Senin, 17 Januari 2011

Omong Besar Pluralisme Partai

Oleh:Didik Supriyanto

Setiap kali bicara partai politik, banyak orang mengeluhkan betapa banyak partai peserta pemilu, juga betapa banyak partai yang di parlemen. Karena itu gagasan untuk menyederhanakan jumlah partai, dalam arti jumlah partai peserta pemilu dan jumlah partai di parlemen, selalu disambut baik. Bahkan berbagai survei menunjukkan masyarakat ingin sekali jumlah partai dikurangi.

Tetapi ketika gagasan itu hendak diwujudkan dalam pengaturan undang-undang, selalu saja ada yang menentang. Tantangan itu tentu saja datangnya juga dari kalangan partai politik, yakni partai politik yang terancam keberadaannya oleh pengurangai jumlah partai di parlemen.

Maklum, buat apa capek-capek membangun partai kalau tidak punya kursi di parlemen. Namun kalau alasan ini yang dikemukakan, kesannya sangat personal sekaligus menggelikan. Oleh karenanya, biar tampak gagah para penentang itu pakai dalih pluralisme atau kemajemukan politik.

Mereka bilang, gagasan menyederhanakan partai di parlemen melalui mekanisme parliamentary threshold yang dinaikkan di atas 2,5%, dan pengecilan jumlah kursi di
daerah pemilihan (district magnitude) dari 10 kursi, akan mematikan pluralisme politik. Sebab hanya beberapa partai besar saja yang bisa masuk parlemen, sementara partai sedang dan kecil, pasti terlempar.

Dan jika parlemen dikuasai beberapa partai besar, maka hal itu akan mengancam demokrasi. Alasan terkahir ini menutup kenyataan bahwa parlemen Inggris dan Amerika Serikat dikuasai oleh dua atau tiga partai. Demikian juga dengan beberapa negara yang stabil demokrasinya.

Benarkah jika beberapa partai menengah dan kecil terlempar dari parlemen, sistem politik kehilangan pluralisme? Lalu, apa sesungguhnya ukuran pluralisme politik atau tepatnya pluralsime partai politik itu? Faktor apa yang menyebabkan satu partai berbeda dengan partai lain?

Ideologi partai biasanya menjadi tolok ukur utama untuk membedakan partai satu dengan partai lain. Kita bisa berdebat panjang, apakah partai-partai kita masih punya ideologi atau tidak. Namun, para kader partai selalu mengklaim bahwa partainya punya ideologi sebagai basis perjuangan.

PDIP dengan nasionalimse, Partai Golkar dengan developmentalisme, dan Partai Demokrat memadukan keduanya. Partai Gerindara dan Partai Hanura juga masuk kelompok ini. Jarak ideologi kelima partai tersebut sangat dekat, sehingga bisa dimasukkan dalam rumpun sekulerisme.

Berhadapan dengan mereka adalah partai-partai yang berideologikan agama, dalam hal ini Islam, seperti PKS dan PPP. PAN dan PKB memasukan nasionalisme dan Islam.

Jadi, jika dipetakan berdasarkan ideologi, partai politik kita sebetulnya hanya terdiri dari dua kelompok, partai nasionalisme-sekuler dan partai religius Islam. Perbedaan-perbedaan di dalamnya tidak begitu signifikan.

Program-program partai mestinya memperjelas perbedaan ideologi partai. Namun jika program-program partai dijejerkan, justru menunjukkan keseragaman. Nah, kalau sudah demikian, lalu di mana letak pluralisme partai politik kita?

Jadi, kalau ada fungsionaris partai menolak penyederhanaan partai di parlemen (melalui mekanisme parliamentary threshold dan pengecilan kursi daerah pemilihan) dengan dalih membunuh pluralisme partai politik, sesungguhnya dalih itu hanya sekadar dalih. Sebab, kenyataanya tidak ada perbedaan idelogi yang menonjol di antara partai politik kita, kecuali nasionalisme-sekuler dan religius Islam.

Kenyataan partai kita banyak, bukan berarti terdapat pluralisme partai politik. Pluralisme partai politik memang pernah berkembang pada tahun 1920-1960-an. Tetapi
setelah itu peta berubah.

*) Didik Supriyanto, wartawan detikcom. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.

Sumber:http://www.detiknews.com/read/2011/01/07/143403/1541684/103/omong-besar-pluralisme-partai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...