Oleh: Saldi Isra
Sejumlah skandal yang mengguncang jagat penegakan hukum gagal dijadikan sebagai momentum untuk menggerakkan energi perubahan. Jangankan berubah, penuntasan skandal lama terbelenggu dan terimpit oleh munculnya skandal baru. Banyak kejadian menunjukkan, munculnya skandal baru seperti sengaja didesain untuk menutup skandal lama.
Dalam tenggat sekitar dua tahun terakhir dapat dicatat sejumlah megaskandal yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah skandal menutup skandal lain. Menjelang pertengahan 2009, misalnya, publik dikejutkan oleh skandal pembunuhan yang melibatkan Ketua KPK Antasari Azhar. Sejauh ini, meskipun secara hukum skandal itu sudah tuntas, bagi sebagian publik kejadian yang dialami Antasari masih menyisakan banyak pertanyaan.
Ketika sejumlah pertanyaan yang tersisa belum terjawab, publik harus memindahkan mata dan perhatian ke skandal baru, yaitu kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kejadian ini benar-benar membuka mata publik, sesungguhnya KPK tak dapat dukungan memadai dari sejumlah lembaga negara. Bahkan, ketika kriminalisasi ini bergerak bak gelombang besar yang hendak meluluhlantakkan KPK, Presiden SBY kelihatan tak serius melakukan penyelamatan. Karena itu, kejadian tersebut sering dipahami sebagai langkah lebih lanjut untuk membunuh KPK.
Gumpalan misteri di pusaran kriminalisasi pimpinan KPK belum terkuak, skandal Bank Century menyeruak ke permukaan. Ibarat panggung raksasa, skandal ini benar-benar membius publik. Selama panggung terbuka, jangankan menguak misteri kriminalisasi pimpinan KPK, negeri ini seperti berhenti bergerak demi penyelesaian skandal Century. Namun ujung semuanya, politik transaksional yang keluar sebagai pemenang.
Ibarat berenang dalam lautan megaskandal, belum sempat menelisik bagaimana bekerjanya politik transaksional ini, skandal Century tertutup oleh skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Patut diduga, ujung penyelesaian skandal Gayus akan mengalami nasib tak jauh beda dengan skandal-skandal lain.
Takut risiko
Salah satu penyebab terjadinya tumpukan megaskandal adalah lemahnya dukungan Presiden untuk menyelesaikannya secara tuntas. Dalam banyak kejadian, SBY seperti tak mau ambil risiko untuk menuntaskan skandal yang terjadi. Paling tidak, ketidakberanian itu dapat dilacak dalam penyelesaian skandal kriminalisasi pimpinan KPK. Jika Presiden melakukan langkah berani, KPK tak akan tersandera dalam waktu lama. Padahal, hasil investigasi Tim 8 telah menyatakan tak cukup bukti untuk melimpahkan kasus BibitChandra ke pengadilan.
Sulit dibantah, ketidakberanian ini muncul lagi dalam penuntasan skandal Gayus. Buktinya, ketika pelesiran Gayus ke Bali tersingkap ke permukaan, Presiden memerintahkan Kapolri mengungkap latar belakang kejadian ini. Dalam praktiknya, jangankan menguak, yang terlihat, kecenderungan melokalisasi pada pelesiran Gayus ke Bali saja. Padahal, telah jadi pengetahuan umum, Gayus meninggalkan rutan hampir 70 kali. Ketika sejumlah pelesiran Gayus ke luar negeri terungkap, Presiden kehilangan nyali meminta pertanggungjawaban semua institusi terkait.
Terkait reaksi Presiden itu, dalam tulisan ”Tamparan Awal Tahun” (Kompas, 7/1), dikemukakan bahwa ketika perjalanan misterius Gayus terungkap, Presiden menyampaikan reaksi amat normatif, yaitu ungkap tuntas perjalanan Gayus ke luar negeri. Reaksi normatif ini menunjukkan, betapa lembeknya Presiden untuk sebuah peristiwa yang memberikan tamparan hebat dalam jagat penegakan hukum.
Respons itu jadi indikasi Presiden tak serius menindaklanjuti segala bentuk penyelewengan dalam perjalanan misterius Gayus. Memang benar, dalam perkembangan berikutnya, Presiden mengeluarkan instruksi kepada petinggi hukum untuk memberikan sanksi administratif dan disiplin selain sanksi hukum bagi pelaku.
Namun, setelah berjalan seminggu, inpres itu tak menunjukkan pergerakan signifikan. Buktinya, dalam rapat skandal Gayus yang dipimpin Wapres Boediono, belum ada penindakan terhadap pejabat Polri dan Kejaksaan yang diduga terkait Gayus (Kompas, 25/1). Fakta itu membuktikan, batasan waktu seminggu yang disampaikan Presiden tak bermakna apa-apa bagi kedua institusi. Selain pengabaian tenggat waktu oleh Kepolisian dan Kejaksaan, yang sulit dipahami dari inpres ini adalah memberikan wewenang pengawasan tindak lanjut inpres ke Wapres.
Penyerahan tugas itu jadi bukti tambahan, Presiden tak berani ambil risiko dalam penuntasan megaskandal yang terjadi dalam penegakan hukum. Padahal, dengan ambil tanggung jawab langsung, pesan yang ditimbulkannya pasti lebih kuat di mata para penegak hukum dan publik. Bagaimanapun, dengan kejadian ini, Presiden tak pernah mau dan mampu menunjukkan bagaimana memimpin langsung pemberantasan korupsi.
Kesempatan terakhir
Ketidakberanian Presiden ambil risiko dapat pula dilacak saat merespons serangan banyak pihak atas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Beberapa saat setelah pembacaan vonis majelis hakim PN Jakarta Selatan, secara terbuka Gayus menyatakan kekesalan kepada Satgas. Tak tanggung-tanggung, ia menuding Satgas memanfaatkan kasusnya untuk kepentingan politik. Menghadapi kejadian itu, Presiden tak memperlihatkan dukungan konkret kepada Satgas. Bahkan, sepertinya, Presiden menghakimi Satgas dengan meminta penjelasan dalam batas waktu 1 x 24 jam. Bisa jadi, bagi Presiden, langkah meminta kejelasan itu memberikan makna sebagai bentuk cepat tanggap. Namun, yang dibaca sejumlah kalangan, Presiden melakukan cuci tangan.
Seharusnya, dalam situasi yang sangat tak menguntungkan ini, Presiden memberikan dukungan terbuka kepada Satgas. Ini penting karena serangan kepada Satgas tak hanya dari Gayus, tetapi juga dari sejumlah parpol. Jika dukungan terbuka dilakukan, upaya mengobok-obok Satgas mungkin hanya terjadi dalam intensitas rendah. Padahal, selama ini, dengan kewenangan terbatas, Satgas mampu menyelamatkan dan mewakili ”wajah” Presiden dalam isu pemberantasan mafia hukum.
Sebagai kepala pemerintahan yang mendapat mandat besar dari pemilih, SBY tak boleh membiarkan negeri ini tenggelam dalam lautan megaskandal tanpa penyelesaian jelas. SBY tak perlu takut dengan ancaman bahwa pemerintah akan oleng jika jejaring Gayus dibongkar. Banyak kalangan percaya, membongkar sampai ke akar-akarnya jauh lebih baik dan beradab dibanding mendiamkannya demi kepentingan stabilitas semu.
Karena itu, penyelesaian skandal Gayus akan jadi kesempatan terakhir bagi SBY untuk membuktikan bahwa ia mau dan mampu memimpin langsung pemberantasan korupsi dan sekaligus mampu memimpin negeri ini. Apabila SBY gagal memanfaatkan kesempatan yang terakhir ini, langkah konstitusional memperpendek masa jabatan SBY pasti sulit dicegah.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/26/04245639/kesempatan.terakhir.sby
Sejumlah skandal yang mengguncang jagat penegakan hukum gagal dijadikan sebagai momentum untuk menggerakkan energi perubahan. Jangankan berubah, penuntasan skandal lama terbelenggu dan terimpit oleh munculnya skandal baru. Banyak kejadian menunjukkan, munculnya skandal baru seperti sengaja didesain untuk menutup skandal lama.
Dalam tenggat sekitar dua tahun terakhir dapat dicatat sejumlah megaskandal yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah skandal menutup skandal lain. Menjelang pertengahan 2009, misalnya, publik dikejutkan oleh skandal pembunuhan yang melibatkan Ketua KPK Antasari Azhar. Sejauh ini, meskipun secara hukum skandal itu sudah tuntas, bagi sebagian publik kejadian yang dialami Antasari masih menyisakan banyak pertanyaan.
Ketika sejumlah pertanyaan yang tersisa belum terjawab, publik harus memindahkan mata dan perhatian ke skandal baru, yaitu kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Kejadian ini benar-benar membuka mata publik, sesungguhnya KPK tak dapat dukungan memadai dari sejumlah lembaga negara. Bahkan, ketika kriminalisasi ini bergerak bak gelombang besar yang hendak meluluhlantakkan KPK, Presiden SBY kelihatan tak serius melakukan penyelamatan. Karena itu, kejadian tersebut sering dipahami sebagai langkah lebih lanjut untuk membunuh KPK.
Gumpalan misteri di pusaran kriminalisasi pimpinan KPK belum terkuak, skandal Bank Century menyeruak ke permukaan. Ibarat panggung raksasa, skandal ini benar-benar membius publik. Selama panggung terbuka, jangankan menguak misteri kriminalisasi pimpinan KPK, negeri ini seperti berhenti bergerak demi penyelesaian skandal Century. Namun ujung semuanya, politik transaksional yang keluar sebagai pemenang.
Ibarat berenang dalam lautan megaskandal, belum sempat menelisik bagaimana bekerjanya politik transaksional ini, skandal Century tertutup oleh skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Patut diduga, ujung penyelesaian skandal Gayus akan mengalami nasib tak jauh beda dengan skandal-skandal lain.
Takut risiko
Salah satu penyebab terjadinya tumpukan megaskandal adalah lemahnya dukungan Presiden untuk menyelesaikannya secara tuntas. Dalam banyak kejadian, SBY seperti tak mau ambil risiko untuk menuntaskan skandal yang terjadi. Paling tidak, ketidakberanian itu dapat dilacak dalam penyelesaian skandal kriminalisasi pimpinan KPK. Jika Presiden melakukan langkah berani, KPK tak akan tersandera dalam waktu lama. Padahal, hasil investigasi Tim 8 telah menyatakan tak cukup bukti untuk melimpahkan kasus BibitChandra ke pengadilan.
Sulit dibantah, ketidakberanian ini muncul lagi dalam penuntasan skandal Gayus. Buktinya, ketika pelesiran Gayus ke Bali tersingkap ke permukaan, Presiden memerintahkan Kapolri mengungkap latar belakang kejadian ini. Dalam praktiknya, jangankan menguak, yang terlihat, kecenderungan melokalisasi pada pelesiran Gayus ke Bali saja. Padahal, telah jadi pengetahuan umum, Gayus meninggalkan rutan hampir 70 kali. Ketika sejumlah pelesiran Gayus ke luar negeri terungkap, Presiden kehilangan nyali meminta pertanggungjawaban semua institusi terkait.
Terkait reaksi Presiden itu, dalam tulisan ”Tamparan Awal Tahun” (Kompas, 7/1), dikemukakan bahwa ketika perjalanan misterius Gayus terungkap, Presiden menyampaikan reaksi amat normatif, yaitu ungkap tuntas perjalanan Gayus ke luar negeri. Reaksi normatif ini menunjukkan, betapa lembeknya Presiden untuk sebuah peristiwa yang memberikan tamparan hebat dalam jagat penegakan hukum.
Respons itu jadi indikasi Presiden tak serius menindaklanjuti segala bentuk penyelewengan dalam perjalanan misterius Gayus. Memang benar, dalam perkembangan berikutnya, Presiden mengeluarkan instruksi kepada petinggi hukum untuk memberikan sanksi administratif dan disiplin selain sanksi hukum bagi pelaku.
Namun, setelah berjalan seminggu, inpres itu tak menunjukkan pergerakan signifikan. Buktinya, dalam rapat skandal Gayus yang dipimpin Wapres Boediono, belum ada penindakan terhadap pejabat Polri dan Kejaksaan yang diduga terkait Gayus (Kompas, 25/1). Fakta itu membuktikan, batasan waktu seminggu yang disampaikan Presiden tak bermakna apa-apa bagi kedua institusi. Selain pengabaian tenggat waktu oleh Kepolisian dan Kejaksaan, yang sulit dipahami dari inpres ini adalah memberikan wewenang pengawasan tindak lanjut inpres ke Wapres.
Penyerahan tugas itu jadi bukti tambahan, Presiden tak berani ambil risiko dalam penuntasan megaskandal yang terjadi dalam penegakan hukum. Padahal, dengan ambil tanggung jawab langsung, pesan yang ditimbulkannya pasti lebih kuat di mata para penegak hukum dan publik. Bagaimanapun, dengan kejadian ini, Presiden tak pernah mau dan mampu menunjukkan bagaimana memimpin langsung pemberantasan korupsi.
Kesempatan terakhir
Ketidakberanian Presiden ambil risiko dapat pula dilacak saat merespons serangan banyak pihak atas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Beberapa saat setelah pembacaan vonis majelis hakim PN Jakarta Selatan, secara terbuka Gayus menyatakan kekesalan kepada Satgas. Tak tanggung-tanggung, ia menuding Satgas memanfaatkan kasusnya untuk kepentingan politik. Menghadapi kejadian itu, Presiden tak memperlihatkan dukungan konkret kepada Satgas. Bahkan, sepertinya, Presiden menghakimi Satgas dengan meminta penjelasan dalam batas waktu 1 x 24 jam. Bisa jadi, bagi Presiden, langkah meminta kejelasan itu memberikan makna sebagai bentuk cepat tanggap. Namun, yang dibaca sejumlah kalangan, Presiden melakukan cuci tangan.
Seharusnya, dalam situasi yang sangat tak menguntungkan ini, Presiden memberikan dukungan terbuka kepada Satgas. Ini penting karena serangan kepada Satgas tak hanya dari Gayus, tetapi juga dari sejumlah parpol. Jika dukungan terbuka dilakukan, upaya mengobok-obok Satgas mungkin hanya terjadi dalam intensitas rendah. Padahal, selama ini, dengan kewenangan terbatas, Satgas mampu menyelamatkan dan mewakili ”wajah” Presiden dalam isu pemberantasan mafia hukum.
Sebagai kepala pemerintahan yang mendapat mandat besar dari pemilih, SBY tak boleh membiarkan negeri ini tenggelam dalam lautan megaskandal tanpa penyelesaian jelas. SBY tak perlu takut dengan ancaman bahwa pemerintah akan oleng jika jejaring Gayus dibongkar. Banyak kalangan percaya, membongkar sampai ke akar-akarnya jauh lebih baik dan beradab dibanding mendiamkannya demi kepentingan stabilitas semu.
Karena itu, penyelesaian skandal Gayus akan jadi kesempatan terakhir bagi SBY untuk membuktikan bahwa ia mau dan mampu memimpin langsung pemberantasan korupsi dan sekaligus mampu memimpin negeri ini. Apabila SBY gagal memanfaatkan kesempatan yang terakhir ini, langkah konstitusional memperpendek masa jabatan SBY pasti sulit dicegah.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/26/04245639/kesempatan.terakhir.sby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya