Oleh Khudori
Inflasi yang tinggi membuat pemerintah seperti orang kebakaran jenggot. Pemerintah dituding tak mampu mengendalikan inflasi, lantas membuat kebijakan panik.
Ini tecermin dari beleid pembebasan bea masuk impor beras, gandum, dan bahan pakan ternak (Kompas, 18/1). Pemerintah yakin, pembebasan bea masuk akan menurunkan harga komoditas pangan dan menjinakkan inflasi yang dipicu oleh meroketnya harga pangan.
Untuk kesekian kali kita melihat pemerintah disibukkan agenda rutin dan menguras energi yang tak perlu. Instabilitas harga kebutuhan pokok masih jadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Respons pemerintah selalu reaktif dan ad hoc, tak lebih dari pemadam kebakaran. Bagi rakyat, terutama warga miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok merentankan ekonomi mereka. Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan dipaksa merealokasikan anggaran dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut.
Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang SDM yang tak bisa bersaing pada masa datang.
Pangan belanja utama
Menurut Badan Pusat Statistik, mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Pada 2009, rata-rata pengeluaran pangan mencapai 50,62 persen. Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka anjlok. Kemiskinan membengkak. Itu sebabnya inflasi sering disebut perampok uang rakyat.
Inflasi di Indonesia tergolong tinggi, rata-rata di atas 5 persen. Memang inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen, tetapi pada tahun yang sama banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain, target inflasi tahun 2011 (5,3 persen) masih tergolong tinggi. Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan di bawah 3 persen. Bahkan, Jepang sering deflasi. Ini semua karena kebijakan yang komprehensif.
Ketika di Indonesia harga kebutuhan pokok gonjang-ganjing, Malaysia tak mengalaminya. Ini karena Malaysia punya undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang—yang kebanyakan makanan—sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku 1961. UU ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan, seperti gandum. Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-hari dan 25 komoditas dikontrol saat hari besar.
Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan di bawah 5 persen. Bandingkan di Indonesia pada 2005 yang 17,11 persen dan 2008 mencapai 11,06 persen. Malaysia cukup berhasil menjaga stabilitas harga, apa pun yang terjadi di pasar internasional sehingga inflasi rendah (Adiningsih, 2010).
Oleh karena itu, langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tak banyak artinya tanpa didukung upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok.
Stabilkan harga pangan
Tahun ini ancaman instabilitas harga kebutuhan pokok masih terjadi. Anomali iklim membuat produksi pangan serba tidak pasti. Jauh-jauh hari Vietnam dan Thailand memperketat ekspor beras karena diperkirakan harga beras naik dua kali lipat tahun ini. Jika itu terjadi, plus kegagalan produksi beras domestik, inflasi bakal meroket.
Pada masa lalu, negeri ini pernah gemilang menjaga harga kebutuhan pokok lewat Bulog. Karena itu, wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa dilakukan. Namun, itu tidak banyak artinya tanpa pendanaan dan instrumen yang komprehensif. Pertama, segera tentukan komoditas kebutuhan pokok yang berpengaruh besar pada pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4-5 komoditas sebagai opsi stabilisasi.
Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/floor price), jumlah cadangan, dana murah, pengendalian ekspor-impor, hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin kelancaran distribusi dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi keadaan.
Khudori Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/28/04374585/inflasi.pangan.dan.kemiskinan
Inflasi yang tinggi membuat pemerintah seperti orang kebakaran jenggot. Pemerintah dituding tak mampu mengendalikan inflasi, lantas membuat kebijakan panik.
Ini tecermin dari beleid pembebasan bea masuk impor beras, gandum, dan bahan pakan ternak (Kompas, 18/1). Pemerintah yakin, pembebasan bea masuk akan menurunkan harga komoditas pangan dan menjinakkan inflasi yang dipicu oleh meroketnya harga pangan.
Untuk kesekian kali kita melihat pemerintah disibukkan agenda rutin dan menguras energi yang tak perlu. Instabilitas harga kebutuhan pokok masih jadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Respons pemerintah selalu reaktif dan ad hoc, tak lebih dari pemadam kebakaran. Bagi rakyat, terutama warga miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok merentankan ekonomi mereka. Warga miskin yang 60-75 persen pendapatannya untuk pangan dipaksa merealokasikan anggaran dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut.
Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang SDM yang tak bisa bersaing pada masa datang.
Pangan belanja utama
Menurut Badan Pusat Statistik, mayoritas pengeluaran penduduk Indonesia masih untuk pangan. Pada 2009, rata-rata pengeluaran pangan mencapai 50,62 persen. Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka anjlok. Kemiskinan membengkak. Itu sebabnya inflasi sering disebut perampok uang rakyat.
Inflasi di Indonesia tergolong tinggi, rata-rata di atas 5 persen. Memang inflasi pada 2009 hanya 2,78 persen, tetapi pada tahun yang sama banyak negara mengalami deflasi karena krisis ekonomi global. Dibandingkan negara lain, target inflasi tahun 2011 (5,3 persen) masih tergolong tinggi. Inflasi di Malaysia dan Thailand biasanya lebih kecil dari 5 persen. Inflasi di Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan di bawah 3 persen. Bahkan, Jepang sering deflasi. Ini semua karena kebijakan yang komprehensif.
Ketika di Indonesia harga kebutuhan pokok gonjang-ganjing, Malaysia tak mengalaminya. Ini karena Malaysia punya undang-undang The Price Control Act untuk mengontrol harga barang—yang kebanyakan makanan—sejak 1946. Juga ada The Control of Supplies Act yang mulai berlaku 1961. UU ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan, seperti gandum. Dalam UU tersebut, harga 225 kebutuhan sehari-hari dan 25 komoditas dikontrol saat hari besar.
Pada 2008 dibentuk Majlis Harga Negara untuk memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Pada tahun-tahun saat harga minyak tinggi, inflasi di Malaysia bisa ditekan di bawah 5 persen. Bandingkan di Indonesia pada 2005 yang 17,11 persen dan 2008 mencapai 11,06 persen. Malaysia cukup berhasil menjaga stabilitas harga, apa pun yang terjadi di pasar internasional sehingga inflasi rendah (Adiningsih, 2010).
Oleh karena itu, langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tak banyak artinya tanpa didukung upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok.
Stabilkan harga pangan
Tahun ini ancaman instabilitas harga kebutuhan pokok masih terjadi. Anomali iklim membuat produksi pangan serba tidak pasti. Jauh-jauh hari Vietnam dan Thailand memperketat ekspor beras karena diperkirakan harga beras naik dua kali lipat tahun ini. Jika itu terjadi, plus kegagalan produksi beras domestik, inflasi bakal meroket.
Pada masa lalu, negeri ini pernah gemilang menjaga harga kebutuhan pokok lewat Bulog. Karena itu, wacana untuk mengembalikan fungsi-fungsi strategis Bulog bisa dilakukan. Namun, itu tidak banyak artinya tanpa pendanaan dan instrumen yang komprehensif. Pertama, segera tentukan komoditas kebutuhan pokok yang berpengaruh besar pada pengeluaran rumah tangga. Jumlahnya bisa 4-5 komoditas sebagai opsi stabilisasi.
Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga patokan (ceiling/floor price), jumlah cadangan, dana murah, pengendalian ekspor-impor, hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, pemerintah harus menjamin kelancaran distribusi dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi keadaan.
Khudori Anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/01/28/04374585/inflasi.pangan.dan.kemiskinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya