Oleh: Faisal Basri
Sampai akhir minggu lalu, harga minyak dunia masih bertengger di atas 90 dollar AS per barrel. Harga-harga komoditas lainnya pun kebanyakan masih melambung, bahkan beberapa di antaranya mencetak rekor tertinggi baru sepanjang sejarah. Curah hujan tinggi dan bencana banjir yang melanda sejumlah negara penghasil utama komoditas membuat pasokan berkurang sehingga kian mengerek harga-harga komoditas.
Makin banyak negara kewalahan meredam gejolak kenaikan harga komoditas. Awal tahun ini, Bolivia berencana menaikkan harga bensin reguler sebesar 84 persen, dari 50 sen dollar AS (Rp 4.500) menjadi 92 sen dollar AS (Rp 8.280) per liter.
Rencana kenaikan yang drastis ini—karena pembekuan harga BBM sudah berlangsung selama enam tahun—menimbulkan demonstrasi besar sehingga Presiden Bolivia Evo Morales membatalkan rencana tersebut. Namun, masalah baru muncul. Subsidi BBM membengkak sehingga memberatkan anggaran belanja negara dan penyelundupan BBM kian marak karena selisih harga dengan negara tetangga melebar.
Negeri berlimpah minyak sekalipun tidak tahan lagi menopang anggarannya yang kian tersedot untuk subsidi BBM. Tak tanggung- tanggung, Pemerintah Iran telah menaikkan harga BBM bersubsidi empat kali lipat. Subsidi yang dikeluarkan kian tidak terkendali, antara 40-100 miliar dollar AS setahun, bergantung pada pergerakan harga minyak dunia.
Tak ayal, kenaikan harga-harga komoditas memicu kenaikan harga-harga umum. Sudah barang tentu juga harga listrik karena harga bahan baku utamanya, energi primer, terus merangkak naik. Hampir semua negara mengalami persoalan pelik ini.
Boleh dikatakan tidak satu negara pun menyerahkan sepenuhnya penentuan tarif listrik pada mekanisme pasar, mengingat struktur pasar industri listrik adalah monopoli alamiah. Negara yang menganut pasar bebas sekalipun menghadirkan badan pengatur (regulatory agency) agar perusahaan listrik monopolistik tidak semena-mena menetapkan harga.
”Gontok-gontokan” dan saling tuding antara PLN dan pengusaha yang kembali muncul belakangan ini semakin menyadarkan kita betapa negara berdiam diri, reaktif, dan defensif. Pemerintah baru bereaksi ketika pengusaha berteriak. Sementara itu, PLN terus bergerilya mencari seribu satu siasat agar kondisi keuangannya tidak semakin buruk.
Posisi PLN tergencet. Karena pemerintah dan DPR telah menetapkan besaran subsidi listrik serta membekukan kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga, satu-satunya yang bisa ”ditekan” oleh PLN adalah pelanggan industri dan bisnis.
Pemerintah, lewat Menteri Koordinator Perekonomian, pernah mengatakan bahwa tarif untuk usaha diserahkan pada pendekatan ”B to B” (business to business). Pernyataan demikian jelas-jelas menandakan pemerintah mau lepas tangan. Ketika PLN menerapkan pendekatan tersebut pertengahan tahun lalu, terjadi kenaikan tarif listrik yang fantastis. Dunia usaha terenyak. Lalu pemerintah campur tangan dengan bertitah bahwa kenaikan maksimum hanya 18 persen. Secara implisit, ketentuan itu hanya berlaku sampai akhir tahun 2010.
Ketentuan yang ”abu-abu” dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat membuat PLN mencari celah. Rencana PLN menaikkan tarif listrik untuk industri dan bisnis merupakan upaya PLN untuk bertahan dan memenuhi target korporasi yang sebagiannya diamanatkan oleh pemerintah juga, termasuk meningkatkan jumlah pelanggan yang belum menikmati sambungan listrik.
Namun, pemerintah tidak cukup memberikan keleluasaan kepada PLN. Bahkan, keputusan-keputusan strategis yang berada di tangan pemerintah tidak kunjung hadir. Sebagai contoh, formula penentuan tarif yang menjamin kepastian bagi PLN ataupun pelanggan, struktur tarif yang timbang sehingga tarif listrik untuk kegiatan produktif lebih mahal ketimbang tarif listrik untuk kegiatan konsumtif sehingga terjadi ”subsidi silang” yang tidak sehat. Faktor-faktor inilah yang membuat dunia usaha ”terbebani”.
Ketika dunia usaha meradang, pemerintah melimpahkan beban itu kepada PLN. Serta- merta pemerintah bertitah lisan bahwa tidak akan ada kenaikan tarif listrik.
Tak ayal, subsidi akan membengkak. Karena besarnya subsidi sudah dipatok dan pembayaran subsidi kepada PLN pun selalu molor, PLN dipaksa mengurangi pasokan dengan cara memperpendek operasi pembangkit yang menggunakan energi primer mahal. Maka, pemadaman bergilir bakal kambuh lagi. Industri, yang tidak punya pilihan, akhirnya bersedia membeli listrik PLN dengan harga premium. Jika tidak sanggup lagi bersaing dengan tarif listrik yang kian mencekik, pilihan terakhir adalah mengurangi produksi dan mengurangi pekerja.
Masalah-masalah seperti ini sudah menjadi agenda rutin tahunan, bahkan bisa berkali-kali dalam setahun. Pemerintah tak kunjung menohok ke akar masalah. Penundaan menuntaskan akar masalah niscaya akan menimbulkan ongkos yang semakin mahal, seperti yang terjadi di Bolivia dan Iran.
Pemerintah tidak bisa lagi menyelesaikan masalah-masalah yang selalu muncul sebagai ekses dari inti masalah yang tidak kunjung dituntaskan. Sebagai contoh, paket insentif bagi industri yang menghasilkan produk-produk hemat energi dan ramah lingkungan tak kunjung terhadirkan.
Kalau begini terus, industri akan kian loyo. Pertumbuhan industri yang masih sekitar 4 persen pun sebetulnya karena sumbangan satu subsektor saja, yakni industri kendaraan bermotor, mesin, dan peralatan. Tanpa sumbangan subsektor ini, industri manufaktur kita betul-betul sudah terjerembap.
Lalu, apa yang bisa pemerintah banggakan? Pertumbuhan ekonomi? Indeks saham?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04154753/listrik.lagi.listrik.lagi
Faisal Basri
Pengamat Ekonomi
Sampai akhir minggu lalu, harga minyak dunia masih bertengger di atas 90 dollar AS per barrel. Harga-harga komoditas lainnya pun kebanyakan masih melambung, bahkan beberapa di antaranya mencetak rekor tertinggi baru sepanjang sejarah. Curah hujan tinggi dan bencana banjir yang melanda sejumlah negara penghasil utama komoditas membuat pasokan berkurang sehingga kian mengerek harga-harga komoditas.
Makin banyak negara kewalahan meredam gejolak kenaikan harga komoditas. Awal tahun ini, Bolivia berencana menaikkan harga bensin reguler sebesar 84 persen, dari 50 sen dollar AS (Rp 4.500) menjadi 92 sen dollar AS (Rp 8.280) per liter.
Rencana kenaikan yang drastis ini—karena pembekuan harga BBM sudah berlangsung selama enam tahun—menimbulkan demonstrasi besar sehingga Presiden Bolivia Evo Morales membatalkan rencana tersebut. Namun, masalah baru muncul. Subsidi BBM membengkak sehingga memberatkan anggaran belanja negara dan penyelundupan BBM kian marak karena selisih harga dengan negara tetangga melebar.
Negeri berlimpah minyak sekalipun tidak tahan lagi menopang anggarannya yang kian tersedot untuk subsidi BBM. Tak tanggung- tanggung, Pemerintah Iran telah menaikkan harga BBM bersubsidi empat kali lipat. Subsidi yang dikeluarkan kian tidak terkendali, antara 40-100 miliar dollar AS setahun, bergantung pada pergerakan harga minyak dunia.
Tak ayal, kenaikan harga-harga komoditas memicu kenaikan harga-harga umum. Sudah barang tentu juga harga listrik karena harga bahan baku utamanya, energi primer, terus merangkak naik. Hampir semua negara mengalami persoalan pelik ini.
Boleh dikatakan tidak satu negara pun menyerahkan sepenuhnya penentuan tarif listrik pada mekanisme pasar, mengingat struktur pasar industri listrik adalah monopoli alamiah. Negara yang menganut pasar bebas sekalipun menghadirkan badan pengatur (regulatory agency) agar perusahaan listrik monopolistik tidak semena-mena menetapkan harga.
