Senin, 30 Juni 2008

Mengasah Kompetensi

Himawan Wijanarko*


--------------------------------------------------------------------------------

Salah satu inti dalam meniti jenjang karir adalah seberapa jauh kita memiliki kompetensi seperti yang dituntut oleh jabatan yang lebih tinggi. Jika ternyata kita memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatan tersebut dan ternyata kompetensi kita memang lebih baik dibandingkan dengan calon-calon yang lain, kemungkinan untuk menduduki jabatan tersebut berda di pelupuk mata. Apalagi jika perusahaan menerapkan Competency-based Human Resouces Management, persyaratan terhadap kompetensi yang harus dimiliki semakin ketat.

Siapakah orang yang dianggap kompeten dalam suatu bidang pekerjaan tertentu ? Yaitu orang yang memiliki kinerja yang sangat bagus (superior performance). Superior performer ini kemudian diidentifikasi karakteristiknya, yang diperkirakan menunjang pencapaian kinerjanya tersebut. Pencapaian kinerja ini diibaratkan sebagai sebuah pulau atoll di tengah samudera, dimana hanya puncaknya saja yang kelihatan di permukaan laut tetapi di bawahnya ada lereng gunung. Nah, lereng gunung yang besar inilah yang digali melalui identifikasi ciri-ciri tersebut. Ciri-ciri itu dipilah menjadi tiga bagian yaitu knowledge, skills, dan attitude.

Jadi jika anda ingin mengembangkan kompetensi anda, sehingga benar-benar dapat menjadi orang yang kompeten dalam bidang pekerjaan atau keahlian anda, anda harus memperhatikan ketiga aspek tersebut. Anda tidak dapat misalnya, hanya meningkatkan knowledge saja tetapi mengabaikan dua yang lainnya.

Dalam bahasa sehari-hari dikenal istilah hard skills dan soft skills. Hard skills adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kompetensi-kompetensi yang terkait langsung dengan pekerjaan kita. Misalnya keahlian dalam membuat program bagi programmer. Sedangkan soft skills adalah keahlian yang menunjang hard skills tersebut. Soft skills ibaratnya adalah kompetensi yang membukus kompetensi inti yang dimiliki, misalnya interpersonal skills, communication skills, presentation skills, negotiation skills, dan lain-lain.

Hard skills ini selalu dikembangkan, itu sudah menjadi kesadaran semua orang. Tetapi kadang-kadang kita melihat mengapa seseorang yang technical skills-nya sangat tinggi tetapi karirnya sulit berkembang. Justru orang dengan technical skill yang hanya sedikit di atas rata-rata, karirnya dapat melejit lebih cepat. Setelah ditelusuri ternyata social skillsnya lebih baik. Ia dapat mempersuasi dengan meyakinkan, teknik presentasinya bagus sehingga ide-idenya mudah diterima dikalangan internal organisasi khususnya para pimpinan puncak perusahaan, maupun di kalangan eksternal organisasi. Dengan demikian explosurenya menjadi luas dan ide-idenya lebih mungkin untuk terealisasi.

Sebaliknya dengan orang yang technical skills-nya tinggi, tetapi sulit bekerja sama dengan orang lain, tidak dapat mengutarakan ide-idenya dengan jernih dan tidak mampu mempersuasi orang lain untuk mendukung ide-idenya. Sehingga dalam kenyataannya potensi yang telah dimiliki tidak dapat diwujudkan menjadi actual performance.

Harus disadari bahwa organisasi dalam meraih tujuannya selalu melibatkan banyak orang. Suatu pekerjaan adalah merupakan kelanjutan dari pekerjaan sebelumnya dan selalu terkait dengan bagian lain dalam organisasi sehingga membentuk sebuah proses. Kemampuan untuk menjadi bagian dari sebuah proses menjadi sangat penting. Seorang superior performance memiliki kemampuan untuk menggabungkan kemampuan yang dimiliki dalam aliran proses tersebut. Agar dapat masuk dalam aliran proses tersebut dibutuhkan kemampuan bekerja sama dengan pihak lain yang membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu seperti komunikasi, persuasi dan adaptasi. Di sinilah pentingnya mengasah soft skills untuk mendukung hard skills yang dimiliki. Alangkah idealnya jika seiring dengan pengembangan hard skills juga dilakukan pengembangan soft skills.

Berkaitan dengan pengembangan kompetensi dalam kaitannya dengan pengembangan karir, pertama kali yang harus dilakukan adalah mengindentifikasi kompetensi yang dibutuhkan untuk jabatan anda saat ini dan saat mendatang, sesuai dengan jalur karir Anda. Beruntung bagi Anda yang bekerja di perusahaan yang telah menerapkan Compentency-based HRM, kompetensi yang dibutuhkan suadah tertera untuk setiap jabatan, berikut proficiency level-nya. Berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan dalam jalur karir Anda, lakukan rencana pengembangan diri.

Menambang Jejaring 'Alumni' Perusahaan

A.B. Susanto*


--------------------------------------------------------------------------------

Inilah fenomena mutakhir dalam dunia para profesional : para profesional berpindah-pindah perusahaan untuk meniti karirnya. Lebih seru lagi banyak pula profesional yang berganti profesi. Dinamika dunia bisnislah yang melahirkan semua ini. dan sebutan profesional ‘kutu loncat’ pelan-pelan mulai menghilang.

Telah terjadi pergeseran makna loyalitas. Dari loyalitas kepada perusahaan menjadi loyalitas terhadap profesi. Apa konsekuensinya ? Para profesional menjadi mudah berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain, tanpa merasa dianggap sebagai tidak profesional.

Bahkan belakangan telah terjadi kecenderungan loyalitas lebih dikaitkan dengan etika bisnis. Jadi jika seseorang akan pindah pekerjaan masalah, etislah yang menjadi pertimbangan utama. Misalnya jika seseorang akan pindah kepada kompetitornya, apakah etis atau tidak ? Bisa saja untuk bidang-bidang profesi tertentu tidak masalah, tetapi untuk bidang-bidang profesi lainnya menimbulkan masalah etis. Misalnya untuk bidang SDM dan produksi tidak menimbulkan masalah etika, tetapi untuk bidang R & D menimbulkan masalah etika. Demikian pula jika kepindahannya ke tempat lain dengan cara bedhol deso, dengan menarik semua bawahannya ke tempat yang baru, apakah etis atau tidak.

Kenyataan inilah yang harus diterima oleh perusahaan. Perusahaan selalu berupaya untuk mempertahankan orang-orangnya, tetapi harus menerima dengan lapang dada ketika mereka keluar dari perusahaan untuk membina karir di perusahaan lain.

Tetapi benarkah perusahaan benar-benar tak mau ‘ditinggalkan” SDM-nya. Anggapan ini tidak selalu tepat. Kita akan menemui realitas bahwa organisasi berbentuk piramida sehingga tidak semua karyawan sampai pada posisi puncak. Terdapat suatu titik tertentu yang menyebabkan seseorang tidak dapat dipromosikan lagi. Apakah karena kebutuhan perusahaan sudah tercukupi atau karyawan bersangkutan memang sudah sampai pada batas kemampuannya. Kenyataan ini menyebabkan orang yang mengalami stagnasi pada suatu titik tertentu, dan sebaiknya mencari alternatif lain di luar perusahaan. Daripada keluarnya ‘dipaksa’ (dengan pemutusan hubungan kerja, pensiun dini, pengunduran ddiri dan lain-lain) lebih baik di’ikhlas’kan dan mencari manfaat dari kepindahan para profesional ini.

Ada baiknya kita tengok arus sumber daya manusia di dalam perusahaan, yaitu arus masuk (rekrutmen), arus di dalam (promosi, demosi, mutasi, rotasi), dan arus keluar (pengunduran diri, pensiun, PHK). Berdasarkan arus ini terdapat lima pendekatan yang dipakai yaitu “life long employment”, “in, up and out”, “unstable up or out”, “in-out”, dan campuran. Dalam pendekatan life long employment karyawan masuk dari bawah dan mendapat pembinaan terus menerus oleh perusahaan sepanjang karirnya. Dalam pendekatan “in, up and out”, karyawan masuk dari posisi yang paling rendah kemudian dibina sesuai dengan jenjang karir sampai tidak dapat dipromosikan lagi, dan keluar. Dalam pendekatan unstable in-out karyawan dapat direkrut dari berbagai tingkatan dan dapat terjadi ‘arus keluar’ pada setiap tingkat jenjang karir. Pendekatan in-out, terjadi jika jabatan ketika masuk sama dengan ketika keluar, misalnya tenaga ahli. Pendekatan campuran menggabungkan keempat pendekatan misalnya untuk tenaga inti digunakan pola life long, untuk tenaga dalam projek memakai pola unstable in out dan untuk pekerja klerikal pola “in, up and out”, untuk sopir menggunakan pola in-out. Jadi sesungguhnya perpindahan karyawan juga merupakan ‘harapan’ perusahaan, dengan formula tertentu. Masalahnya adalah bagiamana mengambil manfaat dari fenomena ini, bahkan ketika karyawan sudah berada di luar lingkungan perusahaan.

Sebenarnya telah terjadi ‘revolusi’ dalam hubungan karyawan dan perusahaan, yang dahulunya berbasis job security menjadi employability. Perusahaan melakukan pengembangan dan pemberdayaan SDM agar dapat bekerja di dalam perusahaan dan jika karena sesuatu hal terjadi terhadap perusahaannya (restrukturisasi, merger & akusisi, down sizing dan lain-lain) sehingga perusahaan tidak membutuhkan kontribusinya lagi, mereka tetap employable di pasar tenaga kerja.

Lantas apa hubungannya dengan pemanfaatan jejaring ‘alumni’. Kita ambil saja contoh perpindahan profesonalnya yang paling tinggi : para profesional di dunia IT. Microsoft adalah salah satu perusahaan yang memanfaatkan dengan baik fenomena ini. Tingginya turn over yang dialami oleh IT company bukan merupakan masalah bagi mereka, justru disulap menjadi berkah. Mereka justru menggenjot alumninya sebanyak mungkin. Alumninya yang tersebar di berbagai perusahaan justru menjadi jembatan emas, untuk bersentuhan dengan para decision maker. Mereka juga mendukung karyawannya yang mendirikan konsultan dengan berbagai sponsorship, terutama yang akan menjadi partner consultant mereka. Sebuah langkah yang brilian dan pantas mendapat acungan jempol. Para karyawan yang keluar ini akan menjadi ‘Microsoft Disciples’ yang akan mewartakan produk dan sistem mereka. Selama mereka bekerja di Microsoft mereka bukan hanya belajar mengenai produk dan sistem belaka. Tetapi juga paradigma, pola pikir, sikap dan nilai-nilai. Bagi negara yang sedang berkembang seperti negara kita, para alumni Microsoft ini tentu mempunyai peran yang tidak kecil dalam bisnis TI.

Bagiamana mengatasi efek negatif turn over yang tinggi ini, mengingat tingginya value outflow ? Salah satunya dengan penerapan Knowledge Management, yang intinya setiap orang yang memegang jabatan tertentu ‘diwajibkan’ mendokumentasikan apa saja yang diketahui dan dikerjakan berkaitan dengan pekerjaannya. Sehingga ketika dia keluar, dapat dengan mudah digantikan oleh orang lain. Terdapat transfer dari knowledge individual menjadi knowledge organisasi.

Kasus di atas adalah contoh bagaimana ‘menambang’ butiran emas jejaring alumni untuk industri TI. Bagaimana dengan industri Anda?

Kamis, 26 Juni 2008

Mencipta Energi Biogas Dengan Swadaya Masyarakat

“Bagaimana bisa kotoran ternak menjadi sumber energi alternatif?” itu yang pertama kali terlintas dalam benak ketika harus menuju Malang. ”Bagaimana cara mengangkut kotoran ternak tersebut menuju pabrik biogas?, apakah pabrik biogas juga harus memelihara ternak?”, beribu pertanyaan menghujam dalam benak.

Sesampai di desa Jabung, berbincang dengan koperasi KAN Jabung, baru lah jelas, ternyata biogas itu di hasilkan dari swadaya masyarakat setempat. ”Ide mengembangkan biogas ini tercetus karena semakin mahalnya bahan bakar minyak dan gas yang digunakan masyarakat setempat”, ungkap Santosa, Sektretaris Koperasi KAN Jabung.

Untuk pilot project pertamakali di desa kemiri, tahun 2006 maret. Hingga saat ini sudah 36 instalansi di 11 desa (kemiri, selampar, wonorjo, argosari, sidomulyo, pandan sari, sukopuro, depok, matrek, gunung jati, jabung). “Untuk satu instanalsi bisa memenuhi kebutuhan gas 3 rumah tangga, maka dengan 33 instalansi saat ini bisa memenuhi kebutuhan gas 108 rumah tangga”, jelas Suntosa.

Teknologi Biogas

Konsep teknologi biogas ini sangat sederhana dan memang sesuai diterapkan di desa-desa yang sebagian besar penduduknya memiliki ternak sapi, yaitu dengan memproses limbah bio atau bio massa di dalam alat kedap udara yang disebut gester. Biomassa berupa limbah tidak hanya menggunakan kotoran ternak, tetapi bisa menggunakan feses manusia, atau sisa-sisa panenan. Namun sebagian besar penduduk Malang, memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku utama.

Teknologi biogas ini memanfaatkan gas methan (CH4) yang terdapat dalam kotoran ternak. Gas methan ini terbentuk dari proses fermentasi secara anaerobic oleh bakteri methan atau disebut juga bakteri anaerobic. “Untuk itu dalam gester hanya boleh ada veses, air, dan urine, sedangkan bahan kimia seperti ditergen, pestisida, anti biotic dan bahan kimia lainnya tidak boleh”, ucap Ida Royani, SPT, staf ahli Pengembangan Sapi Perah dan SDM. Bahan-bahan kimia tersebut akan membunuh bakteri anaerobic, sehingga pembentukan gas methan menjadi tidak sempurna. Dia menegaskan, “Kita tidak membutuhkan bahan kimia untuk mempercepat proses biogas ini, hanya butuh veses dan air dengan perbandingan 1:1”. Pada kenyataannya dilapangan kombinasi 1:1 ini sulit dilakukan, “ya gimana, peternak kan mau yang praktis-praktis aja, sulit untuk menakar dengan tepat, dari kandang sendiri feses sudah tercampur dengan urine, dan kemudian untuk membersihkan kandangkan mereka juga sudah mencampur dengan air, mana mau mereka mengukur-ukur, kok kayanya jadi sulit”, ucapnya.

Secara garis besar proses biogas hanya terdiri dari 3 bagian utama, yaitu inlet, gester, dan outlet, terbuktikan bahwa teknologi ini sangat sederhana. Dengan senyumnya Ida menjelaskan dengan tenang proses biogas, “ berawal dari kandang ternak yang menghasilkan bahan baku biogas., kemudian dimasukkan kedalam inlet yang berfungsi sebagai tempat terkumpulnya kotoran ternak, yang kemudian dihubungkan dengan bentuk saluran yang mengalirkan kotoran ke dalam gester”. “Nah, dalam gester inilah terbentuk biogas”, ujarnya. Model bangunan gester yang di gunakan warga Malang tertanam rapi dalam tanah, yang tampak di permukaan hanya bagian inlet dan outlet. Dalam outlet inilah veses melepaskan gas methan sebagai biogas. Veses yang telah mengeluarkan gas methan akan di keluarkan, “dari gester, ampas veses yang tertekan dengan gas akan keluar otomatis ke outlet”, tambah Ida. Ampas kotoran yang tertampung kedalam outlet ini sudah tidak berbau, dan dapat digunakan sebagai pupuk atau pakan ternak.

Pembentukan gas berlagsung selama 24 jam, banyaknya gas yang diperoleh tergantung dari banyaknya limbah ternak, tapi perlu diingat banyaknya limbah juga harus diikuti dengan besarnya gester. Jika daya tampung gester melebihi limbah, maka gas yang terbentuk tidak sempurna, dan ampas limah masih mengandung methanol.

Untuk membangun instalasi biogas ini perlu disesuaikan dengan jumlah ternak, karena terkait dengan jumlah kotoran yang di hasilkan. Selain itu besarnya instalasi juga mempengaruhi jumlah modal yang di keluarkan peternak, “untuk awalnya mungkin mereka harus modal besar tapi dampak selanjutnya lebih menguntungkan”, jelasnya. Misal saja, untuk peternak yang memiliki 3-5 ekor sapi bisa membangun instalasi dengan modal awal sekitar 3,5 juta rupiah, untuk yang memiliki 12-16 ekor sapi perlu modal sekitar 14 jutaan.

Manfaat biogas

Jika ingin berhitung ekonomis, alternatif biogas ini sangat menguntungkan, selain menguntungkan lingkungan, dan terutama untuk masyarakat. Jika dulu harus mengeluarkan dana untuk membeli gas elpiji atau kayu bakar, sekarang masyarkat dapat memenuhi dengan biogas, dengan biaya nol, alias gratis, 24 jam.

Yang sangat terlihat jelas adalah lingkungan kandang menjadi bersih, bebas lalat dan bau. “Dulu sebelum ada instalansi, kotoran ternak berantakan di mana-mana, sekarang semua kotoran ternak di alirkan menjadi satu dalam inlet, jelas tidak ada lalat lagi sekitar kandang”, celetuk Santoso.

Biogas merupakan teknologi energi alternatif ramah lingkungan, semua limbahnya bisa di gunakan dan tidak merusak lingkungan. Veses yang terambil ga methannya menjadi tidak berbau lagi, dan bisa digunakan untuk pangan ternak (sapi dan lele) juga digunakan sebagai pupuk. “Pada musim kemarau limbah veses di jemur dan dijadikan pupuk kering untuk pupuk tanaman tebu, pakan ternak (rumput gajah), dan kopi, yang masih basahpun sebenarnya bisa langsung di gunakan”. Nah, perlu dipastikan bahwa gas methan yang terdapat pada veses benar-benar sudah terbuang, karena gas methan ini dapat mematikan tanaman.

Selain itu secara tidak langsung teknologi biogas ini dapat mengurangi kegundulan hutan, “Dulu masyarakat memenuhi kebutuhan energinya menggunakan kayu bakar, dalam sehari mereka membutuhkan 2 pikul kayu bakar untuk satu keluarga, bisa di bayangkan berapa banyak kayu yang harus di tebang?”, jelas Santoso. Nah, sejak masyarakat menggunakan teknologi biogas ini kebutuhan akan kayu bakar dengan sendirinya semakin menurun.

Harapan dan Kendala

Kendala yang dihadapi saat ini adalah masalah desain packing dan dana, biogas masih digunakan dalam skala rumah tangga. “Selama ini yang bisa menikmati biogas hanya yang memiliki ternak, sedang warga yang tidak punya belum bisa menggunakan, masih bingung untuk packingnya”, tandas Sutarno. Untuk bisa menggunakan biogas rumah warga harus disambungkan dengan pipa gas dari gester.

Kedepan Susanto dan rekan-rekan KAN Jabung mengharapkan ada investor yang menanamkan modal untuk mengembangkan teknolgi biogas ini, dengan demikian masyarakat yang tidak punya gester ataupun ternak tetap dapat menggunakan biogas ini. “Kami berharap pada pemerintah, program swadaya biogas bukan tanggungjawab masyarakat dan kopersi saja, jadi diharapkan ada penanganan khusus dari pemerintah disektor ini, karena dengan satu titik ini bisa mengamankan keamanan hutan bisa terjaga, jika hutannya lestari maka mampu menyimpan air lebih banyak, dengan begitu saat musim kemarau ini masyarakat tidak kekurangan air bersih setiap harinya..,” ucap Santosa.

(dw, Komunika, tahun 2007)

Rabu, 18 Juni 2008

Industri sawit, tersanjung atau tersandung?

Oleh: Martin Sihombing

Enam lembar daftar perusahaan asing yang meminati perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bergeser dari tangan pejabat di Pusat Perizinan Investasi (PPI) Deptan ke tangan wartawan Bisnis Indonesia. "Wow..." Begitu saat rekan saya itu memperlihatkan daftar itu kepada saya.

Dalam lembar itu, tertera nama 44 perusahaan asing-terbanyak (16) perusahaan asal Malaysia-yang mengincar perkebunan seluas 0,44 juta hektare (ha). "Mereka antusias," kata seorang pejabat Deptan.

Terutama Malaysia, bukan hanya yang kecil, melainkan juga perkebunan besar mereka memang terus 'menggempur' lahan kelapa sawit di Tanah Air. Belum lama ini, IJM Plantations Berhad's, melalui anak usahanya, Gunaria Sdn Bhd, misalnya, menyepakati pengambilalihan (akuisisi) 95% saham perusahaan perkebunan sawit Indonesia, PT Zarhasih Kaltim Perkasa (ZKP) senilai Rp2,85 miliar (US$313,359), cash.

Total investasi Sime Darby Bhd, yang mulai menggarap kebun kelapa sawit Indonesia sejak 1998 seluas 270.000 ha, termasuk mengakuisisi perkebunan sawit milik konglomerat Salim, di Indonesia US$1,2 miliar. Pada awalnya, investasi perusahaan asal negeri jiran, Malaysia mencapai US$400 juta.

Komisaris Utama Sime Darby Bhd, Tun Musa Hitam mengakui pintu investasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Dia menunjuk ada tiga daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yakni Kalimantan, Riau, dan Jambi.

Antusiasme ini nyaris sama dengan kejadian 1996. Pada tahun itu, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto merencanakan untuk mengalahkan Malaysia sebagai pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua kali lipat, menjadi 5,5 juta hektare pada 2000. Separuh dari luasan perkebunan kelapa sawit ini dialokasikan untuk perusahaan perkebunan swasta asing.

Bedanya, pada 1996, berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan dalam perizinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat pola PIR-Bun dan dalam perizinan pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta.

Kini, kendati ada insentif berupa subsidi bunga kredit melalui program Revitalisasi Perkebunan, tetapi lebih banyak karena permintaan crude palm oil (turunan pertama dari kelapa sawit) yang melonjak. Sebab banyak negara menggelar program biodiesel, solusi mengatasi kian mahalnya harga minyak fosil dan berkurangnya produksi.

Di sisi lain, meminjam istilah Ketua Harian Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Rosediana Suharto, kenaikan harga CPO tidak melulu karena harga minyak mentah.

Harga minyak

Minyak kedelai dan minyak rape yang banyak digunakan di Eropa, Amerika Serikat, China, dan lain-lain sebagai bahan makanan dan juga kebutuhan nonpangan lainnya a.l. bahan bakar yang dapat diperbarui.

Karena permintaan yang cukup besar di negara yang pada umumnya beriklim subtropis tersebut, produksi dan harga dari kedua minyak sayur itu menjadi tinggi dan memengaruhi harga minyak dan lemak lainnya yang a.l. minyak sawit.

Tak ayal, mereka yang semula tidak menggeluti industri minyak sawit, kini berduyun-duyun masuk. Kini, harga satu kavling perkebunan kelapa sawit pun, terutama di Riau dan Jambi misalnya, melonjak dari Rp25 juta menjadi Rp40 juta.

Bahkan, di kedua provinsi itu, banyak petani di daerah menolak untuk diwawancarai wartawan karena takut diserbu orang kota yang berduit.

Di luar grup usaha besar yang lebih dulu berkecimpung di sawit-Bakrie, Sinar Mas, Salim Grup, Asian Agri, Wilmar, London Sumatera, Astra Agro Lestari, Sampoerna Agro-kini Barito pun mulai mengincar dan Charoen Pokhpand.

Termasuk PT Inti Kapuas Arowana Tbk (IIKP) yang memutuskan untuk melakukan investasi pada bidang perkebunan kelapa sawit. Setelah mempelajari hasil kajian usaha di bidang kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Agrindo Management Services, perusahaan itu memutuskan investasi di perkebunan kelapa sawit.

IIKP merupakan perusahaan yang menekuni industri ikan hias, khususnya arwana. Dalam usahanya itu IIKP melakukan usaha penangkaran ikan arwana di Pontianak.

Namun, banyak hal yang harus diwaspadai. Kasus yang pernah terjadi dan menjadi modal pihak pesaing untuk mendiskreditkan industri ini tidak ramah lingkungan, perlu ditekan.

Di industri minyak sawit, dikenal biaya sosial (social costs). Biaya ini timbul sebagai akibat terjadinya permasalahan dan atau konflik sosial dalam pelaksanaan kegiatan tertentu. Misalnya, biaya yang harus dikeluarkan karena terjadinya konflik lahan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat lokal yang tinggal di lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Konversi hutan

Pasalnya, kasus itu, pernah terjadi dan banyak dilakukan karena lahan yang tersedia dan cocok untuk sawit sangat terbatas, akibatnya harus mengonversi hutan.

Pada 1999, misalnya, hutan produksi terbatas yang telah dikonversi menjadi areal perkebunan sampai Maret 1999, mencapai 166.532,25 hektare (ha). Terluas di Riau, 94.616,45 ha disusul di Jambi seluas 27.675 ha, Aceh 17.635 ha, Sumut 10.903,80 ha, dan Maluku 3.840 ha.

Bahkan, menurut catatan Dephut (1999), total areal hutan yang telah dikonversi untuk perkebunan sampai Maret 1999, 4,06 juta ha dan total areal perkebunan kelapa sawit hingga 1998, 2,77 juta ha.

Dari areal konversi 4,06 juta ha itu, konversi terluas terjadi di Riau, 1,53 juta ha, Kaltim 434.738,37 ha, dan Kalteng 428.053,89 juta ha.

Secara keseluruhan di antara lima pulau terbesar di Indonesia, pada saat itu, konversi terluas terjadi di Sumatra seluas 2,55 juta ha disusul Kalimantan 1,41 juta ha.

Dengan segala persoalannya, jika tidak diantisipasi, contoh kasus terakhir itu justru akan menjadi sandungan bagi industri minyak sawit. Bukan sanjungan. Waspadalah, waspadalah... (martin.sihombing@bisnis.co.id)

Kenaikan Harga BBM: Pengalaman Kemiskinan yang Berbeda

Oleh: Ninuk Mardiana Pambudy

Kenaikan harga BBM telah menaikkan harga-harga lebih dalam lagi dan menimbulkan dampak berbeda pada perempuan dan laki-laki.

Di Desa Koro Welang Anyar, Kecamatan Cepiring, Kendal, Jawa Tengah, misalnya, kenaikan harga BBM menyebabkan nelayan mengganti solar dengan minyak tanah dengan risiko mesin menjadi cepat rusak. Tetapi, penggantian hanya untuk mesin motor merek Dong Feng yang harga suku cadangnya lebih murah dari motor buatan Jepang.

”Keadaan kami benar-benar sangat susah,” kata Siti Yamroh menekankan kesulitan yang dialami keluarga nelayan di sana. Ketua Kelompok Tani-Nelayan Mina Sari yang beranggotakan 35 perempuan itu mencontohkan, saat ini sebetulnya bukan musim paceklik, tetapi hasil tangkapan nelayan seperti saat paceklik.

Yang lumayan bagus hasilnya adalah teri nasi, harganya mencapai Rp 50.000 per kg, tetapi hasil tangkapan hanya 10-15 kg. Alhasil, uang yang dibawa pulang sekitar Rp 15.000.

