Jumat, 28 Januari 2011

Dicari, Presiden Tanpa Gaji

Oleh M Fadjroel Rachman

Kemenangan moral tertinggi seorang pemimpin adalah pengabdian tanpa pamrih. Pemimpin inspiratif dan dihormati, juga tanpa pamrih, oleh publik karena tebalnya kesetiaan kepada nilai keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan.

Pengabdian dengan pamrih material, apalagi hanya untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga, dan kelompok sendiri, menjadikan pengabdian tersebut tak bernilai apa-apa, sebuah kekuasaan tanpa keluruhan. Nah, apa yang bisa dikatakan kepada seorang presiden yang mengeluh kepada publik bahwa gajinya tidak naik-naik selama tujuh tahun di tengah lautan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang diderita rakyatnya? Di tengah jutaan rakyat yang bahkan tidak tahu apa yang harus dimakan hari ini, apalagi jika ditanya bagaimana pendidikan, kesehatan, perumahan, ataupun pekerjaannya.

Pamrih material? Perlukah diungkapkan seorang presiden, seorang pemimpin tertinggi, pengabdi tertinggi publik. Bukankah jika tahu jabatan presiden bukan jabatan yang bisa membuat seseorang kaya raya, lebih baik tidak dipilih sejak awal. Gaji presiden memang tak besar jika dibandingkan gaji Gubernur BI yang Rp 265 juta per bulan. Namun, presiden bukan saja mendapatkan gaji, melainkan juga dana taktis serta memiliki kekayaan pribadi yang dilaporkan cukup signifikan. Gaji presiden yang diungkapkan Kementerian Keuangan (2005) total Rp 62.740.000, terdiri atas gaji pokok Rp 30.240.000 dan tunjangan jabatan Rp 32.500.000. Namun, perlu dicatat, dana operasional atau taktis untuk presiden Rp 2 miliar per bulan.

Selain itu, kekayaan pribadi Presiden Yudhoyono juga sangat signifikan dan meningkat sangat signifikan. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi periode 14 Mei 2009-23 November 2009, terdapat kenaikan Rp 5 miliar dari Rp 6.848.049.611 dan 246.389 dollar AS ke Rp 7.616.270.204 dan 269.730 dollar AS atau total dalam rupiah senilai Rp 10.178.705.204.

Kemiskinan dan ketimpangan

Apabila prestasi pemimpin diukur dari kemampuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan berpihak kepada kemanusiaan, patutlah dipertimbangkan ukuran keadilan ataupun kesejahteraan berikut. Kemiskinan dan ketimpangan (sosial, kota-desa, daerah) adalah musuh utama Republik Indonesia apabila cita-cita para bapak dan ibu bangsa untuk membentuk negara kesejahteraan (welfare state), ”negara yang aktif mengelola dan mengorganisasi perekonomian, termasuk bertanggung jawab menjamin tersedianya pelayanan kesejahteraan dasar bagi warga negara” sebagai ukurannya. Kemiskinan, misalnya, kita ambil saja ukuran kemiskinan BPS (2010) pada perhitungan Maret 2010, garis kemiskinan (kota dan desa) adalah Rp 211.000 per bulan per orang, berdasarkan tingkat kebutuhan makanan dan nonmakanan, garis kemiskinan untuk desa Rp 192,354 dan kota Rp 232,938 per bulan per orang.

Nah, dengan angka standar kemiskinan (kota dan desa) Rp 211.000, ada 31,02 juta orang atau 13,33 persen (BPS, Maret 2010). Namun, jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi pengeluaran 2 dollar AS per hari (standar Bank Dunia untuk kategori miskin; untuk kategori sangat miskin 1 dollar AS per hari), orang miskin sekitar 52 persen dari 234,2 juta populasi (2010) atau sekitar 121,7 juta orang. Apabila gaji Presiden—pemimpin para kaum miskin dan papa itu—pada 2010 dibandingkan pengeluaran per bulan 31,02 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, hasilnya 297 kali pengeluaran penduduk miskin Indonesia. Ketimpangan sosial juga tak kunjung terjembatani. Lihat laporan BPS (Income Distribution by Classification World Bank BPS 2002-2006). Untuk 20 persen pendapatan tertinggi rata-rata meraih 42 persen kue nasional (42,07 persen pada 2004;44,78 persen pada 2005), sedangkan untuk 40 persen pendapatan terendah rata-rata meraih 20 persen kue nasional (20,80 persen 2004; 18,81 persen 2005).

Ketimpangan antardaerah juga hantu yang siap meledak dan merobohkan tatanan Republik. Laporan BPS 2010 memperlihatkan, dari 10 provinsi termiskin (1. Papua Barat; 2. Papua; 3. Maluku; 4. Sulawesi Barat; 5. NTT; 6. NTB; 7. Aceh; 8. Bangka Belitung; 9. Gorontalo; 10. Sumatera Selatan), tampak Papua Barat, Papua, dan Aceh adalah provinsi sangat kaya sumber daya alam, tetapi hasilnya tak kunjung menyejahterakan mereka. Ironisnya, di Papua Barat dan Papua terdapat perusahaan multinasional PT Freeport Mc Moran di tambang tembaga terbesar di dunia, juga emas. Tidak saja Papua Barat dan Papua yang dimiskinkan, tetapi kepemilikan saham pemerintah pun cuma 9,23 persen, selebihnya milik Freeport.

Menurut majalah The Economist (2010) yang membandingkan gaji pemimpin negara di dunia dengan PDB per kapita penduduknya, ternyata gaji SBY lebih dari 27 kali lipat PDB per kapita penduduk Indonesia. Jika dihitung dengan gaji Rp 62.740.000 atau per tahun Rp 752.880.000 terhadap PDB per kapita Rp 24.261.805 (BPS 2009), lebih dari 31 kali lipat.

Presiden tanpa gaji

Sebenarnya dengan melihat jumlah kekayaan SBY sekarang dan membandingkan dengan kemiskinan puluhan juta rakyat yang dipimpinnya, SBY bukan hanya pemimpin dari kaum kaya Indonesia sekelas Aburizal Bakrie, Chairul Tanjung, Arifin Panigoro, atau raja agrobisnis terbesar Asia Martua Sitorus (Thio Seng Hap), tetapi pemimpin dari kaum miskin Indonesia juga. SBY tak perlu minta kenaikan gaji lagi, bahkan sudah seharusnya melepaskan semua gaji yang didapatkannya hingga 2014 kepada masyarakat melalui kegiatan ekonomi produktif.

SBY bisa jadi presiden tanpa gaji dalam tiga tahun ke depan, nilainya sekitar Rp 2.258.640.000, tak terlalu besar jumlahnya, tetapi akan dapat mengembalikan keluhuran kepemimpinannya yang tercoreng oleh tercerabutnya legitimasi moral pemerintahan oleh tudingan para pemimpin lintas agama sebagai ”rezim kebohongan”, juga keluhan tentang gaji yang seolah menjadikan SBY duduk di kepresidenan untuk mencari keuntungan material.

Lihatlah mantan pastor Fernando Lugo yang diangkat sebagai Presiden Paraguay yang menolak menerima gaji sebagai presiden karena solidaritasnya ke rakyat miskin Paraguay yang jumlahnya hampir 35,6 persen populasi. Dengan kekayaan pribadi lebih dari Rp 10 miliar, tentu SBY bisa menginspirasikan kembali semua pejabat publik, termasuk 8.000 pejabat publik yang akan dinaikkan gajinya serta DPR yang sibuk membuat gedung baru senilai Rp 1,3 triliun, bahwa nilai tertinggi kepemimpinan adalah mengabdi tanpa pamrih kepada publik, bukan menumpuk kekayaan. Sangat ironis seorang presiden mengeluhkan gajinya di tengah lautan kemiskinan dan ketimpangan rakyatnya sendiri yang tak pernah mengeluh. Karakter yang mengabaikan penderitaan rakyat dan juga penderitaan manusia. Menurut Mahatma Gandhi, ”Mengabaikan seorang manusia berarti mengabaikan kekuasaan Yang Mahakuasa. Yang dirugikan bukan hanya makhluk itu, melainkan seluruh dunia.”

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) serta Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...