Kamis, 29 April 2010

LOWONGAN MGR / SPV PRODUKSI PUPUK ORGANIK

PT. AGRO FAUNA KERTOSARI

URGENTLY REQUIRED

Perusahaan Agrofauna yang sedang berkembang mengajak profesional muda, mandiri, ulet dan bermotivasi tinggi untuk maju bersama kami, sebagai:


MGR / SPV PRODUKSI PUPUK ORGANIK

Kualifikasi:

  • Minimal D3 jurusan Pertanian
  • Pengalaman dibidangnya masing-masing minimal 2 taahun
  • Diutamakan yang berpengalaman di produksi pupuk organik
  • Jujur, ulet, dapat bekerja sama dalam team
  • Penempatan: Mojosari, Mojokerto

Jika Anda memenuhi persyaratan diatas, kirimkan CV lengkap dengan disertai foto terbaru 4x6 (2 lbr), paling lambat 1 (satu) bulan setelah pemuatan ke:

RECRUITMENT SERVICES (AFK)
Jl. Krembangan Makam 11 Surabaya - 60175

atau
recruitment@kamadjaja.com

LOWONGAN SUPERVISOR KEBUN

PT. AGRO FAUNA KERTOSARI

URGENTLY REQUIRED
Perusahaan Agrofauna yang sedang berkembang mengajak profesional muda, mandiri, ulet dan bermotivasi tinggi untuk maju bersama kami, sebagai:
SUPERVISOR KEBUN
Kualifikasi:
  • Minimal D3 jurusan Pertanian
  • Pengalaman dibidangnya masing-masing minimal 2 tahun
  • Diutamakan yang berpengalaman di perkebunan
  • Jujur, ulet, dapat bekerja sama dalam team
  • Penempatan: Mojosari dan Yogyakarta

Jika Anda memenuhi persyaratan diatas, kirimkan CV lengkap dengan disertai foto terbaru
4x6 (2 lbr) , paling lambat 1 (satu) bulan setelah pemuatan ke :


RECRUITMENT SERVICES (AFK)
Jl. Krembangan Makam 11 Surabaya - 60175
atau
recruitment@kamadjaja.com

Rabu, 28 April 2010

Lowongan Credit Marketing Officer (MO)

ASTRIDO PACIFIC FINANCE, PT
Sebuah Perusahaan Pembiayaan Otomotif Membutuhkan Beberapa Tenaga Kerja Profesional Yang Handal, Kreatif dan Ulet Untuk Ditempatkan Pada Posisi :
Credit Marketing Officer (MO)
Kualifikasi:
  • Pria, usia maks. 28 Tahun
  • Pendidikan min. D3 segala jurusan
  • Diutamakan berpengalaman kerja di bidang sales / marketing
  • Berjiwa marketing, dinamis dan komunikatif
  • Mempunyai sepeda motor sendiri & SIM C
  • Menyukai pekerjaan lapangan

Kirimkan lamaran Anda lengkap dengan CV terbaru ke:

PT. ASTRIDO PACIFIC FINANCE
Jl. Balikpapan Raya No.7 Gd. Toyota Lt.3-4
Jakarta Pusat 10160
atau email ke: mayang_q@yahoo.com cc contact@astrido-finance.co.id

Selasa, 27 April 2010

LOWONGAN REHABILITATION SUPERVISOR (ENV 0432)

PT. Agincourt Resources is a subsidiary of G-Resources.

G-Resources is a Hong Kong listed gold mining and exploration company. It has acquired the world-class Martabe gold-silver project in northern Sumatera, Indonesia. Already in development, Martabe is expected to commence production of gold in 2011. The mine will be capable of producing at a rate of 250,000oz gold and 3M oz silver per annum.

Martabe with a resource base of 6.5Moz gold and 66Moz silver will form the core starter asset around which a globally competitive, Asia-Pacific focused gold company will be built. G-Resources seeks to rapidly grow production to more than one million ounces of gold annually through exploration of the large and highly prospective Martabe property and through acquisition of other quality gold assets.

PT Agincourt Resources is pleased to invite applications for the following role in the environment department :
REHABILITATION SUPERVISOR (ENV 0432)

This position will be based in Martabe project with FIFO schedule 4/2 weeks and reports directly to the Environment Field Service Superintendent.

This position is responsible to :
  • Manage field rehabilitation program in areas impacted by development activities and provide regular process reports on these programs.
  • Establish the rehabilitation plan, scheduling of fields work, organisation of ground preparation (top soil maintenance & distribution)
  • Manage of seeding preparation and transplanting, fertilizing and on – going field maintenance activities.
  • Supervise for rehabilitation / field activity to achieve high productivity and quality

    Candidates for this role would be expected to have the following qualifications and experience:
  • Diploma or bachelor degree in Agriculture, Land Management or Forestry.
  • Minimum 3 years previous hand on experience in smiliar supervisory role, preferably from mining industry.
  • Good interpersonal skills with the ability to work well with others as part of a team and contribute to a harmonious working environment.
  • Enthusiasm, self motivation and the ability to maintain direction and achieve work objectives with minimal supervision.
  • L/V Drivers Licence
  • Working level of spoken and written English
  • Females applicants are encouraged to apply

Applications, including full details of applicant’s qualifications, experiences and work history, should be sent not later than 08 May 2010 to:

HR & Admin Department – PT Agincourt Resources
Email: recruiting@g-resources.net

Please put the position title on your application subject
Only short listed candidates will be notified for further processes

Lowongan Area Managers


We, PT. Catur Agrodaya Mandiri, fully owned subsidiary of United Phosporus Limited, India largest and worlds 3rd biggest Generic Pesticide company with US$ 1.2 billion turnover and currently looking for professionals to join our marketing team and offer attractive remuneration package with car facility.
Area Managers
(West Java, Central Java, South Sulawesi)
Requirements:
  • Graduated or post graduated with Agriculture degree.
  • Male
  • Ages maximum 38 years old.
  • Has minimum experience 7 years in the Pesticide Industry.
  • Able to communicate in English and computer literate.
  • Honest, Good analytical skill and teamwork.

Please email your application and curriculum vitae with relevant code/position to:
indah@catur-indo.com and, or post to:

PT. CATUR AGRODAYA MANDIRI
Wisma Budi Floor 4th, SUite 402
Jl.H.R Rasuna Said Kav.C-6 Jakarta 12940

Sabtu, 24 April 2010

Jadikan Rakyat Sebagai Majikan

Oleh: Saurip Kadi


Belakangan ini asas “praduga tak bersalah”terbukti efektif untuk melindungi pejabat yang terindikasi korupsi dari sanksi “nonaktif” dari jabatan.


Demi wibawa lembaga negara dan nama baik pejabat,rakyat yang menuduh adanya dugaan korupsi dilaporkan ke polisi dengan pasal “pencemaran nama baik”. SBY sendiri dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai pada Rakornas Partai Demokrat tanggal 26 Maret 2010 di Kemayoran Jakarta memberikan arahan tentang etika dalam berpolitik agar tidak menggunakan cara-cara fitnah. Pertanyaan yang perlu dijawab, betulkah norma hukum dan pesan moral tersebut murni untuk kepentingan pembangunan demokrasi ataukah ada kepentingan lain?

Negara adalah Pelayan

Dirasakan atau tidak, selama ini telah terjadi penyesatan oleh elite bangsa yang dibungkus dengan bahasa kekuasaan dan bahkan akidah agama. Lihat saja selama Orde Baru,istilah “harga disesuaikan” digunakan untuk mengatakan bahwa harga naik. Sudah jelas-jelas penduduk di wilayah tertentu terkena busung lapar,tapi pengumuman resmi pemerintah menyebutnya dengan kurang gizi. Masih banyak lagi contoh-contoh pilihan kata yang justru membodohi rakyat.

Semua pihak pasti setuju,bangsa ini jangan menghakimi, apalagi menjebloskan seseorang ke dalam penjara sebelum ada kepastian hukum. Sebab,yang terperiksa belum tentu jadi tersangka,yang tersangka belum tentu dijatuhi hukuman, dan yang sudah divonis pengadilan pun belum tentu dalam banding atau kasasi tidak bebas. Namun, betulkah norma yang demikian itu berlaku juga bagi pejabat negara yang terindikasi korupsi? Di mana pun berlaku kaidah, dia yang terima gaji atau honorarium bulanan adalah pegawai, buruh atau karyawan (dalam rumah tangga disebut pembantu) dan yang membayar gaji atau honor bulanan disebut majikan. Dalam kaitan berdemokrasi,untuk membiayai negara, termasuk untuk membayar gaji pegawai negara, rakyat membayar pajak.Dari alur ini jelas, posisi rakyat dalam negara demokrasi adalah majikan, sedangkan posisi pejabat negara adalah pelayan.

Maka dalam negara penganut paham demokrasi, kedudukan negara sama sekali bukan penguasa. Sebaliknya dalam negara otoriter yang prinsip dasarnya “negara bertanggung jawab atas rakyat”, seluruh kebutuhan rakyat,mulai dari kebutuhan pokok sampai ke masalah kesehatan dan pen-didikan, ditanggung negara. Maka dalam negara otoriter,rakyat diposisikan sebagai pegawai negara, tiap bulan rakyat diberi gaji oleh negara. Dari sanalah, dalam model otoriter,negara adalah penguasa.

Hak Majikan dan Kewajiban Pelayan

Berangkat dari pemahaman tersebut, pantaskah sang majikan (rakyat) yang menanyakan kepada sang pembantu atau pelayan (pejabat negara) yang terindikasi korupsi dalam mengelola uang negara kemudian dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan “pencemaran nama baik”? Ibarat seorang majikan dalam sebuah rumah tangga yang menanyakan kepada pembantu rumah tangga mengenai volume gula atau beras di dapur yang sudah menipis, padahal baru dibelinya dalam jumlah besar beberapa hari sebelumnya, bukankah menjadi hak majikan untuk bertanya atas hal tersebut dan sebaliknya adalah kewajiban bagi sang pembantu (pelayan) untuk mempertanggungjawabkannya?

Lebih jauh lagi, patutkah pelayan yang mestinya bertanggung jawab atas hilangnya uang negara akibat pencurian (korupsi), demi asas “praduga tak bersalah”dipertahankan untuk tidak di-”nonaktif”- kan sampai ada kepastian sebagai tersangka? Bisa jadi yang bersangkutan memang tidak ikut mencurinya, tapi bukankah kehilangan nyata-nyata telah terjadi, apalagi uang yang dicurinya dalam jumlah besar seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century, yaitu Rp6,7 triliun dari kebutuhan awal hanya Rp1,29 triliun saja? Bukankah proteksi tersebut sangat melukai rasa keadilan dan telah menghina DPR yang telah memutuskan sejumlah pejabat yang harus bertanggung jawab?

Bukankah asas “praduga tak bersalah” hanya cocok manakala para pihak yang bermasalah adalah rakyat karena rakyat selaku majikan tidak boleh dipermalukan apalagi dizalimi oleh pelayan (negara), termasuk oleh mereka yang menangani fungsi penegakan hukum? Persoalan menjadi lain kalau kapasitas pejabat tersebut sebagai individu (bukan dalam jabatan) dan yang dicuri juga bukan uang negara. Begitu pula soal fitnah, siapa pun tahu bahwa “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan”. Kalau saja ada individu rakyat dengan sadar menuduh individu rakyat lainnya tanpa fakta yang valid sehingga yang dituduh namanya tercemar dan untuk menghapus imej buruk tersebut diperlukan bantuan pengadilan untuk menengahinya, maka pasal “pencemaran nama baik” menjadi sangat relevan. Sebab, hanya dengan cara itulah nama baik si korban bisa direhabilitasi.

Namun, bagaimana mungkin sang majikan (rakyat) disebut memfitnah pembantu (pelayan) ketika dirinya menanyakan penggunaan anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika faktanya daftar pemilih tetap (DPT) dan IT KPU kacau? Dengan kata lain, pokok persoalannya bukan masalah sang pelayan ikut mencuri atau tidak, salah atau benar menurut hukum positif saja, karena dalam kehidupan ada etika ada tanggung jawab moral. Mengingat tugas sebagai pelayan itu berat, bahkan dipercaya untuk mengelola kekayaan sang majikan, maka untuk menjadi pelayan perlu sejumlah persyaratan baik keahlian, keterampilan atau bahkan hal-hal yang terkait dengan legitimasi, reputasi, dan moral atau integritas pribadi yang tidak boleh tercela.Persoalan etika inilah yang dilupakan oleh sebagian besar elite kita saat ini,jauh berbeda dengan bangunan demokrasi di banyak negara.

Lihat saja Jepang, seorang Menteri Perhubungan mengundurkan diri hanya disebabkan dirinya sedang main golf saat terjadi kecelakaan kereta api. Seorang mantan Presiden Korea Selatan memilih bunuh diri hanya karena terindikasi korupsi kurang dari Rp1 miliar atau setara dengan U S D 1 0 0 . 0 0 0 . Dibandingkan dengan di negeri kita, betapa persoalan etika mempunyai jarak sangat jauh antara kata dan perbuatan, bagai bumi dan langit,seperti yang kita saksikan bersama belakangan ini.

Ambil Hikmah

Betapa hebatnya seorang Robert Tantular yang bisa membobol dana Rp6,7 triliun dan seorang Gayus H Tambunan yang hanya pegawai golongan III A dengan rekening pribadi berjumlah Rp28 miliar kalau keduanya “beraksi” bukan dalam kerangka konspirasi kekuasaan. Menjadi sangat menggelikan lagi ketika sang pelayan terus berusaha meyakinkan majikan, dengan atas nama Tuhan segala, bersumpah bahwa dirinya tidak salah dan karenanya tidak harus bertanggung jawab atas uang yang hilang dan terus menganggap kedua kasus tersebut bukan karena kebobrokan sistem pengelolaan kekuasaan negara.

Memang ada elite yang berani memberi pernyataan resmi bahwa dirinya bertanggung jawab,tapi faktanya tak lebih hanya sebatas pernyataan. Harapan kita, semoga sikap bijak segera diambil oleh Presiden kita beserta seluruh elite bangsa yang masih punya nurani untuk memanfaatkan momentum ini guna menyelamatkan masa depan bangsa dan negara.Presiden harus merumuskan sistem pengelolaan negara dengan platform dan paradigma baru, lengkap dengan subsubsistem turunannya yang menempatkan rakyat sebagai majikan.

Dengan demikian ada jaminan bahwa kebobrokan sistem yang ada saat ini tidak terus berlanjut sehingga kehidupan kita ke depan akan lebih baik dari yang sekarang.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/319552/



Saurip Kadi
Purnawirawan Mayor Jenderal TNI

Keadilan Ekologis

Oleh: Arif Satria


Ada dua momentum pada 22 April: Hari Bumi dan Hari Terumbu Karang. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2010 sebagai Tahun Keragaman Hayati dengan tema ”Biodiversity is Life, Biodiversity is our Life”.

Ketiga momentum itu sangat penting untuk menanggulangi krisis ekologis yang terjadi.

Di Indonesia, terumbu karang yang sangat baik tinggal 6 persen. Padahal, terumbu karang memberi keuntungan ekonomi 1,6 miliar dollar AS per tahun (Tun et al, 2004). Hutan mangrove juga rusak. Stok ikan menipis. Bahkan, di dunia, 77 persen dari 441 spesies ikan sudah dalam lampu kuning. Belum lagi masalah pencemaran dan kerusakan ekologis akibat pertambangan dan aktivitas ekonomi lainnya. Bisakah konsep pembangunan berkelanjutan mengatasinya?

Pembangunan berkelanjutan ditafsirkan sebagai pembangunan yang bisa dinikmati generasi sekarang dan mendatang. Ini merupakan respons terhadap pembangunan gaya kapitalisme yang tidak ramah lingkungan. Suatu konsep yang mencerminkan paradigma modernisasi ekologi.

Tiga strategi

Asumsi utama modernisasi ekologi adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, yang selanjutnya bertumpu pada tiga strategi (Low dan Gleeson, 1998).

Pertama, ekologisasi produksi, yang berarti pengurangan limbah dan pencemaran melalui perbaikan teknologi ramah lingkungan. Kedua, perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk proekologis. Ketiga, menghijaukan nilai sosial dan korporat beserta praktiknya.

Tentu pemikiran modernisasi ekologi semakin populer. Kini semakin banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah lingkungan. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye earth hour, jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi.

Begitu pula solusi perdagangan karbon untuk mengatasi perubahan iklim. Intinya solusi krisis ekologis adalah manajemen lingkungan melalui teknologi, pasar, dan intervensi negara.

Selain manajemen lingkungan, modernisasi ekologi juga tecermin dalam pengelolaan sumber daya. Cirinya adalah pendekatan teknokratik yang berbasis sains dan pasar untuk mengatasi krisis ekologis. Contohnya, ekolabeling untuk produk hutan, ikan, serta pertanian. Juga berbagai kawasan konservasi yang dikembangkan untuk kelestarian sumber daya.

Meski demikian, pendekatan modernisasi ekologi sering dipertanyakan karena melupakan konflik kepentingan antaraktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.

Modernisasi ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil.

Keadilan ekologis

Oleh karena itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan. Menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis.

Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini.

Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.

Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di wilayahnya sendiri.

Ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.

Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis. Bahkan, kata Low dan Gleeson (1998), ”sustainable development without environmental justice is an empty formula”.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/22/03554296/keadilan.ekologis


Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB

Indonesia Darurat Mafia

Oleh: Febri Diansyah

Anggodo Widjaja menang, skandal pajak terungkap, uang haram mengalir ke jenderal polisi, jaksa, dan hakim, harga alat kesehatan di-mark-up, sarung dan mesin jahit untuk bantuan sosial dikorupsi,anggota DPR menerima suap dalam pemilihan pejabat publik, dan pencucian uang marak di masa Pemilu 2004 dan 2009.

Di sisi lain, sebuah lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang mulai berhasil memberantas korupsi justru digempur kekuatan corruptor fight back tanpa proteksi politik memadai. Apa yang terjadi dengan Indonesia? Membaca realitas kasus-kasus yang terjadi di berbagai institusi penting negara, agaknya kita bisa menarik satu benang merah bahwa Indonesia berada di satu titik balik, yaitu mafia menguasai sejumlah institusi negara. Agaknya inilah salah satu makna istilah state capture,yakni ketika fungsi negara dibajak sehingga tujuan penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat menjadi alternatif kesekian.

Setengah Hati

Sementara itu, realitas pemberantasan mafioso terkesan tertinggal dari perkembangan modus, aktor, dan konsolidasi kekuatan mafia di berbagai institusi. Berkaca dari fenomena gunung es,tentu saja kasus-kasus yang mengemuka hanyalah puncak semata. Adapun dasar dan badan gunung jauh lebih besar dan sulit tersentuh proses hukum. Di titik inilah perang terhadap mafia hukum yang hanya menari-nari dari kasus per kasus tidak akan pernah menyelesaikan masalah mafia itu sendiri. Kasus Gayus misalnya.

Seorang pegawai pajak dengan pangkat yang tidak terlalu tinggi bahkan bisa mempunyai rekening senilai Rp25 miliar dan mampu mengatur proses hukumnya di kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan.Apakah hanya ada satu Gayus di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak? Pasti tidak.Sebab pihak Gayus sendiri ternyata menyatakan secara tegas, ada banyak kasus serupa di institusinya tersebut. Bukankah ini mengindikasikan ada persoalan sistemik dalam tubuh Ditjen Pajak? Simaklah data yang lain. Membaca putusan pengadilan pajak dari tahun 2002–2009, ternyata negara kalah telak dengan kisaran persentase antara 76,1% hingga 87,5%. Padahal, di bagian keberatan sangat jarang negara dikalahkan wajib pajak. Di satu sisi, dalam kacamata positif mungkin pihak Ditjen Pajak akan mengartikan data ini sebagai wujud inde-pendensi pengadilan pajak dari Departemen Keuangan ataupun Ditjen Pajak.Benarkah?

Sebelum kasus Gayus muncul, argumentasi ini bisa jadi terkesan benar. Akan tetapi, setelah modus mafia pajak tersebut terbuka di publik, kita mulai bertanya secara serius,kenapa selama tujuh tahun berturut-turut negara kehilangan triliunan rupiah karena selalu kalah oleh wajib pajak yang awalnya mendapat ketetapan pajak dengan nilai tinggi? Sementara kita tidak pernah mendengar ada evaluasi yang serius terhadap tren kekalahan negara secara terus-menerus selama tujuh tahun. Di titik inilah membaca persoalan mafia pajak tidak mungkin dengan kacamata sempit yang hanya memberi penekanan pada oknum pajak dan dilokalisasi pada kasus-kasus tertentu.Sebab,mafia pajak haruslah dilihat sebagai gejala institusional dan terbongkarnya kasus Gayus sepatutnya dibaca sebagai warning terhadap sistem yang sangat lemah.

Demikian juga dengan kepolisian dan kejaksaan. Ingatlah skandal suap Urip Tri Gunawan yang kait-mengait dengan sejumlah jaksa agung muda,kasus jaksa penjual narkoba, kasus Anggodo, dan kali ini kasus mafia pajak Gayus H Tambunan. Adapun di kepolisian,banyak catatan krusial yang mengarah pada praktik mafia hukum.Sebut saja 15 transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan sejumlah jenderal hasil temuan PPATK dan dugaan keterlibatan sejumlah petinggi kepolisian dalam kasus Gayus.

Satgas Mafia

Lalu untuk apa Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dibentuk? Satgas tidak dibutuhkan jika hanya untuk kepentingan menarinari dari kasus per kasus.Sebab hal itu tidak lebih dari sugar coveryang rentan disalahgunakan untuk pencitraan kelompok politik tertentu. Akan tetapi, Satgas adalah lembaga yang sangat penting jika mampu melihat dan bertindak secara institusional. Tepatnya, menitikberatkan pada pembersihan institusi dan tidak hanya terjebak pada “kambing hitam” yang sering dikorbankan di saat persekongkolan mafioso terbongkar.

Katakanlah wacana pembuktian terbalik. Mulai dari Presiden, Menteri Keuangan hingga Satgas dalam beberapa kesempatan menyatakan pembuktian terbalik harus diterapkan.Namun, betulkah pemerintah berkomitmen? Saya kira,kita patut meragukan pernyataan tersebut sebelum ada regulasi dan tindakan konkret yang dilakukan pemerintah. Indonesia Corruption Watch mengamati, Presiden yang paling konkret mendorong isu pembuktian terbalik ini justru Gus Dur (alm). Saat itu tahun 2001, bersama mantan Jaksa Agung (alm) Baharuddin Lopa, Gus Dur menginisiasi Perppu Pembuktian Terbalik,tetapi DPR memberikan sinyal penolakan.

Adapun di era pemerintahan Susilo BambangYudhoyono (SBY), belum ada tindakan konkret yang dilakukan selain pengumuman LHKPN bersama KPK. Desember 2004,misalnya.KPK sudah meminta Presiden untuk membuat Perppu Pembuktian Terbalik, tetapi tidak ada respons berarti. Padahal salah satu nilai plus dari kampanye pasangan SBY-JK adalah janji pemberantasan korupsi. Kemudian, Desember 2005, karena perppu tak kunjung terbit, KPK meminta norma tersebut dalam bentuk rancangan undangundang. Lama tak terdengar,April 2010 wacana pembuktian terbalik kembali dimunculkan pemerintah pascakasus Gayus terungkap. Seriuskah? Belum tentu.Padahal, regulasi pembuktian terbalik adalah salah satu jalan keluar dan senjata penting untuk memerangi mafia secara institusional.

Pemerintah bisa memulainya dari kementerian atau lembaga negara yang sudah menjalankan reformasi birokrasi dan menikmati remunerasi seperti Kementerian Keuangan,BPK,dan Mahkamah Agung.Kemudian, diteruskan pada institusi penegak hukum dan lembaga negara lain yang melayani publik secara langsung. ICW melihat saat ini adalah momentum penting pembersihan mafia hukum secara institusional agar Satgas yang dibentuk tak menjadi aksesori semata dan pidato Presidentidakdilihatsecaraskeptis oleh publik. Do something! Sebab, Indonesia berada dalam kondisi darurat mafia. Lakukanlah sesuatu yang luar biasa.Tindakan darurat untuk kondisi darurat mafia.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/319551/



Febri Diansyah
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW

Bubarkan KPK!

Oleh: Ahmad Syafii Maarif


Tentu Anda terkejut mengapa judul artikel ini demikian kejam: ”Bubarkan KPK!”, padahal saat proses pembentukannya saya adalah salah seorang anggota panitia seleksi bagi lembaga penghalau korupsi itu. Bahkan, beberapa hari yang lalu, anggota staf di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menghubungi saya dan menanyakan apakah saya bersedia masuk dalam panitia seleksi pemilihan ketua KPK, setelah ditinggal Antasari Azhar yang sarat kabut hitam itu.

Kepada anggota staf itu saya katakan, jika Presiden tak keberatan saya masuk, demi efektivitas kerja KPK, tidak ada masalah. Tahu-tahu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan malah mengabulkan gugatan praperadilan Anggodo Widjojo dengan pengacaranya, OC Kaligis, agar Bibit-Chandra dihadapkan ke pengadilan. Artinya, jika itu terjadi, keduanya harus mundur dari jabatan pimpinan KPK.

Inilah sesungguhnya yang sangat diharapkan oleh warga negara busuk yang memang tidak rela melihat negeri ini menjadi baik sehingga para koruptor tetap bebas gentayangan untuk membobol pematang sawah Republik yang sudah bernapas Senin-Kamis ini.

Dengan judul di atas, sayalah sebenarnya yang lebih terkejut, tetapi Anda jangan cepat-cepat menyimpulkan sebelum ujung tulisan ini dibaca. Dalam lingkungan kultur yang serba tidak jelas, tidak tegas, akan sangat sulit dibedakan antara angguk dan geleng, antara iya dan tidak.

Bahkan, yang lebih berbahaya lagi jika dilihat dari sisi nilai-nilai moral profetik, keculasan hati seseorang sering benar dibungkus dengan laku dermawan dan sopan-santun, pandai bergaul. Lingkungan sekitar akan selalu mengatakan si anu itu orang baik, kenapa tiba-tiba dituduh sebagai penggelap pajak, markus perkara, dan yang sejenis itu. Semua pada heran dan tak habis pikir.

Namun, jika kita mau melihat lebih dalam dan jernih, dalam kultur yang sudah kumuh, sebenarnya gejala yang serba berlawanan itu tidak ada yang aneh. Semuanya logis belaka. Bukankah aktor dalam sinetron sering benar memukau karena memang dilatih untuk berpura-pura? Indonesia tercinta ini sedang diaktori oleh tipe manusia yang mahir ”menanam tebu di bibir, manis di luar busuk di dalam”.

Untuk berapa lama lagi situasi menggelisahkan ini harus ditanggungkan oleh bahu bangsa yang mulai kropos ini, sementara laku kekerasan semakin marak di mana-mana? Tidak jarang, karena sebab sederhana saja, orang dengan mudah berkuah darah. Jika perlu berlindung di balik komat-kamit bacaan ayat-ayat suci agar borok laku tidak terlalu kentara.

Di mana pemimpin? Pemimpin sudah menjadi makhluk langka di negeri ini. Dari tingkat pusat sampai ke lapisan yang paling bawah, tidak banyak perbedaan. Yang berkeliaran adalah para penjual obat palsu dengan merek paten. Lalu, di mana pula pemimpin agama yang sering berkhotbah di masjid, gereja, pura, klenteng, atau di majelis zikir yang mengundang orang sering menangis? Ini pun pertanyaan sia-sia.

Melemahkan KPK

Dari sekitar 235 juta penduduk Indonesia, bibit-bibit baik yang moralis tidak kurang. Saat yang tepat pasti akan tiba bagi giliran mereka memimpin bangsa yang tak putus dilanda musibah ini. Perlu kesabaran dengan sikap kritikal yang diperhitungkan. Saat menghadapi suasana yang parah sekalipun, kendalikan emosi agar anarkisme tidak merajalela, tetapi pandangan lurus dan tajam ke depan jangan sampai terkapar dalam perjalanan. Bangsa ini masih bisa diselamatkan selama nurani dan akal sehat jangan dibiarkan mati suri.

Apakah KPK sudah bekerja maksimal selama ini? Sama sekali belum. Bahkan, dalam menangani kasus tertentu mungkin sudah berlebihan, seperti keluhan yang sering saya dengar dari sejumlah kalangan: birokrat, perbankan, dan dunia usaha. Kata mereka tidak mudah melakukan tugas sekarang karena definisi korupsi yang multitafsir itu bisa menjerat siapa saja, di hulu dan di hilir.

Daripada tertangkap secara konyol, lebih baik ekstra hati-hati, artinya tidak berbuat apa-apa. Sisa anggaran kembalikan saja ke kas negara. Sikap semacam ini sama saja dengan membunuh proses pembangunan. Sampai di mana benarnya keluhan semacam ini, mohon pihak KPK menyimaknya dengan jujur dan penuh empati. Birokrat, bankir, dan pengusaha yang berhati nurani belum punah sama sekali, sekalipun nama mereka sering tenggelam ditutupi kelakuan tak senonoh oleh yang lain.

Akhirnya, Anda mau tahu posisi saya tentang keberadaan KPK? Formulanya sangat sederhana: ”Upaya membubarkan KPK atau melemahkannya bisa berujung dalam jangka panjang sama dengan membiarkan negara ini bubar di tangan anak-anak bangsa yang telah lupa daratan dan lupa lautan.” Jadi, judul di atas dalam kaidah ushul fiqh disebut mafhum mukhalafah harus dimaknai sebaliknya.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/21/03155698/bubarkan.kpk


Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah

Jumat, 23 April 2010

Mengapa Kita Menjadi Bengis?

Oleh: M Jusuf Kalla


Peristiwa sangat dramatis terjadi pada Rabu (14/4) pekan lalu di Tanjung Priok, DKI Jakarta. Yang tampak kasatmata, bentrok polisi dan Satpol PP dengan massa. Ada tiga nyawa melayang, ratusan orang luka-luka, dan 56 mobil dirusak kemudian dibakar. Indonesia heboh karena inilah bentrokan terhebat di Ibu Kota pascakerusuhan Mei 1998.

Hal yang amat menggetarkan tali rasa kita, bentrokan tak sekadar amuk hantam biasa. Sulit dipercaya ada anggota Satpol PP berperilaku tak manusiawi dan brutal menyiksa massa, termasuk anak-anak. Pada adegan lain, sekelompok massa bisa memukul, menggebuk para anggota Satpol PP. Sebagian lagi membakar mobil polisi dan Satpol PP dengan risiko tinggi. Massa lain melompati sambil menginjak-injak mayat anggota Satpol PP. Apakah kita sudah berubah demikian kasar hingga melakukan tindakan yang jauh dari peradaban, tak sesuai ajaran agama apa pun?

Saya sungguh sulit membayangkan apa yang terjadi pada warga DKI dan sekitarnya tatkala api berkobar menghabisi mobil-mobil polisi dan Satpol PP. Seandainya api berkobar liar atau andaikata mobil meledak dan serpihan api menerjang tangki-tangki besar berisi jutaan liter bensin dan elpiji serta pipa-pipa minyak di sana, Jakarta bisa terbakar hebat. Jarak antara lokasi kejadian dan tangki-tangki bahan bakar hanya sepelemparan batu saja.

Tidak terbayangkan berapa korban jiwa bisa jatuh di daerah yang begitu padat. Kota ini perlu waktu beberapa tahun untuk membangun kembali Tanjung Priok dan Jakarta. Kebakaran yang bisa jadi neraka, untung Tuhan masih melindungi kita. Peristiwa ini kembali menunjukkan, kita kerap ingin menyelesaikan masalah tanpa solusi jelas. Pemprov DKI terkesan memudahkan soal sehingga peristiwa mengiriskan ini meledak. Tak muncul kesan sebelum mengambil tindakan represif, aparat telah mengamankan lapangan dengan mulus. Tak tampak persuasi yang efektif yang bisa meredam emosi publik.

Dalam kasus ini jelas sebenarnya pemerintah tak berniat mengganggu, sebaliknya malah akan memugar makam Mbak Priuk (1756), berarti ini niat baik. Hanya beberapa lokasi di sekitarnya yang dipindahkan, misalnya pendapa. Kalau masalah ini, juga jalan keluarnya sudah disampaikan kepada masyarakat dan dilaksanakan terlebih dulu sebelum menggusur, pasti masyarakat tak geram. Betapa komunikasi yang diperagakan sangat buruk. Di sisi lain, sesuai laporan dan data yang ada dan kesaksian masyarakat bahwa tanah yang dipersengketakan adalah bekas tempat pemakaman umum (TPU) yang dipindahkan pada tahun 1994 untuk kepentingan perluasan pelabuhan, yang artinya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat, dengan tetap menghormati makam Mbah Priuk. Sebagai TPU, tentu tanah itu telah diwakafkan dan milik masyarakat, otomatis tak ada yang berhak menuntut. Justru kepada pihak yang merasa ”memiliki tanah makam” itu, jika tetap mengikhlaskan, akan memperoleh pahala yang tiada habis-habisnya. Sebaliknya, apabila mau dijual lagi, akan memutus pahala dari leluhur yang mewakafkan dan ini melanggar ketentuan agama.

Saya juga amat risau ketika menjenguk para korban luka-luka di RSUD Koja. Sebagian korban anak-anak. Dari beberapa wawancara di lapangan, ada kesan, sejumlah anak sengaja dimajukan untuk mempertahankan lokasi yang kemudian banyak menjadi korban. Mungkin maksudnya supaya aparat tak berani bertindak karena yang dihadapi anak-anak bak anak mereka sendiri. Namun, apa pun alasannya, ini sungguh berakibat fatal. Janganlah pertikaian itu sampai demikian luas, apalagi melibatkan anak-anak yang rentan risiko. Adab yang dipakai sungguh jauh melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa.

Akar masalah

Apa penyebab masyarakat gampang tersulut? Dalam banyak peristiwa di dunia, letupan kemarahan publik diakibatkan banyak aspek, di antaranya kekecewaan dan kejengkelan yang membuncah. Pun ketidakadilan dan tidak harmoninya pemerintah-masyarakat. Kita menyaksikan sendiri dalam enam bulan terakhir muncul gemuruh kasus cicak buaya, hiruk-pikuk kasus Century yang berlangsung berbulan-bulan. Belum reda Century, muncul kasus Gayus Tambunan yang benar-benar merisaukan semua kalangan. Ditambah retaknya harmoni antarpolisi, ini menimbulkan kecurigaan dan emosi di masyarakat dan menurunnya wibawa aparat.

Pemprov terkesan lupa kawasan sekitar Tanjung Priok memang sangat rawan. Di sana banyak bermukim masyarakat kurang mampu dan sangat sederhana. Mereka bertetangga dengan perumahan luks. Kesenjangan ekonomi dan sosial tentu saja menganga lebar. Aspek ini mestinya memunculkan sense untuk menangani masalah di sana dengan serius dan ekstra hati-hati serta melanjutkan program permukiman rakyat (antara lain 1.000 tower) dengan segera dan tidak menyegelnya.

Sense lain mestinya mengemuka jika merunut pengalaman silam. Kerusuhan Mei di Jakarta dan sekitarnya di antaranya disulut suburnya ketidakadilan. Korupsi masih berkembang, BLBI, ada arogansi penguasa, kaum elite bangsa tak saling percaya, tak ada penyelesaian masalah, sejumlah usahawan busuk melarikan uang ke luar negeri tatkala krisis ekonomi berkecamuk dan jutaan penduduk menganggur. Kesenjangan ekonomi melebar, meletupkan kemarahan massa. Terkesan, banyak kasus besar yang memasygulkan masyarakat dibiarkan menjadi liar, tidak ditangani serius sehingga sungguh menurunkan wibawa. Kita terkesan berpikir pelbagai persoalan, termasuk masalah-masalah besar, akan selesai dengan sendirinya. Dengan demikian, kalau ada persoalan, biarkan saja persoalan itu berkecamuk, toh akan selesai juga. Ini semua menimbulkan kepercayaan satu sama lain sangat tipis.

Besar harapan kita, Pemprov lebih firm dan menangani semua masalah secara serius dan cermat. Jangan biarkan pembiaran semakin subur karena kepercayaan rakyat harus dijaga seutuh-utuhnya. Jangan sampai ada rakyat merasa tidak terayomi. Kita pun mesti melihat jauh ke depan. Bangsa-bangsa lain makin bergegas untuk lebih adil dan lebih menyejahterakan rakyatnya. Kita memiliki segenap potensi untuk maju, menjadi bangsa terkemuka di dunia. Hentikanlah semua pertikaian demi kemajuan bangsa.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/23/04570424/mengapa.kita.menjadi.b


M Jusuf Kalla Ketua Umum PMI

Lowongan Cadet (Management Trainee)

ANDALAS AGRO INDUSTRI, PT

KESEMPATAN BERKARIR

Kami adalah salah satu perusahaan PMA yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang mempunyai lokasi kerja di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Saat ini kami membutuhkan 30 orang tenaga-tenaga muda & profesional untuk mengisi lowongan sebagai berikut :

Cadet (Management Trainee)
Kualifikasi:
  • Memiliki latar belakang pendidikan minimum D3 di bidang Pertanian, dengan IPK minimum 2,75.
  • Terbuka bagi fresh graduated.
  • Pekerja keras, mampu bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dengan tim yang terlibat.
  • Bersedia ditempatkan di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, atau Sumatra Barat.
  • Bersedia untuk menjalani masa training selama tiga (3) bulan di Kalimantan Tengah, dan setelahnya menjalani masa ikatan dinas selama satu (1) tahun.

Kirimkan surat lamaran, riwayat hidup, pas foto terbaru dan dokumen-dokumen pendukung lainnya ke alamat :


PT. ANDALAS AGRO INDUSTRI
Rukan Cordoba blok G No. 26
Pantai Indah Kapuk,
Jakarta Utara
14470

Rabu, 21 April 2010

MANAJEMEN ALIANSI STRATEGIS

A.B. Susanto*

Angka 2000 sebagai penunjuk waktu telah dilampaui. Jarak psikologis terhadap perencanaan yang terkait dengan angka dua ribu telah terlewati. Banyak perusahaan yang menetapkan angka 2000 sebagai tonggak perubahan. Telkom misalnya memakai angka 2001, untuk menunjukkan komitmennya menjadi world class operator.

Namun yang paling menyita perhatian adalah AFTA yang mulai berlaku pada tahun 2003. Artinya tiga tahun lagi, kita sudah memasuki sebuah pasar regional yang meniadakan proteksi terhadap produk-produk sesama negara ASEAN. Kerjasama ini, boleh dikatakan mirip dengan sebuah aliansi strategis antar negara, yang mengandung unsur kooperasi dan kompetisi sekaligus. Tujuan pembentukannya pun mempunyai dua makna, sebagai sarana untuk meningkatkan nilai tambah, maupun yang bersifat defensif untuk mempertahankan diri dari persaingan global.

Aroma ini juga bertiup di tingkat perusahaan. Salah satu cara agar dapat memetik manfaat dari AFTA adalah melakukan aliansi strategis. Aliansi itu dapat digalang sesama perusahaan Indonesia agar dapat kompetitif di pasar regional, atau dengan sesama perusahaan ASEAN agar dapat bersaing di pasar global, dan berbagai kemungkinan lainnya.

Dorongan untuk melakukan aliansi strategis yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia mungkin karena keinginan untuk mempertahankan diri dari persaingan bebas di tingkat regional dengan melindungi core compentencies melalui strategi yang fleksibel, atau dorongan untuk meningkatkan efektifitas melalui peningkatan nilai tambah, serta proses belajar dari mitra melalui benchmarking.

Tapi harus diingat aliansi tidak selalu berjalan mulus dan sesungguhnya menyimpan bara konflik. Yoshino dan Rangan membaginya dalam suatu matriks berdasarkan dua hal, potensi konflik dan derajat interaksi, dan mebaginya menjadi empat jenis alainsi strategis, yaitu aliansi prokompetitif, aliansi nonkompetitif, aliansi kompetitif dan aliansi prekompetitif.

Aliansi prokompetitif memiliki potensi konflik rendah dan derajat interaksi organisasi rendah. Biasanya dilakukan antar industri yang tidak saling berkompetisi dengan tujuan membentuk suatu vertical value chain. Orientasinya adalah meningkatkan nilai tambah yang terbentuk dari aliansi, dan menekankan fleksibilitas.

Aliansi nonkompetitif terbentuk dalam industri yang sama antar perusahaan namun tidak saling bersaing. Potensi konfliknya rendah dan diwarnai interaksi organisasi yang tinggi. Orientasinya pada learning, bukan pada fleksibilitas dan proteksi core competence.

Aliansi kompetitif, sejenis dengan aliansi nonkompetitif dalam artian joint activities-nya, tetapi dilakukan antar perusahaan yang dapat merupakan pesaing langsung dalam memasarkan produk akhir. Dalam aliansi ini potensi konflik tinggi dan derajad interaksinya juga tinggi. Orientasi utamanya pada fleksibilitas strategi, learning dan proteksi core competence.

Aliansi prekompetitif terbentuk dari aliansi antar perusahaan yang tidak berasal dari industri yang sama, dan bahkan tidak saling terkait untuk suatu joint operation yang telah didefinisikan. Terbentuk dari anggota aliansi yang bukan kompetitor pada saat ini, tapi terdapat kemungkinan menjadi kompetitor untuk masa yang akan datang. Aliansi ini memiliki potensi konflik yang tinggi, tapi derajad interaksi organisasi rendah. Beorientasi pada fleksibilitas strategi dan proteksi terhadap core competencies.

Lantas bagaimana memilih pendekatan aliansi strategis yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan ? Yang menjadi pertimbangan utama adalah prioritas tujuan perusahaan dalam menjalin aliansi strategis. Jika nilai tambah menjadi pertimbangan utama dan fleksibilitas menjadi pertimbangan berikutnya maka aliansi strategis prokompetitif yang akan dipilih.

Jika faktor learning menjadi pertimbangan utama dan nilai tambah menjadi tujuan berikutnya, maka aliansi non kompetitif layak untuk dijadikan pilihan. Aliansi strategis kompetitif dapat dijadikan pilihan jika proteksi terhadap core competence menjadi bahan pertimbangan utama dan learning menjadi pertimbangan berikutnya. Sedangkan jika fleksibilitas menjadi pertimbangan utama dan proteksi core competence menjadi prioritas berikutnya maka bentuk yang sesuai adalah aliansi prekompetitif.

Tapi harus disadari bahwa posisi aliansi strategis bersifat dinamis, yang dapat bergeser dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Perkembangan situasi yang dihadapi dan perkembangannya di satu sisi, dan antispasi perkembangan bisnis di sisi yang lain, harus menjadi pijakan dalam pemilihan pendekatan dalam manajemen aliansi.

Dalam manajemen aliansi startegis dibutuhkan persiapan yang berkaitan dengan dasar-dasar aliansi seperti tujuan, bentuk, kerangka waktu, kordinasi dan lain-lain. Selain itu persiapan mental SDM juga harus mendapat perhatian, karena perbedaan norma perusahaan dapat mencuatkan potensi konflik yang telah ada. Misalnya kejelasan tujuan, distribusi informasi, dan penyesuaian sistem manajemn SDM. Kemudian sistem pengamanan seperti sistem monitor dan evaluasi kemajuan juga harus mendapat perhatian agar aliansi dapat berjalan sesuai dengan harapan.

Manajamen aliansi mempunyai berbagai tantangan karena mempertemukan dua struktur, strategi dan kultur yang berbeda. Ambiguitas yang disebabkan ketidakjelasan harapan masing-masing pihak, ketidakseimbangan prioritas antara dimensi koperasi dan kompetisi, serta kurangnya sensitifitas dalam membaca keragaman budaya dapat menjadi kendala yang serius. Saluran komunikasi yang tersumbat, ketidakharmonisan dan meningkatnya kompleksitas pengelolaan hubungan, serta kesulitan menyelaraskan network internal dan eksternal merupakan gejala lain yang harus diwaspadai.

Lantas tugas apa yang harus dilakukan oleh eksekutif kunci ? Eksekutif kunci terutama harus meningkatkan kualitas proses komunikasi dan distribusi informasi. Dari komunikasi dan pola manajemen informasi yang terarah, dapat dibentuk right chemistry, yaitu atmosfir kerja yang didasari oleh adanya keterbukaan, saling pengertian, adaptabilitas, kesesuaian budaya dan organizational trust. Proses ini ditindaklanjuti dengan mempercepat terbentuknya internal & external relationship yang dapat menciptakan kelanggengan formulasi alliance teams. Tugas penting lain bagi eksekutif kunci adalah menajadi agen aliansi, yang bertindak sebagai penyelaras keragaman budaya, insiator implementasi strategi aliansi, serta pengamanan citra dan tingkat trustworthiness perusahaan dalam proses aliansi.

Aliansi strategis merupakan salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan mengahadapi era AFTA mendatang. Namun, dalam aliansi strategis tersimpan banyak batu sandungan yang harus diwaspadai. Pemahaman mengenai manajemen aliansi strategis akan membantu dalam memetik hasil yang maksimal.

*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Selasa, 20 April 2010

Bagaimana Pemimpin Komunikasikan Penugasan

A.B. Susanto*


Memotivasi anak buah dan melakukan komunikasi penugasan merupakan esensi dari tugas pemimpin untuk “menggerakkan” mereka menuju tujuan organisasi, dan dalam jangka yang lebih panjang untuk mencapai visi.

Agar pemimpin dapat memotivasi anak buah dengan lebih mudah, diperlukan kemampuan menunjukkan "makna" pekerjaan yang akan dilakukan dan menunjukkan "keuntungan" yang akan diraih. Akan tetapi, tidak semua keuntungan “masa depan” dapat dinyatakan dengan mudah. Perlu kepandaian berkomunikasi untuk menggambarkan peluang pencapaian di masa depan secara meyakinkan. Tantangan seperti inilah yang dihadapi pemimpin masa kini: bagaimana mengubah pola pikir jangka pendek menjadi jangka panjang, yang berarti dituntut kemampuan untuk menggambarkan “skenario keberhasilan masa depan”.

Kadangkala anak buah kehilangan motivasi karena tidak dapat melihat “makna” dan “keuntungan” dari apa yang sedang dilakukan. Dalam kondisi seperti ini, pemimpin perlu memberikan "tanda-tanda" kemajuan dan keberhasilan yang telah dicapai, untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka.

Dalam kondisi stagnan dan timbul banyak masalah, peran pemimpin beralih untuk memberikan dukungan nyata terhadap proses penyelesaian masalah. Maksudnya agar anak buah tetap dapat mempertahankan semangat kerja dan dapat melihat peluang perbaikan, yang bermuara kepada kembalinya kepercayaan dan motivasi diri.

Salah satu upaya memotivasi adalah pengembangan diri anak buah agar mampu memimpin diri sendiri. Proses pembentukan "kepemimpinan diri sendiri" setiap anak buah tidak mudah, dan akan lebih cepat terbentuk jika terdapat keteladanan, menyediakan sarana introspeksi diri yang komprehensif dan menciptakan iklim kerja yang kompetitif.

Penerapan pola kepemimpinan berdasarkan motivasi ini mengharuskan kerendahan hati pemimpin untuk menerima kenyataan bahwa kontribusi setiap orang dinilai tidak hanya dari "posisi" dalam hirarki organisasi saja, tetapi justru dari "peran" yang dimainkan.

Pemimpin juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi "direction setter" dan menjadi "energizer" melalui kemampuan untuk menjaga kehadiran antusiasme secara berkesinambungan. Pemimpin tidak berhenti pada upaya “menjaga arah” saja, tetapi juga mempertahankan dan bahkan meningkatkan semangat dalam menjalani arah yang telah digariskan, dengan menunjukkan rasa antusias secara berkesinambungan. Jika semangat pemimpin mengendor, yang terjadi adalah penurunan motivasi. Apabila tidak segera diselesaikan, hal ini dapat merembet ke jajaran sumber daya manusia lainnya dan yang muncul kemudian adalah degradasi motivasi di level organisasi.

Dalam kehidupan berorganisasi, motivasi juga dapat ditingkatkan jika pemimpin menunjukkan kepercayaan kepada kapabilitas dan kearifan judgment anak buahnya. Pemimpin memberikan kebebasan hingga derajat tertentu kepada anak buah untuk membuat keputusan sendiri, karena telah dianggap memiliki kemampuan evaluasi manajerial dan operasional yang memadai. Dengan kemampuan ini mereka dianggap memiliki "kebijaksanaan" dalam menentukan apa yang harus dilakukan atau yang harus dihindari. Namun pemimpin terlebih dahulu harus menganalisa kesiapan dan keluasan wawasan anak buah.

Motivasi untuk berkembang merupakan penggerak yang kuat dalam mengembangkan kemampuan memimpin anak buah. Akan tetapi, jangan sampai setelah memiliki kemampuan ini anak buah menjadi congkak. Jika tidak dipantau dan diarahkan dengan benar, kecongkakan ini akan memutuskan hubungan anak buah dengan realitas kehidupan berorganisasi yang sebenarnya dan mengakhiri rasa hormat kepada pemimpin mereka. Akibatnya, tidak hanya pemimpin yang kehilangan "pengikut", tetapi anak buah juga telah merusak diri karena terjebak dalam istana yang dibentuknya sendiri.



Komunikasi Penugasan

Selain mengemban tanggung jawab pembentukan motivasi anak buah, seorang pemimpin juga memiliki tanggung jawab untuk dapat memberikan perintah penugasan melalui pola komunikasi yang sesuai. Hal ini terutama bertujuan untuk menyingkirkan kesan "menggurui", tetapi tetap dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Bagaimanakah sebaiknya cara untuk menimbulkan keyakinan diri? Dan pola semacam apakah yang tepat untuk diterapkan bagi kondisi anak buah yang beragam karakternya?

Komunikasi penugasan dapat secara efektif dilaksanakan jika pemimpim mampu berperan sebagai "pembimbing" dalam artian yang sesungguhnya, yaitu yang mampu menerapkan pendekatan yang tepat untuk mempengaruhi anak buahnya. Pemilihan pendekatan komunikasi penugasan harus pula disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Seorang pemimpin yang bijaksana sebaiknya tidak menentukan "satu" pendekatan untuk semua anak buah, melainkan memiliki fleksibilitas dalam pemanfaatan pendekatan yang satu ke pendekatan yang lainnya, karena perbedaan karakter anak buah serta spesifikasi aspek-aspek organisasi lainnya.

Dalam memberikan komunikasi penugasan, seorang pemimpin dapat menggunakan pendekatan "persuasi" dan lebih mengutamakan "ajakan", bukan perintah. Dengan demikian terdapat unsur pemberian kebebasan untuk mengambil keputusan, yang tentunya diberikan jika anak buah telah memiliki kedewasaan berpikir. Komunikasi yang bersifat ajakan ini dapat juga dimanfaatkan jika ingin memperoleh dukungan secara sukarela. Tentu saja, agar dapat menerapkan pola ajakan dan persuasi seperti ini, harus mempertimbangakan derajat kepentingan dari permasalahan yang menjadi topik pembahasan dan keterbatasan waktu yang dihadapi. Juga harus dilengkapi dengan pemberian dukungan nyata secara berkesinambungan, serta keterbukaan terhadap kemungkinan kendala yang akan dihadapi oleh anak buah.

Sebenarnya, pemimpin tidak selalu harus menggunakan pola persuasi dan ajakan. Ada kalanya seorang pemimpin justru dituntut untuk menggunakan pendekatan instruksi atau pemberian perintah. Keharusan ini terjadi jika tingkat "urgency" sudah semakin tinggi dan diperlukan pelaksanaan tugas secara cepat.

Sebaiknya, jika pemimpin memberikan perintah penugasan kepada anak buah, sebaiknya juga mengikutsertakan alasan betapa pentingnya pelaksanaan tugas tersebut. Tujuannya agar anak buah segera dapat menerima apa yang ditugaskan dengan sepenuh hati.

Kepemimpinan menuntut kemampuan untuk mengevaluasi dan menentukan secara praktis, kapan saatnya menggunakan pendekatan ajakan dan kapan harus memanfaatkan pendekatan pemberian instruksi dan perintah.

--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Sumber:http://www.jakartaconsulting.com/art-09-01.htm

LOWONGAN ESTATE MANAGER (CODE:ESM)

KASIH AGRO MANDIRI , PT
Perusahaan Agrobisnis yang sedang berkembang membutuhkan tenaga-tenaga profesional dan berpengalaman di perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengisi posisi-posisi sebagai berikut:


ESTATE MANAGER (CODE:ESM)

Persyaratan Umum:

  • Laki-laki usia max. 40 thn
  • Lulusan S1.Pertanian, min IPK 2,75
  • Pengalaman terakhir di perusahaan kelapa sawit min.3 thn
  • Bersedia ditempatkan di wilayah Sumatera Selatan
  • Seleksi akan di laksanakan di Jakarta atau Sumatera Selatan

Bagi anda yang berminat dapat mengirimkan lamaran lengkap, pas foto 3x4 (2 lbr), copy transcrip nilai akademis, copy KTP dan KK, copy referensi kerja.
Langsung dikirim ke:


CORPORATE HR
AGRO DIVISION
Email: elaine.weiyn@pt-ifi.co.id

LOWONGAN ASISTEN KEBUN (CODE:ASK)

KASIH AGRO MANDIRI , PT
Perusahaan Agrobisnis yang sedang berkembang membutuhkan tenaga-tenaga profesional dan berpengalaman di perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengisi posisi-posisi sebagai berikut:


ASISTEN KEBUN (CODE:ASK)

Persyaratan Umum:

  • Laki-laki usia max. 40 thn
  • Lulusan S1.Pertanian, min IPK 2,75
  • Pengalaman terakhir di perusahaan kelapa sawit min.3 thn
  • Bersedia ditempatkan di wilayah Sumatera Selatan
  • Seleksi akan di laksanakan di Jakarta atau Sumatera Selatan

Bagi anda yang berminat dapat mengirimkan lamaran lengkap, pas foto 3x4 (2 lbr), copy transcrip nilai akademis, copy KTP dan KK, copy referensi kerja.
Langsung dikirim ke:

CORPORATE HR
AGRO DIVISION
Email: elaine.weiyn@pt-ifi.co.id

Senin, 19 April 2010

Memimpin Perubahan

A.B. Susanto*

Bagaimana sebenarnya pola kepemimpinan yang tepat untuk menuntun organisasi dalam menghadapi berbagai aspek perubahan yang dialami? Bagaimana pola kepemimpinan dapat menuntun organisasi lebih bersikap proaktif dan memiliki ketajaman yang relatif tinggi? Lebih baik lagi jika bukan sekedar menanggapi dan memanfaatkan berbagai perubahan yang ada, tetapi mengantisipasinya dengan baik.

Seorang dapat diibaratkan seorang nahkoda kapal yang sedang menempuh perjalanan di lautan luas, dengan berbagai tantangan dan cobaan. Dalam perjalanannya, sang nahkoda senantiasa dihadapkan pada pilihan keputusan-keputusan strategis, dalam kondisi normal, kondisi kritis karena diserang badai, atau dalam kondisi stagnan, tatkala seluruh bentuk kehidupan kelihatannya menghilang dan tidak memberikan arti apa-apa. Dalam perjalanannya, sang nahkoda berada dalam wadah yang tidak pasti tetapi secara ironis justru membutuhkan ketepatan "kepastian" dalam setiap keputusan atau setiap langkah agar kapalnya selamat dan dapat mencapai tempat tujuan dengan cepat.

Sang nahkoda harus dapat membentuk rasa "kebersamaan" dan rasa memiliki terhadap kapal, maupun keterlibatan dalam pencapaian tujuan. Kebersamaan ini hanya dapat dimunculkan jika kita memiliki sikap dan melihat eksistensi kita sebagai pemimpin justru sebagai bagian dari kumpulan eksistensi setiap anggota perusahaan, dan bukan sebaliknya. Kita dapat memicu perkembangan rasa percaya melalui kemantapan kapabilitas atau kompetensi yang dimiliki, serta dilengkapi dengan kerendahan hati untuk menyatakan bahwa proses yang sedang dilaksanakan merupakan "milik bersama". Konsekuensinya, para pemimpin harus dapat menempatkan diri sebagai "inisiator perubahan", "pelayan perubahan", dan secara aktif menunjukkan partisipasi langsung dalam proses pelaksanaan perubahan.

Dalam menjalani perubahan yang penuh tantangan, rasa antusias perlu dihadirkan dari awal perencanaan proses perubahan dan memainkan peran yang sangat penting. Pemimpin perubahan yang telah dibekali rasa antusias berkesinambungan masih akan menghadapi berbagai tantangan perubahan lainnya, akan tetapi, secara moral dan psikis ia telah didukung oleh kemauan dan semangat dari dirinya sendiri. Hanya dengan memiliki antusias yang ditunjukkan secara nyata, seorang pemimpin dapat meminta dukungan rasa antusias yang sama dari para anggotanya.

Unsur "kesinambungan" harus diperhatikan dalam menghidupkan rasa antusias, jangan sampai seorang pemimpin kehilangan semangat di tengah-tengah berlangsungnya proses perubahan.



Kewaspadaan dan Keberanian Mendobrak

Dalam mengelola perubahan, seorang pemimpin juga perlu memiliki "kerendahan hati", dalam artian tidak terlena oleh kesuksesan yang telah diraih dan senantiasa waspada terhadap berbagai perubahan situasi dan perkembangan-perkembangan yang akan mempengaruhi daya tahan dan masa depan perusahaan. Kebanggaan yang berlebihan justru seringkali menjadi elemen pemicu munculnya potensi kelemahan perusahaan justru ketika perusahaan berada di puncak.

Dalam kondisi yang dianggap "mapan" juga terdapat potensi destruksi yang harus dicermati. Keberanian untuk mendobrak kemapanan benar-benar kita butuhkan dan perlu kita implementasikan. Ingatlah bahwa kita eksis tidak untuk mengingat masa lalu dan hanya untuk mempertahankan apa yang sudah dicapai, tetapi untuk memberikan jalan kehidupan yang baru bagi perusahaan di masa mendatang.

Konsekuensi menjadi pemimpin adalah juga untuk sewaktu-waktu diperlukan mampu dan mau berperan sebagai panglima perang dengan membawa "pedang" yang secara tepat dan mungkin secara radikal harus kita manfaatkan untuk memotong keterikatan dengan tradisi dan kebiasaan yang ada untuk memperoleh kemenangan selanjutnya. Attitude seperti ini juga dibutuhkan dalam menghadapi perubahan yang tidak "nampak" dan terjadi secara perlahan-lahan, sehingga kondisi kemapanan kelihatannya tidak terusik.

Agar dapat dilaksanakan dengan efisien, perubahan memerlukan himpunan energi yang relatif besar. Kekuatan positif ini hanya dapat ditimbulkan jika pemimpin perubahan dapat menghimpun kekuatan dari seluruh jajaran anggotanya. Dengan kata lain, perubahan membutuhkan dukungan penuh dari para "penduduk" perusahaan. Sehingga, peran pemimpin dalam memanajemeni perubahan juga mencakup peran sebagai "bos", di mana karisma, kekuatan pribadi dan kepercayaan diri harus hadir.

Keyakinan diri perlu ditumbuhkan, agar di dalam diri para pengikut kita tidak terdapat keraguan dalam melangkah, karena merasa memiliki seorang pemimpin yang handal dan memiliki kredibilitas yang tidak diragukan. Tentu saja pengembangan diri agar dapat ’menggerakkan’ pengikut berkaitan erat dengan berbagai faktor dan hanya dapat diperoleh jika kita sendiri sudah memiliki "keyakinan diri sendiri", bahwa apa yang kita laksanakan adalah benar dan memiliki peluang keberhasilan yang tinggi.

Dalam mengelola perubahan, tidak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai manusia biasa akan lebih mudah merasa tidak mampu dan lebih mudah merasa tertekan dan ingin melepaskan diri apabila dihadapkan dalam kondisi krisis. Kita dapat mempersiapkan bekal untuk memantapkan diri dalam berbagai kondisi dengan terlebih dahulu memiliki kemampuan dan integritas diri yang jelas.
--------------------------------------------------------------------------------
*Managing Partner The Jakarta Consulting Group

SDM Racunkah Anda

Banyak pakar manajemen yang mengatakan bahwa salah satu kunci sukses organisasi adalah kepemilikan sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa sumber daya manusia dapat beralih dari pendukung menjadi penghancur organisasi.
Pernyataan ini tidak berarti penyangkalan terhadap pendapat para pakar manajemen tersebut, tetapi lebih merupakan suatu penyadaran bahwa kemampuan organisasi dalam penge lolaan sumber daya manusia memainkan peran penting untuk proses pengembangan atau paling tidak dalam upaya menjaga keutuhan organisasi.

Tidak jarang kita menjumpai seseorang tampak jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya karena berbagai problema yang dihadapi. Demikian juga organisasi, yang dapat menjadi tua dalam sekejap saja. Pertumbuhan dan penuaan suatu organisasi tidak didasarkan pada ukuran dan waktu saja, tetapi lebih pada kemampuan organisasi untuk menghadapi permasalahan yang lebih kompleks dan terkait erat pada tingkat fleksibilitas dan kekuatan pengendalian yang dimiliki. Selama perusahaan memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan yang lebih kompleks dalam derajat fleksibilitas dan pengendalian yang relatif memadai, organisasi tersebut masih dikatakan berada dalam masa pertumbuhan. Apabila yang terjadi adalah sebaliknya, meskipun organisasi belum lama didirikan, organisasi tersebut dapat dikatakan telah mengalami proses penuaan.

Tugas kita sebenarnya adalah untuk tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan memperlambat adanya penuaan, yang tentunya dapat dilaksanakan melalui pemahaman terhadap tahapan siklus hidup organisasi dan berbagai teknik dan strategi yang dapat diterapkan dalam setiap tahapan tersebut. Akan tetapi, pada kesempatan ini, saya ingin lebih meninjau secara individual, dalam artian peran setiap anggota organisasi untuk mempertahankan kondisi prima dan memperlambat penuaan.

"Your body is the food of the worms", kalimat ini dikatakan oleh Robin Williams dalam film Dead Poet Society. Meskipun kedengaran aneh, tetapi sesungguhnya memberikan suatu peringatan kepada kita untuk tidak hanya berfokus pada kemampuan dan kehadiran fisik saja. Status anggota organisasi dalam masa sekarang adalah sebagai Intellectual asset, inovator, dan change rider, yang kontribusinya lebih memiliki nilai strategis. Oleh karena itu, kehadiran dari setiap anggota organisasi harus dapat benar-benar memberikan nilai positif dalam artian seutuhnya. Kredibilitas anggota organisasi dalam menunjang proses pertumbuhan tidak hanya didasarkan pada kompetensi atau intelektualitas saja, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap kerja yang ditunjukkan. Sikap kerja tidak hanya dapat memantapkan, tetapi juga dapat mengguncangkan organisasi. Tergantung seberapa besar 'skala richter'-nya dan seberapa besar kemampuan organisasi untuk mengatasinya.

Sikap kerja yang negatif tidak dapat hilang seratus persen. Organisasi tersusun dari sumber daya manusia yang beragam. Meskipun telah dikemas dalam wadah organisasi yang efektif dan di rekat dengan 'lem' organisasi, yang antara lain berupa budaya dan tipe kepemimpinan yang dianggap tepat, tetap saja ada kemungkinan penyimpangan.

Reed menyebut sumber daya manusia yang bersikap negatif dan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki sebagai toxic executive. Berdasarkan tingkat toksisitasnya terhadap keutuhan dan performance organisasi, sumber daya manusia toxic tersebut dikelompokkan menjadi super-toxic, subtoxic dan tyrotoxic.

Beberapa karakter dari toxic executive adalah terlalu berfokus pada diri sendiri, rendahnya derajat kepercayaan terhadap sesama anggota organisasi, amat menonjolnya kepentingan pribadi, tidak adanya penghargaan atas karya dan kerja keras anggota lainnya, serta tidak adanya kepedulian terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan. Di samping itu, toxic executive memiliki kecenderungan untuk under-organized atau over-organized sehingga malah menyebabkan segala sesuatu tidak terorganisasi dengan baik.

Toxic executive juga sering diibaratkan sebagai yo-yo executive karena sulit untuk diprediksi dan tingkah lakunya dapat berubah secara cepat dalam waktu singkat. Toxic executive kurang dapat bekerja sama dengan anggota organisasi lainnya dan cenderung untuk memiliki kefanatikan pada kelompoknya sendiri. Mereka juga cenderung untuk menyimpan informasi untuk diri sendiri dan menciptakan apa yang dikenal dengan sindroma trappist.

Dari beberapa deskripsi di atas jelaslah bahwa toxic executive, terutama super toxic dapat menciptakan chaos dan suasana pertarungan semu, yaitupertarungan organisasi dengan dirinya sendiri yang berakibat menurunnya kemampuan untuk bersaing dalam situasi bisnis nyata.

Mengubah toxic executive menjadi caring executive bukan tugas yang mudah dan memerlukan pendekatan yang bervariasi berdasarkan tipe dan derajat penyimpangannya. Akan tetapi, pada dasarnya, terdapat empat pedoman untuk dapat meminimalkan penyimpangan para toxic executive. Yang pertama adalah keberanian untuk menyatakan kepada yang bersangkutan bahwa mereka adalah toxic executive, karena seringkali mereka tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kekacauan bagi organisasi. Selanjutnya, jangan menunda sesuatu. Betapapun tidak enaknya permasalahan yang dihadapi, sebaiknya secara cepat diselesaikan. Toxic executive yang dibiarkan saja akan mempengaruhi anggota lainnya dan akan menyebar secara cepat. Yang ketiga adalah kesadaran bahwa konfrontasi seringkali tidak dapat dihindari dan merupakan cara penyelesaian yang paling tepat. Keberanian untuk memulai konfrontasi merupakan kunci sukses. Akan tetapi, tidak semua konfrontasi berhasil. Oleh karena itu, pedoman yang terakhir menyebutkan bahwa dalam melakukan konfrontasi, persiapkan secara mendalam, baik secara mental maupun berbagai strategi dan taktik yang akan diterapkan.

Sebenarnya, tidak seorang pun yang benar-benar murni, dalam artian tidak pernah menjadi toxic bagi organisasi, karena sebagai manusia tentunya kita memiliki banyak keterbatasan. Oleh karena itu, setiap anggota organisasi harus melakukan self awareness dan self analysis secara berkesinambungan dan membina kemampuan untuk menerima dan menginterpretasikan secara positif umpan-balik yang diterima untuk dapat benar-benar meminimalkan kecenderungan menjadi toxic bagi organisasi.

Manajer yang Tepat & Menguntungkan

Dalam suatu kesempatan makan malam dengan klien di Sumire - Hotel Grand Hyatt belum lama ini, saya terlibat dalam suatu diskusi mengenai tipe sumber daya manusia yang dibutuhkan perusahaan masa mendatang.

Para manajer masa sekarang perlu mempersiapkan diri untuk dapat menjawab kebutuhan masa depan. Dengan kata lain, diperlukan emansipasi manajer secara keseluruhan. Emansipasi manajer menuntut setiap sumber daya manusia dalam perusahaan untuk tidak hanya berfokus pada dunia yang sempit, atau dengan kata lain hanya mendahulukan kelompok kerja tertentu. Pola pikir yang harus dibina adalah pola pikir holistik atau keseluruhan.

Pada intinya, emansipasi manajer menuntut setiap orang untuk menjadi manajer bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Dengan demikian mereka dituntut untuk tidak hanya mampu menerima beban tanggung jawab tetapi juga mampu memberikan wewenang tanggung jawab kepada orang lain. Di satu sisi, mereka diminta untuk berperan sebagai pemimpin, tetapi di lain kesempatan, mereka harus dapat menempatkan dirinya sebagai follower yang memiliki integritas dan loyalitas tinggi.

Dalam keragaman aktivitas kehidupan berorganisasi, mereka juga dituntut untuk dapat berperan sebagai partner dalam jalinan mutualisma.

Sebenarnya emansipasi manajer mengarah pada pembentukan SDM yang mengikuti "The Law of HAIR", yaitu pembentukan SDM dengan karakter "Helicopter" - berpandangan luas dan memiliki visi jauh ke depan; "power of Analysis" - kemampuan menganalisa secara logis dan strategis, "Intellectual & integrity" - kemampuan memanfaatkan intelektualitas secara benar dan keberanian untuk memancarkan integritas diri, serta "sense of Realism" - tetap berpijak pada realitas yang ada.

Meskipun sudah banyak manajer kita yang mampu bertindak proaktif dan mampu membuat keputusan secara mandiri, tetapi harus disadari bahwa masih banyak pula yang memerlukan perombakan pola pikir dan kemampuan. Berbagai faktor mempengaruhi terbentuknya manajer yang masih setengah yes man, antara lain faktor budaya otoriter dan kebiasaan one man show dalam perusahaan. Sering kali, kurangnya kompetensi juga dapat menyebabkan seseorang tidak memiliki kepercayaan untuk tampil secara optimal. Bruce Laingen, salah satu dari orang Amerika yang disandera di Iran selama 444 hari mengatakan bahwa "human beings are like tea bags, you don't know your own strength until you get into hot water". Nyatalah bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kekuatan lebih besar dari yang disadari dan dapat dimanfaatkan secara efektif untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut di atas apabila kita mampu membangkitkannya.

Untuk dapat mengimplementasikan emansipasi manajer dengan efisien, berlaku apa yang disebut sebagai "The Law of Inner Strengths".

"The law of inner strengths" menyatakan bahwa setiap orang harus mulai dengan menggali kekuatan dirinya sendiri yang dapat dilaksanakan dengan melakukan self analysis dan memanfaatkan program-program pengembangan kemampuan manajerial, interpersonal dan teknis. Akan tetapi meningkatkan kompetensi diri saja tidak cukup. Agar kompetensi yang dimiliki dapat memberikan arti secara holistik, diperlukan kekuatan untuk dapat memancarkan potensi diri. The law of inner strengths menuntut keberadaan VBP (Vision, passion & belief) secara berkesinambungan. Tanpa adanya elemen-elemen tersebut, sangat sulit untuk dapat mengimplementasikan emansipasi manajer secara utuh.

Beberapa teknik yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan memancarkan kekuatan diri adalah sebagai berikut.

Teknik leveler atau teknik penyamarataan dapat digunakan untuk membangkitkan kekuatan pribadi. Pada dasarnya teknik ini bertujuan untuk menghilangkan perasaan dan kesan bahwa seseorang berada "di bawah" orang lain. Teknik leveler menuntut adanya minimisasi kepatuhan dengan catatan tidak menyimpang dari kewajaran dan tata cara serta disesuaikan dengan situasi yang ada. Di samping itu, efektivitas dalam berkomunikasi perlu ditingkatkan sehingga mampu menempatkan diri sesuai dengan posisi dan citra yang ingin ditampilkan.

Mampu memancarkan kekuatan pribadi berarti mampu menarik perhatian orang lain. Teknik see & be dapat menolong meningkatkan kemampuan ini. Teknik see & be berfokus pada pembentukan sikap yang berorientasi pada tujuan. "See & be only what you are going to be." Teknik ini menuntun kita untuk melihat selangkah lebih ke depan, melihat dunia, diri sendiri dan orang lain dengan sudut pandang yang berbeda. Sehingga kita dipandang secara berbeda dan daya tarik yang dimiliki menjadi meningkat.

Teknik see & be akan memberikan kontribusi maksimal apabila digabungkan secara tepat dengan teknik tune them in, yang menyatakan bahwa kita harus mampu menunjukkan perhatian terhadap perkembangan dunia dan keberadaan orang lain. Penggabungan kedua teknik ini diharapkan dapat membentuk keterikatan rasional dan emosional.

Memancarkan kekuatan pribadi hanya dapat dilaksanakan dengan benar apabila kita mampu mengendalikan secara efisien cara berhubungan dengan orang lain. Untuk itu diperlukan apa yang disebut sebagai "The Law of Empowered Donald Duck".

The law of Empowered Donald Duck mengambil analogi tokoh kartun Donald Duck. Dalam berbagai serial TV, kita dapat melihat keuletan Donald Duck dalam menghadapi berbagai macam situasi. Akan tetapi kekenyalan yang ditunjukkan kurang terarah dan menjurus pada destruksi diri sendiri. Oleh karena itu, hukum yang berlaku adalah empowered Donald Duck, atau pembentukan daya pegas yang terarah dan dilandasi oleh kematangan berpikir. Dalam kaitannya dengan pembinaan hubungan antar-pribadi, penerapannya lebih mengarah pada kemampuan menunjukkan toleransi terhadap berbagai kemungkinan positif dan negatif yang dihadapi serta kemampuan untuk dapat mengabaikan beberapa hal yang tidak perlu ditanggapi.

Emansipasi manajer diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi pembangunan manusia Indonesia sepenuhnya dan dengan demikian kontribusi terhadap pembangunan bangsa menjadi semakin nyata.

Source: http://www.jakartaconsulting.com/art-15-25.htm

* Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Memburu Kekayaan (Haram) Pejabat

Oleh: Aloysius Gunadi Brata


Para pejabat di negeri ini sekarang harusnya sedang ketar-ketir bila kekayaan yang dimilikinya diperoleh dengan tidak wajar alias kekayaan yang haram.


Ini terlebih lagi bagi pejabat yang “melayani” di bidang-bidang yang “basah” baik di pusat––terutama yang “melayani” di bidangbidang yang “basah” ––maupun di level daerah.Mengapa daerah juga disebut? Maklum saja, kini juga telah terjadi “desentralisasi korupsi”. Korupsi bukan cuma menyebar secara vertikal, tetapi juga secara horizontal dan geografis. Sering dikatakan bahwa ia betul-betul menjadi the roots of all evils yang dampak buruknya merambah ke mana-mana. Karena itu, kekayaan pejabat memang harus diburu untuk memastikan bahwa kekayaan itu wajar dan tidak ada tersimpan hasil korupsi di sana.

Memburu Siapa?

Kalau ini dilakukan, akan ada begitu banyak investigasi yang harus dilakukan mengingat ada begitu banyak pejabat atau abdi negara yang ada di sini. Anggota MPR 2009–2014 saja misalnya mencapai 692 orang, dari DPR 560 orang,dan dari DPD sebanyak 132 orang. Ini belum mencakup level provinsi dan kabupaten/kota. Juga daerah yang kaya karena dapat memperoleh formasi CPNS yang lebih banyak. Menurut data Badan Kepegawaian Negara (BKN), per Desember 2009 terdapat 4.524.205 PNS dan sekitar setengahnya berada pada Golongan III serta hampir 41% berpendidikan sarjana strata 1.

Manakah yang harus diburu kebenaran kekayaannya? Walaupun korupsi dapat saja terjadi pada semua level tanpa mengenal bidang dan daerah,tentunya dalam pemburuan kekayaan pejabat harus ada prioritas.Sejumlah kriteria mestinya dapat digunakan yang mengindikasikan tingkat kerawanannya tinggi.Pertama adalah pada bidang-bidang yang basah, kedua pada level birokrasi yang atas, ketiga daerah-daerah yang kaya.Ini semua terkait dengan tiga urusan, yaitu urusan penerimaan (seperti pajak dan bea cukai), pengeluaran (barang dan jasa),serta pengambilan keputusan (seperti legislatif dan yudikatif).

Artinya makin penting posisi pejabat-pejabat yang bersangkutan dalam urusan-urusan itu, pantaslah kekayaan mereka diburu untuk pembuktian kewajarannya. Maka tidak aneh jika Direktorat Pajak dan Bea Cukai misalnya merupakan salah satu tempat yang harus menjadi prioritas pemburuan itu. Pihak pajak sendiri mengakui, 10.800 pegawai pajak rawan korupsi dan ada 12 titik rawan korupsi di direktorat tersebut. Sejak dari proses penerimaan PNS pun sebenarnya sudah rawan korupsi. Tak kurang Presiden SBY sendiri pernah menyebutkan hal ini. Ketika memperingati Hari Antikorupsi Dunia, disebutnya bahwa penerimaan CPNS dan TNI/Polri termasuk dalam delapan titik rawan korupsi.

Kalau hendak diperluas, sudah tentu proses pengisian jabatan- jabatan di legislatif maupun eksekutif melalui pemilihan umum, termasuk di daerah, juga termasuk rawan, terutama terkait politik uang. Ini jelas merusak kualitas proses pemilihan itu sendiri serta mereduksi kemungkinan mereka yang terpilih dengan cara ini untuk benar-benar menjadi abdi negara dan pelayan masyarakat tanpa memperkaya diri sendiri.

Bentuk Nontunai

Dengan peta seperti di atas, andai semua hasil korupsi ini disimpan dan dialirkan melalui sistem perbankan mestinya akan lebih mempermudah pemburuan kekayaan yang tak wajar. Seperti pada kasus Gayus dan Bahasyim, dalam waktu tidak terlalu lama bisa ketahuan ada berapa rekening, atas nama siapa, dan berapa nilainya? Tidak sulit pula untuk menduga bahwa rekening istri dan anak Bahasyim yang miliaran rupiah itu adalah hasil korupsi,yakni dari komisi yang diberikan oleh wajib pajak yang dibantunya karena tampak jelas ketidakwajarannya ketika dihubungkan dengan kegiatan yang bersangkutan.

Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),per Februari 2010 terdapat lebih dari 89 juta rekening dengan nominal lebih dari 1.948 triliun rupiah. Jumlah rekening dengan nominal lebih dari satu miliar rupiah sebanyak 228.343. Jumlah rekening besar ini hanya 0,26% dari keseluruhan rekening, tapi nilai nominalnya mencapai lebih dari 54% dari nilai nominal seluruh rekening. Jika yang dilihat hanya rekening dengan nilai Rp5 miliar ke atas yang jumlahnya kurang dari 32.000 rekening, nilai nominalnya mencapai Rp712,89 triliun atau setara dengan 36,6% total nominal simpanan.

Boleh jadi ultimate owner dari rekening-rekening besar tersebut sebenarnya jauh lebih sedikit mengingat praktik pemakaian identitas orang lain, entah keluarga atau orang lain, ataupun identitas aspal mudah terjadi. Seperti pada kasus Bank Century, praktik akal-akalan bahkan ini jelas-jelas diketahui pihak bank. Maka dari itu, kalau data perbankan pun tidak cukup bisa dipercaya,apalagi jika ada bank yang terkait dengan mafia penggelapan pajak seperti Gayus, berarti rekening di bawah Rp5 miliar pun menjadi perlu dicurigai. Alhasil, kompleksitas persoalan menjadi bertambah. Selain itu, perlu diperhatikan pula modus transaksi korupsi yang juga sulit diketahui adalah jika dalam bentuk tunai. Inilah yang sering menjadi salah satu ciri dari black economy, yaitu aktivitas ekonomi yang ilegal dan kriminal seperti korupsi dan perdagangan narkoba.

Para penyuap dan penerima suap yang tertangkap tangan oleh KPK memakai modus ini,uang diletakkan dalam amplop,tas atau kardus.Tentu bentuk penyimpanan nontunai lainnya banyak seperti memperluas kepemilikan tanah atau mengoleksi rumah mewah serta kendaraan mewah. Rasanya tidak mungkin ada pelaku korupsi yang menyimpan miliaran kekayaan haramnya di bawah bantal. Dalam kaitan ini, amat mungkin tidak sedikit dari Rp300 triliun potensi pajak yang hilang––angka menurut pejabat Ditjen Pajak sebelumnya–– yang tersimpan dalam bentuk kekayaan di luar sistem perbankan.Hanya pelaku korupsi yang telah canggih (seperti melakukan cuci uang) saja dan merasa aman yang melakukan penyimpanan dalam sistem perbankan.

Lalu,yang patut diperhatikan di tengah kesulitan melacak kekayaan haram di luar perbankan tersebut adalah perilaku sehari-hari dari para pejabat itu sendiri. Di tengah derasnya budaya konsumerisme dan hedonisme,para koruptor juga cenderung untuk memuaskan dirinya.Pemuasan ini dapat mengambil bentuk pada perilaku seharihari, yaitu menunjukkan bahwa merekalebihmakmurdariyanglain. Bila perilaku mewah para pejabat itu,termasuk keluarganya, tidak imbang dengan penghasilan resminya, patutlah untuk diselidiki. Atau mungkin mereka malah harus membuktikan bahwa sumber pembiayaan perilaku mewah itu bukan dari hasil korupsi.

Tanpa hal semacam ini,para pejabat yang korup boleh jadi tidak akan ketarketir, apalagi kenyataannya praktik korupsi itu dilakukan kolektif, melibatkan banyak pihak yang membangun “saling percaya” di antara mereka demi melindungi kekayaan haram mereka.

Memburu Perilaku Mewah

Oleh karena itu, memburu kekayaan pejabat sebetulnya juga berarti memburu perilaku tidak wajar mereka dan orang-orang dekatnya. Orang-orang kecil seperti satpam atau tukang parkir mungkin justru banyak tahu indikasi ketidakwajaran perilaku tersebut. Begitulah pula pihak-pihak terkait seperti dealer kendaraan mewah, pengembang rumah mewah, ataupun perbankan.

Lihat saja, berkaca dari Gayus, dia mempunyai rumah mewah seharga Rp3 miliar di Kompleks Gading Park View dan mengaku memiliki 23 rekening di bank BCA,Panin,Mandiri,BRI,dan Bank DKI. Maka pertanyaannya kemudian adalah apakah ada kemauan pihak-pihak terakhir itu untuk menolak,apalagi melaporkan konsumen atau nasabah yang tercatat sebagai pejabat atau keluarga pejabat, yang kemampuan finansialnya tidak masuk akal?

Kalau dunia bisnis pun ingin ekonomi yang bersih dari korupsi, mestinya mereka harus benar-benar ikut ambil bagian melawan segala rupa korupsi. Namun, agaknya hal ini tidak mudah manakala mengingat misalnya “konsumen adalah raja” dan ada “mutualisme” di antara mereka. Sama halnya atasan tidak mau berpusing-pusing memelototi perilaku tidak wajar bawahannya,apalagi ketika atasan pun perilakunya justru lebih tidak wajar lagi, termasuk ketidakwajaran ketika memberikan sumbangan sosial.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/318543/



Aloysius Gunadi Brata
Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Potong Generasi Korupsi

Oleh: Halili


Perampasan dan penyitaan harta koruptor dan penerapan hukuman terberat adalah sebagian solusi yang disodorkan sejumlah pakar untuk memberantas korupsi yang semakin merajalela (Kompas, 7/4).

Sebelumnya, ada dorongan untuk menerapkan hukuman mati, seperti yang disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketua Mahkamah Konstitusi mengamini penerapan hukuman mati dan menawarkan langkah lain, lustrasi, seperti yang diterapkan oleh Latvia (Kompas, 6/4). Bagaimana implementasinya?

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor) yang disempurnakan dengan UU No 20/2001 memberikan legitimasi yuridis yang memadai untuk implementasi berbagai langkah tersebut, kecuali lustrasi. Pasal 18 huruf a UU No 31/1999 memungkinkan diterapkannya pidana tambahan berupa perampasan harta. Hukuman berat berupa pidana seumur hidup diafirmasi Pasal 2 Ayat (1) UU Tastipikor tersebut. Ayat (2) pasal yang sama memungkinkan pidana berupa hukuman mati.

Artinya, sistem penghukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi sebenarnya sudah memadai. Namun, sistem tersebut tidak bekerja. Jika hakim tidak pernah menerapkan pidana sebagaimana dalam UU Tastipikor, instrumen hukum tidak akan memperbaiki keadaan. Hakim bukan satu-satunya agen yang menentukan penerapan hukum tersebut. Putusan hakim dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Demikian pula penuntutan dipengaruhi oleh BAP di kepolisian. Kompleksitas semakin menggurita sebab di setiap tahapan ”intervensi” mafia membuat proses hukum ”bisa diatur”.

Pada panorama hukum yang pekat mafia, sulit berharap atas penghukuman yang memberikan efek jera (deterrence effect). Pendekatan berbasis negara (state based treatment)—melalui instrumen hukum—dalam pemberantasan korupsi yang merajalela hanya mungkin dilakukan jika aparat penegak hukumnya bersih. Hanya aparat hukum yang bersih yang berani memberikan hukuman yang berefek jera dan memiskinkan koruptor. Di titik inilah tindakan lustrasi amat urgen dipertimbangkan.

Lustrasi

Lustrasi—dari bahasa Latin lustratio—adalah istilah yang pada mulanya dipakai untuk berbagai metode purifikasi dan ekspiasi yang biasa dilakukan orang- orang Yunani dan Romawi (1991 Encyclopedia Britannica). Pada perkembangannya, lustrasi mewujud sebagai term politik dan hukum. Lustrasi populer seiring ”revolusi demokratik” 1989, khususnya di Eropa Timur, yang bermula dari ketidakpercayaan terhadap kemampuan bekas rezim komunis untuk melaksanakan reformasi demokratis. Lustrasi merupakan tindakan sistemis untuk membersihkan anasir komunis dari bangunan demokrasi baru yang sedang dibangun.

Gerakan pemangkasan ”generasi komunis” di Eropa Timur bermotif politik (politically motivated), tetapi menggunakan pendekatan hukum. Banyak ragam penerapan hukum lustrasi, mulai dari yang sangat keras, seperti Ceko dengan UU Lustrasi 1991 yang diterapkan sangat ketat dan mengenai puluhan ribu partisan komunis serta kolaboratornya, sampai yang agak samar, seperti Estonia yang menyisipkan secara halus prinsip lustrasi dalam UU Kewarganegaraan dan UU Pemilu (Mark S Ellis, 1996).

Lustrasi adalah istilah yang sangat jarang dipakai dalam diskursus politik dan hukum kita meski bukan benar-benar baru. Rezim Orde Baru sebenarnya telah melakukan lustrasi administratif atas tapol/napol/eks-PKI melalui kartu tanda penduduk (KTP) mereka. Ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, menguat tuntutan dari gerakan kaum muda untuk dilakukannya potong generasi (cut off generation). Hingga tahun 2003-an masih marak gerakan mahasiswa yang konsisten mengusung isi potong generasi, terutama aksi-aksi yang dimotori oleh HMI-MPO.

Namun, isu potong generasi pada masa itu terlalu abstrak dan tidak operasional. Tak ada musuh bersama yang spesifik untuk dilustrasi. Hampir setiap forum yang mendiskusikan kemungkinan potong generasi selalu dipungkasi dengan pesimisme sebab sumirnya jawaban atas pertanyaan: apa kriteria generasi yang mau kita potong dan terhadap wilayah/level pemerintahan mana pemotongan akan dilakukan.

Kini musuh bersama itu jelas: korupsi dan mafia hukum yang merajalela dan satu sama lain saling menguatkan. Selama ini, ketidakmungkinan pemberantasan korupsi melalui instrumen hukum menguat terutama karena sistem penghukuman berefek jera apa pun tidak bisa bekerja tanpa aparat hukum yang bersih.

Maka, diperlukan tindakan lustrasi atas aparat hukum yang ada di level kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dalam bahasa Susilo Bambang Yudhoyono: bersihkan seluruhnya! (Kompas, 8/4). RUU Lustrasi yang pernah akan diusulkan oleh Mahfud MD di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Kompas, 6/4) perlu ”dihidupkan” dan didiskusikan lagi di ruang-ruang publik.

Referendum

Kontroversi paling serius atas lustrasi, seperti juga terjadi di negara-negara Eropa Timur tahun 1990-an, terletak pada konstitusionalitasnya (Mark S Ellis, 1996, Kieran Williams, 1999). Lustrasi dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip konstitusionalisme sebab membatasi kesederajatan hak politik warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan, yang oleh konstitusi kita diatur pada Pasal 27 Ayat (1). Langkah paling feasible untuk pelaksanaan tindakan lustrasi dengan bertanya langsung kepada seluruh rakyat melalui referendum.

Hanya langkah revolusioner yang memungkinkan pemberantasan korupsi dan mafia hukum berlangsung efektif. Sudah 12 tahun reformasi berlangsung dan 11 tahun sudah kita memiliki sistem pemberantasan korupsi yang memadai, tetapi jagat politik dan hukum kita selalu dibisingkan dengan kasus-kasus korupsi dan mafia hukum yang tak habis-habis. Kinerja pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi korban.

Oleh karena itu, tindakan potong generasi korupsi sangat mendesak. Apabila tidak, generasi korupsi yang akan ”memotong” kita.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/19/04500140/potong.generasi.korups


Halili Pengajar Politik Hukum di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta dan Mahasiswa Pascasarjana HAM dan Demokrasi Universitas Gadjah Mada

Perekonomian Indonesia Sedang "Bubble"?

Oleh: Purbaya Yudhi Sadewa

Pemulihan yang sedang terjadi pada perekonomian dunia telah menimbulkan euforia di pasar modal dunia. Bursa saham kita pun turut mengalami kenaikan yang amat signifikan. Kenaikan ini menimbulkan spekulasi bahwa perekonomian kita sedang mengalami bubble. Apakah memang demikian?

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia mengalami kenaikan yang amat tinggi akhir-akhir ini. Pada bulan April 2010, IHSG bahkan sudah sempat menembus level 2.900.

Naiknya IHSG ke level yang tinggi ini menggambarkan semakin meningkatnya kepercayaan investor, baik asing maupun lokal, akan prospek perekonomian Indonesia.

Meningkatnya kepercayaan ini pantas terjadi karena di tengah-tengah kontraksi perekonomian dunia pada tahun 2009, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh dengan laju 4,5 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun ini pun diperkirakan masih akan yang tertinggi di Asia Tenggara.

Namun, ada banyak juga pihak yang mengatakan kenaikan IHSG ke level yang tinggi ini (ditambah dengan penguatan rupiah yang amat signifikan) merupakan pertanda sesuatu yang tidak baik. Mereka mengatakan, perekonomian Indonesia sedang mengalami bubble.

Sebenarnya yang dimaksud bubble di sini tidaklah terlalu jelas. Namun, mengingat keadaan bubble ini sering dihubungkan dengan riil sektor yang tidak tumbuh, bisa diterjemahkan bahwa yang dimaksud adalah pergerakan IHSG tak didukung perbaikan fundamental perekonomian secara menyeluruh.

Dengan kata lain, perbaikan yang ada selama ini hanya terjadi di sektor finansial saja, sedangkan sektor riil kita tidak bergerak. Bila demikian, kenaikan IHSG tidak akan berkesinambungan.

Pada saatnya nanti IHSG akan terkoreksi dalam, sesuai dengan keadaan fundamental perekonomiannya (sektor riil) yang dianggap belum baik.

Sektor riil sudah bergerak

Sebenarnya perbaikan perekonomian global tak hanya terjadi di sektor finansial. Sektor riil di Amerika Serikat, misalnya, sudah menunjukkan tanda- tanda perbaikan yang cukup berkesinambungan. Ini, antara lain, ditunjukkan mulai membaiknya penjualan ritel di sana.

Pada Februari 2010, penjualan ritel dan makanan serta jasa mencapai 355,5 miliar dollar AS, naik 0,3 persen dari bulan sebelumnya, atau naik 3,9 persen dari level pada Februari 2009.

Kenaikan permintaan itu membuat industri di AS mulai meningkatkan produksinya. Ini terlihat dari Industrial Production Index yang sudah tumbuh positif lagi sejak pertengahan 2009.

Pemulihan ekonomi yang terjadi mulai menciptakan lapangan pekerjaan di AS. Pada Maret lalu, perusahaan-perusahaan di AS dapat menciptakan lapangan kerja untuk 162.000 orang, yang merupakan angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir.

Penciptaan lapangan kerja ini mulai menghilangkan kekhawatiran bahwa proses pemulihan yang terjadi di sana tidak menciptakan lapangan kerja.

Membaiknya keadaan lapangan kerja di sana bahkan telah menimbulkan spekulasi bahwa NBER (National Bureau of Economic Research, yang antara lain bertanggung jawab terhadap penentuan tanggal-tanggal resesi dan pemulihan) akan segera mengumumkan secara resmi bahwa perekonomian AS sudah keluar dari resesi sejak pertengahan tahun 2009.

Pemulihan kondisi perekonomian dunia yang nyata sudah barang tentu menaikkan permintaan akan produk-produk kita di luar negeri. Ini terlihat dari angka ekspor kita yang terus membaik dalam beberapa bulan terakhir.

Pada Januari 2010, misalnya, ekspor Indonesia mencapai 11,57 miliar dollar AS atau naik sekitar 59 persen dari 7,28 miliar dollar AS pada Januari 2009. Sementara bulan Februari ekspor mencapai 11,53 miliar dollar AS atau naik sekitar 57 persen dari 7,13 miliar dollar AS pada bulan yang sama tahun 2009.

Membaiknya kinerja ekspor itu tentunya merupakan berita yang baik bagi sektor industri pengolahan (manufaktur), mengingat sebagian besar ekspor berasal dari sektor ini.

Data pertumbuhan ekonomi tahun 2009 sebenarnya sudah memberi indikasi bahwa perbaikan ekonomi yang terjadi bukan hanya di sektor finansial. Sektor pertanian, misalnya, tumbuh sebesar 4,1 persen. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka pertumbuhan sebesar ini merupakan angka yang cukup baik. Sektor konstruksi tumbuh sekitar 7 persen serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh 1,1 persen (lihat tabel 1).

Relatif rendahnya pertumbuhan di sektor perdagangan itu terutama disebabkan terpuruknya perekonomian global tahun 2009, yang telah menurunkan aktivitas perdagangan dunia dengan amat signifikan.

Mengingat kontribusi ketiga sektor itu terhadap penciptaan lapangan kerja (misalnya, ada 39,7 persen tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian), tidaklah terlalu mengherankan bila tahun 2009 angka pengangguran turun ke 7,8 persen.

Pada 2009, sektor keuangan hanya tumbuh dengan laju 5 persen, hanya memberi kontribusi sebesar 7,2 persen terhadap perekonomian nasional.

Dengan kontribusi yang relatif kecil ini, perekonomian tidak mungkin tumbuh dengan laju 4,5 persen bila sektor-sektor yang lain tidak tumbuh.

Artinya, pertumbuhan ekonomi

pada 2009 bukan semata- mata ditopang oleh sektor keuangan saja. Patut diakui bahwa pertumbuhan sektor industri pengolahan tidaklah terlalu menggembirakan.

Memang, sektor ini termasuk sektor yang terpukul paling parah oleh resesi global yang terjadi. Kinerja sektor-sektor di luar sektor keuangan tampaknya akan lebih baik pada 2010.

Kuatnya permintaan domestik akan turut mendukung pertumbuhan sektor-sektor ini. Kuatnya permintaan domestik terlihat dari angka penjualan mobil yang mencapai sekitar 108.000 unit pada dua bulan pertama tahun ini atau tumbuh 64 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Penjualan ritel pun naik signifikan, seperti diperlihatkan tren kenaikan yang tajam dari Indeks Penjualan Ritel (Gambar 1). Adapun konsumsi semen pada dua bulan pertama tahun 2010 mencapai 9,7 juta ton, naik 17,7 persen dari periode yang sama tahun 2009.

Kenaikan permintaan membuat industri pengolahan mulai meningkatkan aktivitasnya. Ini terlihat dari Indeks Produksi Industri yang terus mengalami pertumbuhan.

Pada Januari 2010, Indeks Produksi Industri tumbuh dengan laju 5,7 persen year on year. Sejak September 2009, indeks ini sudah memasuki pertumbuhan positif. Artinya, industri kita sudah berekspansi.

Peningkatan aktivitas industri ini telah memicu kenaikan investasi, seperti yang ditunjukkan oleh kenaikan tajam impor barang-barang modal (Gambar 2).

Pada Februari 2010, impor barang modal mencapai 1,9 miliar dollar AS atau naik sebesar 39,3 persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2009.

Diskusi di atas menunjukkan bahwa pemulihan yang terjadi pada perekonomian global sudah merambah ke sektor di luar sektor finansial.

Sektor nonfinansial di Indonesia pun sudah menjadi lebih sibuk. Perbaikan keadaan perekonomian yang terjadi telah meningkatkan kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian sehingga mereka berbondong-bondong berinvestasi di pasar modal Indonesia.

Akibatnya, IHSG naik ke level yang tinggi dan rupiah pun mengalami penguatan yang signifikan. Analis dan investor di pasar modal cenderung forward looking. Artinya, mereka akan memperhitungkan prospek keuntungan perusahaan sampai beberapa tahun ke depan.

Dengan prospek perekonomian Indonesia yang cerah dalam beberapa tahun ke depan, sudah barang tentu prediksi mereka terhadap keuntungan yang akan terjadi menjadi lebih tinggi.

Jadi, kenaikan IHSG akhir- akhir ini bukanlah pertanda ekonomi yang sedang mengalami bubble, tetapi merupakan reaksi positif terhadap cerahnya prospek perekonomian Indonesia untuk tahun ini dan beberapa tahun ke depan.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/19/04322672/perekonomian.indonesia


Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute

Memberantas Mafia Pajak

Oleh: Teten Masduki


Istilah mafia sering dipakai untuk menjelaskan jejaring rezim korupsi, yang kini mulai terbongkar di sana-sini. Karena bersifat korupsi transaktif, mafia pajak termasuk yang paling sulit dibongkar.

Namun, kini dengan sistem pelacakan pencucian uang, agak mudah menjejaki pegawai pajak yang memiliki kekayaan tak wajar. Indikator yang sering dipakai untuk menduga penyimpangan pajak adalah ketidakakuran antara pendapatan pajak dan angka pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor, jumlah uang yang beredar dalam satu periode. Jumlah potensi pajak yang masuk ke kas negara tidak lebih dari sepertiganya, seperti ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. Saat ini setoran pajak telah mencapai 60 persen dari APBN; bisa dibayangkan berapa potensi pajak yang lenyap.

Dari testimoni jujur para pegawai pajak yang berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mafia pajak, seperti terungkap dalam buku Berbagi Kisah dan Harapan, Perjalanan Modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (2009), kita bisa memahami bagaimana melembaganya budaya korupsi.

Misalnya, ada kewajiban dari atas ke bawah untuk mengisi pundi-pundi ”dana taktis” kantor atas nama kesejahteraan pegawai. Frase ”terima kasih” jadi pembungkus segepok uang dari wajib pajak yang ”dibantu” menyelesaikan masalah pajaknya. Pegawai menyambi jadi konsultan pajak untuk mengatur perencanaan pajak perusahaan, lumrah untuk cari tambahan gaji. Contoh modus penggelapan pajak yang lazim: penggelembungan biaya fiktif, pengalihan keuntungan perusahaan ke luar negeri (transfer pricing) dan transaksi lindung nilai (hedging) dengan perusahaan afiliasi fiktif.

”Stick and carrot”

Pascakasus mafia pajak mencuat, ada gugatan terhadap kebijakan perbaikan remunerasi bagi pegawai Kementerian Keuangan sejak tahun 2007. Demikian pula bagi pegawai BPK dan MA. Apakah instrumen kenaikan gaji efektif mengerem korupsi?

Betapapun baiknya anjuran moral agar pegawai negeri tidak korupsi atas nama hukum Tuhan sekalipun, rasanya tak cukup berwibawa jika hidup mereka memang pas-pasan, sementara godaan suap begitu besar. Sesuai teori stick and carrot, kini saatnya Menkeu menggebuk mereka yang tetap korupsi kendati kesejahteraan sudah membaik.

Kita tahu sebagian besar birokrat tidak hidup dari gajinya, tetapi dari kekuasaan jabatan yang dimilikinya. Sistem penggajian pamong, demikian menurut Soemarsaid Moertono (1963), mirip sistem salary-financing era Mataram, yakni tak pernah digaji selain diberikan lungguh atau tanah garapan untuk mengongkosi hidup keluarganya, termasuk semua pengeluaran yang bertalian dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Akibatnya, penyimpangan kekuasaan jadi banal karena tak ada pemisahan antara urusan publik dan urusan pribadi. Menggunakan sarana publik untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kampanye partai yang didukung dianggap lumrah, bukan penyimpangan.

Penelitian Jeff Huther dan Anwar Shah (2000) mengingatkan, instrumen kenaikan gaji hanya berdampak positif pada korupsi kelas teri (petty corruption), tetapi kecil pengaruhnya pada korupsi kelas kakap (grand corruption), dan berdampak negatif jika korupsi merupakan problem yang eksesif di kalangan pegawai pemerintah. Apalagi kalau kenaikan gaji hanya satu-satunya pendekatan, bukan bagian kecil dari strategi reformasi birokrasi yang lebih luas.

Kembali ke testimoni para pegawai pajak, di mana ada penularan korupsi secara compulsary dari atasan, ada baiknya Menkeu mencoba program perlindungan saksi untuk menangkap maling besar dengan mengampuni pencuri kecil. Ini bisa dikombinasikan dengan audit kekayaan pejabat pajak. Intinya, program pergantian pejabat lama yang telanjur kotor akan lebih kuat pesan perubahan yang ingin dibangun, baik ke dalam maupun ke publik. Patut disayangkan pengabaian kesaksian langka dari Vincentius Amin Susanto, mantan financial controller yang mengungkap penyimpangan pajak PT Asian Agri sekitar Rp 1,1 triliun. Yang terjadi, ia malah dipenjarakan dan diberondong dengan tuduhan pidana berlapis.

Cara lama mengumumkan daftar peringkat pembayar pajak juga bisa dipakai lagi untuk melibatkan publik dalam pemantauan. Ada pengusaha periklanan yang terheran-heran dikelompokkan sebagai pembayar pajak papan atas, sementara perusahaan raksasa jauh di bawahnya. Pengusaha lain merasa tak akan bisa bersaing karena membayar pajak dengan jujur, sementara perusahaan rival pembayar pajak kelas UKM. Indikator ekonomi untuk mengukur akuntabilitas pendapatan pajak, sekalipun tak akurat, mungkin harus distandarkan untuk mengukur kinerja pencapaian pajak.

Saya khawatir kalau tidak ada cara strategis dan keberanian untuk menumpas habis mafia pajak yang sudah centang perenang di publik, termasuk mafia hukum dan lainnya, momentum ini justru digunakan balik oleh mereka untuk menunjukkan pengaruh dan menggalang solidaritas atas nama kehormatan institusi yang akan semakin meneguhkan kekuasaan rezim korupsi di setiap departemen. Jangan pernah bermimpi bisa membasmi korupsi, seperti menangkap penjahat licin sekaliber Al Capone lewat penelusuran rekam jejak pajak, selama kantor pajak bermasalah.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/19/04105815/memberantas.mafia.paja


Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...