Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
MENENGOK balik penegakan hukum di negeri ini, hati miris. Bayangkan, pada 2009 ada seorang nenek bernama Minah yang memetik tiga buah kakao di dekat lahan garapannya dituduh mencuri,diadili, dan dijatuhi hukuman satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan.
Anehnya, sang hakim yang memberi vonis tersebut menitikkan air mata menahan rasa haru. Kalau memang itu bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan, mengapa sang hakim tidak membebaskan saja nenek Minah tersebut? Kasus lain, ada seorang perempuan bernama Kasiem yang masa penahanannya di penjara selama 3,5 bulan digantikan oleh perempuan lain bernama Karni sebagai joki pengganti dirinya dengan imbalan Rp10 juta (ada pula yang menyebut angka lebih tinggi dari itu). Sampai saat ini tidak jelas siapa dalang yang mengatur praktik perjokian narapidana tersebut.Namun , perjokian yang terjadi di Bojonegoro itu diduga bukan hal yang baru pertama kali terjadi. Menurut Anton Medan, mantan preman yang pernah menjadi penghuni hotel prodeo pada 1980-an dan kini menjadi seorang ustad, praktik perjokian di penjara pernah juga terjadi pada era 1980-an.
Lebih hebat lagi, ada orang yang ditahan di Markas Komando Brimob,Kelapa Dua, Depok, bernama Gayus HP Tambunan antara Juli sampai November 2010 dapat meninggalkan Rutan Brimob 68 kali bukan saja untuk berobat atau pulang ke rumah menemui keluarga, melainkan juga untuk menonton tenis di Bali dan bahkan pergi ke Macau dan Kuala Lumpur! Tiga contoh kejadian tersebut mungkin hanyalah puncak dari gunung es. Bukan mustahil praktikpraktik buruk penegakan hukum di negeri kita itu sudah lama terjadi atau bahkan sering terjadi. Namun, dari semua kasus tersebut, apa yang dilakukan Gayus Tambunan benar-benar luar biasa.
Bukan Kriminal Biasa
Bila Gayus dapat mengelabui para penegak hukum––dari jaksa penuntut umum, hakim ketua di pengadilan, polisi di Mabes Polri dan Rutan Brimob, sampai ke petugas imigrasi pembuat paspor palsu untuk Gayus atas nama Sony Laksono––tentu dia bukan pemain tunggal. Pasti ada jaringan pengatur semua itu. Sebagai contoh, tidak mungkin seorang atau dua orang penyidik di Bareskrim Mabes Polri berpangkat perwira pertama dan menengah dapat mengatur agar rumah Gayus tidak disita dan rekeningnya tidak diblokir. Tidak mungkin pula Gayus dapat pergi ke Bali atau ke luar negeri tanpa ada “tangan-tangan kekuasaan” yang mengaturnya.
Seorang Kepala Rutan Brimob tidak mungkin berani memberikan izin kepada Gayus untuk pergi berharihari tanpa ada “perintah” atau “jaminan” dari orang yang lebih tinggi pangkatnya.Namun, seperti juga pada masa Orde Baru,hukuman hanya diberikan kepada bawahan yang nyata-nyata terlihat atau tiga tingkat ke atas yang merupakan atasan hukum dari pelaku yang paling rendah pangkat/jabatannya. Kita patut bertanya, mengapa hanya perwira pertama dan menengah yang diadili dan dihukum terkait kasus Gayus? Padahal mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji pernah mengungkapkan nama dua jenderal Polri berbintang satu terkait kasus Gayus.
Apakah pihak Polri khawatir jika dua jenderal itu juga diadili akan merebak ke mana-mana karena jaringannya memang begitu menggurita.Begitu hebatnya Gayus mengatur segalanya tentu bukan saja karena ia memiliki dana ratusan miliar rupiah hasil upah dari para pengemplang pajak,melainkan juga mungkin saja ia memiliki pelindung orang-orang berpangkat atau memiliki jabatan politik yang tinggi. Kita juga heran mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap bersikukuh agar kasus Gayus tetap ditangani Polri, padahal kita tahu betapa tidak sedikit nama oknum Polri dari perwira pertama sampai tinggi yang diduga terlibat. Bukan mustahil ada kekhawatiran dari para elite politik jika kasus Gayus diserahkan kepada KPK, segalanya akan semakin terbuka karena KPK ingin membuktikan bahwa institusi ini masih independen di bawah ketuanya yang baru Busyro Muqoddas.
Kita patut bertanya, apakah ada tukar guling antara partai politik (parpol) yang ingin membongkar kasus penyelewengan skandal Bank Century dan parpol lain yang juga ingin membongkar kasus penyelewengan pajak.Mengapa pula partai-partai yang berada di Setgab (Partai Golkar,PKS,dan PPP) yang dulu gegap gempita mendukung Opsi C untuk membongkar kasus Bank Century kini nyaris tak lagi terdengar suara lantangnya? Wajah penegakan hukum di negeri kita memang masih karut marut, terlebih lagi jika itu terkait megaskandal korupsi seperti kasus Gayus yang melibatkan aparat penegak hukum dan politisi. Gayus juga masih mampu membayar pengacara walau kita patut bertanya, mengapa Gayus masih memiliki uang sebanyak itu untuk membayar pengacara dan mengatur para penegak hukum yang korup.
Jika itu terjadi di negeri China, Gayus dan mereka yang terlibat kasusnya sudah pasti dihukum mati di depan regu tembak. Lain padang, lain ilalang. Indonesia yang besar ini adalah negara paling indah, beragam, dan demokratis di Asia Tenggara, tapi juga paling korup, paling berengsek penegakan hukumnya,dan paling memalukan dibandingkan negara-negara tetangga Asia Tenggara lainnya. Ucapan Presiden SBY untuk memimpin langsung penegakan hukum atas kasus korupsi tampaknya hanyalah basa basi politik dan isapan jempol semata.Betapa lucu dan memalukannya negeri ini, entah kapan kita dapat melihat bahwa semua warga negara Indonesia sama kedudukannya di muka hukum! (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/375052/38/
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
MENENGOK balik penegakan hukum di negeri ini, hati miris. Bayangkan, pada 2009 ada seorang nenek bernama Minah yang memetik tiga buah kakao di dekat lahan garapannya dituduh mencuri,diadili, dan dijatuhi hukuman satu bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan.
Anehnya, sang hakim yang memberi vonis tersebut menitikkan air mata menahan rasa haru. Kalau memang itu bertentangan dengan hati nurani dan rasa keadilan, mengapa sang hakim tidak membebaskan saja nenek Minah tersebut? Kasus lain, ada seorang perempuan bernama Kasiem yang masa penahanannya di penjara selama 3,5 bulan digantikan oleh perempuan lain bernama Karni sebagai joki pengganti dirinya dengan imbalan Rp10 juta (ada pula yang menyebut angka lebih tinggi dari itu). Sampai saat ini tidak jelas siapa dalang yang mengatur praktik perjokian narapidana tersebut.Namun , perjokian yang terjadi di Bojonegoro itu diduga bukan hal yang baru pertama kali terjadi. Menurut Anton Medan, mantan preman yang pernah menjadi penghuni hotel prodeo pada 1980-an dan kini menjadi seorang ustad, praktik perjokian di penjara pernah juga terjadi pada era 1980-an.
Lebih hebat lagi, ada orang yang ditahan di Markas Komando Brimob,Kelapa Dua, Depok, bernama Gayus HP Tambunan antara Juli sampai November 2010 dapat meninggalkan Rutan Brimob 68 kali bukan saja untuk berobat atau pulang ke rumah menemui keluarga, melainkan juga untuk menonton tenis di Bali dan bahkan pergi ke Macau dan Kuala Lumpur! Tiga contoh kejadian tersebut mungkin hanyalah puncak dari gunung es. Bukan mustahil praktikpraktik buruk penegakan hukum di negeri kita itu sudah lama terjadi atau bahkan sering terjadi. Namun, dari semua kasus tersebut, apa yang dilakukan Gayus Tambunan benar-benar luar biasa.
Bukan Kriminal Biasa
Bila Gayus dapat mengelabui para penegak hukum––dari jaksa penuntut umum, hakim ketua di pengadilan, polisi di Mabes Polri dan Rutan Brimob, sampai ke petugas imigrasi pembuat paspor palsu untuk Gayus atas nama Sony Laksono––tentu dia bukan pemain tunggal. Pasti ada jaringan pengatur semua itu. Sebagai contoh, tidak mungkin seorang atau dua orang penyidik di Bareskrim Mabes Polri berpangkat perwira pertama dan menengah dapat mengatur agar rumah Gayus tidak disita dan rekeningnya tidak diblokir. Tidak mungkin pula Gayus dapat pergi ke Bali atau ke luar negeri tanpa ada “tangan-tangan kekuasaan” yang mengaturnya.
Seorang Kepala Rutan Brimob tidak mungkin berani memberikan izin kepada Gayus untuk pergi berharihari tanpa ada “perintah” atau “jaminan” dari orang yang lebih tinggi pangkatnya.Namun, seperti juga pada masa Orde Baru,hukuman hanya diberikan kepada bawahan yang nyata-nyata terlihat atau tiga tingkat ke atas yang merupakan atasan hukum dari pelaku yang paling rendah pangkat/jabatannya. Kita patut bertanya, mengapa hanya perwira pertama dan menengah yang diadili dan dihukum terkait kasus Gayus? Padahal mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji pernah mengungkapkan nama dua jenderal Polri berbintang satu terkait kasus Gayus.
Apakah pihak Polri khawatir jika dua jenderal itu juga diadili akan merebak ke mana-mana karena jaringannya memang begitu menggurita.Begitu hebatnya Gayus mengatur segalanya tentu bukan saja karena ia memiliki dana ratusan miliar rupiah hasil upah dari para pengemplang pajak,melainkan juga mungkin saja ia memiliki pelindung orang-orang berpangkat atau memiliki jabatan politik yang tinggi. Kita juga heran mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap bersikukuh agar kasus Gayus tetap ditangani Polri, padahal kita tahu betapa tidak sedikit nama oknum Polri dari perwira pertama sampai tinggi yang diduga terlibat. Bukan mustahil ada kekhawatiran dari para elite politik jika kasus Gayus diserahkan kepada KPK, segalanya akan semakin terbuka karena KPK ingin membuktikan bahwa institusi ini masih independen di bawah ketuanya yang baru Busyro Muqoddas.
Kita patut bertanya, apakah ada tukar guling antara partai politik (parpol) yang ingin membongkar kasus penyelewengan skandal Bank Century dan parpol lain yang juga ingin membongkar kasus penyelewengan pajak.Mengapa pula partai-partai yang berada di Setgab (Partai Golkar,PKS,dan PPP) yang dulu gegap gempita mendukung Opsi C untuk membongkar kasus Bank Century kini nyaris tak lagi terdengar suara lantangnya? Wajah penegakan hukum di negeri kita memang masih karut marut, terlebih lagi jika itu terkait megaskandal korupsi seperti kasus Gayus yang melibatkan aparat penegak hukum dan politisi. Gayus juga masih mampu membayar pengacara walau kita patut bertanya, mengapa Gayus masih memiliki uang sebanyak itu untuk membayar pengacara dan mengatur para penegak hukum yang korup.
Jika itu terjadi di negeri China, Gayus dan mereka yang terlibat kasusnya sudah pasti dihukum mati di depan regu tembak. Lain padang, lain ilalang. Indonesia yang besar ini adalah negara paling indah, beragam, dan demokratis di Asia Tenggara, tapi juga paling korup, paling berengsek penegakan hukumnya,dan paling memalukan dibandingkan negara-negara tetangga Asia Tenggara lainnya. Ucapan Presiden SBY untuk memimpin langsung penegakan hukum atas kasus korupsi tampaknya hanyalah basa basi politik dan isapan jempol semata.Betapa lucu dan memalukannya negeri ini, entah kapan kita dapat melihat bahwa semua warga negara Indonesia sama kedudukannya di muka hukum! (*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/375052/38/
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya