Senin, 10 Januari 2011

Lestari

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri



Kita banyak melihat pengusaha yang merintis usaha dari nol dan kemudian tumbuh jadi besar, misalnya saja Bob Sadino. Dari sekedar tukang telur, beliau kemudian kita kenal sebagai pionir pasar modern. Saat supermarketnya dirobohkan dan diganti apartemen, banyak orang dengan sedikit melankolis mempertanyakan, apakah Kemchicks masih akan bertahan? Apakah suasana ‘homey’, daging dengan kualitas nomor satu, dan pelayanan ekstra yang diberikan suami istri Bob bila pengunjung membludak, masih bisa dirasakan oleh pelanggan? Apakah karyawan yang ‘happy’ dan siap memberi informasi masih akan eksis di perusahaan yang sudah berubah menjadi ‘franchise’ dan ‘mungkin saja’ berubah kepemilikan? Apakah Kemchicks akan bisa bertahan dan hidup terus sebagai lembaga yang melegenda? Tentu saja ada alasan kuat mengapa kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita tahu, betapa mengelola “sustainability”, menjaga kualitas, mempertahankan kesuksesan bukan hal mudah.

Tidak bisa kita pungkiri, kita akan segera melihat dan membicarakan siapa pemimpinnya, bila sebuah tim, organisasi atau bahkan negara berhasil menorehkan catatan sukses, atau sebaliknya, mandek bahkan tenggelam. Suksesi kepemimpinan tak jarang disorot sebagai penyebab kegagalan dalam meraih atau mempertahankan prestasi, gengsi dan nama baik. Bukankah kita sering menyaksikan suksesi kepemimpinan yang dikomentari dengan sinis oleh “orang dalam” maupun “orang luar”. “Perusahaan kita sudah tidak seperti dulu lagi…”. “Waktu dipimpin pak Anu kami merasa diperhatikan, komunikasi lancar, laba perusahaan pun terasa oleh karyawan.”. Perusahaan seperti 3M atau Citibank yang bisa bertahan berjaya meskipun berulang kali berganti kepemimpinan tentu mengundang kekaguman kita. Para ex-karyawan Citibank dengan Citicorps nya senantiasa berbicara mengenai hal-hal baik tentang perusahaan dan mantan tempat kerjanya. Bagaimana dengan negara kita setelah 65 tahun mengalami 6 kali pergantian kepemimpinan? Mengapa terasa betapa rasa bangga sebagai bangsa terkikis dan tidak berkembang? Apakah generasi baru kita sudah terseret dalam suatu era teknologi yang begitu canggihnya, sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk melihat kehebatan bangsa dan merasakan nasionalisme seperti dulu? Apakah memang kondisi sosial, ekonomi dan politik dunia mengharuskan tatanan dan kebijakan ekonomi meninggalkan dasarnya? Atau, para suksesor, pemimpin dan pejabat negara, tidak lagi berusaha keras untuk menjaga “core perspectives” yang sudah dicanangkan oleh ‘founders’ negeri ini? Mengapa ada lagu :”nenek moyangku orang pelaut” dan kenyataan bahwa negara kita negara maritim terbesar di dunia, karena 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan, tapi kita ragu ragu menangkap ‘pencuri ikan’? Apakah kita meragukan prinsip bahwa kita memang negara maritim?

Menjaga Benang Merah

Setiap memulai tahun baru, kita biasanya ingin mempunyai resolusi baru, perubahan terhadap kebiasaan yang usang dan tidak efektif lagi. Saat baru mendapat promosi, kita pun merasa punya spirit dan tekad untuk menunjukkan sisi dan peran diri kita yang baru. Gejala ini juga bisa kita rasakan saat seseorang diangkat menjadi pemimpin baru. Secara alamiah ia akan terdorong untuk bertindak menjawab tantangan dan harapan dari para bawahan akan adanya perubahan baru. Jack Welsch dan Cacuk Sudarijanto terkenal dengan tindakan berani “tidak populer”, yaitu memangkas sumber daya manusia besar-besaran, agar perusahaan tetap produktif dan tidak kolaps. Terbukti, apa yang dilakukannya berhasil membawa perusahaan terus mencatat laba dan kesuksesan. Pertanyaannya, apakah memang setiap pemimpin perlu melakukan perombakan total, mengambil langkah berbalik 180 derajat?

Jim Collins, dalam bukunya “Built to last”( 1997), memberi kiat pada para pemimpin yang ingin menjaga keberhasilan, “Leaders must be prepared to change everything about itself except its basic beliefs as it moves through corporate life.” Ini berarti bahwa seorang suksesor, sebetulnya bisa memanfaatkan sejarah, dan praktik praktik lama yang belum usang dan efektif. Tuntutan jaman memang otomatis menuntut pemimpin untuk jeli dan kuat dalam menelurkan inovasi dan inisiatif baru. Namun, praktik-praktik yang terbukti sukses tentu perlu dipelajari dan dilestarikan. Pemimpin perlu sadar akan tuntutan untuk menjaga “benang merah” dari organisasi atau lembaga, mengidentifikasi dengan tegas apa yang harus diubah dan apa yang harus dipertahankan. Pemimpin ibarat tetap menggunakan waktu sebagai patokan tetapi tidak hanya menonton menunggu waktu. Ia boleh menciptakan jam baru, tetapi detak dan ketukan jam perlu tetap terjaga.

Ujian visi

Hal yang nyata-nyata membawa perubahan adalah bahwa sumberdaya alam kita semakin terbatas, sehingga hidup perusahaan dan negara tidak seleluasa dulu. Pemimpin betul-betul harus cermat mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya. Teknologi, sebagai sumber daya baru, pun perlu dioptimalkan agar kita bisa terus kompetitif menghadapi persaingan. Bagaimana dengan sumber daya manusia? Kita lihat, meskipun sumberdaya manusia begitu tak terbatas potensinya, namun tak jarang pemimpin menghindar untuk “menggarap”-nya, karena bersifat vokal, ntur, licin, “hidup” dan bisa mengkritik.

Tidak hanya pengelolaan sumber daya yang menjadi “ujian” bagi seorang pemimpin, namun visi pun juga bentuk ujian kepemimpinan. Tak heran, para direktur di perusahaan legendaris, GE, harus menjalani ujian tahunan seputar visi perusahaan. Dalam buku “Built to last”, Jim Collins juga menyebutkan bahwa bahwa perusahaan atau lembaga yang mempunyai visi yang benar adalah perusahaan atau lembaga yang mempunyai ‘impact’ terhadap sekitarnya, bahkan dunia. Perusahaan tersebut perlu menggugah “stakeholders’-nya secara konstan dan selalu sadar akan tuntutan untuk menciptakan ‘moments of truth’. Impact ini hanya bisa bergaung bila memperhitungkan akumulasi maneuver-manuver perusahaan atau lembaga, yang sukses, terdahulu.

Negara Indonesia pun bisa mempelajari manuver apa yang dilakukan para pemimpin kita ditahun 1945, 1948, 1955, dalam mempengaruhi dunia, untuk ‘mendunia’ di masa sekarang. Artinya, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar, seorang pemimpin perlu sekaligus mempersiapkan organisasinya untuk menghadapi perubahan-perubahan terkini. Perusahaan 3M tetap jaya setelah puluhan kali gonta ganti pemimpin, karena semboyan “keep innovating” mewarnai seluruh aktivitas dan proses binis perusahaan. Meski tiap CEO memiliki gayanya masing-masing, namun inovasi terus menjadi spirit yang dijaga dan dilestarikan. Ini tentunya berbeda dengan semangat “ganti pimpinan, ganti kebijakan”.

Kita sadar bahwa tuntutan jaman, keadaan pasar, keadaan ekonomi bertambah kompleks. Populasi bertambah, karakteristik manusianya pun sangat berbeda dari generasi puluhan tahun lalu. Namun, kita memang sama-sama harus serius mengambil langkah untuk memastikan keberlanjutan dari sebuah usaha, prestasi, maupun good governance. Sebagai bangsa yang sudah 65 tahun merdeka, kita juga tentu ingin benang merah, core values dan core perspectives kita jelas. Supaya paling tidak kita tahu ke mana kita akan mengembangkan karir anak cucu kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...