Selasa, 11 Januari 2011

Memacu Pertumbuhan?

Oleh: Iman Sugema


Setelah menghadapi situasi sulit sebagai akibat pengaruh krisis keuangan global, perekonomian Indonesia 2010 secara alamiah mengalami pemulihan.


Bahkan, triwulan II, pertumbuhan sempat 6,2 persen walaupun kemudian melambat ke angka 5,8 persen pada triwulan III. Pertumbuhan triwulan IV biasanya melambat lagi sehingga kita tidak bisa terlalu optimistis pertumbuhan akan di atas 6 persen. Bank Dunia bahkan menurunkan prakiraan pertumbuhan 2010 dari 6 persen menjadi 5,9 persen. Angka di kisaran 6 persen bukan tergolong pertumbuhan rendah serta antara 5,9-6,0 persen tak akan terlalu terasa berbeda bagi orang biasa seperti kita. Yang jadi masalah, angka sebesar itu sudah tak lagi dipandang prestasi menakjubkan.

China selama lebih dari satu dekade mampu mencatatkan angka pertumbuhan rata-rata dua digit. Sebelumnya, Jepang dan Korea Selatan mencatat prestasi sama. Ukuran prestasi pertumbuhan sekarang ini memang agak terlalu tinggi bagi negara-negara yang terbiasa bekerja biasa-biasa saja. Kalau China bisa, kenapa Indonesia tidak bisa?

Persoalan struktural

Memacu pertumbuhan memang persoalan yang sedikit agak pelik bagi negara seperti Indonesia. Ini bukan hanya perkara apakah kita mau bekerja lebih keras atau tidak. Ada persoalan struktural yang sempat kita lewatkan selama beberapa tahun terakhir. Sekarang ini pertumbuhan lebih banyak dipacu dari dalam sehingga sulit untuk tumbuh di atas tingkat potensialnya.

Sumber pertumbuhan paling utama delapan tahun terakhir adalah berbagai lapangan usaha yang termasuk dalam sektor jasa. Sektor ini selalu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan nasional sehingga pangsanya secara konsisten terus meningkat. Lima tahun lalu, pangsa ini hanya sekitar 48 persen dari PDB dan kini sekitar 52 persen. Sektor manufaktur sebaliknya turun dari 28 persen jadi 26 persen. Karena itu, kalangan ekonom menyebut telah terjadi deindustrialisasi.

Sisanya, sektor pertanian dan pertambangan. Sektor pertanian memang selalu tumbuh secara alamiah di bawah rata-rata. Sektor pertambangan pun agak sulit dipacu karena harus ada tambang-tambang baru yang ditemukan. Pertumbuhannya juga tak berkesinambungan karena sifatnya yang ekstraktif alias menghabiskan sumber daya alam. Jadi, satu-satunya harapan yang bisa memacu pertumbuhan terletak pada sektor manufaktur.

Ada beberapa alasan strategis kenapa sektor manufaktur perlu dipacu. Pertama, pengalaman kita 1980-an menunjukkan ketika manufaktur tumbuh dua digit, pada saat yang sama kita memiliki prestasi menakjubkan dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Pada saat itu, kita sedang giat-giatnya memacu manufaktur padat karya, seperti tekstil dan garmen. Melalui manufaktur padat karya, kita mendapatkan pertumbuhan yang berkualitas. Artinya, kalau kita ingin melaksanakan triple track strategy secara alamiah, semestinya yang didorong tumbuh lebih cepat adalah manufaktur padat tenaga kerja. Sekarang manufaktur ini justru kalah bersaing di negeri sendiri oleh serbuan barang-barang impor.

Kedua, manufaktur merupakan sektor yang fleksibel dalam merespons perubahan permintaan. Ketika permintaan dalam negeri dan ekspor meningkat, pasokan mudah untuk ditingkatkan tanpa harus menambah investasi baru. Produksi bisa ditingkatkan melalui peningkatan utilisasi kapasitas dan kalau kapasitas terpasangnya sudah terpakai semua, produksi masih bisa digenjot melalui kerja lembur. Investasi baru dilakukan hanya ketika pengusaha yakin akan terjadi peningkatan permintaan secara permanen. Ketika permintaan turun, lembur dan utilisasi juga dikurangi. Dengan manufaktur, struktur perekonomian menjadi lebih fleksibel dan responsif.

Sekarang ini tersedia momentum menggenjot pertumbuhan berkualitas. Perekonomian dunia sedang mengalami pemulihan sehingga permintaan ekspor akan cenderung terus meningkat. Ketika momentum itu tersedia, realisasi pemanfaatan kesempatan ini sangat bergantung pada apakah kita mampu meningkatkan produksi atau tidak. Rasanya dengan situasi manufaktur selama beberapa tahun terakhir ini, kita akan sulit untuk memanfaatkan momentum itu. Apakah kita harus selalu ketinggalan kereta?

Sektor jasa dan pertanian sangatlah sulit memanfaatkan momentum ini. Permintaan sektor jasa lebih ditentukan permintaan domestik kecuali kita memosisikan diri sebagai hub perdagangan dan keuangan, seperti Singapura. Sektor pertanian perlu waktu lama untuk merespons peningkatan permintaan ekspor. Perlu bertahun-tahun untuk menanam sawit dan karet sampai menghasilkan. Kembali harapan kita hanya ada di sektor manufaktur. Namun, tampaknya harapan itu harus dipendam karena justru manufaktur sekarang ini sulit digenjot. Beberapa temuan statistik menunjukkan hal ini.

Kalau kita buat indeks produksi selama lima tahun terakhir dengan 2005 dianggap tahun basis, kita dapat mengelompokkan manufaktur ke dalam tiga jenis. Kelompok pertama adalah yang tumbuh dengan cepat melebihi pertumbuhan rata-rata sektor lain. Kelompok kedua adalah yang masih mampu tumbuh, tetapi di bawah rata-rata. Kelompok ketiga adalah yang sedang meredup atau mengalami pertumbuhan yang negatif. Terlalu sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumber pertumbuhan dan terlalu banyak yang sedang sekarat.

Pemacu pertumbuhan

Industri pengolahan yang telah terbukti sebagai growth driver berasal dari dua kelompok. Pertama, alat angkutan, mesin, dan peralatannya. Kelompok lain, pupuk, kimia, dan barang dari karet. Walaupun ada yang berbasis sumber daya, pada umumnya manufaktur growth driver ini bersifat padat modal dan sedikit memiliki kaitan ke belakang. Pertumbuhan kelompok ini sulit untuk dibarengi dengan penyerapan pendapatan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Berikutnya, manufaktur yang mengalami pertumbuhan walaupun di bawah rata-rata. Ada empat kelompok besar: (1) semen dan barang galian bukan logam; (2) kertas dan barang cetakan; (3) tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki; serta (4) makanan, minuman, dan tembakau.

Dari kelompok terakhir, industri rokok adalah pengecualian karena mampu tumbuh di atas rata-rata. Dua kelompok terakhir adalah industri padat karya yang ternyata kalah bersaing. Karena pertumbuhannya di bawah pertumbuhan permintaan domestik, secara tak langsung ini menyiratkan kelompok ini tak mampu memanfaatkan pertumbuhan domestik.

Yang terakhir, manufaktur yang sedang meredup dan terdiri dari empat kelompok besar, yakni (1) logam dasar, besi, dan baja; (2) barang kayu dan barang dari kayu lainnya; (3) pengolahan gas alam cair; serta (4) pengilangan minyak bumi. Produksi dari empat kelompok ini cenderung mengalami penurunan selama lima tahun terakhir. Salah satunya adalah yang bersifat padat karya, yaitu barang dari kayu.

Sangat sayang kalau kita kehilangan momentum memanfaatkan pemulihan ekonomi global. Saat ini terlalu sedikit yang jadi champion dan terlalu banyak industri yang kehilangan daya saing. Peningkatan daya saing produk manufaktur jadi sebuah keharusan. Sudah terlalu banyak kita bicara pentingnya infrastruktur, menghapuskan biaya tinggi, dan melakukan reformasi birokrasi untuk meningkatkan daya saing. Kini saatnya berbuat, bukan hanya berwacana.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/02593743/memacu.pertumbuhan


Iman Sugema CEO EC-Think Corp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...