Oleh: Hasyim Asyari
Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar, terdakwa korupsi dan ditahan di LP Cipinang, dilantik sebagai Wali Kota Tomohon di Kantor Menteri Dalam Negeri, Jumat (7/1).
Pelantikan terjadi di kantor Gamawan Fauzi, yang pernah dianugerahi julukan kepala daerah antikorupsi saat menjabat sebagai Bupati Solok. Apakah tangan Gamawan gemetar saat menandatangani keputusan pengesahan Wali Kota Tomohon? Luar biasa, itulah wajah ironi demokrasi Indonesia! Peristiwa serupa agaknya akan terulang kembali. Yang menonjol, kasus Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo. Bupati petahana yang memenangi pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kembali itu ditetapkan sebagai tersangka pada 1 Maret 2010, ditahan KPK 15 April 2010, dan divonis 2 November 2010.
Menurut data Kompas (8/1), ada beberapa kasus serupa, yakni kepala daerah petahana terjerat kasus pidana korupsi dan memenangi pilkada. Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamudin ditetapkan sebagai tersangka 28 Agustus 2008 oleh kejaksaan dan dilantik 29 November 2010. Bupati Rembang Moch Salim ditetapkan sebagai tersangka 25 Mei 2010 oleh kepolisian dan dilantik 20 Juli 2010.
Tiga sumber persoalan
Mengapa kasus-kasus ironi demokrasi itu terus saja terjadi? Ada tiga hal yang patut diduga sebagai sumber persoalan.
Persoalan pertama, kelemahan regulasi pilkada. Regulasi pilkada (UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2008) tak mengatur larangan bagi tersangka atau terdakwa ikut pilkada, bahkan memenangi pilkada. Secara yuridis, kepala daerah dapat diberhentikan sementara jika berstatus sebagai terdakwa, dan kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Itu rupanya yang dijadikan dasar pemerintah melantik seorang tersangka, terdakwa, atau tervonis korupsi sekalipun!
Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 4/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 58 Huruf f Undang-Undang (UU) No 12/2008, yang menentukan syarat menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang tak memenuhi beberapa syarat.
Beberapa syarat itu adalah tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK tersebut belum direspons DPR dalam bentuk merevisi Pasal 58 Huruf f UU No 12/2008. Secara teknis, Putusan MK direspons KPU dalam Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menentukan calon tidak memenuhi syarat Pasal 58 Huruf f dikecualikan dengan cara melampirkan surat keterangan dari lembaga masyarakat tempat yang bersangkutan menjalani pidana, telah menjalani hukuman, dan sudah memenuhi jangka waktu paling sedikit lima tahun sampai waktu pendaftaran calon; surat keterangan dari pemimpin surat kabar bahwa yang bersangkutan pernah memasang iklan pengakuan dan/atau pemberitahuan ke publik mengenai status yang bersangkutan; dan surat keterangan kepolisian bahwa yang bersangkutan berkelakuan baik dan tak melakukan kejahatan berulang-ulang.
Lengkap sudah, seorang tersangka, terdakwa, tervonis, dan mantan narapidana secara yuridis dimungkinkan maju dalam pencalonan pilkada. Apakah regulasi demikian dirasa adil dan memadai? Di sinilah letak persoalannya. Hukum bukan sekadar pasal, tetapi juga rasa keadilan.
Penegakan hukum
Persoalan kedua pada penegakan hukum. Persoalan terletak pada waktu proses penegakan hukum kasus-kasus korupsi kepala daerah sejak penetapan sebagai tersangka hingga pelimpahan kasus ke pengadilan. Titik ini mengundang pertanyaan. Apakah penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) tak profesional atau lebih karena tunduk pada tekanan politik pihak sedang berkuasa?
Lamanya proses penetapan sebagai tersangka hingga pelimpahan kasus ke pengadilan jadi indikasi persoalan penegakan hukum. Agusrin Najamudin ditetapkan sebagai tersangka sejak 2008. Namun, hingga tahun ini tak jelas apakah kasusnya sudah sampai pengadilan atau belum sehingga muncul gugatan praperadilan dari Muspani, mantan anggota DPD Bengkulu, yang dimenangkan pengadilan yang memerintahkan kejaksaan segera melimpahkan kasus Agusrin ke pengadilan.
Demikian pula kasus Moch Salim. Semula Kepala Polres Rembang menetapkan Salim sebagai tersangka, tetapi belakangan Kepala Polda Jawa Tengah (saat itu Inspektur Jenderal Alex Bambang Riatmodjo) mempersoalkan penetapan itu. Hingga kini tak jelas penanganan kasus itu.
Persoalan ketiga adalah permainan partai politik (parpol). Pasal 28 Huruf d UU No 32/2004 melarang kepala daerah dan wakil kepala daerah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan. Jika sejak awal terindikasi melakukan korupsi, mengapa ia masih saja dicalonkan parpol?
Di titik ini, indikasi permainan parpol cukup kental. Penetapan seseorang jadi tersangka, yang waktunya mendekati tahapan pilkada, patut diduga menunjukkan dua indikasi sekaligus. Di satu sisi, indikasi penegak hukum bermain sendiri mencari keuntungan dari calon yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kasus-kasus mafia hukum membuktikan ini.
Di sisi lain, penetapan tersangka berindikasi dijadikan instrumen politik untuk menekan calon. Jika calon tak tunduk pada kemauan politik tertentu, kasus hukum yang bersangkutan cenderung berlanjut ke meja hijau. Jika calon tunduk pada kemauan politik tertentu, status perkara cenderung dihentikan atau setidaknya menjadi tak jelas. Ini yang kemudian memunculkan tuduhan tebang pilih dan parpol jadi bungker koruptor.
Aspek hukum dan politik dalam pemilu dan pilkada memang cukup kental. Apakah penguasa politik (Presiden dan DPR) beriktikad mengurai benang kusut aneka persoalan pilkada? Rakyat menunggu titah SBY sebagai panglima perang tertinggi melawan korupsi. Keengganan menyelesaikan sejumlah persoalan itu kian memperkuat keresahan: Indonesia kini bergerak menuju demokrasi kaum penjahat.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02554058/ironi.demokrasi.
Hasyim Asyari Anggota Tim Ahli Kemitraan
Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar, terdakwa korupsi dan ditahan di LP Cipinang, dilantik sebagai Wali Kota Tomohon di Kantor Menteri Dalam Negeri, Jumat (7/1).
Pelantikan terjadi di kantor Gamawan Fauzi, yang pernah dianugerahi julukan kepala daerah antikorupsi saat menjabat sebagai Bupati Solok. Apakah tangan Gamawan gemetar saat menandatangani keputusan pengesahan Wali Kota Tomohon? Luar biasa, itulah wajah ironi demokrasi Indonesia! Peristiwa serupa agaknya akan terulang kembali. Yang menonjol, kasus Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo. Bupati petahana yang memenangi pemilihan umum kepala daerah (pilkada) kembali itu ditetapkan sebagai tersangka pada 1 Maret 2010, ditahan KPK 15 April 2010, dan divonis 2 November 2010.
Menurut data Kompas (8/1), ada beberapa kasus serupa, yakni kepala daerah petahana terjerat kasus pidana korupsi dan memenangi pilkada. Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamudin ditetapkan sebagai tersangka 28 Agustus 2008 oleh kejaksaan dan dilantik 29 November 2010. Bupati Rembang Moch Salim ditetapkan sebagai tersangka 25 Mei 2010 oleh kepolisian dan dilantik 20 Juli 2010.
Tiga sumber persoalan
Mengapa kasus-kasus ironi demokrasi itu terus saja terjadi? Ada tiga hal yang patut diduga sebagai sumber persoalan.
Persoalan pertama, kelemahan regulasi pilkada. Regulasi pilkada (UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2008) tak mengatur larangan bagi tersangka atau terdakwa ikut pilkada, bahkan memenangi pilkada. Secara yuridis, kepala daerah dapat diberhentikan sementara jika berstatus sebagai terdakwa, dan kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Itu rupanya yang dijadikan dasar pemerintah melantik seorang tersangka, terdakwa, atau tervonis korupsi sekalipun!
Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 4/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 58 Huruf f Undang-Undang (UU) No 12/2008, yang menentukan syarat menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau lebih, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang tak memenuhi beberapa syarat.
Beberapa syarat itu adalah tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman, dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK tersebut belum direspons DPR dalam bentuk merevisi Pasal 58 Huruf f UU No 12/2008. Secara teknis, Putusan MK direspons KPU dalam Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menentukan calon tidak memenuhi syarat Pasal 58 Huruf f dikecualikan dengan cara melampirkan surat keterangan dari lembaga masyarakat tempat yang bersangkutan menjalani pidana, telah menjalani hukuman, dan sudah memenuhi jangka waktu paling sedikit lima tahun sampai waktu pendaftaran calon; surat keterangan dari pemimpin surat kabar bahwa yang bersangkutan pernah memasang iklan pengakuan dan/atau pemberitahuan ke publik mengenai status yang bersangkutan; dan surat keterangan kepolisian bahwa yang bersangkutan berkelakuan baik dan tak melakukan kejahatan berulang-ulang.
Lengkap sudah, seorang tersangka, terdakwa, tervonis, dan mantan narapidana secara yuridis dimungkinkan maju dalam pencalonan pilkada. Apakah regulasi demikian dirasa adil dan memadai? Di sinilah letak persoalannya. Hukum bukan sekadar pasal, tetapi juga rasa keadilan.
Penegakan hukum
Persoalan kedua pada penegakan hukum. Persoalan terletak pada waktu proses penegakan hukum kasus-kasus korupsi kepala daerah sejak penetapan sebagai tersangka hingga pelimpahan kasus ke pengadilan. Titik ini mengundang pertanyaan. Apakah penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) tak profesional atau lebih karena tunduk pada tekanan politik pihak sedang berkuasa?
Lamanya proses penetapan sebagai tersangka hingga pelimpahan kasus ke pengadilan jadi indikasi persoalan penegakan hukum. Agusrin Najamudin ditetapkan sebagai tersangka sejak 2008. Namun, hingga tahun ini tak jelas apakah kasusnya sudah sampai pengadilan atau belum sehingga muncul gugatan praperadilan dari Muspani, mantan anggota DPD Bengkulu, yang dimenangkan pengadilan yang memerintahkan kejaksaan segera melimpahkan kasus Agusrin ke pengadilan.
Demikian pula kasus Moch Salim. Semula Kepala Polres Rembang menetapkan Salim sebagai tersangka, tetapi belakangan Kepala Polda Jawa Tengah (saat itu Inspektur Jenderal Alex Bambang Riatmodjo) mempersoalkan penetapan itu. Hingga kini tak jelas penanganan kasus itu.
Persoalan ketiga adalah permainan partai politik (parpol). Pasal 28 Huruf d UU No 32/2004 melarang kepala daerah dan wakil kepala daerah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan. Jika sejak awal terindikasi melakukan korupsi, mengapa ia masih saja dicalonkan parpol?
Di titik ini, indikasi permainan parpol cukup kental. Penetapan seseorang jadi tersangka, yang waktunya mendekati tahapan pilkada, patut diduga menunjukkan dua indikasi sekaligus. Di satu sisi, indikasi penegak hukum bermain sendiri mencari keuntungan dari calon yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kasus-kasus mafia hukum membuktikan ini.
Di sisi lain, penetapan tersangka berindikasi dijadikan instrumen politik untuk menekan calon. Jika calon tak tunduk pada kemauan politik tertentu, kasus hukum yang bersangkutan cenderung berlanjut ke meja hijau. Jika calon tunduk pada kemauan politik tertentu, status perkara cenderung dihentikan atau setidaknya menjadi tak jelas. Ini yang kemudian memunculkan tuduhan tebang pilih dan parpol jadi bungker koruptor.
Aspek hukum dan politik dalam pemilu dan pilkada memang cukup kental. Apakah penguasa politik (Presiden dan DPR) beriktikad mengurai benang kusut aneka persoalan pilkada? Rakyat menunggu titah SBY sebagai panglima perang tertinggi melawan korupsi. Keengganan menyelesaikan sejumlah persoalan itu kian memperkuat keresahan: Indonesia kini bergerak menuju demokrasi kaum penjahat.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02554058/ironi.demokrasi.
Hasyim Asyari Anggota Tim Ahli Kemitraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya