By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Seorang teman baik, merasa dirinya sangat trampil dalam mengajar. Padahal banyak ‘trainee’ yang merasa tidak nyaman bila diajar olehnya, karena merasa terlalu digurui, bahkan dipojokkan. Selain konsep yang dibawakan terkadang tidak jelas, beliau juga tidak memahami teknik mengajar yang benar. Susahnya tidak ada gejala atau tanda-tanda bahwa teman kita ini “ngeh” dengan keterbatasan ini. Orang-orang di sekitarnya tampak juga tidak memberi gambaran yang jelas kepada yang bersangkutan bagaimana sebenarnya pandangan orang lain terhadap dirinya.
Ini masih belum ekstrim. Kita juga menyaksikan betapa beberapa tokoh politik tertentu unjuk kekuatan dan berkomunikasi tanpa tata karma yang lazim, seolah ‘tidak sadar’ bahwa mereka disorot media dan akan mendapat ‘image’ negatif. Di sisi lain, ada orang yang sedemikian “ja-im”-nya (jaga image), sehingga tidak wajar, tidak menjadi dirinya dan terkesan ingin jadi ‘orang lain’ di luar dirinya. Dalam pergaulan pun kita juga sering berguman dalam hati, bila melihat seseorang yang berdandan terlalu mencolok, berbicara terlalu keras ataupun melakukan sesuatu yang membuat lingkungan merasa sedikit ‘aneh’, “Kok, dia tidak sadar ya…?”
Seorang ahli berpendapat: “Finding your identity is a process with no real end point”. Artinya, kita tidak pernah selesai menelaah siapa diri kita. Hari ini kita bisa sangat sukses, memenangkan kompetisi dan mendapatkan applause dari peserta seminar. Besok kita bisa merasa down karena dimaki orang yang tidak kita kenal karena kesalahan bodoh yang kita lakukan. Kita pun terkadang didera rasa bersalah, misalnya karena menyakiti teman sekerja dengan kata-kata yang tidak pantas ataupun tanpa sengaja membuat orang lain dirugikan. Pada saat-saat down seperti ini, sebenarnya, banyak diantara kita yang otomatis melakukan refleksi dan mempertanyakan ‘siapa diri’-nya. Sesungguhnya, pencarian diri memang tidak pernah selesai, berkembang dan berubah terus. Namun, kita pun bisa membayangkan bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang memang tidak berupaya untuk mendapatkan gambaran yang ‘pas’ tentang dirinya atau bahkan tidak tergerak untuk bersikap jujur terhadap dirinya
Keluar dari Diri
Kita tentu pernah melihat video yang menggambarkan diri kita. Menarik jika kita perhatikan reaksi orang ketika melihat gambaran dirinya. Ada yang worry mengenai berat badannya, ada yang memperhatikan bajunya, ada juga yang baru sadar bahwa gaya bicaranya tidak ia sukai. Inilah salah satu saat kita menyadari “bagaimana kita melihat diri kita”, gambaran sederhana cara kita untuk meningkatkan penyadaran diri. Kita seolah menonton diri kita yang sedang ‘acting’ di panggung. Banyak orang yang mempunyai gambaran jelas mengenai keadaan fisiknya. Namun, bagaimana orang menemukan gambaran yang jelas tentang “jati diri”-nya?
Kita ingat bahwa kegagalan membangun bisnis atau mendapatkan promosi sering membuat kita merasa ‘gagal’ dan bahkan mencerca diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kita sendiri yang mencanangkan harapan terhadap diri kita. Pernahkah kita mengecek ulang harapan tersebut? Apakah sasaran yang kita inginkan itu terlalu jauh sehingga membuat kita takut, marah bahkan frustrasi? Pernahkah kita mengecek harapan orang lain terhadap diri kita dan menyeimbangkan harapan tersebut sesuai dengan kemampuan? Bukankah kesadaran akan kemampuan diri dan harapan terhadap diri yang realistislah yang akan membantu kita mengambil sikap yang pas sehingga bisa melangkah dengan gagah, sekaligus enteng dan happy? Bila kita tidak sadar diri, seperti teman kita yang tidak tahu bahwa kemampuan mengajarnya sangat jauh dari ekspektasi, tentu kita sendiri yang rugi karena kita jadi sulit berubah.
Self Awareness untuk Diakui, Bukan untuk Didiskusikan
Seorang rekan kerja mempunyai masalah dengan komunikasinya. Setiap kali kita mengingatkan cara komunikasinya, ia serta-merta menerangkan, balas menyerang, bahkan mengundang debat. Hal ini menyebabkan ia menjadi atasan yang kurang efektif. Suatu hari, saat ia betul-betul terbentur masalah dengan anak buahnya dan meminta masukan, beberapa teman menyarankan untuk tidak meninggikan suara saat bicara, menambahkan beberapa kalimat dalam menjawab pertanyaan, dan bahkan sedikit tersenyum dalam memberi instruksi. Meskipun ia masih berusaha mempertanyakan:”Ah, masak sih….”, namun kemudian ia terdiam, mencerna dan tampak tampak sangat berusaha memperbaiki diri.
Self awareness adalah kemampuan melihat pola pikir, perilaku kita yang berada di ketidaksadaran dan mengangkatnya ke alam sadar. Hanya dengan menyadari barulah kita bisa “menyetel”-nya. Self awareness bukanlah sebuah ilmu, tapi lebih merupakan ketajaman persepsi dan observasi, terhadap diri sendiri, baik secara fisik maupun proses mental dan psikologis yang berlangsung dalam diri kita. Self awareness lebih bisa dicapai dengan upaya ‘mengosongkan’ pemikiran dan pendapat mengenai diri sendiri, sehingga kita bisa mendapatkan ‘kacamata’ baru dalam mendalami diri. Syukur-syukur bila kita memang sudah mengembangkan sikap yang mengundang kritik membangun, sehingga orang di sekitar kita selalu siap menguakkan dan mengguncang self awareness kita agar tidak terus menerus menjadi ‘blind spot’ atau misteri bagi diri kita sendiri. Memang, seperti dikemukakan Oscar Wilde: “The final mystery is oneself”.
Seorang teman baik, merasa dirinya sangat trampil dalam mengajar. Padahal banyak ‘trainee’ yang merasa tidak nyaman bila diajar olehnya, karena merasa terlalu digurui, bahkan dipojokkan. Selain konsep yang dibawakan terkadang tidak jelas, beliau juga tidak memahami teknik mengajar yang benar. Susahnya tidak ada gejala atau tanda-tanda bahwa teman kita ini “ngeh” dengan keterbatasan ini. Orang-orang di sekitarnya tampak juga tidak memberi gambaran yang jelas kepada yang bersangkutan bagaimana sebenarnya pandangan orang lain terhadap dirinya.
Ini masih belum ekstrim. Kita juga menyaksikan betapa beberapa tokoh politik tertentu unjuk kekuatan dan berkomunikasi tanpa tata karma yang lazim, seolah ‘tidak sadar’ bahwa mereka disorot media dan akan mendapat ‘image’ negatif. Di sisi lain, ada orang yang sedemikian “ja-im”-nya (jaga image), sehingga tidak wajar, tidak menjadi dirinya dan terkesan ingin jadi ‘orang lain’ di luar dirinya. Dalam pergaulan pun kita juga sering berguman dalam hati, bila melihat seseorang yang berdandan terlalu mencolok, berbicara terlalu keras ataupun melakukan sesuatu yang membuat lingkungan merasa sedikit ‘aneh’, “Kok, dia tidak sadar ya…?”
Seorang ahli berpendapat: “Finding your identity is a process with no real end point”. Artinya, kita tidak pernah selesai menelaah siapa diri kita. Hari ini kita bisa sangat sukses, memenangkan kompetisi dan mendapatkan applause dari peserta seminar. Besok kita bisa merasa down karena dimaki orang yang tidak kita kenal karena kesalahan bodoh yang kita lakukan. Kita pun terkadang didera rasa bersalah, misalnya karena menyakiti teman sekerja dengan kata-kata yang tidak pantas ataupun tanpa sengaja membuat orang lain dirugikan. Pada saat-saat down seperti ini, sebenarnya, banyak diantara kita yang otomatis melakukan refleksi dan mempertanyakan ‘siapa diri’-nya. Sesungguhnya, pencarian diri memang tidak pernah selesai, berkembang dan berubah terus. Namun, kita pun bisa membayangkan bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang memang tidak berupaya untuk mendapatkan gambaran yang ‘pas’ tentang dirinya atau bahkan tidak tergerak untuk bersikap jujur terhadap dirinya
Keluar dari Diri
Kita tentu pernah melihat video yang menggambarkan diri kita. Menarik jika kita perhatikan reaksi orang ketika melihat gambaran dirinya. Ada yang worry mengenai berat badannya, ada yang memperhatikan bajunya, ada juga yang baru sadar bahwa gaya bicaranya tidak ia sukai. Inilah salah satu saat kita menyadari “bagaimana kita melihat diri kita”, gambaran sederhana cara kita untuk meningkatkan penyadaran diri. Kita seolah menonton diri kita yang sedang ‘acting’ di panggung. Banyak orang yang mempunyai gambaran jelas mengenai keadaan fisiknya. Namun, bagaimana orang menemukan gambaran yang jelas tentang “jati diri”-nya?
Kita ingat bahwa kegagalan membangun bisnis atau mendapatkan promosi sering membuat kita merasa ‘gagal’ dan bahkan mencerca diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kita sendiri yang mencanangkan harapan terhadap diri kita. Pernahkah kita mengecek ulang harapan tersebut? Apakah sasaran yang kita inginkan itu terlalu jauh sehingga membuat kita takut, marah bahkan frustrasi? Pernahkah kita mengecek harapan orang lain terhadap diri kita dan menyeimbangkan harapan tersebut sesuai dengan kemampuan? Bukankah kesadaran akan kemampuan diri dan harapan terhadap diri yang realistislah yang akan membantu kita mengambil sikap yang pas sehingga bisa melangkah dengan gagah, sekaligus enteng dan happy? Bila kita tidak sadar diri, seperti teman kita yang tidak tahu bahwa kemampuan mengajarnya sangat jauh dari ekspektasi, tentu kita sendiri yang rugi karena kita jadi sulit berubah.
Self Awareness untuk Diakui, Bukan untuk Didiskusikan
Seorang rekan kerja mempunyai masalah dengan komunikasinya. Setiap kali kita mengingatkan cara komunikasinya, ia serta-merta menerangkan, balas menyerang, bahkan mengundang debat. Hal ini menyebabkan ia menjadi atasan yang kurang efektif. Suatu hari, saat ia betul-betul terbentur masalah dengan anak buahnya dan meminta masukan, beberapa teman menyarankan untuk tidak meninggikan suara saat bicara, menambahkan beberapa kalimat dalam menjawab pertanyaan, dan bahkan sedikit tersenyum dalam memberi instruksi. Meskipun ia masih berusaha mempertanyakan:”Ah, masak sih….”, namun kemudian ia terdiam, mencerna dan tampak tampak sangat berusaha memperbaiki diri.
Self awareness adalah kemampuan melihat pola pikir, perilaku kita yang berada di ketidaksadaran dan mengangkatnya ke alam sadar. Hanya dengan menyadari barulah kita bisa “menyetel”-nya. Self awareness bukanlah sebuah ilmu, tapi lebih merupakan ketajaman persepsi dan observasi, terhadap diri sendiri, baik secara fisik maupun proses mental dan psikologis yang berlangsung dalam diri kita. Self awareness lebih bisa dicapai dengan upaya ‘mengosongkan’ pemikiran dan pendapat mengenai diri sendiri, sehingga kita bisa mendapatkan ‘kacamata’ baru dalam mendalami diri. Syukur-syukur bila kita memang sudah mengembangkan sikap yang mengundang kritik membangun, sehingga orang di sekitar kita selalu siap menguakkan dan mengguncang self awareness kita agar tidak terus menerus menjadi ‘blind spot’ atau misteri bagi diri kita sendiri. Memang, seperti dikemukakan Oscar Wilde: “The final mystery is oneself”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya