By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Perusahaan tentu saja berharap para karyawan baru menunjukkan sikap ‘excited’ dengan tempat kerja barunya. Dalam sebuah sesi orientasi karyawan baru, seorang pimpinan unit kerja menyampaikan pada sejumlah karyawan, betapa pentingnya mengkontribusi pikiran dan hati di tempat kerja. Seorang karyawan kemudian mengajukan pertanyaan,”Bagaimana bila hati kita tidak bisa kita curahkan sepenuhnya, karena kita belum benar-benar happy dengan tempat kerja kita?” Ini tentu saja pertanyaan jujur dan seringkali sulit kita jawab.
Terus terang, inilah kenyataan yang kerap dihadapi, baik oleh pemberi kerja ataupun orang yang bekerja. Tak jarang lingkungan atau tempat kerja tidak selalu nyaman sebagai tempat berkreasi atau rekreasi buat kita. Bisa saja kita tidak cocok dengan suasana kerjanya, suasana pertemanan, atasan yang tidak adil, cara berkomunikasi, praktik bisnis atau bahkan kultur perusahaan. Namun, bisakah kita langsung mengambil langkah menghindar dari suasana kerja tidak nyaman seperti itu? Tentu tidak semudah itu, bukan? Kita pasti mempertimbangkan penghasilan, tunjangan yang kita terima dan keluarga yang butuh “dihidupi”. Lalu, bagaimana harus bersikap? Apakah kita harus seumur hidup bertahan, berangkat kerja setiap hari dengan perasaan berat?
Suasana tidak nyaman yang kita hadapi bisa juga karena situasi yang lebih luas. Misalnya saja: Kondisi jalan macet, jarak rumah kantor yang harus ditempuh dalam 2 jam, kasus-kasus korupsi yang tidak kunjung terang, ketidakjelasan aturan bermasyarakat, yang semuanya menyebabkan kita merasa ‘tidak betah’ di lingkungan, bahkan negara sendiri. Pertanyaannya, ke mana kita mau lari? Betapa banyak orang yang bernasib seperti kita, dengan alasan-alasan yang bervariasi. Tentu tantangannya adalah tetap berpegang pada prinsip, profesionalisme dan menjaga sikap agar tidak lebih dalam lagi tenggelam dalam rasa ‘tidak happy’ tadi.
“Wake up Call”
Seorang professor di Harvard, Timothy Butler, penulis buku: “Getting Unstuck: How Dead Ends Become New Paths”, mengemukakan sesuatu yang kurang populer. Menurut beliau, langkah pertama untuk melepaskan diri dari “uncomfortable zone” adalah dengan menelaah ke dalam diri dulu, bukan serta-merta menyalahkan lingkungan. Sering terjadi, tidak mampunya kita melihat sisi positif dari lingkungan kerja kita disebabkan karena daya adaptasi kita yang kurang optimal. Misalnya saja, kita kerap frustasi karena kurangnya support dari bagian lain ataupun pengadaan alat yang lambat sehingga pekerjaan kita terhambat. Padahal, terkadang kita sendiri yang kurang asertif dan kurang tuntas dalam mengupayakan pendekatan dengan bagian lain untuk memuluskan proses kerja tersebut. Bukankah kalau kondisinya begini, kita pun adalah bagian dari masalahnya sendiri? Pernyataan ‘tidak happy’-nya kita sesungguhnya adalah alarm bahwa kita sedang ada di garis depan dan harus melakukan suatu perbaikan.
Kalau dipikir-pikir, tidak pernah ada situasi yang sempurna. Semua sistem, seterkini apa pun, pasti membutuhkan perbaikan. Perasaan tidak puas dari karyawan atau anggota kelompok manapun perlu kita lihat sebagai cikal bakal suatu perbaikan. Teman saya yang bekerja paruh waktu di sebuah rumah sakit di negeri Belanda, bertugas mengganti seprei pasien setiap hari. Untuk seorang yang cerdas dan kreatif sepertinya, pekerjaan ini terasa sangat berat dan membosankan. Ia pun kemudian mencari jalan yang mudah dan efisien untuk mengganti seprei pasien yang tidak bisa duduk atau berdiri dari tempat tidur. Caranya yang lebih mudah, akhirnya ditiru oleh teman-temannya. Bahkan, 20 tahun kemudian, ketika ia berkunjung ke rumah sakit tersebut, seorang temannya mengatakan bahwa penggantian seprei yang dia lakukan dulu sudah dijadikan sistem di rumah sakit tersebut. Ini adalah hasil karya seorang yang tidak happy dengan pekerjaannya.
Realitas sebagai Landasan untuk Maju
Berada di satu posisi yang baik dalam waktu lama pun bisa membuat kita bosan dan menyebabkan kita merasa ‘uncomfortable’. Namun, membiarkan perasaan tidak puas bersarang tanpa action tentunya akan merusak pribadi. Kita tahu bahwa menebar keluh kesah, tanpa mengolah diri sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi perbaikan. Di luar semua ketidakpuasan dengan pekerjaan, kita tentu harus bersyukur karena paling tidak masih punya pekerjaan di tengah keadan ekonomi yang tidak bersahabat.
Kita sering tidak menyadari bahwa dengan kreativitas dan daya inovasi yang kita miliki, sesungguhnya 100% otonomi dalam pekerjaan berada di tangan kita. Keyakinan ini yang harus kita tanamkan dulu bila kita ingin membuat pekerjaan kita lebih menarik. Dengan keyakinan ini, kita jadi punya power untuk me-“re-energize” dan menciptakan image baru dalam pekerjaan kita, kemudian menterjemahkannya ke dalam motif, kekuatan dan ‘passion’ yang segar. Jika kita mau sedikit berusaha, kita bisa lihat banyak sekali hal yang bisa dilakukan tanpa perlu mengganggu konstelasi pekerjaan yang ada. Kita bisa bersikap proaktif dan melakukan ‘brainstorming’ kecil-kecilan untuk melakukan perbaikan dengan biaya seminimal mungkin. Kita masih punya pilihan untuk meningkatkan tanggung jawab, misalnya dengan mengajak teman-teman mengambil hal yang terbaik dari yang terburuk.
Kotak-katik cara kerja, pembenahan hubungan kerja dan persepsi kita mengenai pekerjaan pemetaan ulang daftar tugas kita betul betul bisa membawa nuansa baru dalam pekerjaan kita. Dengan spirit “job crafting’ , kita bisa merasakan timbulnya energi untuk bukan sekedar berbuat lebih baik dari waktu ke waktu, tetapi juga berusaha menikmati tugas dan pekerjaan sebagai hasil kreasi kita. Dengan perasaan:” sayalah penentu cara kerja saya” , “sense of control” menguat terhadap apa yang kita kerjakan, sehingga kita bebas menarikan,menyanyikan dan berlari dalam pekerjaan sendiri.
Perusahaan tentu saja berharap para karyawan baru menunjukkan sikap ‘excited’ dengan tempat kerja barunya. Dalam sebuah sesi orientasi karyawan baru, seorang pimpinan unit kerja menyampaikan pada sejumlah karyawan, betapa pentingnya mengkontribusi pikiran dan hati di tempat kerja. Seorang karyawan kemudian mengajukan pertanyaan,”Bagaimana bila hati kita tidak bisa kita curahkan sepenuhnya, karena kita belum benar-benar happy dengan tempat kerja kita?” Ini tentu saja pertanyaan jujur dan seringkali sulit kita jawab.
Terus terang, inilah kenyataan yang kerap dihadapi, baik oleh pemberi kerja ataupun orang yang bekerja. Tak jarang lingkungan atau tempat kerja tidak selalu nyaman sebagai tempat berkreasi atau rekreasi buat kita. Bisa saja kita tidak cocok dengan suasana kerjanya, suasana pertemanan, atasan yang tidak adil, cara berkomunikasi, praktik bisnis atau bahkan kultur perusahaan. Namun, bisakah kita langsung mengambil langkah menghindar dari suasana kerja tidak nyaman seperti itu? Tentu tidak semudah itu, bukan? Kita pasti mempertimbangkan penghasilan, tunjangan yang kita terima dan keluarga yang butuh “dihidupi”. Lalu, bagaimana harus bersikap? Apakah kita harus seumur hidup bertahan, berangkat kerja setiap hari dengan perasaan berat?
Suasana tidak nyaman yang kita hadapi bisa juga karena situasi yang lebih luas. Misalnya saja: Kondisi jalan macet, jarak rumah kantor yang harus ditempuh dalam 2 jam, kasus-kasus korupsi yang tidak kunjung terang, ketidakjelasan aturan bermasyarakat, yang semuanya menyebabkan kita merasa ‘tidak betah’ di lingkungan, bahkan negara sendiri. Pertanyaannya, ke mana kita mau lari? Betapa banyak orang yang bernasib seperti kita, dengan alasan-alasan yang bervariasi. Tentu tantangannya adalah tetap berpegang pada prinsip, profesionalisme dan menjaga sikap agar tidak lebih dalam lagi tenggelam dalam rasa ‘tidak happy’ tadi.