”Gontok-gontokan” dan saling tuding antara PLN dan pengusaha yang kembali muncul belakangan ini semakin menyadarkan kita betapa negara berdiam diri, reaktif, dan defensif. Pemerintah baru bereaksi ketika pengusaha berteriak. Sementara itu, PLN terus bergerilya mencari seribu satu siasat agar kondisi keuangannya tidak semakin buruk.
Posisi PLN tergencet. Karena pemerintah dan DPR telah menetapkan besaran subsidi listrik serta membekukan kenaikan tarif listrik untuk rumah tangga, satu-satunya yang bisa ”ditekan” oleh PLN adalah pelanggan industri dan bisnis.
Pemerintah, lewat Menteri Koordinator Perekonomian, pernah mengatakan bahwa tarif untuk usaha diserahkan pada pendekatan ”B to B” (business to business). Pernyataan demikian jelas-jelas menandakan pemerintah mau lepas tangan. Ketika PLN menerapkan pendekatan tersebut pertengahan tahun lalu, terjadi kenaikan tarif listrik yang fantastis. Dunia usaha terenyak. Lalu pemerintah campur tangan dengan bertitah bahwa kenaikan maksimum hanya 18 persen. Secara implisit, ketentuan itu hanya berlaku sampai akhir tahun 2010.
Ketentuan yang ”abu-abu” dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat membuat PLN mencari celah. Rencana PLN menaikkan tarif listrik untuk industri dan bisnis merupakan upaya PLN untuk bertahan dan memenuhi target korporasi yang sebagiannya diamanatkan oleh pemerintah juga, termasuk meningkatkan jumlah pelanggan yang belum menikmati sambungan listrik.
Namun, pemerintah tidak cukup memberikan keleluasaan kepada PLN. Bahkan, keputusan-keputusan strategis yang berada di tangan pemerintah tidak kunjung hadir. Sebagai contoh, formula penentuan tarif yang menjamin kepastian bagi PLN ataupun pelanggan, struktur tarif yang timbang sehingga tarif listrik untuk kegiatan produktif lebih mahal ketimbang tarif listrik untuk kegiatan konsumtif sehingga terjadi ”subsidi silang” yang tidak sehat. Faktor-faktor inilah yang membuat dunia usaha ”terbebani”.
Ketika dunia usaha meradang, pemerintah melimpahkan beban itu kepada PLN. Serta- merta pemerintah bertitah lisan bahwa tidak akan ada kenaikan tarif listrik.
Tak ayal, subsidi akan membengkak. Karena besarnya subsidi sudah dipatok dan pembayaran subsidi kepada PLN pun selalu molor, PLN dipaksa mengurangi pasokan dengan cara memperpendek operasi pembangkit yang menggunakan energi primer mahal. Maka, pemadaman bergilir bakal kambuh lagi. Industri, yang tidak punya pilihan, akhirnya bersedia membeli listrik PLN dengan harga premium. Jika tidak sanggup lagi bersaing dengan tarif listrik yang kian mencekik, pilihan terakhir adalah mengurangi produksi dan mengurangi pekerja.
Masalah-masalah seperti ini sudah menjadi agenda rutin tahunan, bahkan bisa berkali-kali dalam setahun. Pemerintah tak kunjung menohok ke akar masalah. Penundaan menuntaskan akar masalah niscaya akan menimbulkan ongkos yang semakin mahal, seperti yang terjadi di Bolivia dan Iran.
Pemerintah tidak bisa lagi menyelesaikan masalah-masalah yang selalu muncul sebagai ekses dari inti masalah yang tidak kunjung dituntaskan. Sebagai contoh, paket insentif bagi industri yang menghasilkan produk-produk hemat energi dan ramah lingkungan tak kunjung terhadirkan.
Kalau begini terus, industri akan kian loyo. Pertumbuhan industri yang masih sekitar 4 persen pun sebetulnya karena sumbangan satu subsektor saja, yakni industri kendaraan bermotor, mesin, dan peralatan. Tanpa sumbangan subsektor ini, industri manufaktur kita betul-betul sudah terjerembap.
Lalu, apa yang bisa pemerintah banggakan? Pertumbuhan ekonomi? Indeks saham?
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04154753/listrik.lagi.listrik.lagi
Faisal Basri
Pengamat Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya