Selasa, 04 Januari 2011

Tahun 2011,Tanpa “Opera Sabun”Pemberantasan Korupsi?

Oleh: Febri Diansyah


Tahun 2010 adalah masa yang lelah. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi berjalan tanpa arah, lebih mirip jurus mabuk dalam beberapa hal.Namun, sebagian karakter yang muncul terkesan didesain,direkayasa, dan berjalan dengan skenario seperti sinetron kejar tayang.

Presiden yang mendaulat diri sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terlihat tidak maksimal. Kepolisian dan kejaksaan sebagai “kaki-tangan” eksekutif pun lumpuh karena penyakit yang meruyak di dalam tubuh sendiri.Banyak pihak mengkritik jalannya pemerintahan, seperti sebuah opera sabun yang menonjolkan pencitraan dan kosmetifikasi belaka.

Centang Perenang

Secara lebih spesifik,Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, setidaknya tujuh aspek krusial bisa dicermati untuk mengevaluasi pemberantasan korupsi pada 2010. Mulai dari tak tuntasnya pengusutan skandal Bank Century, inkonsistensi pemberantasan mafia hukum, masih berlanjutnya pelemahan KPK,seleksi pejabat publik lembaga penegak hokum yangjauhdari semangat extra-ordinary, vonis bebas/ lepas kasus korupsi di pengadilan umum dan pembentukan tiga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah, masih eksisnya aturan “izin presiden” terkait korupsi kepala daerah,dan fenomena korupsi pemilihan kepala daerah.

Tujuh aspek ini agaknya bisa menunjukkan kepada kita bahwa begitu banyak sisi rapuh pemberantasan korupsi di Indonesia yang jadi lebihlemahhinggamenjelang2011. Fenomena paling kritis dari tujuh aspek itu sebenarnya terletak pada aspek institusional lembaga penegak hukum. Centang perenangnya lembaga penegak hukum dan praktik mafia yang justru berkembang dari dalam institusi penegak hukum membuat upaya dan terapikejutsepertiapapunsulitbisa memperbaiki keadaan.

Hampir semua catatan penanganan kasus korupsi pada 2010 ini terganjal oleh masalah internal institusi penegak hukum. Sebut saja mulai dari rekayasa hukum dan kriminalisasi pimpinan KPK,penanganan kasus Gayus yang membuka mata publik tentang dibajaknya sendi-sendi institusi kepolisian dan kejaksaan atau kasus-kasus hukum yang terasa kejam pada rakyat kecil. Dari tujuh aspek krusial di atas, ICW memberikan penegakan pada 3 aspek utama. Pertama, inkonsistensi pemberantasan mafia hukum.

Ketika bicara soal mafia hukum, mungkin banyak pihak akan merujuk pada kinerja Satgas Pemberantasan Mafia yang dibentuk SBY dalam program Ganyang Mafia. Kemudian mereka akan menuding Satgas sebagai biang keladi gagalnya pemberantasan mafia. Bagi ICW, tentu tidak hanya Satgas yang bisa dievaluasi. Satgas dalam beberapa hal masih menunjukkan upaya dan kerja keras dalam perang melawan mafia.Meskipun tidak sepi dari kritik, di beberapa sisi Satgas agaknya punya tempat tersendiri dalam ring pemberantasan korupsi di Indonesia.

Terutama karena sebagian personalnya yang relatif punya integritas. Dengan kata lain, masalah sentral pemberantasan mafia pada 2010 tidaklah terletak pada kelembagaan Satgas, tapi pada iktikad dan keseriusan Presiden membersihkan institusi penegak hukum.Di satu sisi,Presiden membentuk Satgas dengan fungsi koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum, tapi di sisi lain kepemimpinan Polri dan Kejaksaan Agung tidak disiapkan dengan tujuan pemberantasan mafia.

Karenanya, terjadi missing link antara kerja Satgas dengan komitmen institusional di kepolisian dan kejaksaan. Ketika Presiden meyakini praktik mafia eksis di dua lembaga tersebut dan kemudian membentuk Satgas, tentu idealnya diperlukan perombakan institusional di sana.Tidak mungkin struktur lama yang diyakini terkooptasi “kekuatan lain” masih bisa diajak bekerja sama dengan lembaga baru yang dibentuk seperti Satgas.

Karena itulah, yang kita lihat seperti ada ketidaksinkronan antara kerja Satgas, KPK dengan fungsi koordinasi dan supervisinya dengan institusi penegak hukum lain. Memang benar, koordinasi telah dilaksanakan, beberapa kali rapat bersama dan bahkan gelar perkara dilakukan, tapi kita sungguh khawatir,semua itu tidak lebih daro sekadar “basabasi” yang elok di permukaan saja.

Basa-basi Presiden

Secara sederhana bisa kita katakan, kegagalan terpenting pemberantasan mafia hukum pada 2010 terletak di tangan Presiden. Dia tidak terlihat serius berperan dalam perombakan dan penataan kepolisian dan kejaksaan. Bahkan pemilihan Kapolri dan Jaksa Agung jauh dari aroma semangat pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia hukum.Jadi,wajar jika publik kemudian menilai, aroma kosmetik lebih menonjol dalam pemberantasan mafia hukum pada 2010 ini.

Kedua, terancamnya penuntasan sejumlah kasus korupsi di KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri. Poin ini sungguh mengkhawatirkan.Ketika di akhir tahun 2009 nama Indonesia dikenal di dunia internasional karena kriminalisasi dan rekayasa hukum yang dilakukan terhadap lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK, rupanya pada 2010 hal tersebut tidak bisa dikoreksi dengan baik.Kegagalan terpenting bangsa ini adalah ketika rekayasa proses hukum yang mulai terkuak di persidangan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tipikor tersebut tidak berhasil dibuka lebih jauh.

Padahal,berdasarkan pengamatan ICW, setidaknya ada empat poin rekayasa yang dilakukan terhadap dua pimpinan KPK.Jika hal ini tidak jadi pelajaran dan tidak diungkap tuntas, bukan tidak mungkin akan ada rekayasa lanjutan terhadap KPK atau terhadap siapa pun yang mencoba melawan mafia hukum di tubuh Polri atau kejaksaan. Kita juga mengingat kasus rekening gendut perwira Polri yang tidak kunjung selesai meskipun melewati tiga era Kapolri.Kesan ditutup-tutupi, proteksi, dan jiwa korsa sangat menonjol.

Bahkan kasus ini diduga merembet pada aksi kekerasan terhadap aktivis ICW Tama S Langkun dan penyerangan kantor redaksi Tempo. Demikian juga kasus mafia pajak Gayus H Tambunan. Sepuluh kejanggalan proses hukum menjadi catatan yang tidak bisa dihapus pada 2010 ini. Seolah kasus Gayus ditangani serius dengan gegap gempita, tapi sebenarnya publik terkelabui. Di titik ini, selain Polri, KPK pun harus dikritik, terutama karena sikap mendua dan kompromistis yang tidak mau mengambil alih kasus Gayus tersebut.

Ada lagi kasus Bahasyim, seorang pegawai pajak biasa dengan aset hampir Rp1 triliun,dan kasus skandal Bank Century yang tak jelas rimbanya. Poin ketiga adalah korupsi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Demokrasi yang sedang dibangun bangsa ini ternyata dikooptasi kekuatan korup.Bayangkan,10 kepala daerah yang dilantik tahun ini masih berstatus tersangka kasus korupsi.

Muncul juga fenomena “pindah” ke partai penguasa agar tak tersentuh proses hukum. Biaya penyelengga raan pilkada ternyata belum menghasilkan proses demokratisasi lokal yang bebas korupsi. Di titik ini ICW memantau 1.517 temuan dengan 9 modus korupsi dalam Pilkada 2010. Demikian juga dengan penyalahgunaan fasilitas jabatan yang mencapai 504 temuan.

Rekomendasi 2011

Bagaimana kita bisa melukis wajah pemberantasan korupsi bangsa kita sendiri pada 2010? Dengan berat hati kita perlu akui, kita gagal melakukan niat baik tentang Indonesia bebas korupsi itu. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada harapan sama sekali pada 2011.Ada meski tak bisa berharap banyak. Evaluasi di tiga aspek di atas bisa menjadi titik awal untuk mengoreksi bangunan utama pemberantasan korupsi pada 2011 ini. Benahi institusi penegak hukum terlebih dahulu.

Tidak mungkin pemberantasan korupsi bisa berhasil ke depan tanpa keseriusan yang konkret untuk membersihkan kepolisian dan kejaksaan serta memperkuat KPK. Faktor politik yang jadi musuh pemberantasan korupsi dan seringkali mencoba mengintervensi tiga lembaga tersebut harus dilawan dengan upaya yang lebih keras. Presiden SBY jelas punya modal politik yang kuat untuk menghantam blok koruptor di Senayan.Kecuali jika kekuatan politik Presiden SBY itu pun sudah terkooptasi virus korupsi.

Kapolri dan Jaksa Agung baru memang tidak bisa terlalu diharapkan. Akan tetapi, agaknya mereka bisa membuktikan sebaliknya kepada publik. Meskipun selama ini relatif tidak berprestasi dalam pemberantasan korupsi, setidaknya dua pilar ini bisa melihat ke dalam untuk mengobati bagian tubuh institusi mereka yang terluka,meruyak, dan bernanah akibat praktik mafia hukum.

Namun,sejumlah kasus strategis yang menyita energi publik dan sangat merugikan bangsa ini seperti kasus rekening gendut perwira Polri, mafia pajak (tidak hanya Gayus dan Bahasyim) juga harus dituntaskan. Tidak mudah, memang. Tapi bangsa ini tidak punya pilihan lain untuk bangkit dari korupsi. Terakhir, kepada Bapak Presiden, mungkin mimbar pidato itu perlu disimpan di dalam gudang,mari bekerja secara konkret.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/373290/



Febri Diansyah
Koordinator Divisi Hukum dan
Monitoring Peradilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...