Jumat, 29 Oktober 2010

Ekonomi Bebas Korupsi?

Oleh: Anggito Abimanyu



Baru-baru ini, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyelenggarakan seminar dengan tema 'Ekonomi Bebas Korupsi' di kampus UGM. Para pembicara adalah mereka yang kompeten dari sisi keilmuan, penegakan hukum, pengamat, dan praktisi di bidang korupsi. Ada pembicara dari KPK, ICW, LSM, pemerintah, swasta, politisi, dan dari kalangan kampus sendiri. Seperti lazimnya, diskusi berlangsung hangat, penuh dengan kegelisahan, kritik, dan setumpuk harapan agar ekonomi dapat segera dibersihkan dari penyakit korupsi.

Pertanyaan mendasar yang dilontarkan adalah "apakah ekonomi dapat bebas dari korupsi tanpa politik dan hukum?" Jawabannya tidak, ekonomi bebas korupsi tidak bisa terjadi tanpa perubahan sistem, tatanan dan kelembagaan politik, serta penegakan hukum yang juga bebas korupsi. Apa artinya? Institusi politik dan hukum harus ditata sedemikian rupa sehingga tidak ada celah terjadinya money politic jabatan publik dan anggaran, intervensi politik dalam kebijakan ekonomi, kesewenang-wenangan hukum, serta politisasi kebijakan ekonomi. Kalau politik dan hukum tidak bersih, niscaya ekonomi bisa terhindar dari korupsi sebagai imbasnya.

Dalam seminar tersebut, diperbincangkan kasus-kasus korupsi yang terjadi pada masa KIB I dan 1 tahun KIB II, political will, dan upaya-upaya pemberantasannya. Reformasi birokrasi dibicarakan panjang lebar. Sayangnya, para pembicara sepakat bahwa upaya pemberantasan korupsi melalui institusi KPK hingga reformasi birokrasi di tingkat eksekutif akhir-akhir ini mengalami kemandekan.


Reformasi Birokrasi Kunci
Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, melalui media massa beberapa waktu lalu memberikan indikasi terjadinya keterlambatan dalam pelaksanaan program reformasi birokrasi di tubuh pemerintah. Aparat keamanan dan penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM yang seharusnya menuntaskan reformasi birokrasi di tahun 2010 mengalami keterlambatan. Anggaran reformasi birokrasi tahun 2010 sebesar Rp 14 triliun berpotensi menganggur.

Pemerintah KIB I sudah mencanangkan program reformasi birokrasi, mulai dari bidang keuangan (2009-2010) Kemenkeu, BPK, MA, Sekneg, Menko bidang keamanan dan penengakan hukum (2010), meliputi Polri, TNI, Kejaksaan, Kemenkumham, PAN-RB dan bidang lainnya (2011-2012). Pelaksanaannya ternyata mengalami hambatan kepemimpinan, khususnya selama KIB II. Praktis hingga kini, hanya BPK dan Kemenkeu yang sudah memiliki cetak biru dan pelaksanaan yang jelas mengenai reformasi birokrasi. Kemenkeu memulai RB dari penataan organisasi, menyusun penilaian organisasi dengan metode balanced scorecard (BSC), rekrutmen pegawai baru (CPNS) secara profesional dan transparan, penetapan indikator kinerja utama, mutasi dengan sistem open bid (terbuka), hingga penetapan renumerasi berdasarkan peringkat pekerjaan. Kemenkeu bahkan selalu menyampaikan ke publik hasil evaluasi pihak independen untuk dikritisi dan mendapat masukan serta evaluasi, khususnya terhadap institusi yang bersentuhan dengan publik, seperti pajak, bea cukai, dan penganggaran. Meskipun belum bebas dari korupsi, RB di Kemenkeu sudah mampu membuat sebagian besar pejabat dan karyawan menghindar, bahkan memerangi korupsi di lingkungannya sendiri. Sayangnya, karena Kemenkeu melayani instansi lainnya yang belum melakukan RB, dampak nasionalnya belum signifikan. Apalagi karena RB belum menyentuh DPR, perbaikan proses penganggaran belum menyentuh akar masalahnya.

Mulai dari pejabat negara
Tiga tahun yang lalu, sebenarnya sudah dimulai upaya reformasi pejabat negara yang berujung pada standar renumerasi. Rencananya dimulai secara serentak pada pejabat negara di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, reformasi pejabat negara tidak kunjung mendapatkan titik temu dan kandas ditengah jalan. Bisa dibayangkan reformasi pejabat negara sampai di tingkat menteri kabinet saja tidak kunjung tuntas, maka reformasi di kementerian akan terlanda budaya "ewuh pekewuh". UKP4 sudah memulai dengan penilaian indikator kinerja utama (IKU), tetapi hanya sebatas penilaian pencapaian kuantitatif pada diri menteri atau kementerian. IKU hanyalah sebagian dari pelaksanaan reformasi birokrasi.

Pengaturan hubungan keuangan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk aparat pengawas di tingkat pusat dan daerah, belum diatur secara tegas sehingga sering menimbulkan masalah 'tata kelola' dan juga benturan serta ketidakseimbangan hubungan kerja. Penyelewengan perencanaan dan penggunaan anggaran sering terjadi karena hubungan mereka yang terlalu cozy dan nyaman, jauh dari fungsi saling mengontrol.

Ekonomi bebas korupsi harus dimulai dari perubahan mindset para pejabat negara dengan teladan kepemimpinannya. Bukan kepemimpinan orang ke orang yang lebih penting meskipun harus diakui bahwa membangun sistem yang baik harus dipimpin oleh orang. Pembangun sistem jauh lebih penting siapa pun pemimpinnya. Setelah 65 tahun merdeka, masih banyak orang meragukan bahwa ekonomi Indonesia dapat membebaskan dari korupsi. Sekecil apa pun, saat ini sudah ada beberapa instansi di pusat dan daerah yang sukses dalam menjalankan reformasi birokrasi dan membebaskan diri dari korupsi. Tidak ada salahnya mencontoh mereka yang telah berhasil merancang dan melaksanakannya.
URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/121657/Ekonomi_Bebas_Korupsi

Anggito Abimanyu
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...