Rabu, 13 Oktober 2010

Menyoal uang panas

Oleh: Fauzi Ichsan



Ibarat tak terbendung, rupiah terus menguat dari 11.120 per dolar AS pada akhir 2008 ke 9.400 di akhir 2009 dan 8.920 pada minggu pertama, Oktober 2010.

Bukan rupiah saja yang menguat. Sejak awal 2010, dolar telah melemah 10% terhadap baht Thailand, 9,8% terhadap ringgit Malaysia dan 3,8% terhadap rupee India.

Mata uang Asia lainnya seperti yuan China, won Korea, peso Filipina dan dolar Taiwan juga menguat, bersamaan dengan beberapa mata uang negara Latin Amerika seperti Brasil, Meksiko, Chile dan Peru.

Bagi negara yang ekonominya tidak tergantung dari ekspor seperti Indonesia, penguatan mata uangnya, selama tidak tajam, berdampak positif. Di Indonesia sekitar 70% dari produk domestik bruto (PDB) digerakkan oleh konsumsi domestik dan 20% oleh investasi.

Net-ekspor menggerakan hanya 10% dari PDB. Penguatan rupiah menahan inflasi (terutama inflasi barang impor) yang artinya menghambat kenaikan suku bunga-keadaan yang membantu daya beli masyarakat.

Penguatan rupiah belum tentu memukul ekspor. Total ekspor Indonesia pada semester I/2010 justru naik 49% dibandingkan dengan semester I/2009. Karena lebih dari 40% ekspor Indonesia adalah komoditas, ekspor Indonesia untungnya terbantu dengan kenaikan harga komoditas global, yang lebih pesat daripada penguatan rupiah.

Sementara itu, bagi eksportir barang manufaktur, walaupun penguatan rupiah bisa mengurangi daya saingnya, penguatan rupiah juga menekan biaya impor bahan baku. Artinya penguatan rupiah bagi beberapa eksportir (yang impornya banyak) sebetulnya dampaknya netral.

Penguatan mata uang negara berkembang di Asia dan Latin Amerika (Latam) erat kaitannya dengan derasnya aliran modal investor global ke pasar modal Asia dan Latam. Karena suku bunga dolar AS, euro dan yen sangat rendah dan diperkirakan akan tetap rendah sampai akhir 2011 (akibat rentannya pemulihan ekonomi di AS, Eropa dan Jepang pascaresesi global pada 2009), investor global mengalihkan investasi mereka dari pasar uang ke pasar modal.

Pasar modal di mana? Di negara yang pertumbuhan ekonominya pesat (sehingga laba sektor korporasi dan perbankannya juga tumbuh pesat, yang memicu penguatan bursa saham) dan negara yang suku bunganya tinggi (sehingga spekulator bisa meminjam dana dolar atau yen dan memarkir dananya di surat utang negara (SUN) yang imbal hasilnya tinggi seperti di Brasil dan Indonesia).

Implikasinya, penguatan mata uang Asia sangat berkaitan dengan harga saham dan surat utang Asia. Di Indonesia saja, dalam 9 bulan pertama 2010, dana asing berbentuk hot money yang masuk ke Indonesia sebesar Rp115 triliun, yaitu 64,3% masuk ke SUN, 17,8% ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan 17,9% ke saham.

Penguatan rupiah

Namun, penguatan mata uang yang terlalu tajam juga bisa bermasalah bagi negara yang tidak mengandalkan ekspor sekalipun.

Penguatan rupiah dipicu oleh aliran hot money asing ke pasar finansial dalam negeri yang sewaktu-waktu bisa keluar cepat jika sentimen pasar berbalik tajam-misalnya jika pemerintah Yunani menunggak utangnya dan memicu krisis finansial Eropa yang memukul sentimen investor global atas negara berkembang.

Untuk menghambat penguatan rupiah, Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valas, dengan menjual rupiah dan membeli dolar. Kebijakan ini memupuk cadangan devisa BI, yang telah naik tajam dari 66,1 miliar dolar AS pada akhir 2009 ke 86,6 miliar pada September 2010.

Namun, intervensi valas juga bukan tanpa masalah. Intervensi pembelian dolar yang agresif berimplikasi penyuntikan dana rupiah yang besar ke sistem ekonomi dan meningkatkan jumlah peredaran rupiah-nama kerennya money supply.

Jika dana tambahan ini tidak diserap oleh sektor real, akan berpotensi memicu inflasi-karena jumlah uang yang beredar mengejar barang dan jasa yang produksinya tidak naik sepesat kenaikan jumlah uang yang beredar.

Untuk meredam potensi kenaikan inflasi, BI harus melakukan \'sterilisasi\': menyerap kembali ekses likuiditas rupiah dengan menjual SBI, yang totalnya Rp251,8 triliun pada akhir September 2010. Masalahnya, BI membayar beban bunga yang cukup besar atas SBI yang diterbitkannya: sedikitnya 6,5% per tahun (dengan BI Rate 6,5%). Sementara cadangan devisanya yang berbentuk dolar AS dan dibelikan SUN AS (bertenor 5 tahun misalnya) hanya berimbal hasil 1,8%.

Dalam contoh ini ada negative carry (kerugian) sebesar 6,5% - 1,8% = 4,7%. Tentu tidak semua cadangan devisa BI berbentuk dolar AS (biasanya bank sentral membatasi porsi dolar AS di cadangan devisanya sebesar 60-70%, bergantung pada komposisi hutang luar negeri negaranya).

Namun seperti bank sentral pada umumnya, BI hanya bisa menggunakan cadangan devisanya untuk memberli SUN, dalam mata uang apa pun, yang peringkat risikonya mendekati AAA (paling baik) yang imbal hasilnya tentunya paling rendah, pada era suku bunga global yang memang rendah.

Masalahya tidak berhenti di sini. Jika BI tidak melakukan intervensi valas dan membiarkan rupiah menguat tajam, otomatis nilai cadangan devisanya dalam rupiah merosot tajam.

Inilah salah satu alasan mengapa bank sentral China (yang mengelola cadangan devisa sebesar US$2,4 triliun) sangat khawatir atas penguatan yuan yang terlalu pesat, walaupun China mendapat tekanan politik dari pemerintah AS untuk membiarkan yuan menguat tajam.

Tentu alternatif kebijakan lainnya untuk mengerem penguatan rupiah adalah membatasi aliran dana asing melalui pengendalian arus modal atau capital control, misalnya dengan mengenakan pajak terhadap investasi portofolio asing.

Namun, banyak pula pakar yang sanksi atas efektivitas kebijakan ini.

Reaksi bank sentral

Menghadapi masalah hot money asing, bank sentral Singapura dan International Monetary Fund (IMF) pada akhir bulan Agustus 2010 mengadakan pertemuan dengan pimpinan bank sentral negara yang terimbas hot money. Yang hadir di acara tersebut termasuk gubernur bank sentral Indonesia dan Filipina, mantan gubernur bank sentral India dan Mexico, serta para deputi gubernur bank sentral dari Jepang, Korea, Thailand, Brasil, Australia, dan New Zealand.

Kebetulan saya diundang sebagai wakil pelaku pasar finansial di ASEAN dan mengikuti seluruh perdebatan atas hot money asing.

Dalam diskusi ini, BI, bank sentral Brasil (dan ironisnya IMF) memberi ruang untuk membahas capital control yang sangat terukur (bahasa halusnya disincentive) dan tidak dinilai \'anti-pasar\'.

Bagi pendukungnya, disincentive patut dipertimbangkan karena dalam globalisasi pasar finansial, suatu negara yang perekonomiannya baik pun tetap tidak bisa terisolasi dari krisis ekonomi di belahan dunia lainnya. Bank sentral Mexico secara tegas menolak capital control, karena merasa pelaku pasar selalu mengetahui apa yang akan dilakukan oleh bank sentral (kecolongan). Posisi Mexico didukung oleh Thailand, yang pernah menerapkan capital control, tetapi kebijakannya dicabut kembali keesokan harinya karena rekasi pasar sangat negatif.

Sementara itu, Bank sentral India menekankan pentingnya mengubah komposisi investasi asing, dari investasi finansial ke investasi sektor real (foreign direct investment) yang aliran modalnya lebih stabil.

Pada intinya, tidak ada konsensus kebijakan yang terbaik untuk meredam hot money: masing-masing bank sentral memiliki alasan sendiri. Namun, hampir semua bank sentral setuju bahwa salah satu cara meredam dampak hot money asing adalah \'memperbesar\' pasar modal domestik sehingga tidak mudah digoyang arus modal asing.

Selain itu, memiliki cadangan devisa yang besar dianggap sebagai \'asuransi\' atas kemungkinan pelarian modal asing, sehingga bank sentral negara berkembang berlomba-lomba memupuk cadangan devisanya. Memiliki cadangan devisa yang besar juga dianggap mengurangi kemungkinan harus minta bantuan IMF dalam krisis, karena adanya "stigma anti-IMF" sejak krisis finansial Asia pada 1998.

Setelah mendengar para pemimpin bank sentral berbicara, saya menarik beberapa kesimpulan. Pertama, ada pergeseran dana investor secara fundamental, dari negara maju (AS, Eropa, dan Jepang) ke negara berkembang yang pertumbuhan ekonominya lebih pesat, seperti Brasil dan Indonesia. Pergeseran ini begitu kuat sehingga capital control tidak akan efektif dalam menghambat aliran modal ini.

Capital control hanya bisa \'membelokkan\' arus modal asing, misalnya dari SBI ke saham, tetapi tidak bisa memberhentikannya, apa lagi jika fundamental ekonomi Indonesia dianggap kuat.

Kedua, rendahnya suku bunga dolar, euro, dan yen memperderas arus modal ke pasar finansial Asia dan Latam dan berisiko memicu inflasi harga saham dan obligasi, yang berisiko memompa financial bubble dalam beberapa tahun ke depan.

Bagi Indonesia, yang penting adalah bagaimana menyerap arus modal asing ke sektor real (misalnya melalui divestasi BUMN dan penerbitan saham perdana oleh sektor korporasi) yang lebih produktif, sehingga modal asing tidak hanya mengejar \'barang\' yang sudah ada (seperti 10 saham dengan kapitalisasi terbesar di bursa saham) yang berisiko memicu bubble.

Namun, penyerapan dana asing oleh sektor real sangat bergantung pada iklim investasi di sektor real itu sendiri dan pada akhirnya, sangat bergantung pada percepatan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol dan pembangkit tenaga listrik. Masalah klasik Republik Indonesia.

URL Source: http://www.bisnis.com/artikel/2id3148.html

Fauzi Ichsan
Senior Economist Standard Chartered Bank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...