By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Di sebuah perusahaan yang berusia lebih dari 50 tahun, bertumbuh pesat dan terdiri dari ribuan karyawan, muncul wacana mengenai program untuk memantapkan kerja tim. Lucunya, ini justru terjadi pada “ring 1”, pentolan-pentolan organisasi. Padahal, seyogyanya beliau-beliau ini sudah piawai dalam meng-handel tim untuk melakukan “kerja tim”-nya, tanpa perlu diingatkan dan diajarkan lagi. Kedengarannya memang aneh, tapi inilah kenyataannya. Divisi-divisi yang bekerja di bawah mereka menunjukkan gejala ‘silo’ yang parah, alias tidak mau tahu urusan lain dan tidak ada niatan untuk berkoordinasi satu sama lain. Bahkan, menginformasikan perubahan saja terasa sangat sulit bagi masing-masing departemen. Anehkah hal ini? Apakah ini suatu gejala yang ‘luar biasa’?
Banyak perusahaan, bila mau menelaah ke dalam dan berusaha meneropong jujur ke dalam tindakan, sikap dan perilakunya, pastilah mengakui bahwa butuh upaya ekstra keras dan konsisten untuk menggalang kerja tim yang solid. Pantas saja, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa beberapa menteri dalam kabinet pun tidak berkomunikasi lancar satu sama lain. Lucunya, banyak orang, bila disadarkan bahwa komunikasi dalam timnya kurang, cenderung membela diri. Mereka kerap tidak menyadari, bahkan memaparkan contoh-contoh betapa meeting rutin sudah berjalan di timnya, komunikasi tatap muka dan email dilakukan intensif dan satu sama lain pun tidak menolak kerjasama. Jadi, di mana letak ‘kesalahan’nya, mengapa kerja tim bisa melempem?
Menciptakan ‘Chemistry’
Seorang teman saya mempertanyakan, apakah tidak eratnya kerja tim disebabkan tidak adanya ‘chemistry’ diantara anggotanya? Pertanyaannya kemudian disusul dengan pertanyaan standar: “Apakah kita perlu pelatihan “outbound’ lagi?” Meskipun kita bisa merasakan keakraban dan pemahaman yang lebih baik mengenai anggota tim melalui program outbound yang singkat, namun pertanyaan yang menggelitik adalah apakah kita tidak meyakini bahwa kita bisa menciptakan koneksi dengan orang lain dan meracik ‘chemistry’ dalam keseharian kita di tempat kerja? Pepatah lama mengatakan: “There are no misunderstandings; there are only failures to communicate”. Dari sini kita menyadari bahwa sebenarnya kita tidak bisa mempermasalahkan buruknya ‘chemistry’ di antara sekelompok orang jika kita belum secara sungguh-sungguh berupaya membuat koneksi yang berkualitas.
Teman saya berkelakar, “masak kalah sama semut. Semut saja bila bertemu dengan sesamanya meluangkan waktu sejenak untuk bertegur sapa”. Bagaimana dengan kita? Bukankah kita banyak membuang kesempatan untuk membangun koneksi, apakah itu saat bertemu di dalam lift, berpapasan di jalan, bertegur sapa di pagi hari, bahkan saat harus berdiskusi mendalam untuk memecahkan masalah, membahas “daerah abu-abu” ataupun mengkomunikasikan komitmen yang perlu diangkat. Jangankan orang yang baru dalam tim, kita bahkan seringkali absen membangun koneksi dengan orang yang sudah hidup dan bekerja sama selama bertahun tahun.
Seorang peserta pelatihan berkali-kali menekankan pentingnya respek dalam membangun koneksi. Saya juga setuju bahwa apresiasi bisa kita tunjukkan tanpa pujian yang melambung, tetapi lebih pada upaya untuk memahami lawan bicara dan berusaha menggali ‘point’-nya. Banyak orang merasa kikuk untuk membina hubungan akrab di tempat kerja, bahkan menganggap hal itu hanya diperlukan dalam hubungan informal dan hubungan kekeluargaan di luar bisnis. Upaya pendekatan ke orang lain, terkadang dinilai hanya dibutuhkan oleh para salesman dan humas. Ada juga yang menganggap bahwa ini adalah kegiatan yang mengarah pada hal-hal yang feminin. Padahal, banyak sekali potensi dan kesempatan yang bisa kita raih demi kebersamaan tujuan, asal kita mau sedikit berusaha untuk membangun koneksi satu sama lain. Bukankah kita sama sama menyaksikan, bahwa hal yang paling ditekankan oleh menteri keuangan RI yang baru adalah semangat tim Departemen Keuangan, sebelum masuk ke substansi bisnisnya?
KEJELASAN
Kita pasti bisa merasakan bila spirit individu dalam tim mengendur. Banyak orang yang tidak mengerti mengapa personil yang pandai-pandai dan berdedikasi, bisa tiba-tiba kehilangan semangat berbagi informasi, tidak disiplin, malas ber-brainstorming dan seolah tidak henti memikirkan kepentingan diri sendiri. Seorang karyawan yang berada dalam situasi itu berkomentar,”Kalau dalam tim, satu orang dengan yang lain tidak jelas tentang standar kualitas dan tindakan yang harus dilakukan, serta kabur akan sasaran kelompok, bagaimana kita akan menyerahkan pikiran dan hati sepenuhnya pada tim?”
Tidak jelasnya prinsip dan arah perusahaan atau lembaga, memang sering menyebabkan spirit kelompok menjadi kendur. Apalagi bila atasan pun mencla-mencle, tidak mengedepankan koordinasi, bahkan sedikit-sedikit mengadu domba. Orang hanya bisa menjadi ‘selfless’, bila tujuan organisasi sangat ‘clear’. Itu sebabnya, kita melihat turunnya semangat kerja tim pada perusahaan yang sedang terguncang dan tidak memperjelas keadaan pada masa-masa krisisnya. Sebaliknya, organisasi yang bertujuan jelas, bisa dengan mudah meningkatkan kerja tim dan bahkan menciptakan kompetisi seru antar kelompok-kelompok, baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan substansi bisnisnya maupun di luar itu.
Bila individu satu sama lain sudah terkoneksi melalui rasa percaya dan jelas terhadap tujuan kelompok dan organisasi, tentu tidak butuh energi besar untuk mendorong tim mencapai kinerja terbaik. Bahkan, kita pun tidak usah terlalu khawatir untuk mem-“bolak-balik” atau meng-“gunting copot” individu dalam tim, karena secara otomatis tim punya kekuatan untuk dengan cepat me-“reorganize” dirinya kembali.
Sumber:http://www.experd.com/news-articles/articles/195/
Di sebuah perusahaan yang berusia lebih dari 50 tahun, bertumbuh pesat dan terdiri dari ribuan karyawan, muncul wacana mengenai program untuk memantapkan kerja tim. Lucunya, ini justru terjadi pada “ring 1”, pentolan-pentolan organisasi. Padahal, seyogyanya beliau-beliau ini sudah piawai dalam meng-handel tim untuk melakukan “kerja tim”-nya, tanpa perlu diingatkan dan diajarkan lagi. Kedengarannya memang aneh, tapi inilah kenyataannya. Divisi-divisi yang bekerja di bawah mereka menunjukkan gejala ‘silo’ yang parah, alias tidak mau tahu urusan lain dan tidak ada niatan untuk berkoordinasi satu sama lain. Bahkan, menginformasikan perubahan saja terasa sangat sulit bagi masing-masing departemen. Anehkah hal ini? Apakah ini suatu gejala yang ‘luar biasa’?
Banyak perusahaan, bila mau menelaah ke dalam dan berusaha meneropong jujur ke dalam tindakan, sikap dan perilakunya, pastilah mengakui bahwa butuh upaya ekstra keras dan konsisten untuk menggalang kerja tim yang solid. Pantas saja, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa beberapa menteri dalam kabinet pun tidak berkomunikasi lancar satu sama lain. Lucunya, banyak orang, bila disadarkan bahwa komunikasi dalam timnya kurang, cenderung membela diri. Mereka kerap tidak menyadari, bahkan memaparkan contoh-contoh betapa meeting rutin sudah berjalan di timnya, komunikasi tatap muka dan email dilakukan intensif dan satu sama lain pun tidak menolak kerjasama. Jadi, di mana letak ‘kesalahan’nya, mengapa kerja tim bisa melempem?
Menciptakan ‘Chemistry’
Seorang teman saya mempertanyakan, apakah tidak eratnya kerja tim disebabkan tidak adanya ‘chemistry’ diantara anggotanya? Pertanyaannya kemudian disusul dengan pertanyaan standar: “Apakah kita perlu pelatihan “outbound’ lagi?” Meskipun kita bisa merasakan keakraban dan pemahaman yang lebih baik mengenai anggota tim melalui program outbound yang singkat, namun pertanyaan yang menggelitik adalah apakah kita tidak meyakini bahwa kita bisa menciptakan koneksi dengan orang lain dan meracik ‘chemistry’ dalam keseharian kita di tempat kerja? Pepatah lama mengatakan: “There are no misunderstandings; there are only failures to communicate”. Dari sini kita menyadari bahwa sebenarnya kita tidak bisa mempermasalahkan buruknya ‘chemistry’ di antara sekelompok orang jika kita belum secara sungguh-sungguh berupaya membuat koneksi yang berkualitas.
Teman saya berkelakar, “masak kalah sama semut. Semut saja bila bertemu dengan sesamanya meluangkan waktu sejenak untuk bertegur sapa”. Bagaimana dengan kita? Bukankah kita banyak membuang kesempatan untuk membangun koneksi, apakah itu saat bertemu di dalam lift, berpapasan di jalan, bertegur sapa di pagi hari, bahkan saat harus berdiskusi mendalam untuk memecahkan masalah, membahas “daerah abu-abu” ataupun mengkomunikasikan komitmen yang perlu diangkat. Jangankan orang yang baru dalam tim, kita bahkan seringkali absen membangun koneksi dengan orang yang sudah hidup dan bekerja sama selama bertahun tahun.
Seorang peserta pelatihan berkali-kali menekankan pentingnya respek dalam membangun koneksi. Saya juga setuju bahwa apresiasi bisa kita tunjukkan tanpa pujian yang melambung, tetapi lebih pada upaya untuk memahami lawan bicara dan berusaha menggali ‘point’-nya. Banyak orang merasa kikuk untuk membina hubungan akrab di tempat kerja, bahkan menganggap hal itu hanya diperlukan dalam hubungan informal dan hubungan kekeluargaan di luar bisnis. Upaya pendekatan ke orang lain, terkadang dinilai hanya dibutuhkan oleh para salesman dan humas. Ada juga yang menganggap bahwa ini adalah kegiatan yang mengarah pada hal-hal yang feminin. Padahal, banyak sekali potensi dan kesempatan yang bisa kita raih demi kebersamaan tujuan, asal kita mau sedikit berusaha untuk membangun koneksi satu sama lain. Bukankah kita sama sama menyaksikan, bahwa hal yang paling ditekankan oleh menteri keuangan RI yang baru adalah semangat tim Departemen Keuangan, sebelum masuk ke substansi bisnisnya?
KEJELASAN
Kita pasti bisa merasakan bila spirit individu dalam tim mengendur. Banyak orang yang tidak mengerti mengapa personil yang pandai-pandai dan berdedikasi, bisa tiba-tiba kehilangan semangat berbagi informasi, tidak disiplin, malas ber-brainstorming dan seolah tidak henti memikirkan kepentingan diri sendiri. Seorang karyawan yang berada dalam situasi itu berkomentar,”Kalau dalam tim, satu orang dengan yang lain tidak jelas tentang standar kualitas dan tindakan yang harus dilakukan, serta kabur akan sasaran kelompok, bagaimana kita akan menyerahkan pikiran dan hati sepenuhnya pada tim?”
Tidak jelasnya prinsip dan arah perusahaan atau lembaga, memang sering menyebabkan spirit kelompok menjadi kendur. Apalagi bila atasan pun mencla-mencle, tidak mengedepankan koordinasi, bahkan sedikit-sedikit mengadu domba. Orang hanya bisa menjadi ‘selfless’, bila tujuan organisasi sangat ‘clear’. Itu sebabnya, kita melihat turunnya semangat kerja tim pada perusahaan yang sedang terguncang dan tidak memperjelas keadaan pada masa-masa krisisnya. Sebaliknya, organisasi yang bertujuan jelas, bisa dengan mudah meningkatkan kerja tim dan bahkan menciptakan kompetisi seru antar kelompok-kelompok, baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan substansi bisnisnya maupun di luar itu.
Bila individu satu sama lain sudah terkoneksi melalui rasa percaya dan jelas terhadap tujuan kelompok dan organisasi, tentu tidak butuh energi besar untuk mendorong tim mencapai kinerja terbaik. Bahkan, kita pun tidak usah terlalu khawatir untuk mem-“bolak-balik” atau meng-“gunting copot” individu dalam tim, karena secara otomatis tim punya kekuatan untuk dengan cepat me-“reorganize” dirinya kembali.
Sumber:http://www.experd.com/news-articles/articles/195/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya