenap impian yang terkemas dalam visi organisasi harus meresap ke dalam sanubari anggota organisasi dan membuahkan komitmen. Kaidah kedua adalah Law of Chaos. Sesuatu yang harus disadari, bahwa dalam setiap perubahan pasti timbul kekacauan. Organisasi harus menerima fakta ini dan memiliki strategi yang tepat untuk mengelola kondisi tersebut. Berikutnya adalah Law of Eden. Kegiatan perubahan membutuhkan peran teladan positif yang memiliki kompetensi dan komitmen tinggi.

Secara garis besar perubahan mempunyai tiga tahap. Tahap pertama adalah persiapan perubahan,ketika perusahaan melakukan evaluasi mendalam mengenai kondisi internal dan eksternal. Diperlukan peran konsultan sebagai change strategist, yang dapat melihat permasalahan secara obyektif untuk menentukan bentuk perubahan, mengembangkan strategi perubahan, serta kerangka kerja pelaksanaan aktifitas perubahan. Strategi yang ditetapkan mengikutsertakan contingency plan dan menyisakan ruang fleksibilitas.

Tahap kedua adalah implementasi, yang harus disertai kemantapan dan kecepatan untuk mendorong dimulainya aktifitas perubahan. Aktifitas perubahan berlangsung dalam situasi dan kondisi yang juga berubah, sehingga dibutuhkan kecepatan dan fleksibilitas dalam derajat tertentu. Implementasi perubahan memerlukan komitmen yang tinggi karena seringkali terdapat ketidakjelasan hasil dalam masa-masa tertentu. Perusahaan perlu menyeimbangkan antara fokus pada hal-hal yang bersifat teknisdengan budaya perusahaan. Budaya perusahaan memegang peran penting dalam proses perubahan dan mencegah terjadinya pseudo change, yang hanya menyentuh permukaan dan bersifat temporer.

Implementasi perubahan perlu dilaksanakan dalam jangka waktu yang tepat, karena jika berlangsung dalam jangka waktu yang terlalu lama, hasil yang disasarkan tidak tercapai atau tidak sesuai lagi untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Sebaliknya perubahan yang terlalu banyak dalam waktu yang terlalu singkat akan menimbulkan kekacauan arah bagi para pelaku aktifitas perubahan, serta menurunkan peluang keberhasilan.

Tahap terakhir adalah pengelolaan hasil perubahan. Justru tantangan yang lebih besar akan dihadapi perusahaan dalam masa ini. Bagaimana mempersiapkan seluruh sumber daya perusahaan untuk memanfaatkan hasil perubahan bukanlah suatu pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Elemen utama yang juga diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan mengelola masa pasca perubahan adalah trust.

Ketiga tahap dalam proses perubahan terkait erat dan keberhasilan proses perubahan memerlukan hasil optimal dari ketiga tahap secara keseluruhan. Proses perubahan tidak akan sukses dilaksanakan apabila tahap persiapannya sudah tidak jelas.

Dan yang tidak boleh terlewatkan adalah memelihara momentum perubahan. Ibarat pesawat harus segera tinggal landas ketika momentumnya sudah tiba, terlepas tujuannya dekat atau jauh, yang terpenting tujuan dan kerangka waktunya jelas. Jika terlambat, pesawat tidak akan pernah mengudara dan tidak akan sampai tujuan.
--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group
**Senior Consultant The Jakarta Consulting Group

EXECUTIVE ASSESSMENT

A. B. SUSANTO*
--------------------------------------------------------------------------------


Inilah lagu lama yang sering dinyanyikan : dalam era kompetisi yang ketat perusahaan harus mempunyai kompetensi utama yang menjadi andalan daya saingnya. Dan pembentuk kompetensi perusahaan yang utama adalah SDM-nya. Sehingga salah satu tugas penting adalah menjaring, memilih, dan mengembangkan SDM berbasiskan kompetensi.

Tetapi, kompetensi yang secara operasional sering didefinisikan sebagai karakteristik yang dimiliki individu agar mencapai perfomansi prima, adalah sesuatu yang sangat abstrak. Padahal untuk mengembangkan kompetensi diperlukan ketajaman dalam mengendus kompetensi seseorang, yang di atas permukaan (overt behavior) maupun di bawah permukaan (covert behavior).

Bagaimana melakukan penilaian yang bertujuan untuk mengidentifikasi kompetensi individu, agar dapat mengembangkan kompetensi sesuai dengan kebutuhan perusahaan bukanlah perkara mudah. Persoalan obyektifitas, validitas, dan reliabilitas menjadi penghalang sulitnya melakukan penilaian ini. Berpijak pada problema ini, terutama masalah obyektifitas, penilaian kompetensi tidak berhenti pada penilaian yang bersifat kualitatif belaka, tetapi juga juga harus dikuantifikasikan. Artinya, walaupun namanya adalah penilaian (assessment), tetapi sudah merambah kepada pengukuran (measurement). Dengan demikian selain dapat mengurangi derajat subyektifitasnya; validitas dan reliabilitasnya menjadi lebih terukur.

Kendala lain yang tak kalah pentingnya adalah persoalan bias budaya. Masalah ini selalu menjadi topik dalam penyusunan pengukuran perilaku. Budaya adalah kontributor yang sangat penting bagi terbentuk perilaku, overt behavior maupun covert behavior.

Para ahli psikometri sejak lama terlibat dalam perdebatan ini, dan menyimpulkan tidak ada pengukuran yang bebas budaya (free culture). Paling tinggi derajatnya adalah fair-culture.

Bagaimana mendapatkan sistem pengukuran (assessment) kompetensi yang obyektif, valid, reliable dan tidak memiliki bias budaya ? Sistem pengukuran ini harus dikembangkan berdasarkan pengalaman praktis terhadap situasi dan kondisi perusahaan di Indonesia berbasis budaya setempat. Sistem pengukuran ini juga harus dikembangkan berdasarkan pendekatan yang multi disipliner, bukan dengan pendekatan kacamata kuda yang hanya melibatkan satu cabang ilmu tertentu.

Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, sistem pengukuran (assessment) yang beredar di Indonesia dilahirkan dari budaya Barat serta situasi dan kondisi perusahaan yang jauh berbeda. Tentu ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh akurasinya ?

Perangkat untuk menggalinya juga harus beragam dan berupa satu rangkaian (battery), dengan pendekatan yang berbeda-berbeda (eclectic). Interviu saja tidaklah memadai, karena unsur subyektifitasnya yang tinggi dan akurasinya sangat tergantung kemahiran pewawancaranya. Yang juga layak mendapat perhatian dalam wawancara adalah jebakan yang disebabkan kekhilafan manusiawi (human error) seperti hallo effect, similarity effect, likeability, stereotyping, dan information favorability sebagai sumber bias.

Model Kompetensi Manajerial

Prihatin dengan situasi yang kurang menguntungkan ini, kantor kami telah mengembangkan sistem pengukuran kompetensi manajerial yang sangat memperhatikan aspek budaya, sesuai dengan kondisi perusahaan di Indonesia. Pengembangannya dilakukan oleh tim multi disipliner yang terdiri dari ahli dan praktisi manajemen dalam bidang organization development, HR management, business transformation, business and marketing, corporate culture, quality management serta ahli-ahli psikologi industri dan antropologi.

Sebagai landasan konseptualnya, dikembangkan JCG Octagon Managerial Competency, sebuah model kompetensi manajerial. Model ini selain dijadikan referensi mengenai kompetensi, juga dikembangkan menjadi sebuah alat pengukuran kompetensi. Dengan menggabungkan berbagai metode terpilih, berdasarkan pengalaman nyata dalam kegiatan praktis manajemen, disusun oleh tim multidispliner, serta dikembangkan dalam lingkungan budaya di Indonesia, akan menghasilkan pengukuran kompetensi yang lebih akurat dan tidak mengandung bias budaya.

Profil kompetensi manajerial tersebut terbagi menjadi delapan dimensi atau cluster, yaitu Performance, Planning, Risk Awareness, Strategic Orientation, Leadership, Implementation, Entreprenurial Spirit dan Problem Solving. Masing-masing dimensi terdiri dari empat aspek yang menunjukkan hirarki yang dibutuhkan sesuai dengan jenjang manajemennya dalam organisasi.

Ketika diterapkan dalam pengukuran kompetensi, JCG Octagon Management Competency Profile merupakan hasil dari proses pengukuran, dan profilnya menggambarkan kompetensi individu yang diukur. Profil ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi dalam kegiatan berbagai fungsi dalam manajemen SDM. Mulai dari proses seleksi (competency-based selection), pengembangan dan pelatihan (competency-based training & development), masalah pengelolaan kinerja (competency-based performance management), sampai masalah penggajian (competency-based reward).


--------------------------------------------------------------------------------
* Managing partner The Jakarta Consulting Group

EMPLOYEE VALUE

A.B. Susanto*
--------------------------------------------------------------------------------


Dalam situasi yang kompetitif, hidup matinya perusahan bergantung kepada sejauh mana value yang diberikan lebih tinggi dibandingkan dengan kompetitor. Value chain analysis membantu perusahaan mengidentifikasi sumber dan kapabilitas potensialnya yang kompetitif. Perusahaan membutuhkan analisis terhadap keseluruhan value chain-nya, termasuk keterhubungan di antara tiap tahapannya dan dalam prosesnya bisa dibangun informasi value chain terpadu. Ibarat lomba lari maka startnya adalah customer needs, dan garis finishnya adalah customer delight.

Tiap fungsi bisnis dalam value chain diperlakukan sebagai aset penting dan berkontribusi pada value. Dengan demikian value chain marketing mengintegrasi dan mengkoordinasikan semua fungsi bisnis, memenuhi kebutuhan pelanggan dan setelah transaksi penjualan tetap menjaga hubungan dengan pelanggan dengan memberikan layanan yang superior sehingga didapat customer equity yang tinggi.

Perlu pendekatan strategis untuk menghubungkan proses pemasaran dengan value dari shareholder, pelanggan, dan karyawan. Shareholder value yang sifatnya terukur serta lebih mudah dipahami oleh investor dipakai sebagai ukuran finansial. Dalam iklim kompetisi yang tajam ini, shareholder value hanya akan dicapai melalui super costumer value yang menyajikan keunggulan diferensial yang kompetitif. Dua hal tersebut dicapai melalui tiga tahapan utama, yaitu value exploration, value creation, dan value delivery yang semuanya harus didukung oleh employee value.

Sebuah perusahaan yang menyatakan dirinya customer-centric, harus memahami betul seberapa jauh karyawan megadopsi slogan ini menjadi budaya yang telah dibatinkan dan menjadi pedoman perilakunya dalam perusahaan. Harus dipastikan bahwa semua orang mengadopsi fokus eksternal (berorientasi pelanggan), dan mereka juga diberi wewenang dan tools untuk memutuskan cara terbaik menangani pelanggan.

Bagi perusahaan karyawan berkontribusi dalam hal tenaga kerja, memberikan layanan, keahlian, ide dan inovasi, serta budaya perusahaan. Di sisi yang lain harapan karyawan terhadap perusahaan secara umum meliputi kelangsungan hidup perusahaan, pembagian keuntungan, keamanan kerja, kualitas lingkungan kerja, sharing informasi, dan manajemen yang baik.

Dari harapan ini selanjutnya bisa diurai faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Biasanya yang muncul pertama kali adalah kompensasi, yang meliputi gaji, tunjangan, dan bonus baik secara perorangan maupun tim. Berikutnya adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja ini meliputi penghargaan terhadap ketrampilan, keselamatan, lingkungan, ergonomis, hubungan yang baik dengan manajemen sehingga tercipta pemberdayaan karyawan, komunikasi yang baik, serta kantor yang keren.

Pada saat ini karir menduduki tempat yang terhormat dalam pola ekspektasi karyawan yang semakin meningkat. Aspek karir ini terutama meliputi kelangsungan pekerjaan, ketersediaan fasilitas untuk mendapatkan pelatihan, pengembangan karir, dan employability.

Tak ketingggalan pula faktor eksternal ikut menjadi bagian dari harapan karyawan. Faktor eksternal ini meliputi hubungan masyarakat, reputasi perusahaan yang akan menunjang kebanggaan personal, dan kualitas hidup.

Pemahaman mengenai persepsi karyawannya menjadi menu wajib bagi perusahaan. Secara umum, kebanggaan sebagai karyawan dan merasa bahwa ketrampilannya bernilai sebagai aset bagi perusahaan haruslah mendapat perhatian yang sangat besar. Kebanggaan dan perasaan berharga ini dapat meningkatkan engagement karyawan terhadap perusahaan dan dapat menjadi tali emosional yang sangat kuat untuk memacu motivasi internal.

Selanjutnya adalah bagaimana seorang karyawan menikmati datang bekerja setiap hari dan merasakan bagaimana hasil kerjanya memberi nilai tambah bagi pelanggan. Jika seorang karyawan menikmati pekerjaannya tentu akan menumbuhkan kerelaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan sepenuh hati. Ketulusan dalam melayani pelanggan eksternal, maupun internal akan meingkatkan kualitas layanan itu. Sementara pelatihan secara berkesinambungan dan dilaksanakan secara lintas sektoral akan memperluas wawasan dan memberi pandangan yang utuh membantu karyawan dalam membuat keputusan dan mendukung visi dan misi perusahaan. Karyawan juga menginginkan mendapatkan informasi yang relevan untuk membuat keputusan bilamana mereka memerlukan. Karyawan juga menginginkan dihargai selaku perorangan maupun selaku anggota tim atas kontribusinya.

Bila nilai ini disampaikan dengan baik dan karyawan juga menerimanya dengan baik pula maka diharapkan terciptanya suasana betah dan kondusif untuk berinovasi serta meningkatnya produktivitas.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Belajar dari Kepemimpinan Cheng Ho

A.B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Pendaratan Cheng Ho di Semarang akan diperingati secara besar-besaran. Cheng Ho adalah bahariwan besar, mendahului para pelaut besar Eropa seperti Columbus dan Vasco da Gama. Armadanya juga jauh lebih besar, 200 kapal (bandingkan dengan Columbus yang hanya 3 kapal).

Memimpin tujuh kali ekspedisi mengarungi jarak lebih dari 50 ribu kilometer pada kurun waktu itu adalah prestasi yang fenomenal, membutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat. Enam ratus tahun yang lalu, memimpin armada yang melibatkan 200 kapal dengan 27 ribu awak kapal tentu bukan hal yang mudah. Kepiawaian seorang pemimpin yang disertai oleh managerial skill yang sangat tinggi. Dia tentu memiliki visi yang kuat dan merasuk kepada segenap pengikutnya, shared vision. Sehingga ia mampu memobilisasi pengikutnya dalam koordinasi yang bagus.

Misi yang diembannya juga tergolong mulia. Bayangkan saja jika armada yang dipimpinnya saat itu menyerang dan menjajah negeri ini. Dengan melihat perbandingan kekuatan yang ada, secara teknis armada Cheng Ho mempunyai peluang cukup besar untuk memenangkannya. Tetapi yang mereka lakukan justru menebar misi damai. Sebuah misi untuk menunjukkan keagungan dinasti Ming dan ketinggian kebudayaan Tiongkok.

Dalam menjalankan misinya, ia mengedepankan pendekatan multikulturalisme. Ia menghormati dimensi kultural yang dianut masyarakat setempat berupa bahasa, nilai-nilai, pola berpikir, agama, artefak, dan orientasi terhadap waktu dan ruang. Penghormatan terhadap perspektif lain ini membantu memotret situasi dengan tepat secara cepat (quick to see). Sikap ini mendatangkan pemahaman dan kearifan dalam menyikapi perilaku dan sikap pada konteks budaya yang berbeda (quick to learn). Hal ini menjadi faktor kritis yang meningkatkan fleksibilitas dalam bertindak (quick to decide) dan berinteraksi sehingga terbinanya hubungan yang erat tanpa mengesampingkan pencapaian hasil yang diinginkan.

Penggunaan soft power seperti ini menuntut kerja keras dari seorang pemimpin lebih dari penggunaan kekerasan itu sendiri. Betapa tidak, ia harus dapat meyakinkan anak buahnya bahwa cara ini dapat berhasil. Dengan berbagai tantangan dan cobaan yang dihadapi, ia harus dapat memupuk keyakinan tersebut dan memelihara semangat untuk berusaha mencapainya. Sebagai pemimpin, komitmennya menjadi acuan dalam menggerakkan komitmen anak buahnya. Dari perjalanan waktu untuk mencapai tujuan tersebut selalu berhadapan dengan proses perubahan, baik perubahan internal maupun perubahan eksternal. Kadang-kadang perubahan itu bersifat ekstrim sehingga menimbulkan krisis yang dapat menimbulkan keraguan dan pesimisme.

Padahal, antusiasme memainkan peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan. Sudah menjadi tugasnya selaku pemimpin untuk selalu meniupkan rasa antusias kepada seluruh anak buahnya. Kemampuan memotivasi, memberi teladan, dan memberi inspirasi menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Secara nyata toleransi dan empati ditunjukkannya dalam banyak hal, bukan sebatas retorika belaka.

Ada kisah menarik dalam kunjungannya ke Majapahit yang saat itu sedang dilanda perang saudara dengan kubu Blambangan. Ketika berada di pantai Utara Jawa, orang kedua dalam armada itu, Wang Jinghong, menderita sakit keras. Beberapa sumber sejarah mengatakan sakit cacar air yang parah, dan tergolong penyakit menular. Mengingat kondisi kesehatan orang kepercayaannya, Cheng Ho menurunkan Wang Jinghong di Pelabuhan Simongan (sekarang bernama Mangkang) Semarang. Di situ Wang Jinghong dirawat di dalam sebuah gua untuk menghindarkan penularan penyakit ke anak buahnya yang lain. Bahkan, beberapa sumber menyatakan bahwa dengan tangannya sendiri Cheng Ho merawatnya, termasuk meramu obat-obatan untuknya.

Bayangkan, seorang laksamana yang memimpin tidak kurang dari 30,000 orang dalam lebih dari tujuh puluh kapal dalam suatu misi yang penting begitu memperhatikan orang kepercayaannya. Selama ia merawat Wang Jinghong, kendali armadanya ia serahkan pada orang yang ditunjuknya. Padahal dengan kekuasaannya, mudah saja bagi laksamana Cheng Ho untuk menunjuk anak buahnya untuk merawat Wang Jinghong sementara ia tetap memimpin armada lautnya.

Saat kondisi Wang Jinghong membaik, Ceng Ho meninggalkannya berikut 10 awak kapal untuk menjaganya. Ia kembali memimpin armada lautnya untuk melaksanakan misi utama yang diembannya setelah memastikan bahwa wakilnya ini sudah dalam kondisi aman dan tinggal menunggu pemulihan saja.

Integritas kepemimpinan Cheng Ho yang ditunjukkan dalam kepeduliannya terhadap Wang Jinghong sebagai wakilnya sangat dirasakan oleh semua anak buahnya. Sebagai gantinya, ia juga mendapatkan tidak saja respek tetapi totalitas dari seluruh anak buahnya. Tidak heran jika Laksamana Cheng Ho sukses dalam setiap kesempatan.

Bahkan, sebagai tanda terima kasih kepada Cheng Ho, Wang Jinghong mendirikan patung Cheng Ho di gua Simongan. Itulah awal legenda patung Sam Po Kong yang kemudian menjadi asal muasal Kelenteng Sam Po Kong Semarang yang setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek ramai dikunjungi orang.

Kepemimpinan Cheng Ho, sungguh layak untuk diteladani.


--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

AGAR MASUK HITUNGAN

Kompetensi yang berkaitan dengan bidang keahlian tertentu, juga harus dibungkus oleh kompetensi yang sifatnya generic, misalnya ketrampilan social. Kompetensi ini sering juga disebut soft skills atau soft competencies. Tak heran banyak orang yang merasa diperlakukan tidak adil, walaupun dia merasa lebih jago, tapi karirnya lebih cepat menanjak karena jago lobi sana-lobi sini.

Inilah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Networking dan lobbying merupakan mantra ampuh dalam dunia bisnis. Tak aneh banyak orang yang melejit bisnisnya atau karirnya karena kepiawaiannya dalam kedua hal ini. Agar Anda dapat melakukan networking maupun lobbying haurs dibekali ketrampilan sosial yang dapat menunjukkan kekuatan diri Anda. Salah satunya adalah bagaimana caranya agar kehadiran Anda diperhitungkan oleh orang lain.

Kekuatan ini dapat dibangkitkan dengan cara menghilangkan kesan bahwa Anda berada di bawah orang lain. Anda tidak boleh menonjolkan bahwa Anda berada di bawah orang lain, walaupun secara struktural barangkali Anda memang berada di bawah orang-orang tertentu.

Pertama kali yang Anda harsu perhatikan adalah citra diri Anda harus mencerminkan kedudukan Anda (right image). Penampilan fisik ini penting karena akan membentuk first impression, yang sangat berpengaruh bagaimana orang lain memandang diri Anda. Hal ini juga berpengaruh terhadap kepercayaan diri Anda. Kepercayaan diri inilah kunci agar Anda dapat mempergunakan teknik penyamarataan (leveler technique).

Teknik ini mengajarkan agar Anda meminimalkan "kepatuhan". Pada dasarnya kepatuhan tidak dapat hilang sama sekali, dan kenyataannya Anda memang perlu memiliki kepatuhan terhadap beberapa orang pada posisi-posisi tertentu. Namun apabila Anda selalu siap dengan berbagai usulan dan inisiatif membuat Anda dapat meminimalkan kepatuhan dalam artian tidak asal menerima perintah atasan saja dan menelan mentah-mentah apa yang diberikannya. Di sini Anda harus memperlihatkan kemampuan untuk mengajukan pemikiran sendiri, sehingga membuat Anda mampu menempatkan diri sejajar dengan orang lain. Oleh karena itu Anda harus terus-menerus mempelajari berbagai situasi, kondisi, dan lingkungan pada saat itu.

Di samping itu Anda perlu meminimalkan penggunaan "Ya... Pak! Ya... Bu!" dalam berkomunikasi. Hal ini bukan berarti Anda meniadakan tata krama dalam berkomunikasi, melainkan cara ini menganjurkan Anda untuk selalu berkomunikasi secara wajar tanpa melupakan diri dan kekuatan anda sendiri. Berkomunikasilah dengan sopan sambil memperlihatkan "isi kepala" Anda secara wajar dan menarik. Keuntungan yang dapat Anda peroleh dari cara ini adalah menghilangkan perasaan dalam diri sendiri akan adanya perbedaan tingkat, sekaligus juga menyadarkan orang lain bahwa Anda merasa tidak berada dalam tingkatan yang berbeda dengan mereka.

Lakukanlah hal ini secara wajar, tanpa kesan dibuat-buat. Orang lain akan merasa senang menerimanya, karena menganggap Anda tidak berlebih-lebihan. Sebaliknya apabila ada orang lain memanggil Anda dengan cara yang melenceng dari kebiasaan, misalnya karena ia orang baru, maka ia harus diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri karena perubahan sikap orang tentu saja tidak dapat terjadi dalam waktu singkat.

sumber : Jakarta Consulting Grpou

Manajemen Krisis

A. B. Susanto*

--------------------------------------------------------------------------------

Musibah banjir yang tidak diantisipasi dengan baik membawa dampak yang signifikan terhadap denyut nadi bisnis di Jakarta. Banyak organisasi yang terganggu aktivitas bisnisnya, mulai yang ‘ringan’ seperti gangguan listrik dan telekomunikasi, sampai lumpuhnya kegiatan karena kantor atau fasilitas produksi yang terendam air. Berarti terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’ yang menyebabkan anggota organisasi kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi yang ada, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai krisis.

Kejadian buruk dan krisis yang melanda dunia bisnis dapat mengambil beragam bentuk. Mulai dari bencana alam – seperti banjir yang melanda Jakarta – , musibah teknologi (kebakaran, kebocoran zat-zat berbahaya) sampai kepada karyawan yang mogok kerja. Segala kejadian buruk dan krisis, berpotensi menghentikan proses normal bisnis yang telah dan sedang berjalan, membutuhkan penanganan yang segera (immediate) dari pihak manajemen. Penanganan yang segera ini kita kenal sebagai manajemen krisis (crisis management).

Saat ini, manajemen krisis dinobatkan sebagai new corporate discipline. Manajemen krisis adalah respon pertama perusahaan terhadap sebuah kejadian yang dapat merubah jalannya operasi bisnis yang telah berjalan normal. Pendekatan yang dikelola dengan baik untuk kejadian itu terbukti secara signifikan sangat membantu meyakinkan para pekerja, pelanggan, mitra, investor, dan masyarakat luas akan kemampuan organisasi melewati masa krisis.

Menurut Gartner.com, diperkirakan hanya 85% dari perusahaan-perusahaan Global 2000 yang membuat rencana penanganan krisis dan hanya 15% saja yang menyusun rencana bisnis yang lengkap ! Fakta ini menunjukkan masih banyak bisnis yang belum memperhitungkan beragam krisis yang mungkin terjadi dalam perencanaan bisnis mereka.

Terdapat enam aspek yang mesti kita perhatikan jika kita ingin menyusun rencana bisnis yang lengkap. Yaitu tindakan untuk menghadapi situasi darurat (emergency response), skenario untuk pemulihan dari bencana (disaster recovery), skenario untuk pemulihan bisnis (business recovery), strategi untuk memulai bisnis kembali (business resumption), menyusun rencana-rencana kemungkinan (contingency planning), dan manajemen krisis (crisis management). Manajemen krisis mencakup kelima butir sebelumnya.

Khusus untuk penanganan krisis karena bencana, perlu dilengkapi emergency response plan (ERP) yang juga meliputi pembentukan sebuah tim yang terdiri dari para anggota dengan tanggungjawab tertentu ketika terjadi situasi darurat (emergency response team), alur tindakan pada situasi darurat (emergency flowchart) dan prosedur evakuasi. Emergency response plan ini harus didukung oleh general emergency procedure (GEP).

Pada hakekatnya dalam setiap penanganan krisis, perusahaan perlu membentuk tim khusus. Tugas utama tim manajemen krisis ini terutama adalah mendukung para karyawan perusahaan selama masa krisis terjadi. Kemudian menentukan dampak dari krisis yang terjadi terhadap operasi bisnis yang berjalan normal, dan menjalin hubungan yang baik dengan media untuk mendapatkan informasi tentang krisis yang terjadi. Sekaligus menginformasikan kepada pihak-pihak yang terkait terhadap aksi-aksi yang diambil perusahaan sehubungan dengan krisis yan terjadi.

Agar dapat melewati masa krisis, organisasi membutuhkan seorang pemimpin yang cakap dan handal. Kisah kepemimpinan melalui krisis yang paling terkenal adalah kisah perjalanan Shackleton bersama 27 anak buahnya ke Benua Antartika tahun 1914 dengan misi menjelajahi benua tersebut. Walaupun pada akhirnya misi ini gagal karena kapal mereka tertahan bongkahan es, namun kepemimpinan Shackleton ini menjadi legenda akan keberhasilan pemimpin mengatasi krisis yang terjadi.

Mengutip Shackleton’s Way : Leadership Lessons From The Antarctic Explorer terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemimpin dalam menghadapi krisis dalam organisasinya. Pertama, penugasan segera, tawarkan rencana kegiatan, mintalah dukungan dari semua orang, dan tunjukkan bahwa organisasi mampu menghadapi krisis yang terjadi ini dengan baik. Kedua, lakukan pemantauan berkala terhadap kegiatan yang dilakukan anggota. Tujuannya agar anggota organisasi tidak kehilangan momentum pengendalian krisis, karena memperlakukan krisis sebagai proses bisnis biasa. Ketiga, rangkullah orang-orang yang tidak puas dengan kondisi yang terjadi dan menangkan “hati” mereka. Keempat, gunakan humor dan hal-hal lain untuk mengalihkan ketakutan akibat krisis. Terakhir, ajaklah seluruh anggota organisasi untuk terlibat dalam mencari dan menjalani solusi krisis yang telah disusun bersama.

Satu pelajaran penting dalam kisah Shackleton ini adalah ia (sebagai pemimpin) tidak memerintah anggotanya untuk melakukan hal-hal yang dikendaki, tetapi merangkul dan mengajak seluruh anggota untuk mencari solusi dan keluar dari krisis secara bersama-sama. Tidak perlu menyalahkan seseorang atau pihak lain akan krisis yang dialami. Tetapi carilah jalan keluar yang paling logis dan memuaskan seluruh pihak. Sehingga organisasi dapat keluar dari krisis yang terjadi. Bahkan jika ada krisis yang lain – atau bahkan krisis lanjutan – organisasi akan mampu untuk bertahan dan keluar dengan gemilang.


--------------------------------------------------------------------------------

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...