Maka, para istri pun harus kerja lebih keras lagi. Yang tidak punya lahan pertanian, cara mendapat uang memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah dengan memburuh tani atau memburuh mengolah ikan asin.

”Upahnya Rp 10.000 kalau kerja dari jam tujuh sampai jam 12. Kalau sampai jam empat sore Rp 17.000,” papar Yamroh.

Di tengah impitan hidup itu, perilaku para nelayan tak banyak berubah. ”Kalau punya uang, dihabiskan untuk minum atau pergi ke perempuan lain. Kalau lagi musim sulit seperti sekarang, tidak bawa uang sama sekali ke rumah,” tutur Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah itu lagi.

Dalam situasi ini, perempuan harus ”mengalah”. Dia yang dituntut memperbaiki diri untuk membuat suami betah di rumah dengan berdandan, memasak enak, membuat rumah rapi, sampai mencucikan baju suami, sementara juga harus bekerja di luar rumah membantu pendapatan keluarga.

Tidak berarti

Kesulitan yang dihadapi perempuan tidak khas Cepiring. Perkumpulan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di delapan provinsi yang berjumlah 10.000 orang dan kebanyakan janda langsung tertohok kenaikan harga BBM.

”Mereka bilang, kenaikan pendapatan yang sudah mereka peroleh seperti hilang tertelan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM,” kata Koordinator Pekka Nani Zulminarni.

Melalui Pekka mereka belajar memperbaiki ekonomi melalui kelompok dan dana bergulir. Penghasilan mereka berhasil naik dari Rp 10.000 menjadi Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. Tetapi, kenaikan penghasilan itu langsung tertelan kenaikan harga barang-barang.

”Sepertinya apa pun yang kami lakukan di tingkat mikro, di lapangan menjadi tidak ada artinya kalau kebijakan di tingkat makro sewenang-wenang. Bantuan langsung tunai (BLT), misalnya, maksudnya untuk jaring pengaman sosial, tetapi tidak ada sistem yang andal yang menjamin masyarakat miskin terlindungi. Hasilnya juga tidak terlalu terasa. Apa pemerintah akan sanggup terus memberi bantuan seperti itu,” ungkap Nani.

Untuk petani, keadaan juga tidak mudah. Kenaikan harga BBM terjadi saat memasuki musim kering. Di Desa Rancahan, Kecamatan Gabus Wetan, Indramayu, Jawa Barat, Sakilah, Ketua Kelompok Tani Srikandi yang beranggotakan 25 perempuan, mengatakan, saat ini banyak petani tak bisa berbuat apa-apa.

”Kira-kira 350 ha sawah yang sudah ditanami kini kering. Mudah-mudahan masih ada hujan supaya bisa menghasilkan. Di sana ada 70 patok pompa air, tetapi pompanya tidak ada. Mau sewa, harganya mahal. Sekarang Rp 35.000 sehari, ditambah Rp 50.000 ongkos untuk yang jaga malam hari. Belum termasuk harga solar yang sekarang mahal,” tutur Sakilah.

Meski begitu, Sakilah tidak mau menyerah. Informasi tentang bertanam padi di ember di halaman rumah memberi dia semangat bertanam padi organik di ember. ”Tidak tergantung pupuk pabrik, cukup pakai limbah dapur. Hasilnya bisa 0,5 kg sekali panen. Tetapi, ember harganya mahal, Rp 5.000 sebiji. Cari polybag enggak ketemu, sudah sampai ke Cirebon dan Subang,” kata Sakilah.

Berbeda

Berbagai penelitian memperlihatkan perempuan mengalami kemiskinan dengan cara berbeda dari laki-laki. Penelitian Marianti dan Fillaili dari SMERU di Timor Barat yang ringkasannya dimuat dalam Newsletter SMERU, Oktober 2007, memperlihatkan, jumlah perempuan kepala rumah tangga yang menurun kesejahteraannya dan cenderung tetap miskin lebih besar daripada laki-laki kepala rumah tangga. Perbedaan dalam kepemilikan aset (tanah dan ternak), tingkat pendidikan, dan tingkat melek huruf menyebabkan perbedaan itu.

Persepsi mereka tentang penyebab kemiskinan ternyata berbeda. Perempuan menganggap fisik yang menua dan hilangnya pencari nafkah dalam keluarga karena kematian suami, perceraian, ataupun perpisahan sebagai penyebab kemiskinan, sedangkan laki-laki menyebut persoalan ekonomi dan juga fisik yang menua.

Tentang faktor yang dapat meningkatkan kesejahteraan, keduanya menyebut peningkatan pendapatan melalui kerja keras dan usaha baru yang lebih baik, serta berkurangnya tanggungan dalam keluarga.

Karena itu, bila pemerintah bermaksud membangun jaring pengaman sosial untuk masyarakat miskin, caranya tidaklah sesederhana memberi BLT. Kebijakan dan program pembangunan harus mampu melihat perbedaan pengalaman perempuan dan laki-laki dalam menghadapi kemiskinan sehingga cara mengatasinya pun seharusnya tidak sama rata.

URL Source: http://cetak.kompas.com

Selasa, 17 Juni 2008

Ketahanan Pangan : Membayar Subsidi dengan Pola Ijon

Oleh: Banu Astono

p>Beberapa hari lalu, Bank Dunia secara tegas memberikan sinyal bahwa cadangan pangan Indonesia dalam titik terendah. Apabila hal ini tidak segera ditangani sejak awal, persoalan pangan di Indonesia akan menjadi masalah yang serius. Untuk itu, pemerintah harus segera menyiapkan strategi khusus yang lebih fokus.

Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kehutanan sekaligus Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan Bayu Krisnamukti tidak menampik informasi itu. Bahkan, kata Bayu, pihaknya sudah memberikan peringatan mengenai kondisi itu sejak Juni 2007.

Pengakuan Bayu sepertinya menggugah kita semuanya. Seharusnya cadangan pangan di Indonesia tidak terjadi seperti itu. Selama negeri ini masih memiliki matahari, air, dan tanah, pengadaan pangan bukan masalah yang sulit. Bahkan, Indonesia seharusnya menikmati hal yang sebaliknya, yakni menikmati tingginya harga pangan.

Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Joachim von Amsberg dalam situs Bank Dunia memberikan gambaran bahwa Indonesia jauh lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Indonesia diperkirakan hanya akan mengalami dampak krisis pangan lebih singkat serta jauh lebih mampu meningkatkan produktivitas dan melakukan stabilisasi harga sejumlah komoditas tersebut.

Menurut Joachim, negara dengan kekayaan alam seperti Indonesia, kenaikan harga komoditas pangan justru menjadi peluang penting menyiapkan strategi untuk meningkatkan investasi dan mengentaskan rakyat miskin.

Menyiapkan strategi

Melihat tren kenaikan harga pangan yang demikian tajam, Pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan strategi khusus yang lebih fokus.

Apalagi tren harga minyak di pasar dunia terus meningkat di atas 130 dollar AS per barrel. Kenaikan ini akan mendorong berbagai negara mengalihkan penggunaan energi fosil ke biofuel.

Brasil, misalnya, selama tahun 2006-2007 mengembangkan budidaya tebu di areal seluas 3,6 juta hektar dari total lahan pertanian seluas 355 juta ha untuk memproduksi 5,019 juta galon metanol.

Amerika Serikat juga menyediakan 10 juta ha lahan dari 270 juta ha lahan pertaniannya untuk tanaman jagung untuk memproduksi 6,498 juta galon etanol.

Dampaknya, stok produk pertanian seperti beras, jagung, kedelai, dan gandum untuk pangan terus menurun. Hal ini memberikan tekanan yang kian kuat pada komoditas beras sebagai alternatif utama untuk pangan di beberapa negara Asia.

Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menunjukkan, bagaimana pertumbuhan produksi dan luas areal pertanian di dunia tetap meningkat, tetapi tidak mampu memperbesar stok pangan dunia. Bahkan, dalam delapan tahun terakhir, volume stok beras dunia terus melorot.

Sebagai gambaran, volume produksi beras dunia dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Produksi beras tahun 2003 mencapai 377,8 juta ton naik menjadi 418,1 juta ton pada tahun 2006. Tahun 2007, volumenya melorot jadi 417,1 juta ton, tetapi tahun ini diprediksi naik sedikit menjadi 421,2 juta ton.

Data UNDP menunjukkan, selama 50 tahun terakhir, jumlah penduduk di Asia bertambah hampir tiga kali lipat, yakni dari 1,4 miliar jiwa menjadi 4 miliar jiwa. Akibatnya, konsumsi beras meningkat tajam.

Dampaknya, stok beras dunia dalam delapan tahun terakhir melorot tajam. Tahun 2001, stok beras dunia masih 147,3 juta ton. Tahun 2005, stok beras melorot jadi 74,9 juta ton. Tahun 2007, stoknya jadi 76,3 juta ton. Estimasinya stok dunia pada tahun ini turun lagi jadi 74,1 juta ton.

Kondisi Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini akan menghadapi persoalan pelik jika tidak menyiapkan program komprehensif dalam peningkatan produktivitas pangan nasional. Sampai sekarang, Indonesia tidak memiliki visi yang jelas dalam program pertanian.

Hal itu terlihat jelas dari kecilnya nilai subsidi yang diberikan di sektor pertanian. Tidak jelasnya perlindungan pemerintah terhadap petani dalam bentuk subsidi biaya produksi serta tidak adanya perbaikan sarana dan prasarana pertanian yang memadai.

Bandingkan dengan China. Keberpihakan Pemerintah China terhadap petaninya begitu besar. Pemerintah negeri ini sadar betul harus berpihak kepada petani demi keamanan pangan bagi 1,2 juta miliar penduduknya.

Untuk itu, Pemerintah China memberikan subsidi Rp 3 juta per ha setiap petani tanaman pangan per musim.

Selain itu, Pemerintah China juga melakukan proteksi ketersediaan pupuk di dalam negeri dengan menaikkan pajak ekspor berbagai produk pupuk sebesar 100-135 persen. Dengan demikian, harga pupuk di China menjadi murah.

Sementara di Indonesia perlindungan terhadap sektor pertanian setengah hati. Pemerintah hanya memberikan subsidi pupuk. Nilainya pun hanya Rp 6,7 triliun meskipun ada rencana untuk menaikkannya menjadi Rp 14 triliun dalam APBN Perubahan 2008, tetapi tetap saja nilainya jauh dari memadai.

Hasilnya pun bisa dirasakan sampai saat ini. Sektor pertanian tak pernah bertumbuh dengan baik. Produktivitas berasnya pun terendah dari seluruh negara produsen beras di Asia.

Menurut data Asosiasi Pupuk Dunia (IFA), tingkat produktivitas beras China mencapai 4,29 ton per ha, Banglades 3,7 juta ton per ha, India 3,28 ton per ha, sementara Indonesia hanya 2,88 ton per ha.

Jika Pemerintah Indonesia ingin mengamankan stok pangan nasional, mengisi pasar dunia dalam kaitan merebut momentum kenaikan harga komoditas pangan, berbagai prasyarat harus dipenuhi, di antaranya meningkatkan produktivitas beras dari 2,88 ton per ha menjadi 3,5 ton per ha.

Untuk itu, pemerintah harus melakukan program agar petani bisa mendapatkan benih unggul yang tepat, alokasi subsidi pupuk yang cukup, infrastruktur pengairan dan pestisida yang baik, kawalan bimbingan penanaman oleh penyuluh pertanian, serta insentif bagi petani tanaman padi.

Katakan asumsinya untuk pengadaan benih unggul Rp 5 triliun. Susbidi pupuk dinaikkan satu setengah kali menjadi Rp 21 triliun, tenaga penyuluh pertanian sebanyak 5 orang per kabupaten per orang Rp 2 juta, maka totalnya mencapai sekitar Rp 250 miliar.

Insentif pertanian sebesar Rp 1 juta untuk per ha kali 12 juta ha, maka totalnya Rp 12 triliun. Total dana yang dikeluarkan hanya Rp 38,25 triliun.

Namun, dengan stimulan itu lahan meningkat 0,7 ton per ha atau sekitar 8,4 juta ton beras dari lahan seluas 12 juta ha. Katakan nilai beras di pasar dunia mencapai 1.000 dollar per ton, devisa yang bisa diraup sebesar 8,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 75,6 triliun.

Berarti ada surplus 37,35 dollar AS. Artinya, jika mengacu pada pola ijon petani, uang dalam bentuk subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada petani pada akhirnya bisa dibayar kembali dengan nilai yang jauh lebih besar. Keuntungan lainnya, tidak perlu impor, penghasilan petani meningkat, dan devisa negara justru bertambah.

Kenapa pemerintah tidak menempuh jalan ini. Kalaupun tidak saat ini, paling tidak bisa dimulai oleh presiden terpilih mendatang yang lebih berpihak kepada petani.

URL Source: http://cetak.kompas.com

Senin, 16 Juni 2008

Krisis Pangan sebagai Berkah

Oleh: F Rahardi



Jakarta, Singapura, Tokyo, dan New York tidak punya sawah, tidak punya ladang, dan tidak dihuni petani. Namun, beras dan gandum menumpuk di sini dengan harga relatif murah. Sementara itu, petani terpaksa harus membeli produk dan jasa para penghuni metropolis dengan harga sangat tinggi.

Tahun-tahun 1998 sampai 2000 selalu disebut sebagai periode krisis moneter (krismon). Makna dari krismon adalah harga produk kebutuhan pokok melambung, PHK terjadi di mana-mana, dan nilai kurs rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 16.000 per 1 dollar. Bagi masyarakat Jakarta, Surabaya, dan metropolis di Jawa, periode 1998-2000 adalah krisis. Sebaliknya, para petani cengkih, lada, pala, jahe, pepaya, dan juga padi menganggap tahun 1998-2000 sebagai berkah.

Sebab, harga cengkih, lada, dan pala, yang sebelumnya di bawah Rp 20.000 per kg, pada tahun 1999 melambung sampai di atas Rp 100.000 per kg. Pepaya, yang sebelumnya hanya Rp 50 per kg, naik menjadi Rp 250 per kg. Petani menjadi sangat makmur. Pasar utama, seperti mobil, sepeda motor, kulkas, dan televisi, bergeser ke sentra pertanian. Karena produksi mobil dan sepeda motor baru sangat terbatas, yang bekas pun laris manis di Sumatera, Kalimantan, dan terutama Sulawesi.

Sayangnya petani tidak punya media massa. Wartawan pun bukan bagian dari petani, peternak, nelayan, dan perajin yang tahun- tahun itu menerima berkah. Wartawan termasuk pihak yang mengalami krisis. Sebab, halaman media cetak menyusut akibat harga kertas naik. Jam siaran radio dan jam tayang televisi dibatasi. Iklan tersendat. Nafkah wartawan terancam. Maka isu yang diekspos media massa nasional adalah krisis ekonomi. Bukan berkah bagi petani.

Ketakadilan nilai tukar

Perkembangan sarana komunikasi dan transportasi telah menciptakan tidak adilnya nilai tukar. Petani menjual gabah dengan harga Rp 1.000 per kg. Meskipun harga dasar yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp 2.000 per kg, harga jagung dan singkong malahan lebih rendah lagi. Lalu, petani harus membeli mi dan roti, yang nilai per kilogramnya mencapai Rp 5.000. Belum lagi kalau petani memerlukan sabun, batu baterai, minyak goreng, dan lain-lain, yang harganya beberapa kali lipat harga padi.

Salah satu medium yang mengakibatkan nilai tukar tak seimbang adalah radio dan televisi. Petani yang tinggal di kampung paling pelosok pun sudah bisa mendengarkan radio dan menonton siaran televisi. Hingga anak-anak petani itu harus membeli CD atau DVD musik dan film dari bintang idola mereka. Mereka juga perlu celana jin, t-shirt, deodoran, sampo, sepeda motor, telepon seluler, dan semua pernik yang tiap hari muncul di layar televisi. Meski nilai tukar tak seimbang, ini masih lumayan.

Yang terjadi di banyak tempat, terutama di pinggiran kota atau di sekitar kawasan wisata, petani menjual tanah mereka untuk dibelanjakan ”produk kota”. Alat produksi itulah yang mereka korbankan untuk ditukar dengan simbol-simbol metropolis. Kemubaziran nasional lalu terjadi. Sawah berubah menjadi vila yang hanya dihuni seminggu sekali. Petani yang sebelumnya produsen pangan, sekarang menjadi penunggu vila yang tak perlu lagi memikirkan produktivitas

Ketakadilan global

Jakarta selama ini dianggap sebagai kekuatan ekonomi nasional. Hingga ketakadilan bisa mudah diciptakan agar penghuni metropolis ini tetap bisa menikmati pangan murah. Sementara itu, produk barang dan jasa yang mereka hasilkan dihargai sangat tinggi di pelosok kampung. Meski terjadi ketakadilan, ini semua masih bisa dianggap normal. Kalau Singapura yang negeri pulau atau Jepang yang negara industri mengimpor sandang dan pangan, itu normal.

Kalau kemudian negara berkembang menyuplai produk pangan ke Singapura dan Jepang, itu juga normal. Meski produk pangan tersebut tak dihargai setinggi produk barang dan jasa dari negeri maju tersebut. Kalau sekarang ini dianggap sedang ada krisis pangan, krisis itu berlaku untuk penduduk metropolis. Bagi petani, krisis pangan adalah berkah. Kalau harga beras melambung sampai Rp 10.000, itu berkah bagi petani. Sebab, penduduk metropolis memang harus membayar mahal kepada para petani.

Namun, Indonesia tidak mungkin menangkap peluang krisis pangan global ini sebagai berkah. Idealnya, Indonesia mengekspor produk pangan ke AS meski dengan harga murah, lalu AS menjual produk barang dan jasa berteknologi tinggi ke negeri kita. Misalnya, pesawat terbang, komputer, musik, dan film Hollywood. Yang terjadi, kita justru impor gandum, kedelai, bungkil, induk ayam ras, susu bubuk, kapas, apel, dan jeruk dari AS.

RRC dan India

AS sebenarnya lebih senang mengekspor produk sandang serta pangan mereka ke RRC dan India. Sebab, populasi penduduk dua negeri ini di atas 1 miliar jiwa. Dua negeri raksasa ini ternyata cukup cerdik. Mereka bisa surplus sandang dan pangan. Belajar dari zaman Mao yang lapar dan susah, RRC kemudian menanam gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, bahkan juga biji bayam (amaranth grain). Mereka menanam kapas, rami, dan canabis untuk sandang.

Canabis sebenarnya ganja, tapi bukan untuk memproduksi narkoba, melainkan diambil serat batangnya untuk sandang dan bijinya untuk bungkil. India selain punya gandum dan beras juga rajin mengurus aneka umbi-umbian, terutama suweg (Amorphophallus paeoniifolius). Sekarang RRC adalah penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar terbesar di dunia. Gandum dan beras India nomor dua. Masih beruntung Indonesia jadi penghasil beras nomor tiga.

Namun, kita harus mengimpor gandum sebanyak 5 juta ton per tahun. Padahal, secara teknis ataupun ekonomis, kita bisa menanamnya. Sebab, memang ada gandum tropis dari India dan Meksiko. Kita juga pernah mendatangkan dan mengembangkan gandum tropis tersebut, tapi tujuannya sekadar untuk seremonial. Belum lagi kedelai, bungkil, bahkan juga beras. Kalau sekarang ini kita ribut ingin ekspor beras, itu semua tak sebanding dengan impor gandum kit

Kamis, 12 Juni 2008

Kenaikan BBM: Ide Sustainable Community

Oleh: Novri Susan

Kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM (bahan bakar minyak) sampai sebesar 30% memberi dampak sosial-ekonomi sangat besar. Selain melonjaknya semua harga kebutuhan pokok,dampak sosial terutama berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin adalah fakta krisis ketahanan sosialekonomi.
Reaksi terhadap kebijakan berada dalam dua posisi berbeda; mereka yang pro dan kontra. Aksi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM dan respons aparat keamanan menciptakan layar kekerasan di negara demokrasi ini.Tulisan ini tidak ingin terlibat dalam pro-kontra mengenai kebijakan negara tersebut, tetapi ingin memberi wacana alternatif berkaitan dengan strategi nasional dalam menjawab fakta krisis ketahanan sosial-ekonomi saat ini.
Salah satu faktor mendasar dalam ketahanan sosial-ekonomi nasional adalah kapasitas masyarakat dalam menciptakan peluang-peluang ekonomi secara keberlanjutan.Peluangpeluang ini terutama sekali diwujudkan dalam aktivitas bisnis yang produktif bagi penghasilan masyarakat. Pokok persoalannya adalah melalui pendekatan seperti apa kapasitas menciptakan peluang ekonomi masyarakat bisa ditingkatkan.

Sustainable Community

Pendekatan yang saat ini sebenarnya tengah digalakkan di negaranegara berkembang adalah konsep ”sustainable community”. Suatu pendekatan yang berfokus pada peningkatan kapasitas di tingkat komunitas dan nonindividual. Secara literal,sustainable community mungkin bisa diterjemahkan sebagai komunitas berkelanjutan. Istilah komunitas berkelanjutan dikaitkan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang ditegaskan PBB melalui World Summit 2005.
Pembangunan berkelanjutan digagas para praktisi dan akademisi dunia yang melihat kegagalan perspektif paham pembangunan yang hanya berdimensi ekonomi. Paham pembangunan sendiri secara nyata melahirkan persoalan kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, dan kerusakan tata sosial lokal. Pembangunan berkelanjutan adalah konsep besar yang diharapkan menjadi strategi nasional dan global.

Komunitas berkelanjutan sendiri bisa didefinisikan melalui adanya kemandirian dan prestasi ekonomi dengan menciptakan mekanisme sosial mengenai pencapaian kesejahteraan secara berkelanjutan. Komunitas berkelanjutan sebagai strategi pembangunan berhasil dilaksanakan negara-negara maju seperti Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Komunitas berkelanjutan merupakan kondisi ideal yang harus direalisasikan melalui strategi komprehensif yang pada praktiknya melibatkan agensi-agensi di luar komunitas. Langkah awal dalam strategi komprehensif ini adalah menentukan agensi apa saja yang bertanggung jawab menciptakan komunitas berkelanjutan? Tiga komponen pembangunan biasanya menunjuk pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta adalah agensi-agensi yang bertanggung jawab.
Larry Diamond (2003) membuktikan bahwa keberhasilan demokrasi, termasuk pembangunan sosial ekonomi, 70% terjadi di negara demokratis yang kecil lingkup wilayahnya. Hal ini mendorong konsep demokrasi daerah sebagaimana telah dilaksanakan Indonesia semenjak 1999 melalui otonomi daerah tingkat kabupaten/ kota madya.
Strategi Komprehensif
Agensi yang bertanggung jawab terhadap terciptanya komunitas berkelanjutan pada gilirannya berada di tingkat daerah.Tidak semua agensi di tingkat daerah telah memiliki konsep komunitas berkelanjutan, terutamadipemerintah daerah dan swasta. Masyarakat sipil terutama sebagian kalangan lembaga pemberdayaan masyarakat (NGO) sudah mengenali gagasan komunitas berkelanjutan.
Walaupun demikian,perealisasiansatukomunitas berkelanjutan sulit tanpa kerja bersama pemerintah dan swasta. Ketiga komponen penanggung jawab dalam pembentukan komunitas berkelanjutan secara garis besar akan berbagi tugas dalam dua dimensi.Pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan struktur kondusif berkaitan dengan praktik ekonomi komunitas berkelanjutan.
Struktur kondusif ini bisa berbentuk sistem kredit lunak yang disediakan khusus bagi kalangan usaha kecil. Salah satu halangan umum yang terjadi dalam proses ekonomi adalah belum adanya sistem kredit lunak yang bisa membantu permodalan kalangan usaha kecil. Swasta dan masyarakat sipil bertanggung jawab dalam dimensi peningkatan kapasitas komunitas.
Dalam konteks keberlanjutan ekonomi agensi swasta, terutama tingkat menengah atas, yang telah mapan bertanggung jawab dalam melakukan asistensi bisnis. Mereka memiliki tenaga-tenaga ahli yang bisa menyumbangkan keahlian manajemen bisnis, proses produksi yang efektif bagi tuntutan pasar, dan strategi pemasaran.
Pada saat bersamaan masyarakat sipil seperti NGOs bertanggung jawab dalam mengonsolidasikan mekanisme sosial komunitas dari pendirian organisasi, aturan-aturan kolektif berkaitan dengan aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi seperti pengaturan bentuk aktivitas ekonomi di antara anggota sampai pengaturan isu persaingan. NGOs dan agensi swasta bekerja sama dalam membuka pasar bagi berbagai produk komunitas.
Proses asistensi dari berbagai agensi pembangunan ini disebut berhasil tatkala tercipta komunitas yang telah mampu menciptakan aktivitas sosial ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan.Terbentuknya komunitas berkelanjutan dengan kemandirian aktivitas sosial ekonomi masih memerlukan kondisi umum sosial, yaitu koneksitas komunitas.Koneksitas komunitas merujuk pada hubungan sosial di antara lintas komunitas berkelanjutan dalam bentuk intensitas kontak sosial dan keterlibatan dalam asosiasi.
Kontak sosial dan asosiasi di antara anggota komunitas berkelanjutan memberi kemungkinan munculnya praktek kerja sama dalam isuisu konstruktif,seperti isu lingkungan dan berkembangnya pasar baru di antara komunitas sendiri.Kondisi ini akan memberi kekuatan kemandirian dan keberlanjutan komunitas.
Gagasan sustainable community dalam konteks ini adalah strategi jangka panjang dalam menghadapi fakta krisis sosial-ekonomi di negara ini.Kenaikan harga BBM adalah kondisi berat bagi seluruh bangsa Indonesia. Idealnya,BBM harus dalam jangkauan konsumsi masyarakat.
Walaupun demikian, selain menilai dan mengoreksi kebijakan pencabutan subsidi BBM ini, seluruh elemen bangsa Indonesia perlu juga memikirkan alternatif gerakan menjawab fakta krisis sosial ekonomi saat ini.Salah satunya dengan bekerja sama dalam menciptakan komunitas berkelanjutan di Indonesia.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/ide-sustainable-community
Novri Susan Sosiolog Universitas Airlangga

Jumat, 06 Juni 2008

Aku Bermimpi Jadi Koruptor


Oleh: Kwik Kian Gie


AKHIR-akhir ini media massa, seminar, diskusi, konferensi pers, talk show, ngerumpi, dan pembicaraan di warung-warung gegap gempita dengan topik KKN. Terpilihnya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR diberitakan secara hiruk-pikuk pula. Saya sempat berpikir apakah KPK akan efektif karena modus operandi korupsi yang begitu beragam.
Lagi pula, moral dan mental yang sudah rusak tidak termasuk dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi, kalau diibaratkan pohon, KPK hanya menangani daun yang rusak karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu akan bermunculan daun-daun yang rusak. Mengobati akar atau kalau sudah tidak bisa membunuhnya saja, tidak termasuk domain KPK.
Karena intensnya dikonfrontasi dengan topik KKN seperti ini, saya tertimpa mimpi. Dalam mimpi itu saya menjadi koruptor. Saya menguasai betul berbagai cara berkorupsi, dari yang paling kotor sampai yang paling canggih. Maka, saya menjadi orang sangat kaya. Rasanya tidak seorang pun yang mempunyai gambaran betapa besar kekayaan yang saya peroleh dari korupsi. Semuanya bisa dibeli dengan uang, juga hukum. Maka, dalam salah satu pesta ketika saya mabuk, saya berkata, "I am the Lord, I am the law, and I am the richest man in Indonesia."
MIMPI selalu kacau. Dalam melakukan korupsi saya terkadang menjadi penguasa, terkadang pengusaha, terkadang pegawai negeri rendahan, terkadang pengusaha besar, tukang parkir, dan apa saja yang mempunyai kekuasaan. Kekuasaan adalah modal dasar korupsi.
Sebagai pengusaha saya menyalahgunakan semua celah yang ada. Yang paling mudah dan sederhana adalah menjadi rekanan dan pemasok kepada pemerintah. Pemerintah membutuhkan barang dan jasa. Setiap tahunnya membelanjakan jumlah uang yang luar biasa besarnya. Caranya adalah kongkalikong dengan pejabat yang mempunyai wewenang untuk membeli barang dan jasa untuk kebutuhan kementerian atau badan pemerintah yang dipimpinnya. Harga saya naikkan berkali lipat dan selisihnya saya bagi dengan sang pejabat. Hasilnya lumayan, tetapi saingannya berat, karena banyak sekali yang melakukan hal ini.
Konsepnya terlampau mudah. Meski demikian, saya sudah tidak melakukannya sendiri. Saya sudah mempunyai banyak pegawai tingkat tinggi yang tidak memalukan kalau saya suruh bergaul dengan para pejabat yang rata-rata sarjana. Merekalah yang melayani pejabat habis- habisan, dari melayani istri dan anak- anaknya sampai mengantarkan sambil membayari mereka berbelanja. Bahkan, mereka sampai berfungsi sebagai pembantu rumah tangga sang pejabat.
Modal utama cara berbisnis seperti ini adalah rai gedhek, mental budak, dan tahan ngelesot berhari-hari sambil sering berfungsi sebagai badut. Usaha ini yang dilakukan pegawai-pegawai saya berjalan terus. Saya sendiri meningkatkan diri dalam berkreasi dan inovasi konsep-konsep yang lebih canggih.
Setiap zaman saya memberi peluang KKN yang bentuknya lain. Sejak tahun enam puluhan saya sudah melakukan banyak cara. Semuanya saya lakukan dalam mimpi juga, yang ketika itu saya bermimpi menjadi konglomerat. Berbagai modus operandi sudah saya tulis dalam berbagai artikel yang dihimpun dalam buku kecil dengan judul Saya Bermimpi Jadi Konglomerat.
DALAM mimpiku sekarang aku untung besar dengan hanya ongkang-ongkang saja. Pemerintah bermaksud meningkatkan ekspor (export drive). Caranya memberikan kredit murah dengan bunga 12 persen setahun asalkan kreditnya dipakai untuk membiayai kegiatan ekspor. Bunga deposito ketika itu 22 persen setahun. Saya mengajukan permohonan kredit ekspor dengan rencana ekspor yang meyakinkan. Feasibility study dibuat oleh konsultan asing dan ditulis dalam bahasa Inggris. Pejabat tinggi kita menganggap apa saja yang asing dan dalam bahasa Inggris mesti lebih benar dan lebih pandai. Demikian juga laporan keuangan saya juga seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris setelah diaudit oleh kantor akuntan yang termasuk big five di dunia.
Segera saja kreditnya cair. Tentu dengan uang suap seperlunya. Kegiatan ekspor juga saya laksanakan. Hanya yang saya ekspor gombal, kain pel, potongan- potongan sisa tekstil untuk membuat pakaian jadi. Barang-barang ini diekspor kepada perusahaan saya sendiri di Singapura. Setibanya, barang-barang itu langsung dibuang. Jadi tidak ada penggunaan uang dari kredit ekspor untuk ekspor beneran. Namun, saya dapat memperlihatkan semua dokumen ekspor. Kredit dengan bunga 12 persen saya depositokan dengan bunga 22 persen. Kredit yang saya peroleh Rp 500 miliar. Dalam setahun saya mendapatkan pendapatan bersih (setelah dipotong pajak) sebesar Rp 93,5 miliar, yaitu 22 persen dari Rp 500 miliar dipotong pajak sebesar 15 persen. Bunga yang harus saya bayarkan kepada bank BUMN sebesar 12 persen dari Rp 500 miliar atau Rp 60 miliar. Saya untung Rp 33,5 miliar for doing nothing.
Yang paling hebat adalah ketika ketahuan dan diberitakan di media massa. BI menyatakan tidak ada yang dirugikan karena saya membayar utang pokoknya tepat waktu. Demikian juga dengan bunga sebesar 12 persen setahun yang mereka tentukan. Hi-hi, mereka tidak peduli bahwa tujuan meningkatkan ekspor tidak tercapai. Jelas mereka membodohkan diri sendiri, menjadikan dirinya sendiri "teh botol" (teknokrat bodoh dan tolol) karena saya sogok. Sambil melakukan ini terus, melalui asosiasi perusahaan, dengan kawan-kawan saya kampanye antisuap. Media massa memberitakannya besar-besar tanpa kritik karena penyuapan cara halus yang dinamakan public relations saya cukup canggih.
DALAM bidang transportasi darat Indonesia sangat ketinggalan. Praktis tidak ada jalan-jalan raya yang bebas hambatan (highway atau free way). Bayangkan, jalan raya sepanjang Pulau Jawa yang membangun adalah Daendels. Dalam kemerdekaan yang 58 tahun itu kita tidak mampu membangun jalan raya dari pulau yang paling padat. Sekarang keuangan negara bangkrut-krut. Pemerintah dalam arti APBN tidak mempunyai uang. Namun, bank-bank BUMN banyak duitnya.
Saya usulkan supaya saya diberi izin membangun jalan tol swasta yang milik saya. Modal yang dibutuhkan tentu sangat besar. Dengan menyogok seperlunya, saya memperoleh 100 persen dari dana yang dibutuhkan untuk membangun jalan tol tersebut. Biayanya Rp 800 miliar. Dengan kredit Rp 800 miliar jadilah jalan tol. Begitu dipakai, pemakainya membayar tol fee secara tunai. Pemasukan uang ini dibagi 40 persen untuk saya dan 60 persen untuk membayar cicilan utang serta bunganya. Jadi begitu jalan tol selesai, arus uang tunai serta-merta masuk ke kantong saya tanpa modal sama sekali.
Utang saya beserta bunganya juga serta-merta dicicil dari pemasukan tol fee yang tunai. Saya membuat proyeksi tentang berapa tahun sejak dimulainya utang akan lunas, misalnya 15 tahun. Lantas saya umumkan bahwa setelah 15 tahun, jalan tol saya hibahkan kepada pemerintah. Bukankah luar biasa cemerlangnya saya?
Tidak. Seperti saya katakan, tidak semua birokrat tingkat tinggi "teh botol". Mereka tahu bahwa semuanya dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri. Namun, saya sogok plus saya berikan segala argumentasinya, seperti jalan tol itu perlu, pemerintah tak punya uang, dan yang terpenting ideologinya bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur memiliki barang, seperti jalan tol sekalipun. Saya jelaskan bahwa ini aliran pikiran yang modern yang menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar. Mereka dan publik memakan teori ini.
Saya tertawa geli lagi karena ini bukan teori baru. Adam Smith yang mengenali berlakunya mekanisme pasar, adanya invisible hands yang mengaturnya. Namun, hal itu sudah lama ketinggalan zaman karena ditulisnya pada tahun 1776. Intinya masih berlaku, tetapi tidak untuk barang publik, melainkan untuk barang-barang kelontong yang bisa dipersaingkan dan tidak vital sifatnya. Jalan tol mengandung monopoli natural karena ruangnya untuk jalan tol untuk ruas tertentu hanya satu. Mengapa harus diberikan kepada saya? Karena saya sogok! Namun, justifikasinya berbagai argumen yang ternyata ditelan dengan fanatik karena yang berkuasa ketika itu "teh botol".
PARALEL dengan ide tentang jalan tol ini, berbagai gedung pencakar langit saya beli. Gedung bank BUMN saya beli dengan uang yang 100 persen milik bank itu sendiri. Saya memperoleh pinjaman dari bank BUMN yang bersangkutan. Gedungnya saya beli. Karena gedung sudah milik saya, bank harus membayar sewa kepada saya. Perolehan pembayaran sewa ini saya pakai untuk mencicil utang pokok beserta bunganya dalam bentuk anuitas. Jumlah anuitasnya saya samakan dengan uang sewa yang saya terima. Dengan demikian, setelah sekian tahun gedung yang segitu besarnya milik saya. Mulai saat itu hasil sewa sepenuhnya saya nikmati karena utang sudah lunas sama sekali.
Bayangkan, berapa besar pendapatan saya karena yang saya begitukan bukan hanya satu gedung. Masa pimpinan bank begitu bodoh? Tidak, tetapi menjadi bodoh karena cemerlangnya pikiran saya ditambah dengan perolehan uang banyak dari persekongkolan dengan saya.
INDONESIA sudah maju, mempunyai banyak perusahaan asuransi, antara lain asuransi jiwa. Kalau tertanggung mati, ahli warisnya mendapat santunan besar. Saya menciptakan orang-orang yang tidak ada. Jadi, saya menciptakan tertanggung fiktif yang tempat tinggalnya di daerah-daerah yang sangat terpencil. Setelah membayar premi beberapa kali saja, saya menciptakan dokumen aspal tentang kematian tertanggung yang memang tidak ada. Ahli warisnya orang-orang saya semua.
Masih banyak lagi cara-cara membobol perusahaan asuransi. Tentu orang dalam perusahaan asuransi harus ikut di dalam komplotan ini supaya tidak meneliti lagi. Maka, hampir semua perusahaan asuransi modal ekuitinya negatif.
Ketika ramai dibicarakan tentang adanya kemungkinan pemalsuan uang, bukan hanya satu pihak saja yang terlibat, seperti yang bahkan disebut namanya di surat kabar. Saya melakukannya juga. Uang palsu saya tidak pernah ketahuan karena tidak pernah beredar. Uang yang saya palsu senantiasa mengendap di kas sebagai iron stock atau persediaan minimum untuk menjaga keamanan likuiditas. Jadi, saya mencetak uang palsu.
Uang ini saya tukar dengan uang yang harus selalu ada, tetapi nyatanya tidak pernah beredar karena setiap bank harus mempunyai persediaan minimal. Dengan demikian tidak akan pernah diketahui kecuali kalau akuntan publik mengauditnya dengan mencatat nomor seri uang dan selanjutnya mengamati apakah uang dengan nomor seri tertentu itu terus-menerus mengendap di kas. Akuntan publik tidak sampai ke sana pikirannya.
Masih banyak lagi yang saya lakukan dalam mimpi. Akan saya lanjutkan dalam mimpi berikutnya.

Memperkuat Kembali Sistem Pangan Lokal

oleh: Witoro

Pada tahun 2002, sebanyak 815 juta manusia di negara berkembang masih menghadapi kelaparan, 300 juta di antaranya adalah anak-anak. Mereka bergulat melawan rasa lapar dan menghadapi serangan berbagai penyakit akibat kurang gizi bahkan ancaman kematian. Satu dari tiap lima penduduk dunia menderita kekurangan gizi. Sekitar 777 juta orang mengalami kelangkaan pangan, yang tinggal selangkah lagi masuk kategori menderita kelaparan.
( World Food Summit: ''Five Years Later'', Menghapus Kemiskinan adalah Melawan Ketidakadilan, Kompas, 17 /6/02)

Problema Pangan dan Pertanian
Penyebab besarnya jumlah orang lapar di dunia dan juga penduduk miskin dikarenakan pasar global untuk komoditas pertanian masih saja belum adil. Dari tahun 1999 sampai 2000, bantuan berkonsesi dari negara maju dan pinjaman dari lembaga keuangan internasional turun 50 persen yang pertanian yang merupakan gantungan hidup 70 persen masyarakat miskin dunia.
Oleh karena kurangnya komitmen tersebut, jumlah orang yang kekurangan makan hanya berkurang enam juta orang per tahun dari target 22 juta orang seperti yang dideklarasikan tahun 1996. Dengan kecepatan pengurangan yang berjalan lambat itu, maka target 400 juta orang miskin dan lapar bisa diperbaiki kesejahteraannya, baru akan tercapai 45 tahun lagi (Kompas, Senin, 17 Juni 2002, World Food Summit dan Ketahanan Pangan)
Carut marut problema pangan dan pertanian di atas disebabkan oleh berbagai aspek yang saling terkait dan mempengaruhi. Penyebab kurang pangan disebabkan antara lain karena ketiadaan akses terhadap sumber-sumber produksi pangan seperti tanah, air, input pertanian, modal, dan teknologi. Di negara-negara sedang berkembang, penyebab utama rawan pangan adalah lemahnya akses terhadap tanah untuk memproduksi pangan ( Seeds of Hope: Feeding the World Through Community-Based Food Systems, Salzburg Seminar 398, © 2002, W.K. KELLOGG FOUNDATION)
Cara Pandang Keberlanjutan
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami masalah pangan dan kemiskinan secara menyeluruh adalah dengan menggunakan kerangka kerja sustainable livelihood yang dikembangkan oleh DfID (1999) dan konsep entitlement yang diperkenalkan Amartya Sen (1981). Seperti semua kerangka kerja lainnya, bentuk ini merupakan penyederhanaan atas keragaman dan kekayaan mengenai penghidupan.
Dalam bentuk paling sederhana, kerangka kerja ini menggambarkan manusia (individu maupun kelompok) merupakan penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman. Manusia dalam hal ini memiliki akses terhadap berbagai aset produktif yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan hidup lainnya.
Chambers dan Conway (1992) mendefinisikan penghidupan berkelanjutan sebagai: “suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kecakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, claims dan akses) dan kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana untuk hidup: suatu penghidupan dikatakan berkelanjutan jika dapat mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan dan bencana, menjaga atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset, dan menyediakan penghidupan berkelanjutan untuk generasi berikutnya; dan yang memberi sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada tingkat lokal dan global dalam jangka pendek maupun jangka panjang.”
Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial yang lebih tinggi di dalam upayanya mengembangkan kehidupannya yaitu : humane capital, social capital, natural capital, physical capital dan financial capital.
Hubungan individu atau unit sosial yang lebih tinggi terhadap pangan didasarkan pada konsep entitlement atau hak terhadap pangan. Dalam konsep ini, memproduksi dan mendapatkan pangan bagi manusia adalah hak asasi yang tampak dalam beberapa cara manusia dalam mengakses pangan yaitu: direct entitlement, exchange entitlement, trade entitlement, dan social entitlement.
Sistem pangan individu, keluarga atau masyarakat yang lebih luas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis. Dinamika ini antara lain dipengaruhi oleh tingkat kerentanan (vulnerability) dan kemampuan individu atau unit sosial yang lebih besar dalam menghadapi perubahan. Perubahan itu antara lain shock perubahan mendadak dan tidak terduga, Trend perubahan yang masih dapat diamati dan Seasonality atau musiman yang dapat diperkirakan dengan hampir pasti.
Setiap individu dan unit sosial yang lebih besar mengembangkan sistem penyesuaian diri dalam merespon perubahan tersebut. Renspon itu bersifat jangka pendek yang disebut coping mechanism atau yang lebih jangka panjang yang disebut adaptive mechanism.
Mekanisme dalam menghadapi perubahan dalam jangka pendek terutama bertujuan untuk mengakses pangan (entitlement), sedangkan jangka panjang bertujuan untuk memperkuat sumber-sumber kehidupannya (livelihood assets). Ketidakmampuan menyesuaikan diri dalam jangka pendek akan membawa ke kondisi rawan pangan. Penyesuaian rawan pangan yang tidak memperhitungkan aspek penguatan sumber-sumber kehidupan dalam jangka panjang justru tidak akan menjamin keberlanjutan ketahanan pangan individu maupun unit sosial yang lebih tinggi.
Peminggiran Sistem Pangan Lokal Situasi dan kondisi individu, keluarga, masyarakat maupun unit sosial yang lebih tinggi terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor dari luar. Sistem pangan sangat dipengaruhi oleh struktur (institusi dan tingkatannya) dan proses (kebijakan) di dalam sistem tersebut. Pendekatan Sustainable Livelihood menekankan pemahaman akan keterkaitan antara persoalan mikro dan makro.
Secara mikro sebenarnya sistem pertanian ladang dan sawah menjadi andalan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pangan ini. Sebagaimana tampak dalam sejarah pertanian Indonesia. Meskipun tidak pernah mendapat perhatian semua penguasa di Indonesia namun demikian masih terus bertahan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup.
Sejarah pertanian Indonesia sudah dimulai jauh sebelum penjajah datang. Ladang sebagai bentuk miniatur hutan tropis telah lama dikembangkan. Begitu juga dengan model sawah, yang tampak dari pusat2 pengembangan kerajaan. Kehadiran Belanda ke Indonesia, khususnya Jawa, adalah untuk memperoleh produk pertanian yang dapat dijual di pasaran Dunia. Terjadilah proses kemerosotan usaha tani subsiten pada periode tanam paksa hingga Indonesia merdeka. Upaya radikal mengubah keadaan ini lewat UUPA tahun 60 kandas bersama dengan tumbangnya orde lama. Kolonialisme itu kembali lagi dalam wajah barunya dengan semakin memerosotkan akses rakyat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi alat produksi paling penting bagi usaha tani tanaman pangan rakyat.
Contoh paling kuat adalah, Revolusi Hijau yang tidak ditujukan untuk memperkuat sistem pangan lokal yang telah berkembang sebelumnya. Bersamaan dengan itu pemerintah Orde Baru juga mengembangkan kebijakan sentralisasi pengelolaan desa yang dilakukan dengan melakukan pengaturan-pengaturan berkaitan dengan kedudukan desa yang berarti merampas otonomi desa.
Gejala yang Mendunia
Dalam tataran makro persoalan pangan dan pertanian yang dihadapi Indonesia saat ini juga tidak dapat dilepaskan dari proses liberalisasi perdagangan dunia. Liberalisasi perdagangan mengubah fungsi pangan yang multi dimensi menjadi sekadar komoditas perdagangan.
Bahkan WTO – Badan Perdagangan Dunia - mengartikan ketahanan pangan sebagai “ketersediaan pangan di pasar”. Konsep ini dalam praktiknya memaksa rakyat di negara-negara sedang berkembang untuk memenuhi pangan yang akan dipenuhi oleh negara-negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pangan telah menjadi bagian dari skema besar liberalisasi perdagangan.
Kuatnya tekanan dari luar dan lemahnya posisi tawar Indonesia menyebabkan Indonesia menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan pangan. Liberalisasi ini diwujudkan antara lain dalam pencabutan subsidi untuk petani, privatisasi badan usaha logistik dan penurunan tarif impor produk pangan. Kebijakan pangan nasional dengan demikian mengabaikan potensi dan kemampuan rakyat dalam mengelola sistem pangan mereka secara mandiri.
Upaya internasional untuk mengatasi persoalan pangan sebenarnya sudah tercermin sejak World Food Sumit tahun 1974 dan 1996. Bahkan para pemimpin dunia yang hadir dalam WFS tahun 1996 (kembali) mendeklarasikan bersama untuk “mencapai ketahanan pangan bagi setiap orang dan melanjutkan upaya untuk menghilangkan kelaparan di seluruh negara”.
Ketahanan pangan dalam hal ini diartikan sebagai kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Namun nyatanya situasi pangan dunia lima tahun setelah Konferensi Pangan Dunia tahun 1996 terlihat tidak menunjukkan perkembangan sesuai yang diharapkan
Kedaulatan Pangan
Sistem pangan nasional (swasembada pangan nasional) dan sistem pangan global (liberarlisasi perdagangan dunia) tidak dapat menjamin terpenuhinya hak rakyat atas pangan secara berkelanjutan. Kesadaran ini kemudian mendorong beberapa kalangan untuk menengok kembali system pangan lokal yang telah berkembang jauh sebelumnya dan menjadi fondasi sistem pangan rakyat.
Meskipun ditelantarkan oleh hampir semua penguasa di Indonesia namun ratusan ribu komunitas yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara memiliki sistem pangannya masing-masing yang khas serta jenis tanaman pangan yang beragam yang dibudidayakan di ladang maupun di sawah. Setiap komunitas yang telah bertani menetap, mengembangkan sendiri sistem pengelolaan sumber-sumber agraria, inovasi dalam pembenihan dan teknik bercocok tanam, pengembangan infrastruktur, penyimpanan, distribusi atau perdagangan, maupun dalam mengolah pangannya.
Kenyataan di atas menunjukkan perlunya perubahan secara mendasar dan menyeluruh yang tercermin dalam konsep Kedaulatan Pangan (Konsep ini digagas di Indoensia secara khusus oleh Koalisi rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) selengkapnya hubungan penulis di nastari-bogor@indo.net.id. Konsep ini memungkinkan petani perempuan dan laki-laki berperan aktif dan produktif dalam menciptakan sistem pertanian berkelanjutan berdasarkan pada sumberdaya dan kearifan lokal tanpa diskriminasi, di atas kepentingan perdagangan.
Jelas bahwa konsep ini berbeda dengan konsep ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi dan hak rakyat atas sumberdaya produktif. Dalam konsep kedaulatan pangan, hak rakyat tidak terbatas pada akses untuk memperoleh pangan tetapi juga hak untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan.
Mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, maka untuk untuk mewujudkannya diperlukan keterlibatan rakyat dalam penentuan kebijakan terkait dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi pangan. Dalam kerangka itu pula maka saat ini sebenarnya peluang untuk pengembangan sistem pangan lokal mendapatkan momen yang tepat seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang bergulir sejak tahun 1999. Kebijakan ini memberi harapan terhadap perubahan paradigma pembangunan yang sentralistis menjadi desentralistis dan demokratis. Wacana ini juga mencakup Otonomi Desa Murni, di mana pemerintahan desa akan memainkan peran utama dalam proses pembangunan.
Hal penting yang terkandung dalam otonomi desa adalah kewenangan dalam mengelola berbagai sumberdaya desa agar dapat memenuhi kebutuhan, memperoleh pendapatan dan memenuhi kebutuhan lainnya.. Di antara berbagai aset desa, aset sosial merupakan aset paling penting bagi berkembangnya otonomi desa.
Pengalaman The International Center for Tropical Agriculture (CIAT) di Kolumbia, Amerika selatan dalam mendampingi komunitas dan membantu petani lokal meningkatkan produksi pangan dengan memberdayakan mereka melalui riset dan menentukan sendiri teknologi dan praktek pertanian baru. Konsep yang digunakan CIAL berkembang cepat di America Latin sejak dimulai tahun 1990 dengan lima CIAL. Tahun 2001, telah berkembang lebih dari 250 CIAL di in delapan negara Amerika Latin. Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan lokal inilah yang sangat mungkin dapat mengatasi persoalan pangan pada tingkat komunitas. “ Community-based food system menawarkan kepada rakyat suatu peluang di mana mereka dapat meningkatkan pendapatan, penghidupan mereka, dan dan kapasitas untuk memproduksi, dan secara mendasar suatu jalan lapang di mana mereka dapat menjamin ketahanan pangan mereka pada masa mendatang.”
referensi Sen, Amartya, 1981, Poverty and Famines, An Essay on Entitlement and Deprivation. Chambers, R. and G. Conway (1992) Sustainable rural livelihoods: Practical concepts for the 21 st century.IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS. (pp.7-8)

PERTANIAN ORGANIK : Pertanian Masa Depan yang Menjanjikan

oleh: Indro Surono

Dewasa ini pertanian organik (PO) berkembang cukup pesat di Indonesia. Ini merupakan salah satu ptanda positif bahwa PO mulai mendapat tempat di hati masyarakat, baik produsen maupun konsumen.Namun, demikian perkembangan yang positif ini perlu dicermati agar tidak memunculkan bias-bias yang justru merugikan kehidupan di masa depan. Di sisi lain, kendala pengembangan PO di Indonesia juga masih besar, bahkan lebih besar dibandingkan laju perkembangannya. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga tak heran jika sampai kini PO masih menjadi wacana marjinal dan diragukan kemungkinannya sebagai pertanian masa depan yang menjanjikan.
Faktor Penunjang PO
Perkembangan PO di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan PO dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utaman PO domestik adalah karena tingginya permintaan PO di negara-negara maju. Tingginya permintaan PO di negara-negara maju dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk PO), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, (7) adanya kampanye nasional PO secara gencar (Hamm, 2000).
Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan PO dunia mencapai 15-20% pertahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa penambahan luas areal PO terus meningkat dari rata-rata dibawah 1% (dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7% di tahun 1997 (tertinggi di Austria mencapai 10,12%), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2000). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk PO dari negara-negara berkembang.
Selain faktor di atas, perkembangan PO di Indonesia juga didorong oleh munculnya keadaran konsumen akan pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Sebagian lagi, didorong oleh kampanye dan advokasi aktivis LSM baik dalam isu lingkungan maupun pendampingan petani. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran untuk menerapkan PO, terutama di basis yang didampingi LSM atau area yang belum tersentuh kebijakan Revolusi Hijau.
PO, Malthusianisme dan Reduksionisme
Dibalik kabar baik mengenai PO sebagaimana disebut dimuka, secara obyektif masih banyak kendala dalam pengembangannya. Bahkan, kendala ini masih lebih besar dan kuat dibanding kemajuannya. Secara faktual pelaku PO masih sangat sedikit di seluruh dunia, yakni kurang dari 2 % terhadap seluruh pelaku pertanian yang ada.
Kendala yang ada jika ditilik lebih jauh, ada yang berakar dari kesangsian mengenai kemampuan PO dalam memecahkan persoalan pemenuhan pangan dan keberlanjutan kehidupan. Argumen pertama yang biasa mengemuka adalah anggapan bahwa produktivitas PO rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Argumen kedua, PO dianggap sebagai pertanian masa lalu yang tidak produktif dan di tingkat tertentu anti teknologi. Argumen ketiga, PO tidak layak secara ekonomis dan karenanya tidak menguntungkan.
Kesangsian PO tidak mampu menyelesaikan persoalan kebutuhan pangan sudah menjadi perdebatan lama. Menurut para birokrat, akademisi dan pengambil keputusan publik, PO secara teknis dianggap tidak mampu memberikan produktivitas hasil yang tinggi, sehingga tidak bisa menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi manusia. Jika dilihat lebih dalam, pemikiran ini beranjak dari ?kekuatiran Malthusian? yang menganggap bahwa pertambahan manusia lebih cepat daripada laju pangan. Kekuatiran inilah yang mendasari pencarian teknologi yang mampu melipatgandakan hasil pangan dan pertanian.
Namun, teknologi yang berkembang kemudian justru teknologi yang menjadikan produktivitas sebagai tujuan utama pertanian, dengan mangabaikan tujuan lain. Hal ini nampak jelas, dalam program Revolusi Hijau, dimana selain hasil yang tinggi, faktor lingkungan, kenekaragaman hayati, konservasi dan keselamatan keberlanjutan pertanian diabaikan.
Pemujaan produktivitas yang berlebihan dengan meletakkan benih unggul, pupuk dan pestisida sebagai determinan kunci pada gilirannya melupakan bahwa persoalan pangan bukan semata soal produktivitas, tetapi juga soal manajemen institusi menyangkut distribusi, pengairan, inovasi teknologi lain dsb. Amartya Sen, ekonom India penerima nobel, dalam satu stusi kasusnya di tahun 1980-an menemukan satu daerah di India mengalami kelaparan hebat, tetapi di daerah lain berkelimpahan pangan. Terbukti kelaparan, menurutnya, bukan soal sekedar kelangkaan pangan (karena teknologi rendah), tetapi juga soal kepemilikan dan akses terhadapnya (Wacana ELSPPAT, edisi 3, 1996).
Syarifuddin Karama, staf ahli Menteri Pertanian RI, dalam Seminar Standarisasi PO di Bogor Juli 2001, pernah menyebutkan adanya inefisiensi pengelolaan irigasi Indonesia. Efektivitas pengairan di Indonesia hanya sekitar 15% pada musim hujan, dan 4% pada musim kemarau. Sementara di India, baik musim hujan dan kemarau efektivitasnya mencapai 40%. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung per ha di India mencapai 10 ton, sedang ubi kayu mencapai 60 ton per ha. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4 ton/ha untuk jagung dan 15 ton/ha untuk ubi kayu. Jelas, perbaikan manejemen irigasi mampu meningkatkan produktivitas tanpa harus mengubah perlakuan pemupukan.
Penemuan system rice of intensification (SRI) oleh Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha, bahkan diantaranya ada yang mampu mencapai 10-15 ton per ha. SRI tidak mensyaratkan benih unggul atau pemupukan intensif, tetapi lebih menekankan pada perlakuan transplantasi bibit, jarak tanam, dan waktu pengairan yang tepat berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kehidupan tanaman padi (ECHO Development Note, Issue 70, Januari 2001). Artinya, inovasi teknologi seperti ini mampu mengatasi pesimisme Malthusian.
PO Anti Teknologi?
Argumen bahwa PO adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif, berakar dari cara pandang modernisme. Sekarang ini ada tuduhan, bahwa kearifan tradisional (pertanian cara lama) adalah anti teknologi (modern), sehingga menganjurkan PO seolah identik dengan anti teknologi dan menghambat kemajuan. Bahwa dalam praktek pertanian tradisional (PO) ada faktor inefisiensi adalah hal yang wajar. Tetapi, mengabaikan faktor kearifan lokal, budaya dan tujuan non produktivitas adalah solusi yang tidak bijak.
Perlu diluruskan juga, bahwa PO tidak anti teknologi. Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheula dan mau kembali ke tradisi kuno. Namun, pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta. Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam PO, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam, dibandingkan karena teknologinya.
PO Tidak Menguntungkan ?
Argumentasi lain menyangkut pesimisme PO adalah karena usaha PO dianggap tidak menguntungkan. Memang dalam jangka pendek, PO dengan kondisi teknologi yang sama sementara perlakuan pemupukan lebih rendah, akan memberikan hasil kurang optimal dibanding budidaya konvensional. Tetapi jika dikombinasikan pemakaian pupuk organik, pengendalaian organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi (seperti SRI, misalnya) yang tepat akan mampu memberikan hasil yang relatif sama. Yang pasti, dalam jangka panjang PO memberikan jaminan akan kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik. Pengalaman Yayasan Bina Sarana Bakti, di Cisarua telah membuktikan hal ini setelah 15 tahun bergelut di bidang PO.
Ilustrasi dalam bagian pertama tulisan ini telah mengindikasikan bahwa ketika permintaan meningkat maka nilai keuntungan akan membayanginya. Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk PO sekarang menjadi produk eksotis yang dicari. Dengan banyakya permintaan otomatis nilai jual ekonomis produk PO ikut naik. Inilah daya tarik PO dunia sekarang ini.
Jadi, keraguan bahwa PO tidak menguntungkan secara ekonomis, dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen. Maka tidak mengherankan jika sekarang mulai bermunculan pengusaha PO skala besar di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatra dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi.
Bisnis sebagai Ancaman
Terlepas bahwa mayoritas orang Indonesia, utamanya para birokrat, peneliti dan pengambil keputusan politik pertanian masih menyangsikan PO, secara nyata PO mulai bermunculan. Dan, pemicu utamanya adalah keuntungan ekonomis. Bisnis PO semakin banyak karena menyimpan keuntungan besar. Sebenarnya kalangan birokrat sekarang pun mulai melirik PO, tetapi yang menggerakkan mereka bukan soal kesadaran ekologis tetapi lebih karena negara maju banyak yang mencari. Artinya peluang meraup devisa.
Sebenarnya bisnis dalam PO sama saja bisnis di tempat lain. Yang dicari: keuntungan Soal lingkungan menjadi sehat adalah ?bonus?. Memang dalam hal ini ?bonus?nya bernilai lebih, karena tidak saja menyerap lapangan kerja baru tapi juga merehabilitasi lingkungan. Dengan demikian bisnis PO memberikan kredit poin tersendiri. Apakah dengan demikian bisnis ini tidak perlu dicermati?
Salah satu watak bisnis kapitalistis adalah kehausannya akan profit yang semakin besar. Sehingga jika ada peluang untuk semakin memperbesar keuntungan, segala cara bisa saja menjadi benar. Kecenderungan ini nampak dari perusahaan-perusahaan besar yang perlahan-lahan mencaplok perusahaan bisnis kecil, dan lama-lama menjadi perusahaan besar skala nasional, dan ujungnya menjadi perusahaan multi nasional. Bidang usahanyapun kian melebar, mulai dari bisnis hulu sampai hilirnya. Contohnya banyak, diantaranya Monsanto, TNC yang tidak saja berbisnis benih tapi juga farmasi/pestisida.
Di sektor PO gejala ini juga sudah terjadi. Di California, misalnya, awalnya PO dikerjakan oleh petani skala kecil dan dijual oleh pedagang dan retail kecil independen. Namun sekarang, Wild Oats, perusahaan ritel skala besar, perlahan-lahan mulai mengambil alih peran pedagang kecil dan diserap kedalam jaringannya. Muncullah monopoli, dimana Wild Oats kini memiliki tak kurang dari 105 supermarket PO di seluruh California (Jolly, 2000). Para pedagang kecil jika mau bertahan harus bergabung ke Wild Oats. Tak terasa telah terjadi marjinalisasi industri kecil PO oleh konglomerat besar. Pada gilirannya, kejadian ini tidak saja menyebabkan struktur pasar yang tidak bersaing sempurna (kompetitif) tetapi juga memperlebar jurang distribusi pendapatan kesejahteraan.
Di Indonesia, konglomerat Setiawan Djodi mendirikan Bio-Kantata, sebuah perusahaan pupuk organik di Pasuruan, Jawa Timur. Perusahaan ini bekerjasama dengan kelompok petani, dengan dukungan pupuk dari perusahaan dan menjamin pasarnya, untuk membudidayakan padi organik. Dalam kerjasama ini petani diuntungkan. Kini, perusahaan ini mulai menjalin jaringan kerjasama dengan berbagai kelompok tani di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Nampak semuanya baik-baik saja. Petani diuntungkan, lingkungan juga menjadi sehat. Tetapi, perlu dicermati, ketika suatu perusahaan mengelola sarana produksi, mengkoordinir budidaya dan memasarkan hasil (menguasai hulu sampai hilir) akan memiliki kekuatan yang dominan dalam pengambilan keputusan. Petani kemudian hanya menjadi pelaksana teknis dari agribisnis perusahaan tersebut. Petani menjadi tergantung, karena input dan pasarnya dijamin. Tanpa sadar, petani akan menjadi buruh di lahannya sendiri. Mungkin kesejahteraan petani lebih baik, tetapi situasi ini tidak merubah kondisi petani dari ketergantungan terhadap pihak luar. Struktur pasar yang bersaing sempurna pun menjadi sulit terjadi dalam situasi demikian. Demokrasi ekonomi menjadi utopia dalam kenyataan ini.
Kondisi diatas menyiratkan kekuatiran bahwa PO kedepan (mungkin) hanya akan menyelesaikan persoalan ekologi, tetapi tidak membebaskan petani. Situasinya menjadi tidak berbeda dengan era revolusi hijau, yang membedakan dulu tergantung pada perusahaan input kimia, sekarang pada perusahaan input organik. Selain itu, demokrasi ekonomi juga semakin sulit manakala perusahaan raksasa menguasai hulu hingga hilir seluruh rantai bisnis.
Dalam skala global, kecenderungan TNC untuk melalap semua peluang ekonomi sudah sangat jelas. Modus mereka tidak saja menelan langsung perusahaan kecil di seluruh dunia, tapi juga menggunakan mulut dan tangan pemerintah. Mereka berdiri di belakang perjanjian perdagangan internasional dan kelahiran WTO, berinvestasi jutaan dollar di International Funds Institutions (IFI?s), dengan mendagangkan globalisasi kesejahteraan. Terlepas apapun yang mereka lakukan, yakinlah bahwa profit adalah tujuan utama mereka.
Bisnis PO, sebagaimana di tempat lain, karenanya perlu diawasi. Perkembangan dan perjuangan PO bukan sekedar isu ekologi dan kesejahteraan petani, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal kontrol dan akuntabilitas publik perusahaan swasta besar yang menentukan nasib hidup banyak orang.
Epilog
Pertanian Organik kini masih disangsikan kemampuannya dalam memberikan produktivitas yang tinggi oleh banyak orang dan kalangan. Karenanya tidak dipercaya memecahkan soal pertanian dan kecukupan pangan masa depan. Juga, masih diragukan sebagai peluang bisnis yang menjanjikan di masa kini dan masa depan. Ini wajar, karena belum cukup banyak bukti PO berhasil membuka mata mereka.
Dalam kenyataannya, meski pelan, PO terus bertumbuh. Pendorong utamanya adalah kekuatan bisnis, selain permintaan yang besar. Mengingat watak bisnis kapitalistis yang serakah dan tak kenal henti akan keuntungan, maka bisnis PO perlu diawasi, utamanya yang besar. Persoalan PO kemudian bukan saja soal lingkungan yang lebih baik atau soal kesejahteraan ekonomi petani, tetapi juga menyangkut demokrasi ekonomi.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa perjuangan dan pengembangan PO, bukan sekedar soal bagaimana petani menjadi lebih sejahtera atau lingkungan menjadi sehat, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal merubah paradigma, soal pembebasan manusia. Peduli PO berarti peduli pada seluruh dan kelanjutan kehidupan ° Versi lengkap artikel ini pernah dimuat di bulletin PRO-ORGANIK, Konphalindo tahun 2002
Referensi Hamm, Ulrich, Prof. dan Michelsen, Johannes, PhD. Analysis of the organic food market in Europe. Paper dalam Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. 2000 Jolly, Desmond. From cottage industry to conglomerates: the transformation of the US organic food industry. Paper dalam Prosiding Konferensi Ilmiah IFOAM di Swiss. 2000

Benih Lokal Kekuatan Petani

oleh: Darsini

Uji Coba Padi Lokal
Pada pertengahan tahun 2000 kami mencoba padi Pandan Wangi yang berasal dari Boyolali dengan penerapan pupuk kompos dan pestisida alami. Untuk tahap pertama, kurang berhasil dengan produksi 60-70% dibanding padi unggul. Bila padi unggul produksinya 4,5 – 5 ton/ha, hasil uji coba tahap pertama yang kami lakukan berproduksi sekitar 3,5 – 3,75 ton/ha. Berdasar pengamatan yang kami lakukan, salah satu penyebabnya adalah rendahnya daya tumbuh benih. Benih yang kami peroleh daya tumbuhnya hanya 60%. Dengan pemupukan seperti biasa membuat tanaman padi roboh. Masalah ini kemudian dibahas dalam pertemuan kelompok. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa terlalu banyak menggunakan pupuk kimia akan menjadikan tanaman mudah roboh. Dan disimpulkan bahwa padi Pandan Wangi kurang begitu membutuhkan pupuk kimia seperti halnya padi jenis unggul.
Bersama teman-teman petani tiga kelompok di desa Kedung Poh, pada musim tanam berikutnya mencoba lagi, ternyata hasilnya ada peningkatan dibandingkan uji coba pada tahap pertama. Pemupukan yang dilakukan adalah pupuk dasar kompos, pupuk susulan masih menggunakan pupuk ponska, namun dosisnya diturunkan 50% dari biasa, begitu juga pupuk susulan kedua menggunakan ponska dengan dosis 50% dari biasa. Ternyata hasil panennya sudah mendekati hasil padi unggul. Bila padi unggul di Nglipat dan sekitarnya produksinya saat itu 4,5 – 5 ton/ha, hasil uji coba tahap kedua mencapai 4,5 – 4,65 ton/ha.

Pengembangan kompos dan bakteri stimulan
Karena benih lokal memerlukan banyak pupuk kompos, maka kami bersama kelompok mengembangkan kompos dengan menggunakan bakteri stimulant (penunjang). Ternyata kegiatan ini sangat membantu petani dalam menekan biaya pupuk yang harus dikeluarkan. Pengembangan kompos dijalankan petani secara individu. Bila ada masalah yang timbul dibahas dalam pertemuan kelompok yang secara rutinkami lakukan. Pada tahap awal penerapan pupuk kompos memang agak sulit dan banyak kendala. Setelah terbiasa gampang dilakukan dan banyak manfaatnya. Manfaat yang kami rasakan dengan menerapkan pupuk kompos antara lain: Mengembalikan kesuburan tanah yang sudah rusak Tanah menjadi gembur dan mudah diolah Tanaman lebih tahan kering Rasa beras yang dihasilkan lebih enak

Proses Pembenihan
Belajar dari pengalaman uji coba benih lokal, khususnya tentang rendahnya daya tumbuh (benih yang kami terima hanya 60%). Bersama LESMAN dan 18 kelompok yang ada di Kecamatan Nglipat sepakat membentuk forum benih dengan kegiatan: Identifikasi benih lokal yang ada di Gunung Kidul Koleksi benih lokal untuk uji coba Uji coba untuk penelitian
Penelitian untuk pengembangan
Dari koleksi yang kami dan teman-teman lakukan berhasil dikumpulkan 18 varietas padi dan ketan antara lain: padi Mayangan, Manurun, Tangkilan, Srunen, Slegreng, Pandanwangi, Menthikwangi, Molog, Mandel, Langsep, Cempo Putih, Singkarak, sedang jenis ketan: Glempo, salome, Serang, Hitam.
Uji coba yang dilakukan ada dua tingkat, yaitu pada tingkat individu dan kelompok. Percobaan di tingkat individu dilakukan di lahan masing-masing, sedangkan untuk kelompok dilaksanakan di lahan uji coba. Hasilnya digabungkan dan dibahas dalam pertemuan forum bulanan yang dihadiri oleh perwakilan kelompok anggota forum benih.
Dari pengalaman yang ada ternyata hasil yang diperoleh hamper sama. Melalui SL benih, tukar pengalaman tentang seluk beluk benih, untuk tahap pertama hasil masih jauh dari yang diharapkan. Untuk tahap selanjutnya dengan pembenaran di sana-sini, kami bersama teman-teman yakin hasilnya akan lebih baik, sebab merupakan proses mempertemukan pendapat dari perwakilan 18 kelompok tidaklah mudah. Namun kami petani Nglipar khususnya dan petani Gunung Kidul umumnya yakin bahwa, benih lokal akan kembali menjadi kekayaan petani. Hal ini terbukti dari makin banyaknya dukungan dari teman-teman petani dan pengakuan dari teman-teman PPL serta Dinas Pertanian Kecamatan.
Dari pengamatan yang kami lakukan, ternyata ada perbedaan antara benih padi unggul dengan benih padi lokal. Perbedaan terletak pada akar. Akar benih lokal lebih panjang 2-3 cm, sehingga benih lokal lebih tahan kering bila dibandingkan dengan benih unggul. Batang padi lokal juga lebih kuat dari padi unggul, kelebihan padi lokal lain adalah bisa ditanam lebih dari satu kali dengan hasil sama atau lebih banyak dibanding musim tanam sebelumnya. Benih lokal yang kami kembangkan telah tersebar sampai ke desa-desa sekitar bahkan sampai ke kecamatan lain.
Tahun 1996 kami mewakili kelompok untuk sharing pengalaman ke NTB selama 21 hari tentang pertanian alami dan penerapan PHT, budi daya sayuran dan padi yang selama ini kami dan teman-teman lakukan di daerah Gunung Kidul.
Demikian pengalaman yang dapat kami sajikan. Banyak kurangnya kami mohon masukan dari teman-teman agar di kemudian hari dapat kami perbaiki bersama teman-teman petani di daerah kami


Kamis, 05 Juni 2008

Kewirausahaan Sosial : Melanjutkan Diskursus Yang Terhenti

"Kapitalisme tidak dapat ditentang dengan slogan, ia harus ditentang dengan organisasi. Bangun organisasi itu adalah koperasi" (Mohammad Hatta).

Ketika Republik Indonesia berdiri, salah satu komitmen para bapak bangsa ini adalah bagaimana menggerakkan roda ekonomi rakyat. Indonesia Merdeka seluruhnya itu benar-benar terwujud jika ekonomi rakyat kuat. Itu dapat kiat lihat dari tulisan dan pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang meletakkan ekonomi kerakyatan sebagai fondasi ekonomi Indonesia. Cita-cita menjadi bangsa merdeka melahirkan kesadaran untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri.
Diintroduksinya konsep pembangunan (1969) yang meletakkan akumulasi kapital sebagai determinan penting menyebabkan terputusnya diskursus ekonomi kerakyatan. Pemerintah orde baru kemudian mengeluarkan regulasi-regulasi yang menguntungkan (favoritisme) terhadap industrialisasi dan konglomerasi. Hutang luar negeri menjadi keniscayaan untuk mendorong roda perekonomian, akibat masih rendahnya tabungan domestik. Pengelolaan negara semakin jauh dari semangat keswadayaan dan kesanggupan berdiri di atas kaki sendiri. Industrialisasi dan modernisasi selain menciptakan berbagai kemajuan, juga telah melahirkan proses marginalisasi. Buruh, petani dan nelayan menjadi profesi yang semakin terpinggirkan karena meskipun secara jumlah mereka mayoritas, dalam penciptaan nilai tambah sangat kecil jika dibandingkan sektor industri. Para ekonom meyakini terjadinya transformasi struktural, yakni ketika kontribusi sektor tradisional (agraris) semakin kecil dan digantikan oleh kontribusi sektor industri yang dari waktu ke waktu semakin besar. Kenyataannya transformasi itu bersifat semu. Menurunnya peran sektor agraris, disebabkan karena orang desa tidak memiliki alternatif lain untuk bertahan hidup kecuali menjual lahan sempit mereka dan menjadi buruh di kota. Kelas buruh pun kondisinya tidak menguntungkan. Istilah cheap labor dan unskilled labor menyebabkan posisi mereka hanya dianggap sebagai sekrup dalam roda industrialisasi. Menyeruaknya kelompok masyarakat rentan yang termarginalisasi akibat kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada mereka, menjadi lahan subur tumbuhnya LSM dengan berbagai corak dan agenda mereka. Eldrege (1988) memilah-milah LSM dalam beberapa kategori yang bersifat ideologis : kesejahteraan, developmentalisme, advokasi, transformasi,dll. Dominasi negara orde baru yang begitu kuat menyebabkan sebagian LSM menganggap penting untuk mengambil jarak dan menolak berkolaborasi dengan agenda pemerintah / negara. Keberadaan LSM dianggap sebagai counter hegemoni terhadap posisi negara yang begitu kuat dan merasuki setiap lini kehidupan masyarakat (Mansour Fakih, 1996). Oleh karena itu sebagian LSM lebih senang menggunakan terminologi ORNOP (Organisasi Non Pemerintah), bukan sekedar terjemahan dari NGO, tetapi yang lebih penting untuk menjelaskan posisi yang berbeda dengan negara (pemerintah). Sementara untuk sebagian LSM lain, persoalan ketidakadilan struktural tidak cukup hanya dengan melakukan tekanan-tekanan terhadap kekuasaan atau dengan menganggap negara sebagai musuh karena menjadi alat yang eksploitatif. Permasalahan struktural harus dijawab dengan pengorganisiran rakyat secara nyata, mendidik mereka dan memperkuat modal sosial mereka melalui kegiatan usaha bersama agar unit-unit ekonomi rakyat dapat tumbuh. Oleh karena itu membangun keswadayaan dan mata pencaharian rakyat yang berkelanjutan menjadi fokus yang penting. Era reformasi dan demokratisasi, posisi LSM semakin penting untuk membangun kembali modal sosial masyarakat yang hancur akibat krisis multidimensi. Di sisi lain menciutnya peran pemerintah di sektor pelayanan publik berdampak pada turunnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu isu sektor publik (kesehatan, pendidikan, dll) kian marak menjadi program LSM. Diperkirakan ada lebih dari 13.500 LSM (Depdagri, 2002).
Maraknya peluang-peluang proyek yang dapat diperoleh LSM menjadi sebuah tantangan baru bagaimana LSM untuk menjaga karakter independensinya dan tidak terjebak dalam kepentingan untuk sekedar mendapatkan dana agar bisa survive. Oleh karena itu pertanyaan reflektif yang layak kita lontarkan ialah, seberapa besar kontribusi ribuan proyek yang telah dilakukan LSM bagi perubahan sosial di Indonesia. Di era keterbukaan dan demokratisasi ini, agaknya kurang tepat untuk mengkotak-kotakkan paradigma LSM, apakah kesejahteraan atau advokasi. Berbagai inisiatif lokal yang tumbuh membuktikan bahwa kerja-kerja akar rumput mesti memadukan perspektif advokasi dan membangun mata pencaharian masyarakat. Pengalaman menarik dapat kita lihat yang dilakukan oleh PUSDAKOTA (Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan) di Surabaya. Lembaga yang di bawah naungan Universitas Surabaya ini memiliki pengalaman cukup unik. Lahir pada tahun 2000 dengan kepdulian terhadap masalah lingkungan dan kaum miskin kota, PUSDAKOTA melakukan kegiatan-kegiatan edukasi dan advokasi bagi masyarakat slum, hingga akhirnya tercetus konsep manajemen sampah rumah tangga. Saat ini PUSDAKOTA cukup sukses memasarkan produk keranjang sampah Takakura dengan omzet rata-rata 1.000 keranjang sampah per bulan, dengan harga per satuan Rp 75 ribu. Proses produksi ini menyerap 140 pekerja, yang sebagian besar kaum miskin cacat. Selain mengembangkan unit usaha secara mandiri, PUSDAKOTA intens terlibat dalam dialog-dialog kebijakan dan menjadi rujukan baik bagi kalangan pemerintah maupun pebisnis.
Pengalaman-pengalaman lain dapat kita temukan dari lapangan, seperti misalnya kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM) para pedagang kecil yang dihadapkan dengan penggusuran atau tingginya uang sewa kios, maka kerja pendampingan tak bisa dilepaskan dari isu advokasi terhadap keberadaan mereka. Atau KSM perempuan yang sampai pada kesadaran advokasi terhadap peran perempuan sebagai tulang punggung ekonomi rumah tangga. Hal-hal tersebut tidak bisa dipilah-pilah mana yang advokasi, mana yang developmentalis atau kesejahteraan. Persoalan-persoalan tersebut muncul bersamaan di lapangan dan akhirnya "inovasi" menjadi kata kunci terhadap kesemua itu.Inovasi dan solusi yang unik merupakan gerakan roh, ketika kemiskinan dan ketidakberdayaan mendera kehidupan masyarakat. Cerita menarik ditulis oleh Prof. Prahallad (The Fortune at the Bottom of the Pyramid, 2004), mengenai Jaipur Foot. Di India terdapat 5,5 juta orang yang diamputasi dan angka itu bertambah tiap tahunnya sekitar 25 ribu orang. Mayoritas mereka adalah orang miskin dan tidak mampu membayar pelayanan medis. Ketika industri prosthesis (anggota tubuh buatan) begitu rumit dan mahal, Jaipur Food menemukan teknologi yang sesuai dengan gaya hidup orang miskin. Jika biaya sebuah kaki buatan di AS senilai US$ 8 ribu, Sementara kaki buatan Jaipur Foot senilai US$ 30. Inovasi ini secara nyata mampu menolong orang miskin cacat untuk tetap produktif bekerja. Inovasi dan solusi yang unik terhadap masalah kemiskinan juga kita temukan dalam kisah sukses Grameen Bank, di Bangladesh, SEWA Bank di India, atau berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh kalangan LSM, seperti PEKERTI, Purbadanartha, Yayasan Mitra Usaha, dll. Terminologi kewirausahaan sosial yang kian marak, sebenarnya bukan hal yang baru sama sekali. Tetapi menjadi menarik untuk mendiskusikannya karena sejarah bangsa ini yang berabad-abad didera struktur dan sistem sosial feodal, tidak memiliki watak kewirausahaan yang kuat. Di beberapa tempat, seperti di Jawa masih ada pandangan, orang berdagang atau buka usaha dianggap sebagai pekerjaan rendah. Tetapi ironisnya perilaku rent seeking (memburu rente) kian merajalela. Bagaimana dengan mudah menjadi kaya dengan cara menghisap (memalak) jerih payah orang lain, perilaku yang terus direproduksi dari kalangan atas hingga bawah. Oleh karena itu pekerjaan sebagai produsen kian tidak diminati, inovasi tidak dihargai. Patut kita akui kewirausahaan bangsa kita kian merosot. Kian sulit untuk menyebut produk-produk yang dihasilkan bangsa sendiri. Kita hanya menjadi broker dan konsumen barang-barang produsen dari luar. Tahu dan tempe makanan sehari-hari rakyat jelata, demikian juga kecap. Ironisnya kedelainya diimpor dari Amerika Serikat. Apalagi jika berbicara barang-barang konsumen lainnya seperti sabun, pasta gigi, dll. Kesemuanya dihasilkan oleh perusahaan multinasional (MNC). Kewirausahaan sosial menjadi menarik kita diskusikan, ketika kita dihadapkan pada angka kemiskinan yang melonjak drastis, menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,5% jumlah penduduk (versi BPS dengan biaya hidup Rp 152.847 per orang/bulan). Sementara itu versi Bank Dunia (dengan ukuran US$2 per orang/hari) menyebut angka kemiskinan di Indonesia mencapai 110 juta jiwa atau 53% penduduk. Di sisi lain, tidak adanya daya tarik investasi, industri di Indonesia tengah memasuki usia senja (sunset industry). Kesempatan kerja kian menyempit dan melonjaknya pengangguran terbuka sebesar 11,89 juta jiwa (10,80% dari jumlah angkatan kerja). Untuk menjawabnya dibutuhkan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai inisiatif. Oleh karena itu persoalan kita bukan bagaimana menyusun definisi ataupun kategori kewirausahaan sosial, namun lebih pada bagaimana menemukan spirit daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin memiliki dampak sosial yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak kan mengingkari, bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan. Rasanya kita diingatkan kembali oleh kata-kata Bung Hatta, bahwa hakekat ekonomi rakyat adalah pentingnya mendidik semangat cinta kepada rakyat atas dasar usaha bersama. Dengan demikian kerja-kerja keras yang dilakukan oleh rakyat adalah manifestasi kemartabatannya sebagai manusia. (Ign. Wahyu Indriyo)

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...