“Wake up Call”
Seorang professor di Harvard, Timothy Butler, penulis buku: “Getting Unstuck: How Dead Ends Become New Paths”, mengemukakan sesuatu yang kurang populer. Menurut beliau, langkah pertama untuk melepaskan diri dari “uncomfortable zone” adalah dengan menelaah ke dalam diri dulu, bukan serta-merta menyalahkan lingkungan. Sering terjadi, tidak mampunya kita melihat sisi positif dari lingkungan kerja kita disebabkan karena daya adaptasi kita yang kurang optimal. Misalnya saja, kita kerap frustasi karena kurangnya support dari bagian lain ataupun pengadaan alat yang lambat sehingga pekerjaan kita terhambat. Padahal, terkadang kita sendiri yang kurang asertif dan kurang tuntas dalam mengupayakan pendekatan dengan bagian lain untuk memuluskan proses kerja tersebut. Bukankah kalau kondisinya begini, kita pun adalah bagian dari masalahnya sendiri? Pernyataan ‘tidak happy’-nya kita sesungguhnya adalah alarm bahwa kita sedang ada di garis depan dan harus melakukan suatu perbaikan.
Kalau dipikir-pikir, tidak pernah ada situasi yang sempurna. Semua sistem, seterkini apa pun, pasti membutuhkan perbaikan. Perasaan tidak puas dari karyawan atau anggota kelompok manapun perlu kita lihat sebagai cikal bakal suatu perbaikan. Teman saya yang bekerja paruh waktu di sebuah rumah sakit di negeri Belanda, bertugas mengganti seprei pasien setiap hari. Untuk seorang yang cerdas dan kreatif sepertinya, pekerjaan ini terasa sangat berat dan membosankan. Ia pun kemudian mencari jalan yang mudah dan efisien untuk mengganti seprei pasien yang tidak bisa duduk atau berdiri dari tempat tidur. Caranya yang lebih mudah, akhirnya ditiru oleh teman-temannya. Bahkan, 20 tahun kemudian, ketika ia berkunjung ke rumah sakit tersebut, seorang temannya mengatakan bahwa penggantian seprei yang dia lakukan dulu sudah dijadikan sistem di rumah sakit tersebut. Ini adalah hasil karya seorang yang tidak happy dengan pekerjaannya.
Realitas sebagai Landasan untuk Maju
Berada di satu posisi yang baik dalam waktu lama pun bisa membuat kita bosan dan menyebabkan kita merasa ‘uncomfortable’. Namun, membiarkan perasaan tidak puas bersarang tanpa action tentunya akan merusak pribadi. Kita tahu bahwa menebar keluh kesah, tanpa mengolah diri sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi perbaikan. Di luar semua ketidakpuasan dengan pekerjaan, kita tentu harus bersyukur karena paling tidak masih punya pekerjaan di tengah keadan ekonomi yang tidak bersahabat.
Kita sering tidak menyadari bahwa dengan kreativitas dan daya inovasi yang kita miliki, sesungguhnya 100% otonomi dalam pekerjaan berada di tangan kita. Keyakinan ini yang harus kita tanamkan dulu bila kita ingin membuat pekerjaan kita lebih menarik. Dengan keyakinan ini, kita jadi punya power untuk me-“re-energize” dan menciptakan image baru dalam pekerjaan kita, kemudian menterjemahkannya ke dalam motif, kekuatan dan ‘passion’ yang segar. Jika kita mau sedikit berusaha, kita bisa lihat banyak sekali hal yang bisa dilakukan tanpa perlu mengganggu konstelasi pekerjaan yang ada. Kita bisa bersikap proaktif dan melakukan ‘brainstorming’ kecil-kecilan untuk melakukan perbaikan dengan biaya seminimal mungkin. Kita masih punya pilihan untuk meningkatkan tanggung jawab, misalnya dengan mengajak teman-teman mengambil hal yang terbaik dari yang terburuk.
Kotak-katik cara kerja, pembenahan hubungan kerja dan persepsi kita mengenai pekerjaan pemetaan ulang daftar tugas kita betul betul bisa membawa nuansa baru dalam pekerjaan kita. Dengan spirit “job crafting’ , kita bisa merasakan timbulnya energi untuk bukan sekedar berbuat lebih baik dari waktu ke waktu, tetapi juga berusaha menikmati tugas dan pekerjaan sebagai hasil kreasi kita. Dengan perasaan:” sayalah penentu cara kerja saya” , “sense of control” menguat terhadap apa yang kita kerjakan, sehingga kita bebas menarikan,menyanyikan dan berlari dalam pekerjaan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya